Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Puspito Sari
"Biofilm adalah struktur kompleks tiga dimensi yang terdiri dari bakteri hidup dalam matriks ekstraselular atau excreted polymeric substance (EPS) yang mengandung polisakarida, asam nukleat dan protein. Infeksi yang diakibatkan biofilm sulit untuk dieradikasi, karena EPS pada biofilm dapat meningkatkan resistensi bakteri dan menghambat antibiotik mencapai bakteri tersebut. Biofilm dapat melekat pada alat-alat kesehatan seperti kanul trakeostomi.  Pembentukan kolonisasi bakteri biofilm pada kanul trakeostomi dapat menyebabkan inflamasi kronik yang memicu infeksi stoma dan saluran pernapasan bawah, serta pembentukan jaringan granulasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai biofilm dan mikroba pembentuk biofilm, serta faktor risiko yang mempengaruhi pembentukannya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari 2019 sampai dengan Agustus 2019 terhadap pasien yang terpasang kanul trakeostomi usia dewasa. Dari penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor risiko penyakit komorbid dengan peningkatan pembentukan biofilm pada pasien terpasang kanul trakeostomi.

Biofilm is a three-dimensional complex structure consisting of living bacteria in an extracellular matrix or excreted polymeric substance (EPS) containing polysaccharides, nucleic acids and proteins. Infections caused by biofilms are difficult to eradicate, because EPS in biofilms can increase bacterial resistance and prevent antibiotics from reaching the bacteria. Biofilms can be attached to medical devices such as tracheostomy cannula. The formation of bacterial colonization of biofilms in tracheostomy cannulas can cause chronic inflammation that triggers stoma and lower respiratory tract infections, and the formation of granulation tissue. This study aimed to increase knowledge about biofilms and biofilm-forming microbes, and risk factors that influence its formation. This cross-sectional designs study, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo on February 2019 to August 2019 of adult patients with tracheostomy cannula.There was a statistically significant correlation between risk factors of comorbid disease with an increase of the biofilms formation in patients with tracheostomy cannula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Dipo Putra A.
"ABSTRAK
Rinoplasti adalah prosedur estetik yang banyak diminati di seluruh dunia dan merupakan prosedur menantang bagi seorang ahli bedah estetik karena memiliki satu tujuan yaitu kepuasan. Kepuasan ini tidak hanya untuk pasien, tapi juga bagi ahli bedah yang terlibat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi suatu kepuasan. Kepuasan yang ingin dicapai dapat dilihat dari segi estetik tanpa melupakan fungsinya. Penelitian ini menggunakan kuesioner rhinoplasty outcomes evaluation untuk menilai tingkat kepuasan pasien setelah menjalani prosedur rinoplasti. Segala jenis prosedur operasi, kususnya dibidang estetik, kunci keberhasilan adalah ketepatan pemilihan pasien, sehingga mengetahui psikologi pasien dapat menjadi garis depan dalam pengambilan keputusan pemilihan pasien. Prosedur ini memiliki risiko potensial tinggi terutama pada pasien dengan gangguan psikopatologi, sehingga penilaian psikologi pasien perlu dilakukan, dimana digunakan penilaian dengan skala kecemasan pada penelitian ini untuk mengetahui hal tersebut. Hal lain yang dapat mengurangi tingkat kepuasan pasien adalah keluhan sumbatan hidung setelah operasi, oleh karena itu penilaian aliran udara hidung sebelum dan sesudah operasi perlu dilakukan untuk memaksimalkan target kepuasan yang ingin dicapai. Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan kuesioner NOSE dan ESS, serta pemeriksaan PNIF untuk menilai aliran udara hidung sebelum dan sesudah operasi.

ABSTRACT
Rhinoplasty is an aesthetic procedure that is in great demand throughout the world and is a challenging procedure for an aesthetic surgeon because it has one goal, satisfaction. This satisfaction is not only for patients, but also for the surgeons involved. Many factors can influence satisfaction. Satisfaction to be achieved can be seen in terms of aesthetics without forgetting its function. This study used a rhinoplasty outcomes evaluation questionnaire to assess the level of patient satisfaction after undergoing a rhinoplasty procedure. All types of surgical procedures, especially in the aesthetic field, the key to success is the accuracy of patient selection, so knowing the psychology of patients can be the front line in making patient selection decisions. This procedure has a high potential risk especially in patients with psychopathological disorders, so assessment of patient psychology needs to be done, which is used to assess the neurotic scale in this study to find out this. Another thing that can reduce the level of patient satisfaction is a complaint of nasal obstruction after surgery, therefore an assessment of nasal air flow before and after surgery needs to be done to maximize the target of satisfaction to be achieved. Therefore in this study using the NOSE and ESS questionnaire, and PNIF examination to assess nasal air flow before and after surgery.

"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Semiramis Zizlavsky
"ABSTRAK
Pendahuluan: Paparan bising merupakan hal penting yang perlu diperhatikan
dampaknya terhadap ambang dengar seseorang yang bekerja di pabrik. Akibat
paparan bising dapat menyebabkan pergeseran ambang dengar yang bersifat
sementara maupun menetap. Umumnya akibat paparan bising akan terjadi kerusakan
sel rambut luar di koklea. Tujuan: Melihat perubahan ambang dengar pada
pemeriksaan Audiometri maupun SNR (Signal to noise ratio ) pada OAE (Oto
Accoustic Emission) akibat paparan bising. Metode: Penelitian ini mengevaluasi
ambang dengar dan fungsi sel rambut luar koklea pekerja di pabrik Baja pada periode
tahun 2017 dan 2018.Data diperoleh dari data pekerja pabrik yang menjalani
pemeriksaan Audiometri nada murni dan OAE pada periode tersebut.Penelitian
dilakukan dengan metode kohort. Hasil: Jumlah pekerja yang menjalani pemeriksaan
Audiometri dan OAE pada tahun 2017 sebanyak 221 orang, sedangkan pada tahun
2018 sebanyak 241 orang. Data tersebut diatas hanya bisa dinilai sebanyak 144 orang
yang menjalani pemeriksaan pada tahun 2017 dan 2018. Pada evaluasi terdapat
perubahan secara signifikan baik pada hasil Audiometri maupun OAE.Oleh karena itu
dibutuhkan evaluasi yang lebih lama.

ABSTRACT
Introduction : Exposure to noise is important because makes impact to hearing level
whose works in factory. This noise exposure can result in temporary threshold shift or
permanent threshold shift. The principle cause of NIHL is damage to cochlear outer
hair cells. Purpose : To see the change of hearing level in Audiometric measurement
and SNR (signal to noise ratio) in (Oto Accoustic Emission) caused by noise
exposure. Methode : This research evaluated hearing level and fuction of cochlear
outer hair cell factory worker in a steel mill periode 2017 until 2018. This data of
factory worker collect from data who undergo pure tone Audiometry and OAE at this
periode. This research done by cohort method.Result: The number of workers
undergoing Audiometric and OAE measurement in 2017 was 221 people, while in
2018 there were 241 people. The data above can only be assessed as many as 144
people undergoing inspection in 2017 and 2018. In evaluation there were significant
changes in both Audiometric and OAE result, therefore a longer evaluation time was
needed."
PIN X PERHATI KL-BANTEN, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fahri Reza
"Rumah sakit sebagai instansi pelayanan kesehatan tidak terhindar dari bahaya bising. Efek yang ditimbulkan bising dapat berupa efek auditori dan efek non auditori. Salah satu efek non auditori yang ditimbulkan bising adalah burnout syndrome. Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk mencari prevalensi risiko tinggi burnout syndromepekerja RSUPNCM dan hubungannya dengan kebisingan ruangan yang ditentukan peneliti. Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan antara faktorjenis kelamin, usia, status pernikahan, serta pengalaman kerja dengan risiko tinggi burnout syndrome. Peneliti melakukanaudiometri nada murni, timpanometri, dan pemeriksaan emisi otoakustik untuk kemudian dicari hubungannya antara hasil pemeriksaan dengan risiko tinggi burnout syndrome. Pekerja diminta mengisi kuesioner Maslach Burnout Inventoryuntuk skrining risiko tinggi burnout syndrome. Satu dari 77 subyek penelitian ditemukan memiliki risiko tinggi burnout syndrome. Prevalensi risiko tinggi burnout syndrome pada pekerja RSUPNCM adalah 1,3%. Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia, status pernikahan, pengalaman kerja, audiometri nada murni, timpanometri, serta otoakustik emisi dengan risiko tinggi burnout syndrome.

Hospital as public health service can not avoid noise hazard. Effect of hospital noise including auditory effect and non auditory effect. One of the non auditory effect is burnout syndrome. This research is a cross sectional study in order to find the prevalence of high burnout syndrome risk on CMCGH workers and its relation with certain noise room which have determined by researcher. Statistic analysis have conducted in order to find relationship between several factors including gender, age, marital status,working history with high burnout syndrome risk. Researcher examine workers including pure tone audiometry, tympanometry, otoaccoustic emission. Relationship analysis between those examination and high burnout syndrome risk haveconducted. Researcher instruct workers to fill the Maslach Burnout Inventory questionnaire as screening for high burnout syndrome risk. One of 77 workers have been revealed having high risk.The prevalence of high burnout syndrome risk is 1,3 %. There is no relationship between gender, age, marital status, working history, pure tone audiometry, tympanometry, acoustic emission with high burnout syndrome risk due to statistic analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Trifani Putri
"Gangguan suara adalah istilah umum yang mencakup segala perubahan suara sesorang baik cakupan nada, intensitas, waktu fonasi dal lain-lain yang disebabkan kelainan laring. Adanya gangguan suara atau disfonia akan mengganggu suatu proses komunikasi yang akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial seperti depresi, terganggu dalam aktifitas dan pekerjaannya, serta akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas hidup adalah dengan menggunakan kuesioner adaptasi terjemahan versi Bahasa Inggris agar dapat diaplikasikan sesuai budaya dan bahasa di negara tersebut. Kuesioner Voice Handicap Index (VHI) berdasarkan Agency of Healthcare Research and Quality pada tahun 2012 merupakan instrumen diagnostik yang valid dan reliabel dalam menilai handicap yang disebabkan oleh gangguan suara. Peneliti bertujuan untuk mendapatkan instrumen VHI adaptasi bahasa Indonesia yang sudah divalidasi dan reliabilitas yang teruji menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017 sampai dengan April 2018 terhadap pasien gangguan suara usia dewasa. Dari penelitian ini didapatkan instrumen VHI bahasa Indonesia yang telah teruji valid dan reliabel sebagai instrumen penilaian kualitas hidup pasien gangguan suara.

Voice Disorders is a general term that includes any change of a persons voice including range of tone, intensity, and other phonation time caused by laryngeal abnormalities. The presence of noise or dysfonia will interfere with a communication process that will have a negative impact on social life such as depression, disrupted in activities and work, and will affect the quality of life. One tool that can be used to evaluate the quality of life is to use an translation adaptation questionnaire of the English version to be applied to the culture and language of the country. The Voice Handicap Index (VHI) Questionnaire based on the Agency of Healthcare Research and Quality in 2012 is a valid and reliable diagnostic instrument in assessing handicap caused by voice disorders. This study aimed to receive Indonesian adaptation of VHI that also tested in validity and reliability to measue the quality of life in patients with dysphonia. Cross-sectional design is entirely used in this study, conducted at ENT Department out-patient clinic, Cipto Mangunkusumo hospital between December 2017 and April 2018 towards adult patients with dysphonia. The Indonesian version of VHI has been proven valid and reliable as an instrument to asses quality of life in dysphonia patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Ageng Rizki
"Latar belakang: Sleep disordered breathing (SDB) merupakan satu spektrum kelainan abnormalitas pola pernapasan pada saat tidur. Diperlukan visualisasi untuk menilai kedinamisan saluran napas atas untuk menentukan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan saluran napas atas saat terjaga dan saat tidur secara spesifik pada setiap subjek berdasarkan hasil inklusi dari kuisioner STOP BANG dikarenakan karakteristik dan faktor risiko yang berbeda-beda pada setiap individu. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan lokasi, konfigurasi dan derajat sumbatan jalan napas atas yang terjadi antara pemeriksaan (Perasat Muller) PM saat terjaga dan pemeriksaan Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) saat tidur serta dengan menggunakan pemeriksaan polisomnografi (PSG) untuk menentukan derajat gangguan tidur. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan perbedaan saturasi oksigen terendah antara pemeriksaan PSG dan DISE saat tidur, dengan tujuan untuk mendapatkan cara diagnosis yang dapat memberikan nilai tambah pada pasien SDB. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang (cross sectional) dengan data sekunder yang bersifat retrospektif; 1) Deskriptif analitik, dan 2) Membandingkan gambaran lokasi, derajat dan konfigurasi sumbatan jalan napas dengan pemeriksaan PM, DISE dan PSG pada kasus SDB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan 46 subjek yang diambil dari data Januari 2017 hingga April 2019. Hasil: Karakteristik kelompok pasien SDB pada penelitian ini mempunyai rentang usia antara 18-73 tahun dengan laki-laki dan perempuan mempunyai proporsi yang sama besar. Pada anamnesis didapatkan STOP BANG risiko tinggi sebesar 58,7%, Epworth Sleepiness Scale (ESS) risiko gangguan tidur 93,5%, skor Nasal Obstruction Score Evalutaion (NOSE) dengan risiko hidung tersumbat 97,8%, subjek obesitas 56,5%, subjek dengan Refluks laringofaring (RLF) 67,4%, hipertensi 28,3%, kelainan jantung 30,4%. Terdapat 13 subjek (28,2%) SDB non OSA, 18 subjek (39,13%) OSA ringan, 10 subjek (21,73%) OSA sedang, dan 5 subjek (10,86%) OSA berat. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan konfigurasi sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,036; p<0,001 dan p = 0,036. Terdapat perbedaan bermakna pada lokasi dan derajat sumbatan jalan napas atas antara PM dan DISE pada area velum, orofaring, dasar lidah dan epiglotis dengan nilai p berturut-turut p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. Subjek dengan SDB non OSA dan OSA ringan dapat juga menunjukkan sumbatan multilevel dengan konfigurasi yang berbeda-beda. Derajat RDI tidak selalu berhubungan dengan konfigurasi sumbatan jalan napas atas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar saturasi oksigen terendah saat tidur pada saat DISE dan PSG dengan nilai p = 0,055. Pada penelitian ditemukan sumbatan jalan napas atas pada fase tidur REM dan NREM diihat berdasarkan derajat RDI pada PSG, terlihat kecenderungan adanya RDI REM dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan RDI NREM pada subjek dengan OSA ringan dan OSA sedang. Pada SDB non OSA dan OSA berat nilai RDI NREM sama dengan RDI REM.

Background: Sleep disordered breathing (SDB) is a spectrum of breathing abnormality during sleep. Direct visualization needed to evaluate the level, configuration and degree of upper airway obstruction during sleep in each patient due to the difference in characteristic and risk factor of SDB based on STOP BANG questionnaire. Purpose: Evaluate the differences of location, configuration, and degree of upper airway obstruction between Muller Maneuver (MM) during awake and Drug Induced Sleep Endoscopy (DISE) during sleep using polysomnography (PSG) to determine the degree severity of sleep disorder. To evaluate the lowest oxygen saturation between PSG and DISE during sleep thus acquired a better diagnostic value for SDB patient. Methods: Analitical decriptive of cross sectional study with retrospective secondary data evaluate the difference of location, configuration and degree of upper airway obstruction in SDB subject using Mueller Maneuver (MM) and DISE in ENT-HNS Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2017 until April 2019 with 46 subjects. Result: The age range of subjects between 18-73 years old, both each male and female are 26 subjects, using anamnesis and questionnaire STOP Bang with high risk 58,7%, ESS high risk of SDB 93,4%, NOSE score with nasal congestion 97,8%, obesity 56,5%, Laryngopharungeal Reflux 67,4%, hypertension 39%, heart disease 30,4%. Based on polysomnography data there were 28,2% subjects with SDB non OSA (Obstructive Sleep Apnea), 39,1% subjects mild OSA, 21,7% subjects moderate OSA, 10,7% subjects severe OSA. Statistically difference in configuration of upper airway obstruction between MM and DISE in level velum (p = 0,036), oropharynx (p<0,001), epiglotits (p = 0,036), also statistically different in location and degree of upper airway obstruction between MM and DISE in velum, oropharynx, tongues base and epiglottis with p = 0,002; p<0,001; p<0,001 dan p<0,001. No statisticaly difference on lowest oxygen saturation during polysomnography and DISE (p = 0,055). Subjects with SDB non OSA and mild OSA alos shown multilevel obstruction with different airwal collaps configuration. RDI degree didnt always correlate with upper airway obstruction configuration. RDI NREM was higher in subject with mild OSA and moderate OSA, in SDB non OSA and severe OSA RDI REM as same as RDI NREM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Razki Yorivan R.H.
"ABSTRAK
Suara merupakan modalitas setiap individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Proses bersuara sangat dipengaruhi keberadaan pita suara. Paralisis pita suara akan mengakibatkan difonia dan mempengaruhi proses komunikasi serta berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, aktivitas dan pekerjaan. Penatalaksanaan paralisis pita suara salah satunya dengan laringoplasti injeksi. Prinsip laringoplasti injeksi adalah medialisasi dengan augmentasi. Lemak autologus merupakan salah satu bahan yang baik untuk medialisasi, tetapi memiliki waktu penyerapan beragam dan cenderung cepat terserap sehingga keberadaan lemak didalam jaringan cepat menghilang. Platelet Rich Fibrin (PRF) merupakan bahan yang dapat meningkatkan keberadaan lemak didalam jaringan karena mengandung faktor pertumbuhan. Evaluasi penggunaan kombinasi PRF dengan lemak autologus mikrolobular dibandingkan lemak autologus mikrolobular dilakukan secara subjektif dan objektif. Evaluasi subjektif menggunakan kuesioner Voice Handicap Index (VHI-30) sedangkan evaluasi objektif menggunakan pemeriksaan analisis akustik terkomputerisasi/Multidimensional Voice Program (MDVP), videostroboskopi dan waktu fonasi maksimum. Hasil penelitian ini mendapatkan gambaran perbaikan secara klinis berdasarkan evaluasi VHI-30, MDVP, videostroboskopi dan waktu fonasi maksimum pada masing-masing kelompok penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistika evaluasi subjektif dan objektif antara kelompok kombinasi PRF dengan lemak autograf mikrolobular dan kelompok lemak autograf mikrolobular

ABSTRACT
Voice is a modality for every human being to communicate and interact with others. Its process is affected by the presence of vocal cord. Vocal cord paralysis will cause dysphonia, interfering communication, thus result in social activity, and professional aspects in life. One of the management of vocal cord paralysis is injection laryngoplasty. Basic principle of the technique is medialization and augmentation. Autologous fat is one of the best material that can be chosen, but it is very highly absorbable so that its existence in body tissue is quickly disappears. Platelet Rich Fibrin (PRF) is a material that can improve fat tissue longevity due to growth factors as one of the components. Evaluation of combination of PRF and autologous microlobular fat compared with autologous microlobular fat was conducted subjective and objectively. Subjective evaluation was done by using Voice Handicap Index (VHI-30) questionnaire, and objective evaluation was by computerized acoustic analysis/Multidimensional Voice Program (MDVP), videostroboscopy dan maximum phonation time. The result showed clinical improvement according to VHI-30, MDVP, videostroboscopy and maximum phonation time parameters in both research group. There was no statistically important difference in subjective and objective evaluation between PRF and autologous microlobular fat, and autologous microlobular fat group."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferucha Moulanda
"Trauma kepala merupakan penyebab tersering gangguan penghidu yang masih merupakan tantangan dikarenakan belum ditemukan tatalaksana yang definitif. Gangguan penghidu dapat berupa tipe konduktif dan/sensorineural dan dapat berupa penurunan kemampuan dalam mendeteksi odoran yang disebut hiposmia atau hilangnya kemampuan mendeteksi odoran yang disebut anosmia. Tatalaksana latihan penghidu dapat berupa Latihan Penghidu Orthonasal (LPO) yaitu dengan memberikan paparan odoran berulang dari anterior hidung dalam jangka waktu tertentu dan diharapkan dapat membangkitkan sensitifitasolfaktori dan memodulasi neuroplastisitas. Latihan Penghidu Retronasal (LPO) merupakan latihan yang mengintegrasikan sistem olfaktori, gustatori dan somatosensori yang bertujuan menciptakan cita rasa yang kuat dan dapat membangkitkan memori olfaktori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan penghidu pasca cidera kepala dan mengetahui serta membandingkan efektifitas LPO dengan kombinasi LPO dan LPR. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan April 2019 sampai dengan September 2019 terhadap pasien yang mengalami gangguan penghidu pasca cidera kepala usia 18-50 tahun. Dari penelitian ini diketahui latihan OOT dan kombinasi OOT dan ROT sama-sama dapat meningkatkan fungsi penghidu dan tidak terdapat perbedaan efektifitas latihan OOT dengan kombinasi latihan OOT dan ROT dalam meningkatkan fungsi penghidu pasien pasca trauma.

Head injury is a challenging cause of olfactory dysfunction due to limited definitive treatment of choice. Olfactory dysfunction can be divided into conductive and/sensorineural type and also based on decrease ability or inability to detect odoran called hyposmia and anosmia. Orthonasal olfactory training (OOT) is using repeated exposure of odoran form anterior nostril within certain period time to increase the olfactory sensitivity and modulate neuroplasticity. Retronasal olfactory training (ROT) is an integrated training of olfacoty, gustatory and somatosensory systems that create a strong flavour and evokes olfactory memory. This study aimed to identify type and grade of post traumatic olfactory dysfunction and to identify and compare the efficacy of OOT with combined OOT and ROT. This 2 groups randomized clinical trial study, conducted at the ORL-HNS polyclinic FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo on April 2019 to September 2019 of post traumatic olfactory dysfunction patients between 18-50 years old. This study showed that OOT and combined OOT and ROT were both effective and wasn’t different statistically in increasing olfactory function post head injury."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Widiarni Widodo
Jakarta: Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Meila Sutanti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran hasil terapi rinitis alergi persisten sedang-berat pada 2 kelompok terapi di RSCM, dimana kelompok pertama diberikan terapi reduksi konka radiofrekuensi disertai steroid topikal hidung, sedangkan kelompok kedua diberikan terapi steroid topikal hidung saja. Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan dengan metode penelitian uji klinis. Penilaian skala analog visual (SAV) untuk 4 gejala utama rinitis alergi (bersin-bersin, gatal hidung, ingus encer, dan sumbatan hidung), pemeriksaan nasoendoskopi untuk menilai ukuran konka inferior, dan pemeriksaan aliran udara hidung dengan Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF) dilakukan pada sebelum terapi dan minggu ke-6 pasca terapi. Pada penelitian ini rerata usia kelompok steroid topikal hidung adalah 28,3 tahun (SD 10,3 tahun), sedangkan pada kelompok reduksi konka adalah 27,6 tahun (SD 8,1 tahun). Sebanyak 67% subyek adalah perempuan. Keluhan rinitis alergi paling berat adalah sumbatan hidung. Sebanyak 80% subyek penelitian mengalami hipertrofi konka inferior, yaitu 50% hipertrofi derajat 3 dan 30% hipertrofi derajat 4. Ditemukan perbedaan bermakna ukuran konka inferior sebelum terapi dengan minggu ke-6 pasca terapi, baik pada kelompok reduksi konka maupun kelompok steroid dan ditemukan pula perbedaan bermakna ukuran konka inferior pada minggu ke-6 pasca terapi antara kedua kelompok terapi. Untuk nilai SAV gatal hidung, ditemukan perbedaan bermakna sebelum terapi dengan minggu ke-6 pasca terapi, baik pada kelompok reduksi konka maupun kelompok steroid topikal saja, dan ditemukan pula perbedaan bermakna nilai SAV gatal hidung pada minggu ke-6 pasca terapi antara kedua kelompok terapi. Perbedaan bermakna sebelum terapi dengan minggu ke-6 pasca terapi ditemukan pada nilai SAV gejala rinitis alergi yang lain (bersin-bersin, ingus encer, dan sumbatan hidung) dan nilai PNIF, baik pada kelompok reduksi konka maupun kelompok steroid topikal saja. Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai SAV gejala rinitis alergi yang lain dan nilai PNIF, jika dibandingkan antara kedua kelompok terapi pada minggu ke-6 pasca terapi.

ABSTRACT
This paper reported result of treatment in moderate-severe allergic rhinitis at Cipto Mangunkusumo Hospital. In this research, there were 2 groups of treatment. First group was treated with radiofrequency turbinoplasty and nasal steroid after turbinoplasty performed, second group was treated only with nasal steroid. This research is a pilot clinical study. Analogue Visual Scale for 4 major symptoms of allergic rhinitis (sneezing, nose itching, rhinorrhea, nose obstruction), nasoendoscopy to evaluate size of inferior turbinate, peak nasal inspiratory flow to evaluate nasal air flow were performed before treatment and 6 weeks after treatment. In this research, mean age of patients in steroid alone group was 28,3 years old with standard deviation 10,3 years, and in radiofrequency group mean age was 27,6 years old with standard deviation 8,1 years. Sixty seven percent patients was woman. The most bothering symptom found was nasal obstruction. Eighty percent patients had inferior turbinate hypertrophy, 50% patient with grade 3 and 30% patient with grade 4. Statistical significance in inferior turbinate degree was found if comparison performed before treatment with 6 weeks after treatment, in both treatment group,and also found statistical difference if compared between 2 treatment group at 6 weeks after treatment. Statistical difference was found only in VAS for nasal itching symptom if compared between 2 treatment group at 6 weeks after treatment. There were no statistical difference for another major symptom with VAS if compared between 2 group at 6 weeks after treatment. If comparison was performed before treatment with 6 weeks after treatment for VAS in all allergic rhinitis major symptoms and peak nasal inspiratory flow, there were statistical significance found, in radiofrequency group and nasal steroid group, but if comparison was performed between 2 treatment groups at 6 weeks after treatment, there were no statistical difference found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>