Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9904 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzi `Arasj
"ABSTRAK
Tingginya angka anemia di Propinsi Jawa Barat yang diatas rata-rata angka Nasional dan besarnya jumlah ibu yang melahirkan dengan kondisi anemia serta dampak yang ditimbulkannya, menyebabkan anemia masih merupakan masalah besar yang sedang dihadapi pemerintah.
Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya anemia pada ibu hamil dengan frekuensi konsumsi makanan (perilaku konsumsi makanan), maka dilakukan analisis lanjut data sekunder Survei Cepat Anemi di Jawa Barat 1997, dengan memanfaatkan variabeI perilaku konsumsi makanan (kelornpok heme, nonheme, pendorong dan penghambat) dan menghubungkannya dengan kejadian anemia pada ibu hamil, serta faktor lain yang mempengaruhinya.
Jumlah sampel minimal untuk analisis lanjut dihitung dengan kekuatan uji 90%, pada tingkat kepercayaan 95%, disain effect 2 dan Po = 62.5 serta IPo - Pal = 3 %, sehingga didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 5654 orang dan dalam analisis lanjut digunakan 6679 sampel yang memenuhi syarat dan sampel penelitian sebelumnya. alat bantu yang digunakan antara lain Epi Info (merge data) versi 5.0, SPSS versi 5.0 (manajemen data dan uji univariat) dan Stata versi 5.0 untuk analisis regresi logistik (uji bi dan multivariat).
Dari analisis lanjut terdapat kemungkinan hubungan yang bermakna antara kejadian anemia pada ibu hamil dengan a) frekuensi konsumsi sayuran hijau minimal 28 kali dalam sebulan, b) frekuensi konsumsi jeruk minimal 4 kali dalam sebulan, c) tingkat pendidikan ibu (rendah/SLTP kebawah, dan d) usia kehamilam trimester satu. Sementara itu tidak terdapat kemungkinan hubungan yang bermakna antara kejadian anemia pada ibu hamil dengan beberapa variabel lainnya.
Kemungkinan tidak bermaknanya beberapa variabel tersebut antara lain karena perilaku konsumsi bahan makanan ibu hamil (frekuensi bahan makanan) dalam sebulan yang masih rendah, bentuk pola menu yang dikonsumsi oleh ibu hamil yang kebanyakan berpola nabati (nonheme) yang banyak mengandung protein, serat, polyphenol dan pytat serta tanin, yang akan dapat membentuk senyawa yang lebih komplek dengan zat besi, sehingga zat besi menjadi sukar untuk diserap didalam tubuh, kemungkinan rendahnya cadangan zat besi yang ada dalam tubuh, ditunjang pula dengan rendahnya konsumsi bahan makanan pendorong, serta tingginya konsumsi faktor penghambat dan rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan ibu tentang bahan makanan, pengetahuan ibu tentang tablet tambah darah serta pemeriksaan ANC yang masih rendah, yang menyebabkan seolah-olah frekuensi konsumsi bahan makanan bukan merupakan faktor penyebab terjadinya anemia pada ibu hamil, disamping tidak diketahuinya dengan pasti besar porsi (kuantitas) yang dikonsumsi setiap kali mengkonsumsi bahan makanan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua bahan makanan kelompok heme, nonheme, pendorong dan penghambat yang mempunyai kemungkinan hubungan dengan kejadian anemia, maupun dengan variabel - variabel lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pemasaran sosial bahan makanan kelompok heme, nonheme, pendorong dan penghambat dan faktor faktor lain melalui program JPS yang sedang diluncurkan pemerintah saat ini. Ini dimaksudkan untuk mengatasi peningkatan kejadian anemia khususnya dan kesehatan ibu hamil pada umumnya. Pemasaran sosial dengan menggunakan media komunikasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi ibu hamil serta tingkat materi yang mudah untuk dipahami, diharapkan akan dapat memberi dampak yang lebih baik terhadap penurunana kejadian anemia pada ibu hamil.
Dafar Bacaan ; 128 (1979 - 1998) "
1999
T 697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yunis Miko Wahyono
"Anak jalanan merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi oleh Pemda Kotamadya Depok. Pada umumnya mereka berprofesi sebagai sebagai pengamen, pengemis, pedagang asongan, pembersih kaca mobil, pengatur lalu lintas dan penyemir sepatu. Karena keterbatasannya anak jalanan terbiasa hidup apa adanya. Mereka menganggap mandi, gosok gigi, mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air kecil dan besar (BAK dan BAB) tidaklah terlalu penting, yang penting mereka bisa makan untuk hari ini. Padahal anak jalanan rentan menjadi sakit karena keterpaparan mereka terhadap beratnya pekerjaan dan minimnya makanan yang dikonsumsi.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai pengetahuan dan prilaku anak jalanan mengenai kebiasaan hidup sehat untuk kesehatan pribadi seperti mandi, cuci tangan sebelum makan dan sesudah BAK dan BAB, gosok gigi, memakai alas kaki, merokok, NAZA dan perilaku seksual. Studi ini bersifat deskriptif dengan design cross sectional. Populasi studi adalah semua anak jalanan yang mangkal di terminal, stasiun, mall/plaza, pasar dan jembatan di kotamadya Depok. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara kuantitatif (survey) dan kualitatif (wawancara mendalam).
Hasil menunjukan sebagian besar umur anak jalanan yang disuvei 13-15 tahun (432%) dan 6-12 tahun (41.2%). Umumnya anak jalanan yang ditemui, sudah putus sekolah (60.8%), Pekerjaan utama mereka adalah sebagai pedagang/pengasong (64.7%), pengamen (19.6%), pengemis (13.8%) dan parkir mobil (2.0%). Dua belas dari 51 anak jalanan saat ini tinggal di rumah singgah yang ada di sekitar Depok. Rata-rata lama tinggal di rumah singgah adalah 11 bulan dan setiap harinya berada di rumah singgah rata-rata 7 jam. Sebagian besar alasan tinggal di rumah singgah adalah untuk tidur/istirahat, mandi dan makan. Rata-rata lama anak jalanan berada di jalan (bekerja) adalah 6 jam dan umumnya setiap hari (94.1%) mereka turun ke jalan.
Hampir semua responden mandi dua kali sehari dengan sabun. Pengetahuan tentang gunanya mandi, sebagian besar secara spontan supaya bersih atau tidak bau (84.3%) dan supaya sehat (70.6%). WC umum (88.2%) merupakan tempat yang paling sering dimanfaatkan sebagai tempat untuk buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) ketika sedang berada di jalan. Kurang dari separuh (43.1%) anak jalanan tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah BAB atau BAK. Sekitar 41.2% anak jalanan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, namun angka ini meningkat menjadi 84.3% untuk praktek cuci tangan (tanpa memakai sabun) sebelum makan. Pengetahuan anak jalanan mengenai keharusan mencuci tangan dengan sabun pada sebelum makan, sesudah buang air besar maupun sesudah buang air kecil cukup baik, yaitu diatas 80%."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Yusran
"Penyalahgunaan obat terlarang di kalangan remaja/pelajar dewasa ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Karena tidak hanya menyangkut pada remaja atau pelajar itu sendiri akan tetapi juga melibatkan banyak pihak baik keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, serta aparat hukum, baik sebagai faktor penyebab, pencetus maupun yang menanggulangi. Agar keluarga/orang tua dapat mencegah tindakan penyalahgunaan NAZA yang kemungkinan dilakukan oleh putra-putri mereka, maka orang tua/keluarga perlu dibekali pengetahuan tentang NAZA. Tujuan survei ini untuk mengetahui pengetahuan orang tua murid SLTP tentang jenis, bentuk, cara penggunaan serta ciri-ciri fisik pengguna NAZA.
Survey ini menggunakan rancangan deskriptif analitik yang bersifat cross-sectional untuk mengukur tingkat pengetahuan orang tua murid SLTP tentang NAZA pada sekolah terpilih di Kotamadya Depok. Pengetahuan orang tua murid terhadap jenis, bentuk, cara penggunaan dan ciri fisik anak pengguna NAZA seperti Minuman Keras, Kelompok Sedatin (Pil BK/Magadon/Rohipnol), Ganja/mariyuana, Opium (Heroin/putaw), Amphetamin (Ekstasi/sabu-sabu) serta Kokain masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari sekitar 33.3% diantara orangtua murid hanya mengetahui paling banyak 2 dari 6 jenis NAZA tersebut. Ada 26.5% orangtua murid yang tidak tahu bentuk minuman keras, 49.6% tidak tahu bentuk Pil BK/magadon/rohipnol, 44.4% tidak tahu bentuk Ganja, 62.4% tidak tahu bentuk Heroin, 57,3% tidak tahu bentuk Ekstasi dan 75.2% orang tua murid tidak tahu bentuk Kokain.
Pengetahuan terhadap cara penggunaan NAZA, 13.1% orang tua murid tidak tahu cara penggunaan Minuman Keras, 57.6% Pi1 BK/Magadon/Rohipnol, 44.4% Ganja, 62.6% Heroin, 68,7% Ekstasi dan 78.8% tidak tahu cara penggunaan Kokain. Sedangkan pengetahuan orang tua murid terhadap ciri-ciri fisik anak pengguna NAZA sebagian besar responden tidak dapat mengetahuinya dengan baik. Sebagian besar orangtua murid memperoleh informasi tentang NAZA melalui media majalah/koran atau televisi dibandingkan dengan penyuluhan maupun seminar."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Agrina Cintya Lestari
"Diare pada balita masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku merupakan tiga provinsi dari beberapa provinsi di Indonesia yang mengalami peningkatan kejadian diare dari tahun 2007 hingga 2013 dan balita menjadi populasi yang paling berisiko untuk mengalami diare. Fasilitas jamban, sumber air minum, pengolahan air minum, dan fasilitas cuci tangan diketahui menjadi faktor risiko kejadian diare.
Studi ini menggunakan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 untuk mengetahui hubungan antara fasilitas jamban, sumber air minum, pengolahan air minum, dan fasilitas cuci tangan dengan kejadian diare pada balita. Sampel penelitian adalah balita berusia 0-59 bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku yang menjadi sampel SDKI 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi diare tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (20,5%) dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta (6,4%). Selain itu, ditemukan hubungan yang signifikan antara fasilitas cuci tangan dengan kejadian diare pada balita di Daerah Istimewa Yogyakarta (nilai P=0,026). Sumber air minum juga ditemukan berhubungan secara signifikan dengan kejadian diare pada balita di Sulawesi Selatan (nilai P=0,007). Fasilitas cuci tangan pun berhubungan dengan signifikan dengan kejadian diare pada balita di Maluku (nilai P=0,010).
Walaupun beberapa variabel tidak berhubungan dengan signifikan, variabel-variabel tersebut dapat meningkatkan risiko balita untuk mengalami diare. Oleh karena itu, pencegahan terhadap faktor risiko perlu dilakukan seperti menggunakan jamban yang memenuhi syarat, menggunakan sumber air minum yang layak, mengolah air minum sebelum dikonsumsi, dan memiliki fasilitas cuci tangan yang memadai

Diarrhea in under-five children is still one of the public health problems in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta, South Sulawesi, and Maluku are the three provinces of several provinces in Indonesia which experienced an increase in the incidence of diarrhea from 2007 to 2013 and under-five children became the most at-risk population for diarrhea. The latrine facility, drinking water source, drinking water treatment and hand washing facilities are known to be risk factors for diarrhea.
This study used a cross-sectional design using secondary data from the Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2012 to determine the association between latrine facilities, drinking water sources, drinking water treatment and hand washing facilities with diarrhea occurrences among under-five children. The sample of the study was 0-59 months old children in Yogyakarta, South Sulawesi and Maluku which were samples of the IDHS 2012.
The results showed that the highest prevalence of diarrhea was found in South Sulawesi (20.5%) and the lowest was found in Yogyakarta Special Region (6.4%). In addition, there was a significant association between hand-washing facilities and the incidence of diarrhea among under-five children in the Special Region of Yogyakarta (P value=0.026). Drinking water sources were also found to be significantly related to the incidence of diarrhea among under-five children in South Sulawesi (P value=0.007). Hand washing facilities were significantly associated with the incidence of diarrhea among under-five children in Maluku (P value=0.010).
Although some variables do not have significant association, these variables may increase the risk of under-five children suffering from diarrhea. Therefore, prevention of risk factors needs to be done such as using improved latrines, using improved drinking water sources, treating drinking water before consumption, and having adequate handwashing facilities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arsyad
"Program PHBS adalah salah satu kebijakan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 1997, program ini meliputi 5 settling yakni setting rumah tangga, tempat kerja, tempat umum, institusi sekolah dan tempat ibadah. Promosi kesehatan ini diarahkan kepada perubahan perilaku mengenai hidup bersih dan sehat, untuk itu dilakukan strategi-strategi yang dikenal dengan S2PHBS (Strategi Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Menurut L. Green (1984), promosi kesehatan merupakan kombinasi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, sumber daya organisasi dan upaya kesehatan lingkungan yang bertujuan untuk memunculkan perilaku yang menguntungkan kesehatan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Eksperimen Sernu, Sekolah Dasar Negeri 008 Sidodadi Kecamatan Wonomulyo sebagai kelompok eksperimen dan Sekolah Dasar Negeri 003 Lampa Kecamatan Mapilli sebagai kelompok kontrol. Jumlah sampel pada kelompok eksperimen sebesar 122 murid dan kelompok kontrol 107 murid. Metode pendidikan kesehatan yang dipilih adalah metode ceramah, tanya jawab, alat peraga, bermain peran dan dinamika kelompok.
Hasil perlakuan program PUBS menunjukkan hubungan bermakna pada pengetahuan murid mengenai hidup bersih dan sehat pada kemaknaan < 0,05 dengan P-value sebesar 0,01 dan sikap P-value sebesar 0,01 < 0,05, sedangkan pada praktek secara statistik terbukti tidak adanya hubungan program PHBS terhadap perilaku murid mengenai hidup bersih dan sehat dengan kemaknaan ? 0,1 dengan hasil uji statistik P. value sebesar 0,13 menurut pengamatan orang tua dan 0,38 menurut pengamatan guru di sekolah.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai pengetahuan murid mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, minimum 28 dan maksimum 39 dengan rata-rata 35. Nilai sikap, minimum 10 dan maksimum 47 dengan nilai rata-rata 38,37 sedangkan nilai pada praktek menurut gum minimum 13 dan maksimum 26 dengan nilai rata-rata 22,37 dan menurut orang tua nilai minimum 14 dan maksimum 26 dengan nilai rata-rata praktek 21,96.
Dengan demikian penelitian ini menyarankan kepada institusi kesehatan agar melakukan strategi-strategi yang lebih mendalam seperti pembuatan model-model kepercayaan kesehatan yang lebih kondusif dalam usaha-suaha peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat pada setting institusi pendidikan.

The Effect of Improving Health Behaviour Program for Knowledge, Attitude and Practice about Improving Health Behaviour on State Primary School 008 Sidodadi pupils Wonomulyo District Polewali Mamasa Regency South Sulawesi Province by the year 2000.Program for Improving Health Behavior was one of policy of The Center for Health Education, Health Department Republic of Indonesia by year the 1997, this program involved home setting, schools, health institution, work place, and public place. The health promotion focussed for behavior changing how to improve health behavior, therefor have been done strategy for improving health behavior (Known with S2PHBS). According L. Green (1998), said that health promotion form health education combination, health service, organization resource, and health environment effort, which have objective for appearance a conducive health behavior.
This research use Quasi Experimental, State Primary School 008 Sidodadi Wonomulyo District Polewali Mamasa Regency was intervention group and State Primary School 003 Lampa Mapilli District Polewali Mamasa Regency was control group. Intervention group 122 respondents, control group 107 respondents. Health and group dynamic.
Intervention shown relationship on pupils knowledge about improving health behavior < 0,05 p = 0,01 and attitude P = 0,01 while practice by statistic no relationship with improving health behavior with significant > 0,1 p =0,13 according to teacher and p=0,38 according to pupils' parents.
Researched known report pupils knowledge about how to improve health behavior, according to pupils' teacher minimum 28 and maximum 39 with average 35. Attitude, minimum 10 and maximum 47 with average 38,37, while practice minimum 13, maximum 26, average 22,37. According to pupils' parents minimum 14, maximum 26 with average 21,96.
This research recommendation for health department will do strategies making health models more conducive by strategy for improving health behavior in school setting and education institution.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairiyah Anwar
"Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai daerah yang termasuk kelompok endemis tinggi, saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 11 juta pengidap penyakit hepatitis B di Indonesia. Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara, akan tetapi penularan secara vertikal, dari orang tua pengidap penyakit hepatitis B kepada anaknya cukup besar (45,9%).
Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hepatitis B sejak dini, maka WHO telah merekomendasikan program imunisasi hepatitis B untuk semua bayi (Universal childhood immunization against Hepatitis B). Sebagai implementasinya, pemerintah Indonesia memasukkan program imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasiona] sejak tahun 1997. Hingga saat ini program imunisasi hepatitis B masih terus berjalan walaupun banyak kendala yang dihadapi, misalnya belum tercapainya target cakupan imunisasi dan indek pemakaian vaksin yang rendah.
Melalui pelaksanaan program imunisasi rutin dengan 7 jenis vaksin, diharapkan dapat menekan prevalensi kasus penyakit-penyakit tersebut. Namun dengan semakin banyaknya jumlah vaksin yang diberikan maka secara iangsung akan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan biaya kesehatan. Dan karena itu perlu diupayakan pelaksanaan program imunisasi yang efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui pengendalian biaya khususnya pemilihan vaksin dan alat suntik.
PeIaksanaan imunisasi hepatitis B di Indonesia saat ini masih menggunakan alat suntik yang bersifat dapat digunakan kembali (reuseable) dan alat suntik disposable (sekali pakai). Dan segi keamanan dan nilai ekonomis kedua alat suntik tersebut masih rendah, sehingga keduanya tidak efisien dan mengakibatkan biaya operasional kegiatan imunisasi menjadi lebih mahal.
Studi tentang penggunaan alat suntik yang berbentuk uniject telah dilakukan dalam program imunisasi hepatitis B di D.I. Yogyakarta. Namun belum diketahui berapa besar efektifitas alat suntik tersebut dibandingkan alat suntik disposable.
Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang biaya yang paling efektif dari penggunaan alat suntik disposable dan Uniject. Rancangan penelitian bersifat cross sectional, dengan mengambil kasus di Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Penelitian melibatkan 26 Puskesmas yang melakukan kegiatan imunisasi rutin termasuk hepatitis B. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ditinjau dan sisi pemerintah (provider) dengan menggali biaya yang dikeluarkan oleh puskesmas dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B tahun 1999 dan 2000.
Hasil penelitian menunjukkan, besarnya total biaya dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable 17,93% lebih mahal dibandingkan dengan alat suntik uniject. Komponen biaya terbesar dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah biaya operasional (rata-rata per puskesmas 97,36%, kemudian biaya investasi 2,56% dan biaya pemeliharaan 0,08%. Sedangkan pada pelaksanaan imunisasi dengan alat suntik uniject rata-rata per puskesmas untuk biaya operasional adalah 99,31%, biaya investasi 0,58%, dan biaya untuk pemeliharaan 0,11%.
Jumlah cakupan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah 16.417 suntikan, dengan rata-rata 631 per puskesmas dari indek pemakaian vaksin 66,4%. Sedangkan dengan uniject cakupan mencapai 16.474 suntikan, dengan rata-rata cakupan per puskesmas adalah 644 bayi dan IP vaksin 100%.
Besarnya biaya satuan aktual untuk pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah Rp. 31572,-, sedangkan dengan alat suntik uniject sebesar Rp. 27.553,-. Apabila komponen gaji dikeluarkan dari perhitungan total biaya, maka besarnya biaya satuan untuk imunisasi hepatitis B dengan disposable menjadi Rp.17.342; (turun 48,34%), sedangkan dengan uniject menjadi Rp. 13.627,- atau turun 50,54%. Perbedaan besarnya biaya satuan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi alat suntik, jenis biaya yang dihitung dan cakupan imunisasi.
Mengacu pada besarnya biaya satuan aktual maka dapat disimpulkan, penggunaan alat suntik uniject jauh lebih cost effective dibandingkan alat suntik disposable. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk mencapai sasaran imunisasi hepatitis B dalam jumlah yang sama, akan jauh lebih murah apabila digunakan alat suntik uniject dari pada menggunakan alat suntik disposable.

Cost Effectiveness Analysis of Hepatitis B Vaccination Using Uniject and Disposable Syringe in Bantul District, Year 2000Hepatitis B is an infection disease caused by hepatitis B virus (VHB) which remains as public health problem globally, especially in Indonesia. With more than I1 million carriers, Indonesia is classified into high endemic group of countries. Among different mode of VHB transmission, vertical transmission from carrier to newborns is important in Indonesia (45,9%).
In objective of decreasing the morbidity and mortality of hepatitis B, WHO recommend "Universal Chilhood Immunization againt Hepatitis B" operationally, Indonesia integration hepatitis B vaccination into the routine program since 1997. Problems identified are lower level of coverage and higher wastage rate.
The Indonesia immunization program is now concentrating in providing 7 antigens all children in decrease the prevalens of targeted deseases. The increasing number of discs of vaccine required will result in increase of health budget. Immunization program therefore, will have to be more effective and efficient by selecting the right type of vaccine and syringe.
Currently reusable plastic syringe and disposable syringe are the types of syringe for hepatitis B vaccinetion in Indonesia. In form of safety and economic scale, both types of syringes are considered low quality and inefficient, which result in higher operational cost.
Study on the use of uniject had been carried out in province of yogyakarta, but the effectiveness of unijct compared to disposable syringes in not known.
This study an economic evaluation wich aims at providing information about the most cost effetive injection equipment between disposable syringe and uniject. A cross sectional study was designed for Bantul District, covering 26 Health Centres which implement routine immunization services including hepatitis B vaccination of hepatitis B vaccination. Data used in this study were facility-based data, complimented with primary data on the expenses related to the implementation of hepatitis B vaccination year 1999 and 2000.
The result of the study shows that the total cost hepatitis B vaccination using disposable syrunge was 17.93% higher than the total cost using uniject. The largest cost component for disposable syringe was operational cost (on average 97.36% per Health Center), investment cost 2.56%, maintenance cost 0,08%. where as for uniject, operational cost was 99.31%, investment cost 0.58% and maintenance cost 0.11%.
The hepatitis B coverage using disposable syringe was 16,417 or 637 per Health Center and vaccine utilization index was 66,4%. the hepatitis B coverage using uniject was 16,474 or 644 per Health Center with vaccine utilization index of 100%.
The actual unit cost of hepatitis B vaccination using disposable syringe was Rp. 33,572, compered to Rp. 27,553 for uniject. It the study excluded salary from the cost component, the actual unit cost for disposable would be Rp. 17,342 (reduced by 48.34%) and for uniject weld be Rp. 13,627 (reduced by 50.54%). The difference in cost unit is influenced by the unit price of injection equipment, cost variables and level of vaccination coverage.
Based on the actual unit cost, uniject is more cost effective than disposable syringe. So, the spend of budget for giving immunization hepatitis B in the same target with uniject more cheaper than disposable.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosani Azwar Syukriman
"Kontribusi masyarakat dan swasta dalam pembiayaan kesehatan sekitar 70% dan sistem pembayaran untuk tiap pelayanan masih dominan fee for service. Pada era 90-an terjadi perubahan besar dalam sistem pembayaran yang tertuang dalam UU No. 3/1992 tentang Jamsostek dan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan yang secara eksplisit menyebutkan sistem pembayaran pra upaya (kapitasi). Sistem pembayaran kapitasi sudah dilakukan oleh PT. Askes, PT Jamsostek, dan beberapa Bapel JPKM dengan bervariasi besaran kapitasi yang dibayarkan Bapel ke PPK.
Dalam kondisi krisis ekonomi upaya menjamin pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dikembangkan JPKM JPSBK yang pembayaran jasa pelayanan secara kapitasi oleh Pra Bapel kepada Puskesmas dengan premi subsidi dari pemerintah sebesar Rp 9.200,-/KK/tahun. Di era otonomi daerah penduduk miskin menjadi perhatian daerah dalam menanggung pembiayaan kesehatannya dan berdasarkan pengalaman program. JPKM JPSBK akan dihitung berapa besaran kapitasi yang wajar untuk peserta JPKM JPSBK untuk mendapat pelayanan yang bermutu dan tidak merugikan PPK (Puskesmas). Karena PPK maupun penyelenggara asuransi (Pra Bapel) belum menghitung besarnya biaya per kapita.
Tujuan penelitian adalah mendapatkan besaran kapitasi yang wajar dari Pra Bapel ke Puskesmas untuk paket pemeliharaan kesehatan dasar JPKM JPSBK di Kotamadya Jakarta Selatan. Data yang digunakan adalah data kunjungan peserta pada tahun 1999 di 74 Puskesmas KecamatanlKelurahan sebagai PPK penyelenggara JPKM JPSBK. Rancangan penelitian survei cross sectional. Variabel babas meliputi jenis pelayanan, karakteristik populasi (jumlah peserta, jenis kelamin, umur), tingkat penggunaan pelayanan (utilization rate) dan biaya per pelayanan menurut Perda. Sedangkan variabel terikat adalah besaran kapitasi.
Hasii penelitian menunjukkan bahwa jenis pelayanan yang dimanfaatkan peserta JPKM JPSBK sebagian besar adalah pelayanan rawat jalan tingkat I seperti BP Umum (87,30%), KB (4,87%), BPG (2,54%),KIA (2,34%), dan imunisasi (1,73%). Karakteristik populasi penduduk miskin 69.300 orang (4,10%) dari penduduk di Kotamadya Jakarta Selatan dengan komposisi 51,12% laki-laki, 48,88% perempuan dan sebagian besar ada pada kelompok umur 0-5 tahun, 11-15 tahun, 16-20 tahun. Tingkat penggunaan pelayanan dimanfaatkan oleh kelompok umur 0-5 tahun (27,99%), kelompok umur 6-10 tahun (9,70%) dan kelompok umur > 55 tahun (9,34%).
Berdasarkan analisa besaran kapitasi penduduk miskin yang wajar adalah Rp 171,-/orang/bulan atau Rp 2.050,-/orang/tahun. Dengan besaran kapitasi tersebut Puskesmas menerima pembayaran kelebihan dari yang dibayarkan pra Bapel ke PPK (Puskesmas). Perhitungan besaran kapitasi sangat bervariasi tergantung pada jenis pelayanan, karakteristik populasi yang terkait dengan faktor risiko dan tingkat penggunaan pelayanan serta besarnya biaya per pelayanan.

Fair Capitation Payment of JPKM JPSBK Primary Health Care Package at Health Centers in South Jakarta DistrictThe private sector has been contributing about 70% of health care expenditure in Indonesia. The majority of this financing has been through out of pocket payment that puts high burden to household. During 1990s there had been significant changes in the health care financing system marked by the passage of Social Security Act No. 3192 (UU Jamsostek) and Health Act No 23/92. Both act prescribe capitation payment system as a means to control health care costs. The Health Act promotes the development of JPKM (HMOs), a prepaid health care system. The people in public and private sector have the biggest contribution for health budgeting system. Mostly for the payment system the people are using fee for service or out of pocket In 1990' is big changing for the payment system which is written in Jamsostek Act No. 3/1992 and Health Act No. 23/1992. Those act are starting to introduce the pre paid payment system such as capitation or others.
During the economic crisis starting in the mid 1997. This study was designed to examine whether the capitation payment by a pra bapel in South Jakarta regency was actuarially fair. The data were taken from visit rates during 1999 by those poor households in 74 health centers and from the pra bapel. Demographic characteristics of beneficiaries as well as types of utilization of health services in health centers were then calculated to obtain utilization rates. Calculation of fair capitation payment was made using valid user fees schedule (Tarif Perda) that was valid for the 1999. Simulation of fair capitaion payment was made using age distribution of household members of the poor household listed in the program. This research is Formulated to set up the fair capitation in South Jakarta each house holdlyearlpackage through pra Bapel as during economic crisis, through data analyze in visiting number of participants in 74 health center in 1999 and using cross sectional method. The independent variable enclosed the several of services, population characteristics (number of member, gender, and age) and utilization rate and unit cost for each service based on the rational regulation tariff and dependent variable is capitation payment system.
This research showed that the poor people comprised of 4,10% of the total population in South Jakarta that can be divided into 51,12% male and 48,88% female and grouping such as 0-5 year (27,99%), 6-10 year (9,70%) and > 55 year (9,34%), In term of utilization, 4,10% of members used outpatient services comprised of 87.3% in the general clinics, 4,87% family planning, 2,54% in dental clinic, 2,34% Mother Child Health, and 1,73% utilized immunization services.
Based on the utilization experience the fair capitation rate was Rp 17h-/capita/month or Rp 2,050; /capita/yeaf_ This amount was less than the capitation paid to health centers equal to Rp 191,6/capita/month. Several possible explantion accounted for the difference are: I conclude that the capitation payment to health centers in the JPKM JPSBK was actually too much. However, due to possible underestimate of the data collected, findings from this study should be used cautiously.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutaryana
"Campak adalah penyakit virus akut(paramyxavirus) sangat mudah menular melalui udara atau kontak langsung namun tergolong penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Di Indonesia penyakit campak telah masuk pada tahap reduksi dengan cakupan imunisasi (>90 %) namun Case fatality rate (CFR) eukup tinggi yaitu sekitar 1,7 - 2,4 oleh karena itu penelitian kearah mencari faktor penyebab penyakit campak pads balita dalam hal ini dibatasi pada faktor kesehatan lingkungan dan karakteristik anak balita yang berkaitan dengan kejadian penyakit campak pada balita menjadi sangat beralasan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekwensi, hubungan dan mencari model faktor kesehatan lingkungan (16 variabel) dan karakteristik anak balita (5 variabel ) dengan kejadian penyakit campak pada balita. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Garut dengan metode kasus kontrol, jumlali sampel masing masing 150 kasus dan 150 kontrol total 300 sampel (1:1), rentang waktu antara Bolan Juli 2000 aid Bulan Desember 2001.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 21 Variabel yang dilakukan uji hubungan bevariat ada 15 variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan p 0.05 (hipotesis ditolak). Dan 5 variabel p > 0.05 (hipotesis gagal ditolak).
Model akhir tanpa interaksi didapat lima variabel utama yang berhubungan dengan kejadian campak adalah Imunisasi nilai B (3.340), Jendela (1.468), Vit A ( 1.319), Kepadatan ( 0.885) dan Cahaya (0.846) dengan konstanta -5.218. Faktor paling dominan adalah imunisasi dengan OR 28.228 pada CI 95 % 11.789-67.588, sedangkan setelah melalui uji interaksi terdapat dua variabel tunggal dan 2 yang berinteraksi yaitu 1286 (Imunisasi), 1,393 (Cahaya by Jendela), 0.933 (Kepadatan), dan 0.947 (Cahaya by Vit A) dengan konstanta -3.951 faktor paling dominan yang dapat mempengaruhi kejadian campak adalah Imunisasi dengan nilai B = 3.951 dengan QR = 26.72 nilai C195 % = 11.301-63.201
Untuk aplikasi penanganan program ini tentu memerlukan strategi khusus, yang intinya perlu pelayanan kesehatan masyarakat yang komprehensif berupa pelayanan promosi dan pencegahan berupa pelayanan intensif pelaksanaan imunisasi dan pemberian vitamin A serta melaksanakan perbaikan kesehatan lingkungan fisik rumah terutama sistem pencahayaan, jendelanisasi, dan pengurangan kepadatan kamar.

Measles is an accute viruses deseases (paramyxovirus)_ It is very easy infected to other people direct contact, but can be prevented by immunization. In Indonesia measles deseases is in reduction phase with immunimtion trap >90 %, but the Case fatality rate (CFR) is high between 1.7 - 2.4. There efor the study to find the risk factor of measles on childhood in this case is limited on environtmenal health factor and the characteristic of childhood that is associated with measles incidence of childhood is very reasonable.
The purpose of this study is to know the distribution anda freqkfency, the association and find the environment health factors model (16 variables) and characteristik of childhood (5 variable) with the measles incidence on Childhood at Garut District 2000-2001 year.
This study was being done at Garut district using case control method_ The sample of this study is 300 ehilldhood (150 cases and 150 control) the study last from July 2000 --- Descember 2000. The result of this study showed that from 21 variable there is 16 variabels is significant because p < 0.05.
The multivariate final model are : immunization B velue (3.340), Windows (1.468), Vit A ( 1.319), Crowding ( 0.885) and Lighting (0.846), constanta -5.218. The strenght of Factor is immunization with OR 28.228 at CI 95 % 11389-67.588.
Interaksi test result is 3.286 (Imunisation), 1.393 (Light by windows), 0.933 (Croeding, and 0.947 (Lighting by Vit A), constanta -3.951 and strenght factor is Imunisation with B value = 3.951 , OR = 26.72 Cl 95 % = 11.301-63.201
Sugestion for program Aplication cocerning measles program in Garut District is a comprehensif action, covering Promotion, prevention, Curative dan Rehabilitation. The priority program are Immunization programe, Vitamin A, and Rehabilitation of Window, sistem of Lighting Room and reduction of Ovbercrowding.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 8197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyanto Suprawihadi
"Pengolahan limbah cair tapioka dengan sistem Kombinasi Biofilter Anaerob - Aerob aliran ke atas merupakan pengolahan biologis dengan biakan melekat (attached growth proccess), sebagai salah satu teknologi alternatif dalam pengolahan limbah cair.
Tujuan penelitian adalah diperolehnya suatu unit pengolah limbah cair tapioka dengan teknologi yang sederhana dan mudah dalam pembuatan, operasional maupun perawatannya serta mempunyai kemampuan dalam memperbaiki kualitas limbah cair, sehingga kemungkinan timbulnya dampak kesehatan masarakat akibat pencemaran dapat dicegah, mengantisipasi mahalnya biaya pembuatan unit pengolah limbah cair serta menghindari ditutupnya beberapa industri.
Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan rancangan eksperimental ulang (Pretest posttest Control Group Design), dimana obyek dibagi dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok perlakuan satu berdasarkan total waktu tinggal 6 jam dan kelompok perlakuan dua menggunakan total waktu tinggal 12 jam. Sedangkan aspek kesehatan masyarakat dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terhadap responden yang berdomisili di sekitar lokasi pabrik sebanyak 50 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan total waktu tinggal 6 jam, unit pengolah dapat menurunkan konsentrasi parameter limbah cair tapioka pH, BOD5, COD, TSS, NH3, H2S dan Sianida dengan efisiensi antara 70% - 86%. Hal ini dibuktikan dengan basil uji t (t-test) yang menunjukkan adanya perbedaan penurunan secara berrnakna pada setiap tahapan pengolahan (p < 0,05) pada taraf 95%. Sedangkan berdasarkan waktu tinggal, ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara waktu tinggal 6 jam dengan 12 jam (p > 0,05). Gangguan yang dirasakan oleh masyarakat berupa bau (100%), sedangkan keluhan dua minggu terakhir berupa gatalgatal (44,1%) serta kombinasi sakit perut, sakit kepala dan gatal-gatal (32,4%). Keluhan di alas kemungkinan berkaitan dengan adanya kontak melalui udara rnaupun air yang tercemar, karena 100% sumber air bersih masyarakat berasal dari air tanah.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa unit pengolah limbah cair tapioka ini terbukti dapat menurunkan konsentrasi parameter limbah cair tapioka dengan efisiensi antara 70% - 86% pada waktu tinggal 6 jam. Dengan waktu tinggal yang relatif pendek, maka lahan yang dibutuhkan relatif lebih sedikit. Demikian juga dengan turunnya parameter NH3, H2S dan Sianida, maka dampak kesehatan yang mungkin terjadi dapat dikurangi.
Disarankan agar dilakukan proses pengendapan awal atau pre-tretment sebelum penggunaan unit pengolah ini, sehingga efisiensi pengolahan dapat lebih baik, serta perlu diteliti lebih lanjut pengaruh jumlah kolom dan lamanya alat beroperasi untuk mengetahur titik jenuh.
Daftar Bacaan : 31 (1971 - 2000)

The Tapioca's Wastewater Treatment by Upstream Anaerob-Aerob Bioftlterittg Combination System And The Public Health Aspects (The study at Tapioca's Industry PT.LPF di Tanjung Bintang South Lampung)
Tapioca's wastewater treatment by Upstream Anaerob Aerob Biofilter-in Combination System is the biological treatment that is the attached growth pr-rccess, where is the one of the alternative technology in wastewater treatment,
Objectives of the study is to understand that the parameters of tapioca's wastewater will be decreased and to understand the difference of parameters decreased So the public health impact will be prevented: the high cost of establish wastewater treatment will be anticipated and the closed of the tapioca's industries will be avoided.
The research is the experimental study with pr-elesr pasllesl control group design, where the subject is divided into two group intervention. The first group based on six hours in total retention time and the second group based on twelve hours in total retention time,
The result of the study shown that in short retention time (six hours), the treatment unit could decreased of the concentration of parameters tapioca's wastewater involve pH: BOD5: COD_ TSS; NH:; H2S and Cyanide with range of efficiency about 70% - 86%. The statistical t-test known that is different in every treatment step for each parameter's (p < 0,05) at level 95%. For the variation of parameters concentration based on retention times have not different significantly (p > 0,05), exception for the TSS parameter have different at each point significantly (p < 0,05). By the parameters concentration especially to NTT?. H 2S and Cyanides have decreasing, so the public health impact may occur will be reduced.
The conclusion of the study shown that the wastewater treatment unit could be decreased tapiocas 1.yastewater parameters concentration with efficiency range about 7t)°o - S6'?0 at SIX hours in total retention time. So wIdes of the land that needed small relati ely. The other hand, by the decreasing of NH;, I-1-:S and Cyanides. so the public health impact will prevented.
The study have recommended to applicated this treatment unit for the industries that have low investation land and needed to follow up the study about the correlation of the reactor numbers.
Bibliography : 31 (1971 _. 2000)"
2001
T8216
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ketut Sujati
"Tujuan kesehatan reproduksi adalah meningkatkan kesadaran akan harga diri dan kemandirian perempuan dalam mengontrol diri, kehidupan seksual dan jalan hidupnya. Perkembangan konsep pelayanan kesehatan reproduksi meliputi perubahan sikap dalam kehidupan berkeluarga, KIA dan KB. Salah satu tahapan perkembangan reproduksi adalah kehamilan. Pada kehamilan dibutuhkan peran keluarga, dalam hal ini suami, lebih banyak memperhatikan kebutuhan dasar istri sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan sejahtera.
Komplikasi kehamilan diperkirakan terjadi pada 15-20 % kehamilan. Jenis komplikasi yang berisiko menyebabkan kematian adalah pendarahan, preeklampsi, dan infeksi (Depkes. R.I. 1999).
Satu dari tiga ibu hamil diduga mengalami kekerasan dan suaminya (kekerasan domestik), bahkan jenis kekerasan fisik saat hamil dialami oleh 4 - 9 % ibu hamil (Ballard et.aL 1998).
Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang relatif mudah diidentifikasi, dan biasanya telah didahului oleh kekerasan yang lain, minimal kekerasan psikologis. Bagian tubuh yang menjadi sasaran muka perut, genetalia, bagian belakang kepala, yang berisiko menimbulkan trauma yang berdampak kepada janin dalam kandungan.
Penelitian tentang kekerasan domestik pads kehamilan dan dampaknya pada kehamilan belum banyak diteliti di Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kekerasan domestik dengan komplikasi kehamilan di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Desain penelitian ini cross-sectional, dengan sampel 266 orang ibu hamil yang umur kehamilannya empat bulan keatas, diperoleh dengan cars multistages random sampling, di sepuluh wilayah puskesmas di Kabupaten Ulu.
Pengukuran variabel memakai angket tertutup dan pedoman observasi, yang melibatkan Bidan di desa dalam memeriksa kehamilan pada pelaksanaan Posyandu. Selain itu dilakukan pula wawancara mendalam dengan informan yang mengalami komplikasi kehamilan.
Penelitian ini menemukan 22 (8,3 %) ibu hamil dengan komplikasi, 78,6 % mengalami kekerasan fisik, 99,2 % mengalami kekerasan psikologis, dan 87,6 % mengalami kekerasan seksual. Pola kekerasan yang teridentifikasi tidak berwajah tunggal, dengan variasi 69,5 % mengalami kekerasan fisik dan seksual, 74,4 % mengalami kekerasan seksual dan psikologis, dan 77,8 % mengalami kekerasan fisik dan psikologis. Siklus kekerasan yang diimbangi periode romantis tampak nyata tergambar menandakan siklus kekerasan domestik, dengan distribusi yang merata bila responden mengalami kekerasan dalam intensitas sedang, maka mereka juga mengalami periode romantis dalam intensitas sedang.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara kekerasan domestik dengan komplikasi kehamilan. Karakteristik Ibu hamil yang diduga menjadi variabel kontrol, ternyata tidak menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik.
Disarankan kepada petugas kesehatan khususnya Bidan di desa yang terlibat langsung dalam asuhan kebidanan agar meningkatkan identifikasi dart upaya intervensi pada korban kekerasan domestik Sosialisasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan perlu lebih gencar dilakukan baik oleh BKKBN, LSM, Da'i, pemuka agama, dengan menggalang kerjasama lintas sektoral. Penelitian tentang dinamika kekerasan pada ibu hamil, terutama tentang periode kekerasan, bagian tubuh yang menjadi sasaran kekerasan, dan dampaknya terhadap kehamilan, baik secara kohort, survey, maupun kualitatif perlu dilakukan.
Daftar bacaan, 68 (1989 - 2002)

Domestic Violence, Pregnancy Complication, and Pregnant Mother's Characterictistics of Pregnant Mothers in Organ Komering Ulu District, South Sumatera ProvinceThe goal of reproductive health is to increase the awareness of self pride and women's independency regarding self control, sexual life, and her way of life, Development in concept of reproductive health care covers changes in attitude toward family, maternal and child health, and family planning. One stage in reproductive development is pregnancy. Pregnancy necessitates family role, in this case husband, as to pay more attention on basic needs of wife in order to make pregnancy safer.
Pregnancy complication is estimated to be occurred in 15-20% of all pregnancies. Type of complication that could cause death including bleeding, pre-eclampsia, and infection (MOH-RI, 1999).
One third of pregnant women was suspected to experience domestic violence conducted by husband, and physical violence was experienced by 4-9% of pregnant women (Ballard et al., 1998). Physical violence is relatively easy to be identified, and usually preceded by other type of violence, at least psychological violence. Part of body targeted to physical violence including face, stomach, genital, and back of head which can cause traumatic impact to the foetus.
Research on domestic violence during pregnancy and its impact on pregnancy outcome is still scarce in Indonesia. This study aimed to know the relationship between domestic violence and pregnancy complication in Ogan Komering Ulu (OKU) District.
Design of the study is cross sectional, with 266 pregnant women (with gestational age four months or more) as sample, obtained through multistages random sampling in 10 puskesmas area in OKU District. Varaibeles were collected by closed questionnaire and observation guidelines involving village midwives during pregnancy check in Posyandu. Besides, in depth interview was also performed with informant who experienced pregnancy complication.
The study found 22 (8.3%) pregnant women with complication, 78.6% experienced physical violence, 99.2% experienced psychological violence, and 87.6% experienced sexual violence. The pattern of violence was not single faced, 69.5% experienced both physical and sexual violences, 74.4% experienced both sexual and psychological violences, and 77.8% experienced both physical and psychological violences. Violence cycle balanced by romantic period was obvious in this study reflecting the typical cycle of domestic violence. Those who experienced medium intensity violence was experiencing romantic period in medium intensity as well.
Statistical test results show that there was no relationship between domestic violence and pregnancy complication. Characteristics of pregnant women, which was suspected as control variable, did not show statistical significance either.
It is recommended that health personnel and village midwives in particular, to improve the identification and intervention targeted to pregnant women who become victim of domestic violence. There is a need to strengthen the socialization of effort to stop female violence organized by BKKBN, NGO, religious leaders, in an intcrsectoral mariner. There is also a need to conduct more research on the dynamics of violence among pregnant women, especially on violence period, body part targeted to violation, and its impact to pregnancy either in cohort, survey, or qualitative design.
References : 68(1989-2002)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 8262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>