Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3703 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F. Suhadi
"Tujuan penelitian ini ialah :
(1) Mempelajari aspek C. botulinum pada pengawetan ikan dengan proses radurisasi, khususnya terhadap bahaya keracunan toksin botulinum;
(2) Pengembangan metode penentuan toksin secara in vitro, berdasarkan sifat hambatan aktivitas enzim asetilkolinesterase oleh pengaruh toksin botulinum;
(3) Sebagai latar belakang dipelajari pula sebaran tipe-tipe C. botulinum di wilayah perairan Indonesia bagian barat.
C. botulinum yang terdapat dalam sampel lumpur dan organisme laut yang berasal dari wilayah perairan Indonesia bagian barat terutama bukan tipe E dan bersifat proteolitik.
Pembentukan toksin pada ikan segar yang disimpan pada suhu 10,5 dan 7,400 terjadi sebelum atau setelah ikan menjadi busuk, bergantung pada perlakuan jenis ikan, dosis iradiasi, strain, dan tingkat inokulasi spora. Sedangkan bila penyimpanan dilakukan pada suhu 5,60C pembentukan toksin terjadi setelah ikan menjadi busuk, tanpa mempertimbangkan perlakuan yang digunakan dalam percobaan. Peranan dosis radurisasi berpengaruh hanya terhadap peningkatan daya simpan ikan; sedang perlakuan suhu rendah, selain.meningkatkan daya simpan, juga menghambat proses pembentukan toksin.
Pembentukan toksin botulinum tipe B proteolitik pada ikan pindang yang mengandung garam kurang dari 1,0 persen terjadi sebelum atau setelah ikan menjadi busuk, bergantung pada tingkat inokulasi spora. Sedangkan pada sampel yang mengandung garam antara 4-6 persen, pembentukan toksin terjadi setelah ikan menjadi busuk, tanpa mempertimbangkan strain dan tingkat inokulasi spora. Proses radurisasi dan penggaraman bersifat sinergis, baik terhadap peningkatan daya simpan ikan pindang, maupun terhadap penundaan pembentukan toksin.
Isolasi dan pemurnian toksin C. botulinum tipe B menghasilkan sekitar 20 ml filtrat, dengan aktivitas spesifik sekitar 1,2x107 MLD per ml (1,0x107 MLD per mg protein). Kromatografi toksin hasil isolasi melalui kolom Sephadex G-200 menunjukkan pola protein berpuncak tunggal, dan mendekati bentuk simetris. Uji electroforesis disk gel poliakrilamid dan uji imunodifusi gel agar, berturut-turut menghasilkan pita protein dan garis presipitasi tunggal.
Toksin botulinum bersifat menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Pengaruh toksin tipe E (3,0xlO- 3,OxlO-3 mg) dan tipe B (3,0x10-4 - 3,0x10-3mg) terhadap aktivitas enzim 0,175 unit, berturut-turut mengakibatkan hambatan berkisar antara 10-16 dan 17-20 persen. Metode hambatan aktivitas enzim asetilkolinesterase dapat digunakan untuk penentuan kuantitatif toksin dalam ekstrak biakan C. botulinum, tetapi tidak dalam ekstrak ikan yang bersifat toksik.

The Aspect of Clostridium Botulinum in Fish Preservation by Irradiation and the development of in Vitro Toxin Assay The objectives of this investigation were:
(1) To study the aspect of C. botulinum in fish preservation by radurization process especially on botulism hazard;
(2) The development of in vitro toxin assay, based on the activity inhibition of acetylcholenesterase, caused by botulinum toxin; (3) distribution of C. botulinum types in western part of Indonesian waters, as the background of the investigation.
The presence of C. botulinum in samples of sediment and marine organisms, collected from fishing areas of the western part of Indonesian waters was especially proteolitic non type E.
Toxin formation by non-proteolitic strain of
C. botulinum type B in fish under storage at 10,5 and 7,4°C was detected before or after the samples were spoiled, depending on fish species, irradiation dose, bacterial strain, and spores inoculum?s level. When the samples were stored at 5,60C, the toxin was detected after the samples was spoiled, regardless the treatments conducted in this experiment. Radurization dose 'caused the extension of storage life, while the effect of storage at low temperatures caused both the extension of storage life and the delayed toxin formation.
The toxin formation by proteolytic strain C. botulinum type B in radurized Pindang fish (the salt content less than 1%) was detected before or after the samples were spoiled, depending on the level of spore?s inoculum. Samples with salt content around 4-5%, the toxin were detected after the samples was spoiled, regardless the bacterial strain and spores inoculum level. Radurization process and salt making synergistically extended the storage life and delayed the toxin formation.
The isolation and purification of type B toxin resulted in filtrate with spesific activity of 1,2x107 MLD per ml (1,0x107 MLD per mg protein). Chromatography of the filtrate through Sephadex G-200 column showed a single peak pattern. Agar gel immunodiffusion test with filtrate G-200 showed a single precipitation line.
Botulinum toxin inhibited the activity of acetylcholenesterase. The effect of type E toxin E (3,0xlO- 3,OxlO-3 mg) and type B toxin B (3,0x10-4 - 3,0x10-3mg) on 0,175-unit enzyme produced the inhibition around 10-16 and 17-20 percent.
The acetyicholenesterase activity inhibition method could be applied for quantitative analysis of botulinum toxin in extract culture, but not for fish extract."
1990
D335
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Wijaya
"This randomized double-blind placebo-controlled trial aimed to compare the efficacy of daily iron supplementation and multi-micronutrient supplementation both daily and weekly basis on increasing iron status among 284 apparently healthy Indonesian infants aged 6-12 mo. Infants were randomly assigned to receive either daily 1 RDA multi micronutrient supplement (n = 72), weekly 2 RDA multi micronutrient supplement (n = 70), daily ferrous sulphate 10 mg (n = 72), or placebo (n = 70) for wk. Blood hemoglobin, plasma ferritin, plasma zinc, and plasma C-reactive protein concentrations were measured prior to intervention and after 23 wk of supplementation. At baseline, 58.1% of subjects were anemic, 28.2% were iron deficient, and 11.2% were zinc deficient. After 23 wk of supplementation, both daily 1 RDA multi micronutrient and iron supplemented groups had significantly increased blood hemoglobin and plasma ferritin concentration, furthermore reducing the percentage of anemia and iron deficiency.
However, the changes of hemoglobin were not significantly different among the treatment groups. Changes of hemoglobin were significantly higher in daily 1 RDA multi micronutrient group than in placebo group when initial blood hemoglobin was low. The change of plasma ferritin concentration in both daily 1 RDA multi micronutrient and iron groups was significantly higher than in other groups. Hemoglobin and ferritin concentrations of weekly 2 RDA multi micronutrient group were not significantly increase, but there were significantly increased in the subjects with low concentration of blood hemoglobin or plasma ferritin. Proportion of infants with zinc deficiency was increased significantly in iron group Daily I RDA multi micronutrient and daily iron supplementation are efficacious in improving the concentration of blood hemoglobin and plasma ferritin and reducing the percentage of infants with anemia and iron deficiency of Indonesian infants aged 6-12 months in a rural community.
However, there was an increasing proportion of infants with zinc deficiency in daily iron supplementation. The efficacy of daily 1 RDA multi micronutrient supplementation was higher among the children with blood hemoglobin < 110 g/L Efficacy of weekly 2 RDA multi micronutrient supplementation on the concentration of blood hemoglobin and plasma ferritin of all subjects was not found, but it affected in children with low concentration of blood hemoglobin or plasma ferritin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T10075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhi Setianto Purwowiyoto
"Tujuan. Memperjelas gelombang P untuk mempertajam diagnosis aritmia, menggunakan semprit-larutan garam (SLG) sebagai konektor/konduktor elektrode eksplorasi guna merekam elektrogram venasentral (EGV), pada pasien pascabedah jantung terbuka.
Tempat. Unit perawatan intensif bedah pada Pusat Kesehatan Jantung Nasional. Subyek. Pasien pascabedah jantung terbuka yang telah dipasangi elektrode epikardial-atrium-kanan dan kateter venasentral.
Metode. Kateter venasentral setiap pasien dihubungkan dengan semprit kacalogam 20 ml hydrosalphyngograph-Riester yang berisi larutan NaCl 3% (sempritlarutan garam). Elektrogram atrial (EGA), EGV (SLG) dan elektrokardiogram (EKG) konvensional sandapan dada, direkam secara simultan menggunakan alat elektrokardiograf 3-saluran (V1-2-3). Dua dokter terpisah mengukur tingginya gelombang atrial/P dan 2 kardiolog terpisah membuat diagnosis aritmia. Jika terjadi perbedaan diagnosis aritmia, seorang kardiolog lain bertindak sebagai validator. Dengan titik potong tinggi gelombang (peak to peak) 0,5 mm, EGV (SLG) dan EKG dibandingkan dengan EGA sebagai baku emas.
Hasil. Studi populasi yang terdiri dari 192 pasien berturutan pascabedah jantung terbuka dari Juli 1995 sampai Maret 1997 (n = 1997 pasien). Dalam mendeteksi adanya gelombang P berdasarkan EGA sebagai baku emas, EGV (p = 0,5) lebih sensitif (sensitivitas = 98,9%) dibandingkan dengan EKG konvensional (p = 0,001; sensitivitas = 84,2%), terjadi peningkatan sensitivitas sebesar 14,7% (98,9% - 84,2%). Pada diagnosis aritmia, EGV (SLG) lebih sensitif dari EKG (0,995; 98,7% dibandingkan 0,001; 78,5%), terjadi peningkatan sensitivitas sebesar 20,2% (98,7% - 78,5%).
Kesimpulan. EGV (SLG) memperjelas gelombang P dan meningkatkan sensitivitas deteksi aritmia pascabedah jantung terbuka.

Objectives. To enhance P waves in order to improve the diagnosis of arrhythmia, central venous electrogram (CVEG) using salt-solution syringe procedure, as a potential (connector/conductor) exploring lead, was performed in patients who underwent open heart surgery.
Setting. Surgical Intensive Care Unit of the National Cardiac Center
Subjects. After open heart surgery patients in whom the epicardial-right-atrial wire electrode and central venous catheter were installed.
Methods. The central venous catheter from each patient was connected with a 20-ml hydrosaiphyngograph-Riester glass-metal syringe containing 3% NaCl solution (salt-solution syringe ). Atrial electrogram (AEG), CVEG using salt-solution syringe procedure, and conventional chest lead ECG were recorded simultaneously using 3-channel (V1-2-3) electrocardiograph machine. Two doctors who were blinded in manner analyzed the recorded atrial (P) waves and 2 cardiologist confirmed the diagnosis of arrhythmia from all patients. If a different diagnosis occurred, the other cardiologist would act as validator. With the cut-off point of 0.5 mm, identification of peak to peak P waves in CEVG using salt-solution syringe and ECG were compared with AEG as a gold standard.
Results. The study population consisted of 192 cosecutive patients after open heart surgery from July 1995 to March 1997 (n = 1997 patients). In detecting the presence of P wave, comparing to-the AEG as a gold standard, CVEG using salt-solution syringe procedure (p = 0.5) is more sensitive (sensitivity = 98.9%) than conventional ECG (p = 0.001; sensitivity = 84.2%), increases the sensitivity by 14.7% (98.9% - 84.2%). In the diagnosis of arrhythmia, CVEG using salt solution syringe procedure is more sensitive than ECG (0.995; 98.7% vs 0.001; 78.5%), increases the sensitivity by 20,2% (98.7% - 78.5%).
Conclusions. CVEG using salt-solution syringe procedure significantly amplifies P waves and improves the sensitivity in detecting arrhythmia after open heart surgery.;Objectives. To enhance P waves in order to improve the diagnosis of arrhythmia, central venous electrogram (CVEG) using salt-solution syringe procedure, as a potential (connector/conductor) exploring lead, was performed in patients who underwent open heart surgery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
D270
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Kusmana
"Objektif : Penyakit Kardiovaskular berawal dari fungsi endotel pembuluh darah yang terganggu, berlanjut menjadi proses aterosklerosis. Mencegah proses aterosklerosis dengan membiasakan tidak merokok/stop merokok disertai olahraga teratur dan/atau pengaruh kerja fisik (trias SOK) adalah upaya preventif pada tingkat endotel. Untuk mengetahui pengaruh trias SOK terhadap daya survival,dilakukan penelitian kohort.
Metode: Pada tanggal I Juli 200 dilakukan penelitian kohort historis terhadap sampel MONICA 1988 di tiga kecamatan Jakarta Selatan, serta diikuti sampai 31 Agustus 2001. Sampel dibagi menjadi kelompok trias SOK dan tanpa trias SOK. Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, gula darah dan kolesterol total serta perekaman EKG pada sampel yang hidup, otopsi verbal pada yang menyaksikan untuk mencari sebab kematian. Aktivitas fisik (kerja fisik dan olahraga perminggu) dikelompokan pada: tidak ada, ringan hampir setiap hari, sedang dan berat minimal 20 menit dua kali atau lebih. Merokok bila tetap merokok, mantan perokok bila telah berhenti 2 tahun atau lebih, tidak merokok bila tetap tidak merokok atau telah berhenti 10 tahun atau lebih. Kriteria hipertensi (JNC-VI), diabetes (gula darah puasa 140 mg/di atau sewaktu 200 mg/di), obesitas (IMT z 29,99 kglm2), EKG memakai kode Minnesota. Analisis statistik memakai suain (adjusted) regesi Cox, 95% interval kepercayaan, Kaplan Meier (daya survival), Log rank (rasio hazard/HR), uji kappa (degree of aggreement), Batas kemaknaan p
Hasil: Terdapat 479 (23,4%) sampel dari 2073 orang, umur 25-64 tahun (1988), terdiri dari 209 (43,6%) lelaki, 270 (56.4%) perempuan. Insiden kardiovaskular 1,2% pertahun, dengan proporsi kematian tertinggi penyakit jantung 42,9%. Sampel yang mengikuti this SOK mempunyai daya survival lebih baik (95,7%) dibanding tanpa trias SOK (81,1%), dan rasio kematian seperlima kali [rasio hazard (HR.) suaian = 0,20, 95% interval kepercayaan (III) = 0,08-0,57, p=0,002]. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan rasio kematian tinggi adalah: merokok (HR=4,99, IK 2,56-9,73, p=0,000) dibanding tidak merokok; hipertensi tingkat-3 (HR 5,96, 1K 2,69-13,21, p=0,000) dibanding tensi normal; diabetes (HR 2,74, 1K 1,37-5,47, p=0,004) dibanding normal. Sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi: umur 60 tahun (HR 10,13, 1K 4,79-21,43, p=0,000) dibanding umur 25-49 tahun. Sedangkan aktivitas fisik mingguan mempunyai rasio kematian rendah/ringan HR=0,45, (1K 0,27-0,76, p=0,003), sedang HR--0,32, (1K 0,15-0,70, p=0,004) dan berat nol dibanding yang tidak ada aktivitas. Dihasilkan Skor Kardiovaskular Jakarta, Skor -7 sampai 1 risiko rendah (<10%), skor 2 sampai 4 sedang (10-20%), skor z 5 risiko tinggi (>20%), sensitivitas 77,9%, spesifitas 90,0%, kappa 0,652, DOA 82,67%, p=0,000.
Kesimpulan: Salah satu upaya pencegahan penyakit kardiovaskular melalui upaya tidak/stop merokok, dikombinasikan dengan olahraga teratur dan/atau kerja fisik merupakan cara tepat untuk meningkatkan daya survival. Dihasilkan Skor Kardiovaskular Jakarta untuk memperkirakan kematian kardiovaskular di masyarakat.
The Influence of Stop/Quit Smoking, Combine with Sport and or Physical Activity on Survival of the Population at Jakarta: a Cohort Study in 13 YearsObjective: Endothelial dysfunction as the beginning of atherosclerotic process in arterial vessel due to various risk factors. Prevention of atherosclerotic process in the endothelial level through quit or stop smoking, combine with regular physical activity and or sport (Trias SOK-Stop/no Smoking, Olahraga teratur/sport or Kerja fisik/physical activity) as a simple method in the community. To know the influence of trias SOK on survival of the population, a community survey was done in three districts of Jakarta.
Methods: A historical cohort study was done on the subpopulation of MONICA Jakarta 1988 using population survey since July 1, 2000 in three districts of South Jakarta until 31 of August 2001. Multistage stratified cluster sampling was done on 523.000 people, and 2073 total samples were included in 1988 study and 479 samples perform second survey. Sample was divided into exposed group (without trims SOK) and non-exposed (trios SOK). A complete history on daily habit, cardiovascular risk factors, laboratory examination and 12 leads ECG was carried. Physical activity as well as sport in one week also divided into: no physical activity, light physical activity almost every day, moderate physical activity and heavy physical activity at least 20 minutes or more. ECG criteria using Minnesota code, hypertension (INC-VI), diabetic (fasting blood sugar 140 mg/di or occasional > 200 mg/dl), obesity (BMI > 29,99 kglm2). Verbal autopsy was carried out to diagnose the cause of mortality. Statistical analysis using SPSS for Window 10 and Stata 6. Kaplan Meier to compare survival rate between trias SOK and non-trios SOK, log rank to measure hazard ratio, kappa test for degree of agreement and p<0,05 as statistical significance.
Results: They were 479 (23.4%) samples out of 2073, 209 (43.6%) males and 270 (56.4%) females, aged 25-64 years in 1988 and 37-77 years in 2000. Cardiovascular incidence 1.2% per year, and case fatality rate of 42.9% due to heart disease. Trios SOK survival rate was higher (95.7%) compared with non-trias SOK (81.1%), and hazard ratio 1/5 [HR= 0.20, 95% CI 0.008-0.57, p-0.002]. Multivariate analysis using Cox regression revealed the significant modifiable risk factors were: smoking HR 4.99 (CI 2.56-9.73, p=0,000) compare with non-smoking, grade 3 hypertension HR 5,96 (CI 2.69-13.21, p=0,000) compare with normal blood pressure, diabetic HR 2.74 (CI 1.37-5.47, p=0.004) compare with non-diabetic, obesity BMI 30 kg/m2 HR 2.18 (CI 0.94-5.10, p=0.071) compare with normal weight. Unmodifiable risk factor were: age ? 60 years HR 10.13 (CI 4.79-21.43) compare with 25-49 years. Physical activity as well as sport in one week has low risk for cardiovascular death, either: light physical activity HR 0.4 (CI 027-0.76, p=0.003), moderate HR 0.32 (CI 0.15-0.70, p-'0.004) or heavy almost zero compare with no physical activity. Jakarta Cardiovascular Score was found. Low risk (score -7 to 1) <10%, average (score 2 to 4) 10 to 20%, high (score ? 5) >20% for cardiovascular event in 10 years (sensitivity 77.9%, specificity 90.0%, kappa 0,652, degree of agreement 82.67% and p=0,000).
Conclusions: Cardiovascular prevention through quit or stops smoking combine with regular sports and or physical activities enhances a better survival. Jakarta Cardiovascular Score was found as a simple method to estimate the cardiovascular event in the community.
"
2002
D183
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Retno Prijanti
"Homosistein adalah suatu senyawa antara yang mengandung sulfur pada proses sintesis asam amino sistein dari metionin. Radar normal dalam darah kurang lebih 10 µ mol/L. Peningkatan kadarnya dihubungkan dengan "premature vascular diseases" dan merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar lebih dari 100 µ mol/L menyebabkan homosisteinuria. Bila tidak diterapi maka 50°/o penderita akan mengalami tromboemboli dan mortalitasnya 20% pada penderita usia 30 tahun. Faktor resiko ?'kadar homosistein tinggi" ini apabila dapat diketahui maka dapat diupayakan pencegahannya atau paling tidak dapat memperlambat terjadinya kerusakan vaskuler pada seseorang.
Saat ini pengukuran kadar homosistein plasma ditetapkan dengan metoda HPLC yang canggih dan kepekaannya tinggi, namun sangat mahal biaya operasinya Karena itu dirasa perlu dikembangkan cara penetapan lain yang lebih murah dan cukup peka, seperti ELISA. Sebagai langkah awal dilakukan upaya isolasi antibodi kelinci anti hoinosistein.
Kelinci diinduksi dengan homosistein yang diikatkan pada permukaan membran eritrosit memakai glutaraldehid 2,5%. Induksi imunisasi dengan dosis total perkali 1 mL yang disuntikkan dengan cara subkutan di 5 lokasi berbeda pada kulit punggung kelinci. imunisasi dilakukan dengan selang waktu 1 minggu. Serum kelinci diambil pra dan pasca imunisasi ke 3. Titer antibodi kelinci anti hoinosistein diukur dengan metoda hemaglutinasi pasil. Hasil yang didapat, titer antibodi kelinci anti homosistein praimunisasi 0 (nol) dan pasca imunisasi ke 3 adalah 32."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Arsianti
"Antioksidan diperlukan untuk melindungi lemak dan minyak dari kerusakan akibat proses oksidasi. Penelitian dan pengembangan antioksidan yang berasal dari alam kini sedang giat-giatnya digalakkan, dikarenakan penggunaan antioksidan sintetik saat ini perlu ditinjau kembali sebab ada yang bersifat merugikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan senyawa yang terdapat dalam kulit buah kandis (Garcinia parvifolia). Fraksi etil asetat G. parvifolia yang diperoleh dari proses maserasi dan fraksionasi dengan celite, dipekatkan, ekstrak hasil pemekatan diuji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan metode penimbangan dan metode Lea. Aktivitas antioksidan ekstrak fraksi etil asetat ini dibandingkan dengan hasil uji aktivitas antioksidan sintetik BHA dan BHT.
Hasil uji aktivitas antioksidan baik dengan metode penimbangan maupun dengan metode Lea menunjukkan bahwa fraksi etil asetat G. parvifolia memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar daripada BHA dan BHT, dengan urutan aktivitas antioksidan : ekstrak fraksi etil asetat G. parvifolia > BHA > BHT. Sedangkan hasil analisis kualitatif ekstrak kasar etil asetat G. parvifolia dengan Kromatografi Lapis Tipis, menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat terdiri dari tiga komponen senyawa kimia dengan Rr masing-masing adalah 0,556, 0,288 dan 0,067."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Pakasi, Trevino Aristarkus
"Kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah kurang pangan adalah kelompok balita karena mereka sangat memhutuhkan energi dan nutrisi untuk tumbuh kembangnya. Dan dalam kondisi krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia anak-anak merupakan kelompok yang paling terkena dampaknya. Krisis ini berdampak luas pada setiap segi kehidupan masyarakat. Berkurangnya pendapatan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Berkurangnya daya beli menyebabkan masyarakat tidak mampu menyediakan kebutuhan pangannya sehari-hari, sehingga nutrisi yang dikonsumsi tidak dapat mernenuhi kebutuhan fisiologis tubuh secara optimal. Tingginya harga bahan pangan dan rendahnya daya beli masyarakat mengakibatkan kebutuhan pangan individu, terutama anak, atau keluarga tidak dapat dipenuhi dengan baik.
Akibat lain pada masa krisis moneter ini adalah meningkatnya angka kesakitan akibat kurang gizi dan meningkatnya penyakit-penyakit menular. Banyak orang saat ini tidak bisa berobat ke dokter bila sakit sehingga banyak penyakit kronik tidak terobati. Anakanak biasanya akan mendapat pengaruh yang paling besar. Dalam "Status Anak-Anak Dunia 1998" (UNICEF, 1998), istilah malnutrisi dipakai untuk menunjukkan konsekuensi kombinasi masukan energi protein dan mikronutrien yang tidak adekuat serta seringnya infeksi.
Sebagaimana dibahas dalam World Development Report 1993 dan pada konferensi "Overcoming Global Hunger", paling sedikit ada tiga langkah yang dapat mengurangi malnutrisi dengan cepat dan murah:
· Mengatasi defisiensi mikronutrien;
· Memperluas jangkauan imunisasi;
· Mengatasi infeksi parasit yang menyebabkan anemia dan malnutrisi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nukman Helwi Moeloek
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yurnadi
"Telah dilakukan suatu penelitian mengenai pengaruh pemajanan medan elektrostatik terhadap mencit albino (Mus musculus L.) strain BPMSOH dan keturunannya. Pemberian pemajanan dilakukan pada dosis 6 kV dan 7 kV selama 4 jam per hari dengan lama pemajanan 81 hari dan 102 hari (F1 dan F2). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola Faktorial dengan variasi dosis perlakuan sebanyak 3 yaitu dosis 6 kV , dosis 7 kV, dan kontrol; dan lamanya pemajanan yaitu 81 hari (F1) dan 102 hari (F2). Pemajanan diberikan selama 4 jam perhari dengan jarak + 10 cm dari elektroda positif terhadap mencit.
Mencit untuk perlakuan dan kontrol berasal dari mencit induk (P0) yang telah dikawinkan dengan jantan normal yang sudah diperkirakan bunting, dipajan dengan perlakuan 6 kV dan 7 kV 4 jam/hari hingga melahirkan keturunan pertama (Fl), setelah dewasa dikawinkan dengan sesamanya dan dilanjutkan pemajanannya sampai melahirkan keturunan kedua (F2). Sedangkan mencit kelompok kontrol hanya dikandangkan saja, dikawinkan sampai melahirkan keturunan pertama (Fl) dan kedua (F2). Setelah mencit dewasa, dilakukan pengamatan terhadap mencit F1 dan F2 dengan parameter sebagai berikut :
1. Jumlah anak mencit keturunan pertama (Fl) dan keturunan kedua (F2).
2. Rasio seks
3. Berat badan anak mencit
4. Perkembangan normal anak mencit/kelainan yang didapatkan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemajanan medan elektrostatik pada 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi jumlah anak yang dihasilkan.
2. Pemajanan medan elektrostatik pada 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi rasio seks untuk mencit generasi pertama, tetapi mempengaruhi rasio seks mencit generasi kedua untuk perlakuan 7 kV.
3. Pemajanan medan elektrostatik pada 6 kV dan 7 kV dapat menurunkan berat badan mencit antar generasi (F1 dan F2).
4. Pemajanan medan elektrostatik pada 6kV dan 7 kV belum dapat mengganggu perkembangan normal mencit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Eka Wuyung
"Dari studi Epidemiologi diketahui bahwa karotenoid cenderung mengurai risiko timbulnya kanker. Karena pengobatan kanker cukup mahal sehingga tidak terjangkau sebagian masyarakat, maka perlu dicari cara lain, di antaranya memanfaatkan β -karoten dalam EMKS, namun perlu dicari dosis yang tepat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian EMKS dapat menghambat laju pertumbuhan sel tumor.
Penelitian ini menggunakan 24 ekor mencit yang telah diinokulasi dengan bubur tumor dibagi kedalam 2 kelompok kelola dan 2 kelompok perlakuan yang dicekok EMKS dengan dosis 1000 µg/0,1 ml dan 2000 µg/0,1 m1/hari selama 21 hari. Pengukuran volume tumor dilakukan satu minggu sekali . Setelah 21 hari semua mencit dimatikan, lalu diukur volume akhir tumor, berat tumor dan dibuat sediaan mikroskopik yang diwarnai secara imunoperoksidase dengan anti BUdR, lalu dihitung IL (sel yang berada pada fase S).
Hasil analisis varian tidak ada perbedaan baik pada volume akhir tumor minggu ke dua, ketiga, setelah mencit dimatikan, berat tumor maupun IL BUdR antara kelompok kelola dan perlakuan. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian β-karoten dalam EMKS dosis 1000 µg10,1 ml dan 2000 µg/0,1 m1/hari beium dapat menghambat laju pertumbuhan sel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>