Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1088 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Adriansyah
"Penelitian ini adalah penelitian mengenai pengaruh kebudayaan suku bangsa terhadap hubungan perilaku pemimpin dengan kepuasan kerja bawahan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) membuktikan perilaku pemimpin mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja; (2) membuktikan bahwa kebudayaan suku bangsa dapat mempengaruhi hubungan antara perilaku pemimpin dengan kepuasan kerja bawahan; (3) membuktikan perilaku pemimpin yang diharapkan bawahan juga dipengaruhi oleh kebudayaan suku bangsa.
Penelitian ini dilakukan karena adanya keunikan bangsa Indonesia yang mempunyai 500 suku bangsa yang berbeda-beda satu sama lainnya. Sehingga perilaku pemimpin hares disesuaikan dengan kondisi unik dari masing-masing suku bangsa. Pemimpin diharapkan menampilkan perilaku yang sesuai dengan suku bangsa bawahannya. Perilaku yang sesuai tersebut akan dapat meningkatkan tingkat kepuasan kerja bawahannya.
Perusahaan yang dijadikan sampel penelitian adalah perusahaan yang mempunyai kebijakan terpusat, sehingga faktor-faktor lingkungan yang diakibatkan karena perbedaan kebijakan dapat dikontrol. Perusahaan tersebut juga hams mempunyai cabang di wilayah Yogyakarta dan Bukittinggi sebagai tempat penelitian. Jumlah responden adalah sebanyak 89 responden yang terdiri dari 43 responden kelompok kebudayaan suku Jawa dan 46 responden kelompok kebudayaan suku Minang.
Alat ukur yang digunakan adalah Leadership Behavior Description Questionnaire Stogdill (1963), Job Satisfaction Survey Spector (1997) dan Survey Tata Nilai Hofstede (1994). Analisis dilakukan dengan metode independent samples West dan multiple regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pemimpin mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan kerja. Selanjutnya kebudayaan suku bangsa juga dapat mempengaruhi hubungan antara perilaku pemimpin dengan kepuasan kerja. Kebudayaan suku bangsa juga dapt mempengaruhi perilaku pemimpin yang diharapkan bawahan. Hasil tambahan penelitian ini adalah sistem nilai pekerja pada kelompok kebudayaan suku Jawa dan Minang masih berbeda secara signifikan pada nilai Individualisme dan long term orientation.
Saran utama yang bisa diberikan adalah dalam melihat hubungan antara perilaku pemimpin dengan kepuasan kerja suku bangsa dari para bawahan menjadi mutlak untuk dipertimbangkan. Aplikasinya, pemimpin yang menampilkan perilaku demand reconciliation di kebudayaan suku Jawa akan dapat meningkatkan kepuasan kerja bawahannya. Namun jika pemimpin tersebut dipindahkan ke daerah kebudayaan suku Minang maka pemimpin tersebut harus menampakkan perilaku role assumption serta menghindari perilaku representation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Sigit Santoso
"Fenomena 'penghakiman massal', sebagai tindakan pengeroyokan yang dilakukan sebagian warga masyarakat terhadap penjahat mulai marak sejak awal tahun 1999-an. Fenomena itu dengan sendirinya mengundang banyak perhatian dan memunculkan berbagai opini dari berbagai pihak yang berkepentingan. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T7630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Burhan Wijaya
"Penelitian ini mengungkap bahwa prajurit marinir yang di-BKO-kan (diperbantukan) ke Polri dalam menangani aksi mahasiswa (yang berubah menjadi aksi massa) sebetulnya mendapat tugas baru yang bertentangan dengan tugas pokoknya, sehingga mereka mengalami konflik peran. Deutsch (1973) menyatakan bahwa suatu konflik dapat terjadi kapanpun bila aktivitas yang saling bertentangan terjadi. Prajurit marinir besar kemungkinan pada awalnya merasa stres dengan tugas baru tersebut, seperti yang dikatakan oleh Kahn (1964) bahwa stres kerja dapat disebabkan karena terdapat hambatan dalam menjalankan peran pada pekerjaannya. Agar prajurit marinir tetap dapat melaksanakan tugasnya maka mereka melakukan perilaku coping. Lazarus (1991) mendefinisikan coping yang merupakan upaya kognisi dan perilaku yang khusus mengatur tuntutan-tuntutan internal atau eksternal yang dinilai individu sebagai situasi yang membebani. Kenyataan yang ada menggambarkan bahwa pada saat prajurit marinir menjalankan tugas tersebut mampu melaksanakan dengan baik dan mendapat simpati dari masyarakat.
Peneliti menduga bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan prajurit marinir berhasil menjalankan tugasnya. Diduga terdapat 3 faktor yang berperan dalam keberhasilan tersebut, yaitu faktor identitas kelompok atau semangat korsa atribusi atau cara penanganan dan aktualisasi diri. Pada identitas kelompok, bahwa kelompok merupakan bagian dari individu dan adanya proses psikologis juga akan membentuk perilaku kelompok (Hogg & Abrams, 1990). Untuk atribusi, menurut Jones & Davis (1965) selalu terdapat prekondisi. Ada 2 kondisi yang spesifik, yang pertama aktor (dalam bertindak) harus memiliki pengetahuan perilaku yang diobservasi dan yang kedua memiliki kemampuan untuk menampilkannya. Sedangkan aktualisasi diri menurut Erich Fromm (1993) bahwa orang yang mampu mengaktualiasikan diri dengan baik salah satunya adalah mampu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan mampu bersikap lebih menghargai pada orang lain, bukannya mengambil sikap yang bertentangan.
Pembuatan alat ukur diperoleh dari hasil elisitasi terhadap beberapa anggota marinir yang memenuhi persyaratan. Setelah dilakukan uji coba maka alat ukur yang digunakan adalah dalam bentuk kuesioner yang mengukur faktor identitas kelompok, atribusi dan aktualisasi diri. Sedangkan faktor standar keberhasilan diperoleh dari kuesioner yang dibuat oleh Tracy (1981).
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, subyek adalah Brigade infanteri BS Marinir jakarta dan Brigade infanteri-1 Marinir Surabaya. Pemilihan sampel ini atas dasar asumsi bahwa pasukan infanteri seringkali diperbantukan menangani aksi unjuk rasa dan pasukan tersebut tergolong pasukan yang paling siap untuk diterjunkan di lapangan karena keberadaan mereka di garis paling depan. Jumlah sampel adalah 211 responden. Untuk mendapatkan faktor-faktor berdasarkan dugaan peneliti maka dilakukan analisis faktor. Sedangkan untuk menguji validitas dan reliabilitas item-item dalam kuesioner digunakan perhitungan internal consistency dan tehnik reliabilitas Cranbach Alpha, sedangkan untuk melihat masing-masing sumbangan variabel digunakan analisis regresi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya 4 faktor yang berperan memberikan pengaruh pada standar keberhasilan yaitu: faktor atribusi, identitas kelompok, eksistensi (aktualisasi diri) dan persepsi terhadap tugas. Adapun faktor yang memberikan sumbangan terbesar adalah atribusi dan identitas kelompok. Untuk penelitian berikutnya, disarankan membandingkan dengan aparat lain selain marinir agar dapat ditemukan dan ditegaskan faktor-faktor temuan lain yang lebih berperan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T9719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Widiastuti
"Penelitian ini diadakan atas dasar pemikiran bahwa untuk meningkatkan prestasi belajar seseorang diperlukan banyak faktor yang mendukung, dan salah satu faktor tersebut adalah motivasi seseorang yang mempengaruhi di dalam belajar. Motivasi adalah sebuah proses yang dilakukan, diarahkan pada suatu tujuan atau goal yang akan dicapai. Orientasi goal adalah strategi yang digunakan dalam melakukan aktivitas belajar, misalnya bagaimana cara belajar, suasana seperti apa yang mendukung di dalam belajar. Mahasiswa yang orientasinya ego-involved tentu tidak memerlukan adanya perubahan dari metode belajar yang selama ini digunakan, sebab hal itu tidak penting. Yang terpenting baginya adalah cepat menyelesaikan kuliahnya sehingga ada sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Sedangkan mahasiswa yang orientasinya kepada task involved akan lebih terbuka menerima perubahan dari metode belajar yang selama ini digunakan sepanjang perubahan tersebut demi kepentingan kemajuan belajarnya.
Strategi belajar yang tepat akan mempengaruhi prestasi belajar seseorang, seperti misalnya kebiasaan belajar menggunakan suatu metode yang baik akan meningkatkan prestasi belajar yang baik pula. Namun kebanyakan metode yang ada selama ini adalah metode konvensional yaitu metode belajar dimana seorang guru atau dosen mengajar dengan menggunakan metode ceramah dengan pola komunikasi searah. Untuk membentuk mahasiswa/mahasiswi menjadi individu yang mandiri, memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi tinggi, dan dapat menerapkan ilmunya di dalam kehidupan nyata sulit dicapai. Realitas yang terjadi saat ini kurang kondusif bagi tercapainya efektivitas belajar khususnya dalam hal strategi pencapaian ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh dosen kepada para mahasiswa/mahasiswi.
Saat ini ada suatu metode yang telah dilakukan di Amerika, dan saat ini sudah dikenal di Indonesia dengan diterbitkannya buku Metode Quantum Learning. Metode Quantum Learning adalah suatu metode untuk meningkatkan peran sebagai pelajar yang memikul tanggung jawab pada diri sendiri sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dengan belajax sedapat mungkin dari setiap situasi dan memanfaatkannya untuk diri sendiri dan orang-orang yang didekatnya. Quantum Learning membawa seseorang menjadi pelajar yang selalu menggunakan metode "belajar aktif', artinya seseorang berperan dan tidak membiarkan dirinya mengikuti apa yang ada, terbuka terhadap pengalaman dan pelajaran yang ditawarkan oleh kehidupan, memiliki pikiran yang terbuka dan menyerap serta mengolah pengetahuan yang dimiliki untuk kemudian dengan penuh semangat mencari lebih banyak pengetahuan lagi.
Penelitian dilakukan terhadap populasi mahasiswa Universitas Persada Indonesia "Y.A.I" Fakultas Psikologi. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Kampus Universitas Persada Indonesia "Y.A.I" Fakultas Psikologi Jakarta. Sampel yang digunakan adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Psikologi Kepribadian di semester pendek, dengan jumlah subyek 109 orang.
Melalui kajian teoritis tentang variabel yang diperkirakan mempengaruhi prestasi belajar yaitu orientasi goal dan kebiasaan belajarr, maka diajukan hipotesis penelitian yang diuji kebenarannya pada 109 (seratus sembilan) orang mahasiswa. Dari tiga hipotesis yang diajukan ternyata tidak satupun dinyatakan diterima dan terbukti. Hipotesis yang diajukan adalah:
  1. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara orientasi goal dengan kebiasaan belajar menggunakan Quantum Learning.
  2. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara kebiasaan belajar menggunakan Quantum Learning dengan prestasi belajar.
  3. Ada sumbangan yang signifikan antara orientasi goal dan kebiasaan belajar menggunakan Quantum Learning terhadap prestasi belajar.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka untuk penelitian lebih lanjut penulis menyarankan:
  1. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan design randomize agar penelitian terkontrol dengan baik.
  2. Menentukan jumlah sampel yang lebih besar, tidak hanya dari satu semester pendek saja, melainkan beberapa kelas dan tingkatan.
  3. Perbaikan skala pengukuran.
  4. Mengontrol variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi orientasi goal, kebiasaan belajar maupun prestasi belajar.
Akhirnya penulis menyarankan agar hasil penelitian ini dipergunakan sebagai bahan masukan bagi Universitas Persada Indonesia "Y.A.I', khususnya bagi para mahasiswa tentang metode belajar Quantum Learning yang dapat menjadi alternatif pilihan metode belajar."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T9921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Purwoko Budi Susetyo
"Penelitian ini terutama mempersoalkan tentang relasi antar etnis Cina dan etnis Jawa yang ditandai oleh prasangka, keterbatasan interaksi dan kerusuhan anti Cina Kebanyakan ahli berpendapat, salah satu akar permasalahan utama terletak pada perlakuan diskriminatif dari penguasa terhadap masyarakat etnis Cina Dengan adanya upaya pemerintah di era reformasi untuk menghapus diskriminasi, tentunya akan membawa perubahan bagi relasi yang berlangsung antar kedua etnis tersebut, termasuk di kalangan mahasiswa sebagai generasi muda. Namun perubahan tersebut tengah berlangsung dan belum sepenuhnya dapat dipahami.
Stereotip yang berkembang dalam relasi antaretnis Cina dan Jawa, ditengarai sebagai salah satu landasan penting yang menentukan hubungan antaretnis dan mampu menggambarkan tentang kualitas relasi antaretnis. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengungkapkan pola relasi antar etnis Cina dan etnis Jawa di kalangan mahasiswa berdasarkan bekerjanya stereotip. Teori utama yang digunakan untuk menganalisis adalah teori identitas sosial.
Penelitian ini bersifat eksploratif dan merupakan penelitian awal untuk menegakkan hipotesis bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Secara metodologis menekankan sisi kontekstual dari data yang dikumpulkan.
Subyek penelitian sebanyak 300 mahasiswa yang terdiri dari 226 mahasiswa etnis Jawa dan 74 mahasiswa etnis Cina di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola relasi antar etnis Cina dan etnis Jawa di kalangan mahasiswa dapat terungkap berdasarkan bekerjanya stereotip dengan menggunakan teori identitas sosial sebagai dasar analisis. Hal yang terungkap diantaranya tentang stereotip etnis Cina dan etnis Jawa yang khas, faktor-faktor yang mendasari stereotip dan pola relasi antara kedua etnis yang dipengaruhi oleh kesempatan kontak, persepsi masing-masing etnis terhadap kemampuan etnis lain menjalin relasi sosial yang berkualitas. Penelitian ini juga memberikan gambaran tentang pola relasi antara etnis Cina sebagai minoritas dan etnis Jawa sebagai mayoritas serta bagaimana identitas sosial positif diupayakan oleh masing-masing etnis."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T11486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Dwi Nindyati
"Penelitian ini dilakukan untuk mengatahui apakah sex role identity (SRI) dan self: efficacy berperan sebagai mediator pada korelasi antara tiga kebutuhan menurut McClelland dengan kinerja. Dasar pemikiran untuk menguji apakah variabel tertentu dapat berfungsi sebagai mediator adalah penjelasan dari Baron dan Kenny. Bila ada beberapa IV yang dapat memperlihatkan adanya korelasi dengan DV. Antar IV tersebut terbukti berkorelasi, maka dengan analisis regresi dapat diuji apakah salah satu dan IV tersebut dapat berfungsi sebagai variabel mediator, yaitu variabel yang menjembatani korelasi IV dengan DV.
Sejumlah penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa tiga kebutuhan menurut McCiellaand (n Achievement, n Affiliation dan n Power) dengan kinerja. Demikian juga ada beberapa hasil penelitian yang mendasari dugaan bahwa SRI dan sal-efficacy dengan kinerja juga terjadi korelasi. Selain itu, ada beberapa penelitian yang mendasari dugaan korelasi antara tiga kebutuhan menurut McClellaand dengan SRI dan set-efficacy. berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut peneliti menentukan hipotesis penelitian: SRI dan self efaacy berperan sebagai mediator pada korelasi tiga kebutuhan menurut McClelland dengan kinerja.
Penelitian ini dilakukan di PT.SAI, dengan subjek penelitian beauty advisor, salah satu jabatan yang ada di bagian promosi. Subjek penelitian berjumlah 214, berasal dari cabang Jakarta 1, Jakarta 2 dan Jakarta 3, jenis kelamin perempuan semua. Alasan dipilihnya . beauty advisor sebagai subjek penelitian adalah adanya karakteristik tugas yang cukup otonom, sehingga relatif sesuai dengan konsep yang akan diteliti. Selain itu juga karena adanya alasan yang bersifat teknis yaitu mudahnya akses untuk pengambilan data penelitian. Alat ukur yang digunakan berupa angket untuk tiga kebutuhan McClelland digunakan self-report yang dikembangkan oleh Murray, untuk SRI digunakan PAQ (Personal Attribute Questionnaire) dikembangkan Spence dan Helmrich, sedangkan untuk self-efficacy digunakan angket yang dikembangkan oleh Hay dan Pond. Untuk mengukur kinerja digunakan BARS yang disusun berdasarkan perilaku yang menunjang tercapainya kinerja yang bagus dan diperlihatkan oleh beauty advisor. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi baik regresi sederhana maupun mutiple regresi, dengan mengikuti alur pengujian mediator yang diberikan oleh Baron dan Kenny.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan SR: tidak terbukti berperan sebagai mediator pada korelasi antara tiga kebutuhan menurut McClelland dengan kinerja. Hal ini berarti kinerja yang diperlihatkan oleh para beauty advisor lebih disebabkan adanya tiga kebutuhan menurut McClelland, dan SRI (femininitas dan maskulinitas) kurang dapat berperan pada terciptanya kinerja beauty advisor. Self-efficacy terbukti berperan sebagai mediator pada korelasi antara tiga kebutuhan menurut McClelland dengan kinerja. Hal ini dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan kinerja beauty advisor semakin bagus adalah self-efficacy dan bukan tiga kebutuhan menurut McClelland.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan kajian yang melibatkan SRI, khususnya dengan alat ukur yang lebih bagus. Selain itu juga sebaiknya dilakukan pengkajian yang melibatkan adanya pemilihan pekerjaan dan minat kerja untuk mengkaji peran SRI terhadap kinerja. Terbuktinya self-efficacy sebagai mediator pada korelasi tiga kebutuhan menurut McClelland dengan kinerja, sebaiknya dijadikan dasar pertimbangan untuk pembuatan pelatihan yang lebih menitik beratkan pada bagaimana menumbuhkan self-efficacy pada individu. Proses elisitasi dalam pembuatan BARS, sebaiknya dilakukan dengan individu yang mewakili semua cabang perusahaan, agar dimensi yang ditemukan dalam penilaian relatif merata.
Referensi 85 buah, terdiri dari buku dan jurnal (1938 - 2002)"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T11495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djiwatampu, Meithy
"Penelitian ini bermula dari kepedulian terhadap adanya indikasi bahwa pemahaman bacaan sebagian siswa masih tergolong rendah, termasuk pemahaman bacaan eksposisi. Hal ini diperkirakan dapat berdampak negatif pada penguasaan pelajaran dalam bidang studi yang banyak menggunakan bahan bacaan.
Bacaan eksposisi penting untuk dipahami karena bacaan ini menyajikan pengetahuan tentang objek, kejadian, dan gagasan. Oleh karena sebagian besar pengetahuan di sekolah diperoleh melalui bacaan eksposisi, maka "membaca untuk belajar" menjadi penting untuk dikembangkan.
Dari sudut pendekatan pengolahan informasi secara kognitif dan teori skemata, proses pemahaman bacaan dideskripsikan sebagai usaha pembentukan representasi mental tentang isi bacaan yang diarahkan oleh (1) pengetahuan seseorang yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang; dan (2) unsur-unsur dalam bacaan. Kemudian informasi baru, sebagai hasil analisis, akan diintegrasikan dengan pengetahuan sejenis yang telah lebih dahulu tersimpan dalam ingatan jangka panjang.
Keberhasilan pembentukan representasi mental tentang isi bacaan ini antara lain tergantung dari sejauhmana pembaca dapat secara tepat mengorganisasikan informasi penting dalam bacaan. Pengorganisasian ini penting, bukan saja untuk menghemat kapasitas ingatan kerja yang terbatas, tetapi juga untuk membuat representasi mental sementara dalam ingatan kerja yang dibutuhkan selama proses pengolahan dan pengintegrasian terjadi.
Salah satu cara untuk mengorganisasikan informasi dalam bacaan ialah dengan membuat kerangka bacaan (outline). Dalam kerangka bacaan, pikiran utama dan pikiran penjelas setiap paragraf disusun secara vertikal. Cara inilah yang sampai saat ini dilatihkan pada siswa sejak di sekolah menengah. Mengingat beragamnya jenis bacaan eksposisi, maka menjadi pertanyaan apakah kerangka bacaan cukup efektif diterapkan bagi bacaan eksposisi ?
Penelitian-penelitian dibidang psikologi kognitif menunjukkan bahwa salah satu unsur penting dalam bacaan yang berperan dalam pemahaman bacaan eksposisi adalah struktur bacaan, yaitu sarana yang digunakan penulis bacaan dalam rangka menghubungkan gagasan-gagasan dalam tulisannya.
Bacaan eksposisi mempunyai beberapa struktur bacaan yang dapat diragakan dalam bentuk diagram yang berbeda. Diagram struktur bacaan eksposisi ini dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengorganisasikan informasi-informasi penting dalam bacaan dan mengisi skemata struktur bacaan yang diperlukan untuk menganalisis bacaan.
Secara kognitif, representasi mental melalui diagram struktur bacaan eksposisi akan lebih kuat tercatat dalam ingatan, mudah dibayangkan, mudah dibedakan, dan lebih menunjukkan hubungan antar informasi daripada kerangka bacaan. Diperkirakan, representasi mental dalam bentuk diagram struktur bacaan eksposisi lebih berpengaruh dalam pemahaman bacaan daripada kerangka bacaan. Tetapi hal ini belum pernah teruji melalui penelitian.
Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apakah pelatihan diagram struktur bacaan eksposisi dapat lebih meningkatkan pemahaman bacaan eksposisi dibandingkan pelatihan membuat kerangka bacaan? Bagaimana pengaruh pelatihan diagram struktur bacaan eksposisi terhadap pemahaman inferensial? Diagram struktur bacaan eksposisi mana yang lebih mudah atau lebih sulit diserap siswa? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektivitas metode pelatihan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dilakukan penelitian kuasieksperimental dengan Nonequivalent Control Group Design yang melibatkan 138 siswa SLTP kelas I dari dua SMPK di Jakarta. Siswa dikelompokkan ke dalam kelompok eksperimen dan kelampok kontrol. Kelompok eksperimen mendapat pelatihan diagram struktur bacaan eksposisi, sedangkan kelompok kontrol mendapat pelatihan membuat kerangka bacaan sebagaimana yang diterapkan di sekolah saat ini. Pelatihan dilakukan selama tujuh minggu, dua jam pelajaran setiap minggunya. Pada sebelum dan sesudah pelatihan, siswa menjalani tes pemahaman bacaan.
Struktur bacaan yang digunakan adalah struktur Daftar, Jaringan Topik, Matriks, Hirarki, Rangkaian Kejadian, dan Pohon Beranting. Pemahaman bacaan dirinci ke dalam sub-pemahaman Gagasan Utama, Fakta, Terminologi, Hubungan, Kesimpulan, dan Elaborasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Secara umum, pelatihan diagram struktur bacaan eksposisi dapat lebih meningkatkan pemahaman bacaan dibandingkan pelatihan membuat kerangka bacaan. Hasil yang lama juga di dapat bila ditinjau dari masing-masing diagram struktur bacaan eksposisi, masing-masing sub-pemahaman, dan pemahaman inferensial.
Bila ditinjau dari keenam sub-pemahaman bacaan, pelatihan diagram struktur bacaan eksposisi lebih membantu siswa dalam mengidentifikasikan hubungan antar fakta dalam bacaan, menarik kesimpulan, dan melakukan elaborasi.
Beberapa faktor, seperti ketrampilan pemahaman dasar terutama ketrampilan dalam menarik kesimpulan, inteligensi, dan cara guru mengajar mempunyai pengaruh terhadap pemahaman bacaan dan pada pelatihan beberapa diagram struktur bacaan eksposisi.
Terdapat indikasi bahwa struktur Daftar dan Matriks lebih mudah diserap daripada struktur lainnya, baik ditinjau dari sudut pemahaman bacaan secara umum maupun dari sudut pemahaman inferensial. Sedangkan struktur Hirarki dan struktur Pohon Beranting cukup sulit bagi sampel penelitian ini. Namun demikian, kedua struktur ini masih cukup efektif dalam pemahaman inferensial dibandingkan struktur Jaringan Topik."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
D105
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilsiana Jatiputra
"Penelitian ini mengenai kualitas hidup pria pasca-Infark Miokard Akut (IMA) pada tiga tahap kesembuhan, yaitu tahap kesembuhan 1-2 minggu, 3-4 bulan dan 12-13 bulan pasca-IMA, ditinjau dari psikologi kesehatan. Tujuan penelitian ialah 1) mendeskripsikan kualitas hidup dan kebiasaan hidup pasca-IMA pada setiap tahap kesembuhan, bila dibandingkan dengan pra-IMA; 2) membandingkan kualitas hidup dan kebiasaan hidup pasca-IMA antara berbagai tahap kesembuhan; dan 3) mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasca-IMA.
Kualitas hidup pasca-IMA menunjukkan sejauh mana kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan berintegrasi kembali ke kehidupan normal, meliputi kemampuan untuk melaksanakan fungsi sehari-hari (fisik, psikologis, dan sosial) setelah menderita IMA. Dimensi kualitas hidup yang diukur ada enam, yaitu dimensi psikologis (kecemasan, kemarahan, depresi), fungsional (aktivitas hidup sehari-hari), peran sosial (bekerja), keintiman (hubungan seks), kepuasan umum, dan fisik.
Variabel yang diteliti pengaruhnya terhadap kualitas hidup pasca-IMA adalah tahap kesembuhan, strategi mengatasi-stres (konfrontatif, menghindar) yang dipilih dalam upaya mengatasi stres yang berkaitan dengan IMA dan berbagai masalah yang ditimbulkan IMA, dukungan sosial (kuantitatif, kualitatif, istri) yang dapat berfungsi sebagai penahan stres, pendidikan, usia, dan jenis pekerjaan. Juga diteliti pengubahan kebiasaan hidup sebagai salah satu respons yang dilakukan dalam upaya mengatasi stres yang berdampak terhadap hasil proses kesembuhan.
Sampel penelitian adalah 100 pria, berusia 30-68 tahun, terdiri dari tiga kelompok, yaitu 35 orang yang mendapat IMA pertama 1-2 minggu sebelumnya, 34 orang yang mendapat IMA 3-4 bulan sebelumnya, dan 31 orang yang mendapat IMA 12-13 bulan sebelumnya, tidak mendapat CABG atau PTCA, yang berasal dari RS Jantung Harapan Kita, RSCM, dan RS Saint Carolus. Desain penelitian adalah non-experimental, between-groups, time-design, bersifat cross-sectional.
Instrumen yang digunakan adalah wawancara terstruktur dan lima self report inventories, yang sebagian besar dimodifikasi dan diterjemahkan dari Belanda. Wawancara terstruktur dipakai untuk mendapatkan data demografis, dimensi fisik, fungsional, bekerja, hubungan seks, kepuasan umum, dan kebiasaan hidup. Self report inventories dipakai untuk mengukur kemarahan, kecemasan, depresi, strategi mengatasi-stres, dan dukungan sosial.
Hasil yang diperoleh dengan menggunakan MANOVA, ANOVA, Chi-square, dan uji t adalah sebagai berikut: Dari enam dimensi kualitas hidup pasca-IMA yang diteliti, subjek mengalami penurunan dalam empat dimensi, yaitu peran sosial, keintiman, fungsional, dan fisik. Kepuasan umum cukup tinggi, sedangkan pada dimensi psikologis terdapat perubahan pada menurunnya kemarahan pada tahap 1-2 minggu pasca-IMA dan meningkatnya depresi pada tahap 12-13 bulan pasca-IMA. Kecemasan pada semua tahap kesembuhan tidak berbeda dengan pra-IMA.. Kualitas hidup pasca-IMA tidak berbeda antara berbagai tahap kesembuhan pasca-IMA.
Selain tahap kesembuhan, yang berpengaruh terhadap dimensi psikologis kualitas hidup pasca-IMA adalah pendidikan, merokok pasca-IMA, dan strategi mengatasi-stres. Semakin rendah pendidikan, semakin tinggi kecemasan dan depresi pasca-IMA. Pada yang merokok pasca-IMA terdapat depresi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak merokok pasca-IMA. Semakin banyak subjek menghindar dalam upaya mengatasi-stres, semakin rendah kecemasan. Walaupun strategi menghindar ini untuk jangka pendek dapat menurunkan stres, namun bila dilakukan terus menerus untuk jangka waktu panjang dapat lebih memperburuk keadaan, karena masalah yang sebenarnya tidak terpecahkan. Di lain pihak, strategi konfrontatif yang ditujukan terhadap sumber stres ternyata tidak berhasil menurunkan stres. Semakin banyak subjek berusaha mengatasi masalah secara konfrontatif, semakin tinggi kecemasan dan depresi yang dirasakan. Kegalauan ini, bila berlangsung dalam waktu yang lama akan berdampak negatif terhadap kesembuhan. Saran untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam upaya mengatasi-stres secara konfrontatif adalah pemberian bimbingan cara-cara penanggulangan stres.
Dukungan sosial yang dapat menurunkan stres adalah dukungan sosial kuantitatif, khususnya pada tahap 1-2 minggu pasca-IMA semasa penderita merasa sangat tidak berdaya dan sangat tergantung, dan pada tahap 12-13 bulan pasca-IMA semasa orang lain telah mulai terbiasa dengan penderita dan kurang banyak memberikan dukungan sosial lagi. Pada tahap 3-4 bulan pasca-IMA, dukungan sosial kuantitatif yang lebih tinggi menimbulkan kecemasan yang lebih tinggi. Dukungan sosial kualitatif dan dukungan sosial istri tidak mempunyai efek terhadap dimensi psikologis. Berdasarkan hasil ini disimpulkan bahwa di lingkungan budaya Indonesia, hanya istri saja tidak cukup untuk menurunkan stres, tetapi seluruh keluarga besar harus turut memberikan dukungan sampai jauh setelah IMA berlalu, namun dalam memberikan dukungan sosial agar disesuaikan dengan keperluan penderita, khususnya pada bulan-bulan pertama pada masa awal penyesuaian diri terhadap IMA.
Penurunan dalam dimensi peran sosial (bekerja) dipengaruhi oleh pendidikan, tidak oleh usia dan jenis pekerjaan. Ternyata semakin rendah pendidikan, semakin besar penurunan jumlah jam kerja dari pra-IMA ke pasca-IMA. Pengubahan kebiasaan hidup pasca-IMA yang dipersepsikan sebagai penyebab utama serangan jantung subjek, seperti merokok dan diet yang diperkirakan dapat menurunkan tekanan darah tinggi cukup bermakna.
Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah cukup banyak masalah yang dihadapi pada masa pasca-IMA masalah-masalah dalam bekerja, hubungan seks, fisik, depresi -yang bila dapat dikurangi dan diatasi akan dapat meningkatkan kualitas hidup pasca-IMA.
Rehabilitasi yang disarankan untuk meningkatkan kualitas hidup pasca-IMA di samping rehabilitasi fisik adalah rehabilitasi psikologis dan sosial melalui konseling atau pun gabungan pendidikan kesehatan dan program penanggulangan stres."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
D156
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprapti Sumarmo Markam
"Penelitian ini ialah mengenai DIMENSI PENGALAMAN EMOSI, yang dikaji melalui nama-nama emosi berdasarkan teori kognitif, khususnya pandangan Frijda. Yang dimaksud dengan dimensi pengalaman emosi menurut pandangan kognitif ialah kegiatan kognitif penilaian (appraisal) atas situasi penimbul emosi, dan kesadaran seseorang akan gugahan, tendensi-aksi, aktivasi, atau ?kesiapan-aksi" yang terjadi karenanya. Yang dimaksud dengan 'penilaian' dalam penelitian ini ialah penilaian yang irreflektif terutama, jadi bukan yang sadar, nalar, dan penuh pertimbangan. Menurut teori kognitif, pengalaman emosi ditentukan oleh pola penilaian dan pola kesiapan-aksi. Permasalahan dalam penelitian ini ialah apakah memang demikian keadaannya untuk subyek di Indonesia, khususnya Jakarta. Apakah ada kekhasan dalam pola penilaian dan pola kesiapan-aksi untuk tiap nama emosi? Permasalahan lainnya ialah apakah ada perbedaan pengalaman emosi antara pria dan wanita.
Alasan memilih topik emosi disebabkan oleh karena emosi penting dalam kehidupan manusia: emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional. Alasan memilih teori kognitif ialah karena dengan teori ini lebih dapat dikaji kekhususan pengalaman seseorang, dan lebih memungkinkan pemahaman arti pengalaman. Data yang diolah ialah kuesioner tentang pengalaman emosi-emosi khusus, yakni 22 nama emosi. Responden adalah 82 mahasiswa UI, 41 wanita dan 41 pria. Kuesioner menanyakan hal-hal yang umum berkenaan dengan situasi penimbul emosi, kemudian aspek penilaian (Kuesioner Penilaian) dan aspek kesiapan-aksi/tendensi aksi (Kuesioner Kesiapan-aksi). Data ini diolah melalui analisis diskriminan untuk memperoleh jawaban tentang kemungkinan peramalan nama emosi melalui pola penilaian dan kesiapan-aksi. Untuk memperoleh kekhasan emosi diolah melalui analisis faktor untuk memperoleh skor-faktor dan pola skor-faktor untuk tiap nama emosi. Untuk membedakan pengalaman pria dan wanita dilakukan uji-t atas skor-faktor untuk tiap emosi pada tiap faktor (penilaian maupuan kesiapan aksi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nama-emosi dapat diramalkan dan pola dimensi penilaian maupun kesiapan-aksi dengan tingkatan ketelitian 32.64 dan 40.29 %. Pola faktor penilaian dan pola faktor kesiapan-aksi menunjukkan kekhususan untuk tiap nama emosi, dan kemiripan untuk nama-emosi yang "artinya sama". Perbedaan antara pria dan wanita terlihat terutama dalam faktor "melawan agresif" dalam mengalami emosi-emosi negatif (cemas, panik), dan 'preokupasi'.
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memahami ARTI emosi, khususnya melalui aspek penilaian dan kesiapan-aksi, yang selanjutnya diharapkan memberi manfaat untuk pelaksanaan konseling, dan untuk memahami corak hubungan antar-manusia pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
D206
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soesmalijah Soewondo
"

Penelitian ini adalah tentang hubungan zat besi dengan kognisi. Kognisi adalah aktivitas mental mengenal dan mengetahui tentang dunia yang mencakup mendapatkan, mengolah, menyimpan dan mengeluarkan informasi. Proses-proses mental yang terlibat diantaranya adalah persepsi, perhatian, belajar konsep, memecahkan masalah, inteligensi dan lain-lain.

Akhir-akhir ini kegiatan kognitif dipelajari sebagai suatu aktivitas memproses informasi yang dapat dibagi dalam beberapa tahapan kegiatan, dimulai dengan masuknya rangsangan dari lingkungan, rangsangan diberi perhatian dan diteruskan ke ingatan jangka pendek, diolah, diproses diteruskan ke ingatan jangka panjang. Informasi kemudian melalui proses elaborasi, kategorisasi, pembentukan konsep disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk kemudian digunakan dan dikeluarkan.

Salah satu hambatan pemrosesan informasi ini adalah defisiensi zat besi. Zat besi merupakan salah satu mineral yang sangat esensial dalam tubuh, zat besi diperlukan untuk pembentukan butir-butir darah merah dalam bentuk hemoglobin dan sebagai ko-faktor bekerjanya enzim-enzim tertentu. Hemoglobin sebagai pengangkut oksigen diperlukan dalam setiap sel dalam tubuh termasuk sel-sel dari jaringan otak.

Yang ingin diketahui adalah apakah defisiensi zat besi mempengaruhi fungsi kognitif secara negatif. Dan apakah perlakuan zat besi dapat memperbaiki fungsi kognitif.

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dilakukan dua studi. Pertama suatu penelitian eks post fakto yaitu ingin mengetahui bagaimana pengaruh status defisiensi zat besi tanpa anemi dan anemi defisiensi zat besi terhadap kognisi khususnya inteligensi verbal, perhatian dan belajar konsep. Kedua suatu penelitian eksperimental "double blind iron supplementation", yaitu ingin mengetahui bagaimana pengaruh perlakuan zat besi terhadap kognisi, khususnya inteligensi verbal, perhatian dan belajar konsep.

Sampel adalah 176 anak prasekolah dari ibu-ibu pemetik teh yang bertempat tinggal di perkebunan teh di daerah Pengalengan Kabupaten Bandung. 176 anak-anak prasekolah ini dibagi tiga kelompok yaitu :

1. Kelompok Sehat dengan kriteria Hemoglobin : Hb > = 11 g/dl, Transferrin Saturation: TS > = i6 %, Serum Ferritin : SF > = 12 ug/l, Free Erythrocyte Protoporphyrin: FEP < = 100 ug/dl RBC.
2. Kelompok Defisiensi zat besi tanpa anemi dengan kriteria Hb > = 11 g/dl, dan dua dari tiga kriteria TS < 16%, SF < 12 ug/l, FEP > 100 ug/dl RBC.
3. Kelompok Anemi defisiensi zat besi dengan kriteria Hb < 11 g/dl, dan dua dari tiga kriteria TS < 16 %, SF < 12 ug/l, FEP > 100 ug/dl RBC.
Tiga kelompok ini dibagi lagi atas kelompok yang diberi perlakuan zat besi dan placebo, sehingga semua menjadi 6 kelompok.

Perlakuan zat besi dilakukan selama 8 minggu, preparat besi yang diberikan berbentuk cairan sirop ferrosulfat sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 50 mg elemental besi setiap hari selama 6 hari satu minggu. Plasebo juga dalam bentuk cairan sirop yang serupa dengan warna yang sama tetapi tidak mengandung zat besi.

Sebelum dan sesudah perlakuan anak-anak ini diperiksa hematologi, antropometri dan diuji kognitif. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan satu kali. Tes yang digunakan untuk uji kognitif adalah tes Kosakata Gambar Peabody yang mengukur inteligensi verbal, tes Belajar Diskriminasi untuk mengukur perhatian dan tes Belajar kejanggalan untuk mengukur belajar konsep.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

Perlakuan zat besi dapat merubah dengan bermakna kadar hemoglobin, serum ferritin, transferrin saturation dan kadar free erythrocyte protoporphyrin pada anak-anak yang menderita defisiensi zat besi.

Ditemukan hubungan status besi dengan besarnya keluarga anak dan status besi dengan umur anak.

Status defisiensi zat besi tanpa anemi dan status anemi defisiensi zat besi tidak berhubungan dengan inteligensi verbal. Inteligensi verbal tidak terpengaruh secara negatif oleh defisiensi zat besi. Perlakuan zat besi juga tidak berhubungan dengan inteligensi verbal. Pada awal penelitian status defisiensi zat besi tanpa anemi tidak menunjukkan adanya hubungan dengan perhatian dan belajar konsep. Perlakuan dengan zat besi memperlihatkan bahwa efek pemberian zat besi terhadap perhatian dan belajar konsep anak-anak berbeda secara bermakna dengan efek pemberian zat besi terhadap kelompok Sehat. Pemberian zat besi pada kelompok defisiensi zat besi bermanfaat dalam meningkatkan perhatian dan belajar konsep anak-anak defisiensi zat besi tanpa anemi.

Anemi defisiensi zat besi mempengaruhi perhatian dan belajar konsep secara negatif. Perlakuan dengan zat besi memperlihatkan bahwa efek pemberian zat besi terhadap perhatian dan belajar konsep anak-anak anemi defisiensi zat besi berbeda secara bermakna dengan efek pemberian zat besi terhadap kelompok Sehat. Pemberian zat besi kepada kelompok anemi defisiensi zat besi bermanfaat dalam meningkatkan perhatian dan belajar konsep, tetapi tidak meningkatkan perhatian dan belajar konsep anak-anak sehat.

"
1991
D323
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>