Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wid Patria Wijaya
"Latar belakang. Cedera kranio-serebral (CK) masih menjadi masalah kesehatan dan sosial yang besar karena akibatnya menyangkut kerugian sumber daya manusia dan materi yang besar Oleh sebab itu penatalaksanaan penderita CK haruslah menjadi perhatian kita untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan. Disamping pemeriksaan penunjang yang ada seperti CT-scan saat ini juga disebutkan pemeriksaan kadar enzim NSE yang diketahui merupakan enzim glikolitik yang predominan terdapat dalam sitoplasma neuron dan akan lepas kedalam cairan tubuh (darah dan LSS) apabila terjadi kerusakan sel neuron, sehingga oleh beberapa peneliti NSE ini dijadikan pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan neuron. Metodologi. Diteliti 60 penderita CK tertutup derajat sedang dan berat (GCS 12-3) di RSUPN Ciptomangunkusumo jakarta sejak Agustus 1997-Januari 1998, umur 17-45 tahun, dengan gambaran kontusio pada CT-scan serta tidak mendapatkan tindakan operasi dan tanpa komplikasi sistemik. Penilaian GCS: 6 jam pasca tindakan resusitasi, pengambilan sampel darah vena: 10 jam pasca trauma Pemeriksaan NSE dilakuka dilaboratorium Prodia dengan metode NSE Enzyme Immuno Assay. Kadar normal NSE orang dewasa sehat ≤13,2 ng/ml. Keluaran adalah: hidup / mati selama 2 minggu pasca trauma. Hasil Dari 60 penderita, terdapat 50 pria dan 10 wanita, tidak ada perbedaan bermakna terhadap proporsi kematian antara pria dan wanita (p>0,05) Terdapat perbedaan bermakna terhadap kejadian kematian pada kelompok penderita dengan NSE>13,2 ng/ml dan kejadian kematian 2,5 kali lebih besar (RR 2,5 ). Secara keseluruhan didapatkan risiko kematian semakin besar dengan semakin tinggi usia, semakin rendah GCS dan semakin tinggi kadar NSE. Kesimpulan. Pemeriksaan kadar NSE serum pada penderita CK fase akut dapat merupakan indikator kerusakan jaringan otak yang terjadi. Semakin tinggi kadar NSE serum, maka semakin besar kerusakan yang terjadi dan semakin buruk keluaran.

Bllckgrollnd. Head injury ( HI) constitutes major health and social problems since its consequences are loss in human resources and material. Therefore management of HI patients should be the focus of our attention to prevent mortality and disability. In addition to the supporting examination, such as CT -scan, currently there is also an examination ofNSE enzyme content, wich is known as glycolitic enzyme, predominantly found in neurone cytoplasm and will be released into body fluid ( blood and Cerebro spinal fluid/CSF ) when neuronal damage occurred. Consequently some researchers use NSE as a means for examining the extent of neuronal damage. Methodology. Research was conducted on 60 moderate and severe HI patients ( GCS : 12 - 3 ) at Cipto Mangunkusumo Hospital-Jakarta from August 1997 until January 1998, age: 17 - 45 years, with contusion image at CT -scan and not subject to surgery, without systemic complication. GCS evaluation: was done 6 hours after resuscitation, sample of venous blood was taken: 10 hours after trauma. NSE examination was conducted at Prodia laboratory with NSE enzyme immuno assay method. The NSE content for healthy adults is ::; 13,2 nglml. The outcome is : alive I dead during the first two weeks after trauma. Results. The material consisted of 60 patients (50 males and 10 females ); no significant difference was found in the proportion of mortality between male and female ( p>0,05 ). There was a significant difference in mortality among the patients in the group with NSE > 13,2 ng/ml and the mortality incidence in the group with NSE > 13,2 ngiml was 2,5 times higher than the group with normal NSE concentrtion ( RR = 2,5 ). This sample showed mortality rate was higher in the older patients, in the group with lower GCS score and those with higher serum NSE. Conclllsion. The examination of NSE serum ( S-NSE ) in the acute stage of HI patients can be used as an indicator of the severity of brain damage. The higher of NSE serum, the more extensive the damage and the worse outcome will encounted."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57275
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fritz Sumantri
"Latar belakang : Proses yang mengikuti setelah terjadinya cedera kranioserebral berat ada 2 , yaitu kerusakan primer dan sekunder . Disfungsi pernafasan adalah salah satu hal yang terjadi pada kerusakan otak sekunder dan dapat kita ketahui dari pemeriksaan analisa gas darah yang kita lakukan . Dari hasil pemeriksaan analisa gas darah tersebut, kita dapati PaO2 dan PaCO2 . Tekanan tekanan oksigen dan karbondioksida tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap perubahan laju aliran darah kcotak . Di mana peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2 akan meningkatkan laju aliran darah ke otak , sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Sedangkan penurunan PaCO2 dan peningkatan PaO2 dapat menurunkan laju aliran darah ke otak yang akan mengancam terjadinya proses iskemik . Perubahan perubahan tekanan gas diatas disinyalir memiliki hubungan dengan hasil akhir yang didapat pada cedera kranioserebral. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara tekanan gas gas tersebut terhadap hasil akhir , khususnya PaCO2 yang tinggi (> 45 mmHg) dan PaO2 yang rendah ( < 85 mmHg ) terhadap hasil akhir setelah perawatan selama 3 hari .
Obyektif : mengetahui peranan PaCO2 tinggi dan PaO2 rendah terhadap hasil akhir setelah 3 hari perawatan pada pasien pasien cedera kranioserebral berat .
Metade : cross sectional, dengan membandingkan nilai PaO2 dan PaCO2 pads waktu pasien datang dengan hasil akhir yang terjadi setelah 3 hari perawatan.
Hasil : dari 84 sampel yang terkumpul , dilakukan pemeriksaan analisa gas darah sewaktu pasien datang, kemudian dilihat hasil akhir setelah 3 hari perawatan . Didapatkan suatu hasil bahwa PaO2 yang rendah akan mempunyai kecenderungan resiko kematian dalam 3 hari yang lebih besar, dibanding penderita yang PaO2 nya normal (p
Kesimpulan : PaO2 dan PaCO2 dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam usaha untuk mengetahui basil keluaran pasien pasien cedera kranioserebral berat.

Background: Two processes following a severe craniocerebral injury are primary and secondary damage. Respiratory dysfunction is one of the secondary damage which can be detected by blood gas analysis revealing 02 and CO2 arterial pressure (Pa02 and PaCO2). These arterial PaO2 and PaCO2 influence the blood flow velocity to the brain, whereas elevation of PaCO2 and reduction of PaO2 will increase the blood flow velocity to the brain and thus increase intracranial pressure. On the contrary, reduction of PaCO2 and elevation of PaO2 will decrease the blood flow velocity to the brain and could be a thread for ischemic process. The alteration of blood gas above is suggested to have a correlation with the outcome of craniocerebral injury patients. In this study, we explored the correlation of blood gas pressure especially high PaCO2 (>45 mmHg) and low Pa02 (<85 mmHg) with patient's outcome after 3 days of hospital care.
Objective: To know the correlation of high PaCO2 and low PaO2 with the outcome of severe craniocerebral injury patients after 3 days of hospital care.
Methods: This is a cross-sectional study. Patient's initial arterial PaO2 and PaCO2 was compared with patients arterial Pa02 and PaCO2 after 3 days of hospital care.
Results: Blood gas analysis was done in 84 samples at their initial admission and compared with the blood gas analysis taken after 3 days of hospital case_ It was shown that patients with low PaO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal Pa02 (p<0,05); patients with high PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05); and patients with low PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05).
Conclusion: Arterial PaO2 and PCaO2 can be used as one of the consideration for predicting the outcome of severe craniocerebral injury patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
IB Wiweka Sastrawan
"Latar belakang : Tindakan untuk mencegah hilangnya tulang dan melindungi arsitektur tulang belum menjadi bagian dari manajemen stroke sampai saat ini. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian dimana sebagian besar pasien stroke akan mengalami komplikasi (hemiparesis). Perjalanan klinis dari stroke dengan hemiparesis/hemiplegi merupakan predisposisi untuk terjadinya gangguan pada fisiologi tulang sehingga menyebabkan terjadinya reduksi dini pada densitas tulang. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk melihat densitas massa tulang pada pasien pasca stroke.
Tujuan : Mengetahui gambaran densitas massa tulang pada pasien pasca stroke, perbedaan densitas massa tulang pada sisi yang lumpuh dan yang tidak lumpuh dan mengetahui korelasi antara derajat kekuatan motorik dengan penurunan densitas massa tulang.
Metodologi : Studi potong lintang dengan membandingkan densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh dengan sisi yang tidak lumpuh dan dilakukan uji korelasi untuk mengetahui korelasi antara derajat kekuatan motorik dengan penurunan densitas tulang.
Hasil : Dari 35 sampel yang terkumpul, didapatkan median usia 59 tahun, median IMT 22,22 kg/M2 median kadar kalsium serum 9,10 mg/dL dan median kekuatan motorik yang lumpuh adalah 3. Rerata densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh adalah 0,822 gr/cm2 'Didapatkan perbedaan yang bermakna antara rerata densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh dengan yang tidak lumpuh ( p=0,001 ). Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kekuatan motorik sisi yang lumpuh dengan densitas tulang femoral neck sisi yang lumpuh (r= 0,166; p=0,340).
Kesimpulan : Rerata densitas tulang femoral neck sisi yang Iumpuh sebesar :0,822 gr/cm2 Didapatkan rerata densitas tulang femoral neck yang lebih rendah pada sisi yang lumpuh dibandingkan sisi yang tidak lumpuh sedangkan korelasi antara kekuatan motorik dengan densitas tuiang femoral neck belum dapat dibuktikan.

Backgrounds: Bone loss prevention and bone architectural protection have not been established as a part of stroke management so far. Stroke is a major cause of disability and mortality because most of stroke patient will have complication (hemi paretic). Clinical history of hemi paretic/ hemiplegics stroke disturbs the bone physiology that will cause early reduction of bone mass density. Therefore, we conduct this study to observe the bone mass density in post-stroke patient.
Objective: To recognize the profile of bone mass density in post-stroke patient, the difference of bone mass density in immobilized part. Compared to the normal part as well as the correlation between the grade of motor strength and the reduction of bone mass density.
Methods: A cross sectional study comparing bone mass density of neck femoral in immobilized part and normal part has been conducted. In addition, a correlation test to recognize the correlation between the grade of motor strength and the reduction of bone mass density was also conducted.
Result: The median age of 35 samples collected was 59 years, median IMT was 22.22 kg/M2 median of calcium serum level 9.10 mg/dL and the median of motor strength of immobilized part was 3. Mean of bone density in immobilized neck femoral was 0.822 g/cm2. We found a significant difference between mean of bone density in immobilized femoral neck compared to normal (p = 0.001). There was no significant correlation between immobilized motor strength and bone density of immobilized femoral neck (r = 0.166; p = 0.340), but greater motor strength has a greater mean of bone density.
Conclusion: Mean of bone density in immobilized femoral neck is 0.822 g/cm2. We found a lower mean of bone density in immobilized femoral neck compared to the normal part while the correlation between motor strength and bone density of femoral neck has not been established.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Nurhayati
"Latar Belakang: Pada cedera kranioserebral sedang dan berat terjadi stimulasi aksis HPA, aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Peningkatan sitokin menyebabkan stimulasi aksis HPA yang menyebabkan terpacunya pelepasan barman kortisol oleh korteks kelenjar adrenal. Beberapa penelitian menunjukkan semakin tinggi kadar kortisol dalam plasma pada penderita cedera kranioserebral maka semakin buruk prognosis karena tingginya mortalitas.
Metode: Studi porospektif tanpa kelompok pembanding untuk melihat hubungan kadar kortisol dalam darah pada onset < 48 jam terhadap keluaran kematian dan hidup selama 3 hari perawatan pada penderita cedera kranioserebral dengan skala koma glasgow 3-12.
Hasil: Dari 64 subyek, terdapat 54,7% subyek mati pada 3 hari perawatan pertama. Rerata kadar kortisol darah subyek adalah 32,88+10,16 µg/dl, sedangkan rerata nilai SKG adalah 9,17+2,49. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kortisol dengan nilai SKG dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol dalam darah paling tinggi (p<0.05). Rerata kadar kortisol pada keluaran mati lebih tinggi bermakna dibadingkan dengan keluaran hidup yaitu 44,38+8,87 µg/dl (p<0.05). Titik potong kadar kortisol untuk kematian adalah 31,1 µg/dl, spesifisitas 94,3% dan sensitifitas 96,6%. Pada nilai SKG 3-8, 85,7% subyek mati. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai SKG dengan keluaran mati.
Kesimpulan: Keluaran kematian pada penderita cedera kranioserebral menunjukkan kadar kortisol dalam darah yang Iebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan keluaran hidup.

Background: There are many processes in moderate and severe head injury, such as HPA axis stimulation, immuno-competent cell activation that cause releasing of inflammation mediator. Increasing of cytokine causes HPA axis stimulation and triggers cortisol release by adrenal cortex. Previous studies showed that the increasing of plasma cortisol related with poor outcome in head injury patient.
Methods: Prospective study without control in head injury patients with GCS 3-12 and onset less than 48 hours. The aim of this study was to see relation between blood cortisol level and outcome in three days of hospitalization.
Results: From 64 subjects, there are 54.7% subjects who died within 3 days of hospitalization. Mean of blood cortisol is 32.88+10.16 µg/dl, while mean of GCS is 9.17+2.49. There is significant correlation between blood cortisol level and GCS which is blood cortisol level is highest in subjects with GCS 3-6 (p<0.05). Mean cortisol level in poor outcome subjects is significantly higher (44.38+8-87 p.gldl) than good outcome subjects (p<0.05). Cut-off point of cortisol level for poor outcome is 31.1 µg/dl with 94.3% specificity and 96.6% sensitivity. In GCS 3-8 group, 85.7% subjects have poor outcome. There is significant correlation between GCS and poor outcome.
Conclusion: Moderate and severe head injury patient with poor outcome show higher blood cortisol level and lower GCS compare with patient with good outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Hawari
"Latar Belakang: Bagi orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi, dimana kesembuhan sulit dicapai dan pengobatan memakan waktu lama, kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama.
Tujuan: Untuk mendapatkan rerata skor kualitas hidup serta faktor-faktor demografik dan medik yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi.
Metodologi: Penelitian potong lintang deskriptif menggunakan instrumen Quality of Life in Epilepsy (QOLIE)-31 untuk menilai kualitas hidup 145 penderita epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi RSCM. Sampel diambil secara konsekutif sejak Agustus 2005-Desember 2005. Dilakukan deskripsi demografi dan medik, serta analisis bivariate, multivariate untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan skor total QOLIE maupun skor masing-masing komponen QOLIE (kekhawatiran akan serangan, kualitas secara umum, kesejahteraan emosional, energilfatigue, fungsi kognitif, efek obat, fungsi sosial).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata skor total QOLIE 67.62 ± 14.55. Faktor-faktor yang mempengaruhi (p< 0.05) rendahnya skor total QOLIE-31 adalah tingkat pendidikan, frekuensi serangan dan jenis pengobatan. Tingkat pendidikan berhubungan kuat dengan kekhawatiran akan serangan; frekuensi serangan dengan kekhawatiran akan serangan dan fungsi sosial; jenis pengobatan dengan fungsi kognitif dan efek obat.
Simpulan: Tingkat pendidikan rendah, frekuensi serangan yang sering dan jenis pengobatan politerapi berhubungan kuat dengan rendahnya kualitas hidup.

Background: For persons with a chronic disease such as epilepsy, where a cure is not attainable and therapy may be prolonged, quality of life (QoL) has come to be seen is an important goal.
Objective: is determine mean scores of QoL, demographic and clinical factors that influence the epileptic patient?s QoL.
Method: Cross-sectional study using QOLIE-31 instrument to determine the quality of life of 145 ambulatory epileptic patients at Epileptic Clinic of Department of Neurology-Ciptomangunkusumo Hospital. Samples were taken consecutively from August 2005 to December 2005. Clinical and demographic data were collected Bivariate and multivariate analysis were used to determine which factors influenced QOLIE-3 either the total scores or the scores from each component of the QOLIE-31 (seizure worry, overall quality of life, emotional well-being, energy/fatigue, cognitive function, medication effect and social function).
Result: The mean total score of QOLIE-31 was 67.62 t 14.55. The variables that were most strongly predicted (p
Conclusion: low education level, high frequency of seizures, and antiepileptic polytherapy are correlated with lower QOLIE-31 scores."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Riyanto Wreksoatmodjo
"Penelitian ini dilakukan pada penderita nyeri kepala menahun/berulang yang datang ke Poliklinik Saraf FKUI/RSCM selama jangka waktu lima bulan untuk mendapatkan
gambaran tentang penderita nyeri Kepala menahun/berulang di tempat tersebut, sekaligus dibandingkan dengan hasil penelitian yang serupa/ hampir serupa di tempat lain.
Penelitian secara kuesioner yang dilakukan atas masing-masing 100 mahasiswa di Jakarta dan.di Medan menghasilkan angka prevalensi migren masing-masing sebesar 4% dan 6% (5). Sedangkan di RS Dr.Soetomo, Surabaya, selama tahun 1984 tercatat 1227 penderita nyeri kepala di antara 6488 penderita baru; 180 di antaranya didiagnosis sebagai migren (6).
Penelitianpun telah banyak dilakukan, baik dari segi epidemiologik, klinik maupun eksparimental, yang semuanya bertujuan untuk lebih memahami penyakit yang sangat umum ini."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Chalim Muntasir
"Tujuan penelitian ini pertama adalah untuk memperkirakan prognosis penderita cedera kepala, terbatas pada hubungan usia penderita dan tingkat penurunan kesadarannya sampai baras tertentu (nilai Skala Koma Glasgow 5 - 10), dengan kemungkingan hidup atau meninggalnya serta lamanya masa perawatan. Tujuan kedua adalah aga hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai tambahan pegangan kepada para dokter di Indonesia dalam memperkirakan prognosis penderita cedera kepala. Penelitian ini menggunakan meted pengumpulan data dengan car pengamatan. Data diolah secara statistik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha
"Strok atau penyakit peredaran darah otak dapat dijumpai pada semua golongan usia, namun sebagian besar akan dijumpai pada usia di atas 55 tahun (76). Penulis memberanikan diri melakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai taraf ketepatan diagnosis secara klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) pada kasus strok non-hemoragik dengan meneliti tingkat korelasi antara gambaran CT dan gambaran klinis.
Pengetahuan mengenai taraf ketepatan pembuktian klinis terhadap strok non-hemoragik yang dapat diandalkan akan sangat membantu para dokter yang bekerja di daerah terpencil dengan fasilitas pelayanan medis yang sangat terbatas. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan mempunyai dampak positif terhadap masyarakat umumnya dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan medis khususnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Ulfah
"ABSTRAK
Gangguan kognitif ringan merupakan gejala awal dari perkembangan penyakit demensia yang dapat dicegah dan diperbaiki. Deteksi MCI menggunakan bantuan informan memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan langsung ke lansia. Salah satu pemeriksaan berdasarkan informan adalah IQCODE-S. Tujuan dari penelitian ini untuk melakukan adaptasi lintas budaya, uji validitas dan reliabilitas IQCODE-S Bahasa Indonesia.Metode Penelitian. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama meliputi adaptasi lintas budaya berdasarkan ketentuan World Health Organization WHO , dilanjutkan uji validitas interna, reliabilitas interna dan reliabilitas test-retest pada 30 pasien epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi. Tahap kedua adalah uji diagnostik. Hasil IQCODE-S dengan titik potong ge;3,19 dibandingkan dengan pemeriksaan neuropsikologi sebagai baku emas.Hasil. Kuesioner IQCODE-S versi bahasa Indonesia didapatkan melalui proses adaptasi lintas budaya menurut WHO. Hasil uji validitas interna dengan korelasi Spearman didapatkan koefisien korelasi 0,382 hingga 0,778. Uji reliabilitas konsistensi interna dengan Cronbach rsquo;s Alpha 0,854. Perbedaan nilai koefisien korelasi dan Cronbach rsquo;s Alpha antara pemeriksaan pertama dan retest menunjukkan reliabilitas test-retest yang baik. Dari 63 subyek uji diagnostik, proporsi MCI hasil pemeriksaan neuropsikologi sebanyak 87,3 . Dengan titik potong ge;3,19, IQCODE-S memiliki sensitivitas 76,4 dan spesifisitas 87,5 . Kesimpulan. Kuesioner IQCODE-S versi Indonesia terbukti valid dan reliabel sehingga dapat digunakan untuk menapis MCI. Dengan titik potong ge;3,19, IQCODE-S memiliki nilai akurasi yang tinggi tapi belum dapat menjadi alat skrining MCI di komunitas.Kata Kunci. MCI, IQCODE-S versi Indonesia, uji validitas dan reliabilitas, uji diagnostik.

ABSTRACT
Mild cognitive impairment MCI is the most early clinical symptom from the progression stage of dementia which this stage can be prevented or fixed. Detection of MCI by using informant based report has many advantages compared with objective screening test. One of informant based tools is Informant Questionnaire on Cognitive Decline in the Elderly short version IQCODE S . The aim of this study is to develop transcultural adaptation, validity and reliability test and diagnostic test with neuropsychological test of the IQCODE S.Method. The study was conducted in two phases. The first phase included transcultural adaptation based on World Health Organization WHO standards, followed by internal validity test, internal reliability test and test retest in 30 elderly patients within their informants who fulfill the inclusion criteria. The second phase was diagnostic test, in which, IQCODE S, with cut off point ge 3,19,will be compared with Neuropsychological test as the gold standard examination for diagnosing MCI.Results. The Indonesian version of IQCODE S was obtained by transcultural adaptation based on WHO standards. Internal validity test with Spearman correlation obtained the correlation coefficient 0.38 to 0.778 Internal consistency reliability test with Cronbach rsquo s Alpha was 0.854. The difference of correlation coefficient and Cronbach rsquo s Alpha between the first and the retest showed good test retest reliability. Out of 63 of subjects of diagnostic test, the proportion of MCI using neuropsychological test was 87.3 . With cut off point 3,19, IQCODE S had sensitivity rate of 76,4 and specificity 87,5 .Conclusion. The Indonesian version of the the IQCODE S was proven to be valid and reliable, also was found to be accurate but there should be cut off point determination as screening test so sensitivity could be higher than specificity. Keywords. MCI, IQCODE S Indonesian version, validity and reliability test, diagnostic test. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
"Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada
cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat
memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran.
Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan
mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi
(usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada
pasien CKS-B dengan SENK.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel
terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara
consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan
SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui
kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus
(mSCNC).
Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri
dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis
SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3
dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak
dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi
klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%),
delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan
daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria
definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal
dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal
bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17-
111,6).
Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%.
Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.

Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere
traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous
injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as
diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find
incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender,
outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe
TBI patients.
Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary
data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive
sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017-
June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus
criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria.
Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25
secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July-
December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident
and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of
consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%),
delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are
consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2
samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of
NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location
has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17-
111,6).
Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of
consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE
occurance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>