Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nicko Saputra
"ABSTRAK
Fokus penelitian ini adalah dua perspektif atau model dalam kedokteran, yang memiliki sedikit perbedaan dalam memahami mental, dan mencoba menawarkan perspektif filosofis tentang mental berdasarkan pada filsafat pikiran, terutama fungsionalisme. Dalam kedokteran, mental adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari pasien. Kedokteran pikiran-tubuh, sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran, meyakini bahwa mental berpengaruh terhadap kondisi kesehatan tubuh dan sebaliknya. Tetapi, karena sifat mental yang non-fisik, pengaruh mental sulit dipahami. Dengan itu, tawaran perspektif filosofis mental mungkin memberikan jembatan pemahaman terhadap mental dan hubungannya jauh lebih dalam. Kedokteran, jelas, sudah memiliki banyak penelitian dan penemuan luar biasa tentang mental, tetapi masih belum jelas bagaimana mental dan tubuh memiliki hubungan. Fungsionalisme masuk sebagai perspektif untuk memahami hubungan pikiran dan tubuh. Fungsionalisme memandang bahwa mental dapat dilihat sebagai fungsi yang memiliki peran dalam hubungan input dan output apakah dengan tubuh atau kondisi mental lainnya. Hal ini dapat dilihat sebagai komputer yang merupakan gabungan dari dua komponen, perangkat keras dan perangkat lunak yang saling tergantung satu sama lain. Studi ini menunjukkan bahwa obat pikiran-tubuh dapat dipahami secara fungsional sebagai bukti teoritis mental.

ABSTRACT
The focus of this research is two perspectives or models in medicine, which have a slight difference in mental understanding, and try to offer a philosophical perspective on mentality based on the philosophy of mind, especially functionalism. In medicine, mentality is something that cannot be released from the patient. Mind-body medicine, as a branch of medical science, believes that mental influences the health condition of the body and vice versa. However, due to the non-physical mental nature, mental influences are difficult to understand. With that, the offer of a philosophical mental perspective might provide a bridge to understanding the mental and its relationship much deeper. Medicine, obviously, already has a lot of extraordinary research and discoveries about mental, but it's still not clear how mental and body have a relationship. Functionalism enters as a perspective for understanding the relationship of mind and body. Functionalism views that mentality can be seen as a function that has a role in the relationship of input and output whether with the body or other mental conditions. This can be seen as a computer which is a combination of two components, hardware and software which are interdependent on each other. This study shows that mind-body medicine can be functionally understood as mental theoretical evidence.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rizka Lestari
"ABSTRAK
Dalam istilah sosial, umumnya hanya dikenal sebagai ibu rumah tangga karena diasumsikan bahwa keterampilan merawat anak, memasak dan mengelola pekerjaan rumah dimiliki oleh wanita yang berafiliasi dengan feminitas yang diterima secara dogmatis oleh sosial. Sebaliknya, pria dengan atribut maskulinitas dianggap tidak cocok dalam merawat anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah sehingga mereka terbebani dengan pekerjaan di tempat-tempat umum. Perkembangan pemikiran tentang cairan gender memiliki banyak dampak pada penerimaan konsep ayah rumah tangga atau perumah tangga. Beberapa media populer digunakan sebagai upaya untuk membiasakan pemahaman ini dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan teori-teori Simone De Beauvoir, Nancy Chodorow dan Judith Butler, penelitian ini berupaya mendekonstruksi makna penting gender. Pada akhirnya, melalui pendekatan ontologi, penulis akan menunjukkan bukti bahwa karakterisasi ontologis bukanlah sesuatu yang stabil dan absolut tetapi dapat diubah.

ABSTRACT
In social terms, it is generally only known as a housewife because it is assumed that the skills of caring for children, cooking and managing homework are owned by women affiliated with femininity that are accepted dogmatically by the social. Conversely, men with masculinity attributes are considered unsuitable in caring for children and doing homework so they are burdened with work in public places. The development of thinking about gender fluids has many impacts on the acceptance of the concept of the father of the household or household. Some popular media are used as an effort to familiarize this understanding in everyday life. Through the approaches of the theories of Simone De Beauvoir, Nancy Chodorow and Judith Butler, this study seeks to deconstruct the significance of gender. Finally, through the ontology approach, the writer will show evidence that ontological characterization is not something that is stable and absolute but can be changed"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirda Wirdiyana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang uang digital sebagai bentuk uang baru yang sebelumnya hanya dimiliki
bentuk fisik. Dengan menggunakan hermeneutika Paul Ricoeur, penulis mencari implikasi sosial
dari uang digital pada konsumsi pola individu di dunia sosial. Dengan melihat tiga aspek;
relasi kuasa, relasi kelas, dan kesadaran individu. Tesis ini akan menunjukkan perubahan
uang fisik menjadi uang digital tidak hanya berubah pada tingkat materi. Uang digital tidak terbatas
hanya dengan fungsi, seperti untuk membuat transaksi lebih mudah, tetapi juga ada makna lain, yang bisa dilakukan
memiliki implikasi yang mengubah konsumsi derai individu di dunia sosial.

ABSTRACT
This thesis discusses digital money as a new form of money that was previously only owned
physical form. By using Paul Ricoeur's hermeneutics, the writer looks for social implications
from digital money to the consumption of individual patterns in the social world. By looking at three aspects;
power relations, class relations, and individual awareness. This thesis will show change
physical money into digital money doesn't just change at the material level. Digital money is unlimited
only with functions, such as to make transactions easier, but there are also other meanings, which can be done
has implications that change the consumption of individual patter in the social world."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Gahral Adian
"Metafisika bisa dibilang merupakan disiplin filsafat yang terumit. Disiplin ini berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang perbedaan antara penampakan dan realitas sesungguhnya; antara opini dan pengetahuan, Disiplin ini berkembang menjadi sebuah tradisi yang kokoh dengan empat asumsi dasar: (a) dikotomi adafpenampakan (b) dikotomi adalperubahan (c) dikotomi ada/seharusnya ada dan (d) dikotomi adalpikiran. Singkatnya, tradisi metafisika selalu berpihak pada ada yang sesungguhnya berlawanan dengan penampakan yang selalu berubah dan semu sebagai fokus konsentrasi para metafisikus.
Tradisi metafisika juga disertai oleh reaksi-reaksi anti metafisika. Reaksi anti metafisika pertama muncul dari murid tercerdas Plato, Aristoteles. Aristoteles menolak metafisika Plato karena terlalu abstrak dan mengabaikan realitas kongkrit. Aristoteles menolak keberpihakan metafisika Plato pada yang universal, transendental, dan ideal menggantinya dengan keberpihakan pada yang individual, kongkret dan indrawi.
Metafisika Yunani Kuno menghasilkan suatu asumsi epistemologis yang mengklaim bahwa pengetahuan manusia mampu memahami realitas sesungguhnya (esensi) sehingga realitas secara total terpahami. Asumsi epistemologis tersebut ditentang oleh Hume yang kemudian mengajukan tesisinya bahwa pengetahuan manusia terbatas pada pengetahuan inderawi.
Kritik Hume diadopsi Kant untuk mereformasi metafisika. Metafisika di tangan Kant dirombak menjadi filsafat antropologi. Artinya metafisika tidak lagi berkutat dengan realitas sesungguhnya (das-Ding-an-sich) melainkan justru pada penelitian pada keterbatasan human faculties dalam memahami realitas sesungguhnya. Benak manusia menurut Kant tidak pasif menerima informasi dari obyek eksternal melainkan aktif memaksakan kategori-kategori-nya pada obyek sehingga menjadi terpahami. Kategori-kategori bisa diibaratkan sebagai kacamata yang selalu kita pakai mempersepsi obyek. Pertanyaan tentang realitas sesungguhnya menjadi tidak relevan lagi.
K1aim metafisika Yunani tentang realitas sesungguhnya memang telah runtuh di tangan Kant, namun hal itu belum cukup karena seperti halnya para filosof sebelumnya, Kant-pun belum bisa secara total melepaskan diri dari tradisi metafisika. Kelemahan Kant adalah ia tetap mempertahankan ego transendental yaitu ego yang terlepas dari konteks keberadaanya dan memutlakkan sudut pandangnya. Dalam hal ini sudut Pandang Kant adalah perspektif Newtonian yang memandang realitas sebagai realitas mekanis - teratur oleh hukum kausalitas. Kelemahan Kant tersebut menjadi titik tolak Heidegger untuk meruntuhkan tradisi metafisika sekali untuk selamanya. Ego transendental Kant dikongkretisasi oleh Heidegger menjadi dasein yang tak pernah berstatus transendental karena selalu berada dalam dunia eksistensial `dimana' ia `hidup', Dasein oleh Heidegger dimaksudkan sebagai kritik terhadap tradisi metafisika kehadiran yaitu metafisika yang memandang obyek sebagai ekstemal-berjarak dari subyek yang berkat status transendentalnya mampu memperoleh pemahaman total-menyeluruh tentang obyek.
Seperti halnya pemikiran filosofis lainnya, pemikiran Heidegger khususnya tentang anti metafisika tak lepas dari kelemahan. Kelemahan Heidegger tersebut terungkap dalam kritik Hannah Arendt dalam bukunya Essays in Understanding (1994) yang kemudian diperkuat oleh pemikiran Richard Rorty. Arendt dan Rorty melihat terdapatnya kecenderungan anti dunia publik dalam pemikiran sederet filosof termasuk Heidegger yang diwarisi dari Plato. Dunia publik oleh pars filosof tersebut dilihat sebagai sesuatu yang mengaburkan, menyembunyikan, dan ilusif sehingga seorang filosof dituntut mengambil jarak darinya demi kebenaran sejati. Keberadaan pemikiran Heidegger dalam tradisi anti dunia publik warisan Plato menunjukkan bahwa ia belum berhasil mengatasi secara tuntas tradisi metafisika Barat karena ia sendiri masih menganut salah satu asumsi dasarnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur`aini Ahmad
"Tulisan ini membahas " PENDIDIKAN AKHLAQ MENURUT ALGHAZALI." Ia mengatakan Akhlaq adalah suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa hams direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan jiwa itu menghasilkan amal-amal yang baik dan terpuji menurut akal syari'ah, maka ini disebut akhlaq yang baik. Sebaliknya jika amal-amal tercela yang muncul dalam keadaan kemantapan itu, maka itu dikatakan akhlaq yang buruk.
Orang yang berakhlaq mulia adalah orang yang sanggup mengatasi tiga kekuatan yang ada dalam jiwanya yaitu 1) kekuatan rasional; 2) gahdabiyah dan 3) seksual, Ketika kekuatan-keuatan ini benar-benar telah dikendalikan dengan cara yang diinginkan, dan kekuatan gahdabiyah Berta nafsu dapat ditundukan oleh kekuatan rasional (yang dibimbing wahyu) maka keadilan akan menjelma.
Sumber pemikiran al-Ghazali didasarkan kepada al-Qur'an dan al-Hadist, sama seperti para pemikir-lain layaknya. Ia juga dipengaruhi pemikiran filosofis al-Farabi, Ibn Sina terutama yang berkenaan dengan manusia. Selain itu juga dipengaruhi oleh pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles, terutama mengenai pandangannya mengenai "keutamaan" (ummahat al fadha). Pandangan al-Ghaza1i yang berasal dari filosof lain adalah Logika dan Etika
A1-Ghazali telah berhasil mengalihkan Umat Islam, terutama Dunia Sunni kepada pentingnya logika. Para pengikutnya menganggap bahwa mempelajari logika sebagai fardhu kifayah (kewajiban bersifat kolektij). Usaha al-Ghazali merupakan titik balik sikap umat Islam kepada logika Aristoteles. Sebelumnya pars Ahli Fiqih menganggap logika sebagai barang hina dan haram. Logika bagi al-Ghazali sebagai prasyarat yang harus dimiliki bagi setiap ilmuan dalam bidang apa saja, tetapi logika tidak bisa menjangkau persoalan metafisika, yaitu dalam hal yang berkaitan dengan masalah ketuhannan dan 'aqidah. Disinilah letak perbedaan antara al-Gha7h'li dengan para filosof Islam lainnya seperti al-Farabi dan Ibn Sind dimana mereka percaya secara mutlak akan kebenaran logika. Bagi al-Ghazali sekalipun logika akal lebih tinggi dalam pencapaian kesimpulan dan paling sah dari persepsi inderawi, tetapi pada saat yang sama merupakan tingkatan yang paling rendah dari penyingkapan (kasyj) kesufian.
Konsep manusia menurut al-Ghazali tidak berbeda dengan konsep ajaran Islam, karena ia mendasarkan pemikirannya kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Menurutnya manusia tersusun dari unsur jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah Allah di muka burni. Hakikat manusia adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-rnakhluk Allah lainnya. Ia membagi fungsi jiwa dalam 3 bagian, yaitu 1) jiwa tumbuh-tumbuhan, 2) hewan, dan 3) manusia. Akhlaq dan sifat manusia tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Penekanan unsur jiwa tidaklah berarti is mengabaikan unsur jasmani, kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang mungkin diperoleh dan dirindukan oleh setiap manusia. Tujuan hidup muslim tersebut yaitu mencapai kebahagiaan akhirat. Ada empat keutamaan yang berkaitan dengan upaya mencapai tujuan hidup:1) Keutamaan-keutamaan jiwa, 2) keutamaan--keutamaan badan, 3) keutamaan-keutamaan luar, dan 4) keutamaan-keutamaan taujiq. Usaha mewujudkan keutamaan-keutamaan yang lain adalah untuk mencapai keutamaan jiwa, sehingga manusia melalui jiwanya mencapai tujuan hidupnya. Etikal akhlaq menurut al-Ghazali adalah jalan menuju akhirat. Etika al Ghazali mengajarkan bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, kerena itu etika nya disebut etika mistik yang bercorak teleologis.
AI-Ghazali menekankan pokok-pokok keutamaan akhlaqnya kepada ` pertengahan. Pengertian ` pertengahanljalan tengah"tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlaq secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Penekannan itu lebih bersifat individu.
Konsep Pendidikan Akhlaq al-Ghazal" berhubungan dengan konsepnya tentang manusia. Bagaimana konsepnya tentang manusia begitulah konsep pendidikan yang diinginkannya.. Maka pendidikan akhlak adalah mengembangkan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia, agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam hubungan guru dan murid al-Ghazali" memberikan perhatian yang penuh terhadap murid mengasihi dan menyangi murid-murid. Guru harus menjadi tauladan yang baik dan meniru sifat nabi, sederhana dalam bertindak, tidak memungut uang dari murid. Murid harus patuh kepada guru dan meminta petuah/nasehat guru.
Demikian juga orang tua jangan sampai memberikan fasilitas yang berlebihan kepada anak sehingga anak terbiasa dengari bermewah-mewah dan tanpa peduli dengan kehidupan lingkungannya. Anak-anak dari kecil ditanamkan keimanan (pendidikan agama), bergaul dengan orang yang baik-baik, sehingga sifat-sifat balk itu dapat ditiru oleh anak."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus
"Penulisan tesis ini sengaja penulis angkat dengan alasan sebagai berikut :
1. Penulis merasa bahwa pemikiran Ibn Rusyd tentang filsafat masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang ini.
2. Dari beberapa karyanya penulis banyak termotivasi untuk menemukan argumen-argumen yang subtansial terhadap pokok-pokok ajaran agama Islam
Maksud dari judul tesis tersebut adalah : kegiatan yang bertujuan untuk menekankan suatu ajaran/ tradisi. Peripatetisme adalah sebuah nama aliran dalam filsafat yang mengikuti pemikiran Aristoteles.
Kenapa hal tersebut sampai dilakukan oleh Ibn Rusyd ?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibn Rusyd dikenal sebagai seorang komentator dari karya-karya Aristoteles. la melihat bahwa ajaran-ajaran murni dari Aristoteles telah tercampur baur dengan ajaran Neoplatonisme. Sebagaimana yang saya pelajari bahwa aliran Neoplatonisme menganggap bahwa deduksi dan pemikiran rasional tidak cukup untuk studi filsafat, terutama tentang kebijakan lllahiyyah.
Dan karena pembauran itulah terjadi kekacauan dalam berpikir terutama dikalangan muslim. Dari hal itu yang menjadi kritik tajam al-Ghazali kepada para filsuf yang berfikiran menyimpang itu, terutama pemikiran Aristoteles yang di kembangkan oleh al-Farabi dan Ibn Sina.
Serangan serta kecaman al-Ghazali yang bertubi-tubi itu menyebabkan kemandekan dalam mempelajari filsafat di kalangan muslim. Bahkan filsafat menjadi barang haram untuk dipelajari. Hal itu ia ungkapkan dalam karyanya ?Tahafut al Falasifa." Di dalam buku itu ada dua puluh persoalan yang disorot al-Ghazali di mana hal tersebut dapat membawa kepada kesesatan. Dari dua puluh itu ada tiga persoalan yang dapat membawa manusia kepada kekafiran bila dipelajari. (lihat hal. 6-7).
Atas kejadian itu Ibn Rusyd merasa terpanggil untuk mengklarifikasikan persoalan -persoalan itu semua dalam kitabnya " Tahafut at -Tahafut,? dan ?Fashl al Magal Fi Ma Bain al- I-likmah Wa al Syarr'ah Min al-Wishe.?
Dari kitab-kitab itu Ibn Rusyd mencoba mengembalikan ajaran murni dan Aristoteles yang menjadi sorotan al-Ghazali. Adapun yang dimumikan Ibn Rusyd dari ajaran Aristoteles adalah :
1. Tentang keselarasan antara agama dan filsafat.
2. Tentang 3 (tiga) persoalan yang dikafirkan oleh al-Ghazali, yaitu :
a. Tentang Qodimnya Alam
b. Tentang pengetahuan Tuhan yang Juziyyat
c. Tentang Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Arti dari semuanya itu selain untuk mengembalikan posisi filsafat pada tempat semula dan memurnikan ajaran filsafat Aristoteles yang benar. Dan menurut analisa penulis bahwa konfik itu terjadi karena adanya beda persepsi yang dilakukan oleh al-Ghazali dengan para filsuf sebelumnya terutama (al-Farabi dan Ibn Sina) mengenai pengfsjran ayat-ayat Mutasyabihat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T1764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto
"Penulisan tesis ini hendak membangun semacam multi-dialog, yaitu dialog antara filsafat dan sains, antara filsafat dan budaya/pemikiran kontemporer, antara filsafat dan problem/krisis global, dengan segenap subject-matter di dalamnya seperti dialog antara manusia dan alam, antara manusia dan Tuhan, antara fakta dan nilai, antara kesadaran dan materi, antara jiwa dan tubuh, antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui, dan antara `aku' dan `yang lain'. Penulis tesis berpendapat bahwa dialog itu hanya dapat terwujud, di antaranya, melalui studi filosofis yang relevan, yaitu filsafat holisme-ekologis.
Dialog filsafat dengan sains dan kehidupan dunia global semakin urgen dirasakan karena kita melihat ketimpangan yang semakin menganga antara wilayah pemikiran filsafat dengan wacana sains dan praksis kehidupan. Perkembangan sains kontemporer telah sedemikian pesat sehingga manusia seakan tidak sanggup lagi memahami dan memaknainya dalam konteks kemanusiaan. Begitu pula, perkembangan global dengan segenap problem dan krisis di dalamnya menuntut cara pandang, visi dan paradigma yang lebih mampu memahami kompleksitas dan dinamika jaringan kehidupan global yang makin terkait satu sama lain, tersalinghubungkan dan saling mempengaruhi.
Jika dialog ini tidak segera dilakukan, maka hanya akan memperburuk problem dan krisis global serta memperdalam apa yang disebut oleh Fritjof Capra sebagai "krisis persepsi". Latar belakang pokok tesis ini dapat diwakili oleh pemyataan R.D. Laing: "Kita telah menghancurkan dunia secara Mori sebelum kita menghancurkannya dalam praktek " Dan gagasan sentral tesis ini adalah bahwa terjadinya krisis persepsi yang menyertai pelbagai problem dan krisis global yang kompleks dan multidimensional terkait erat dengan pandangan dunia manusia modern umumnya yang telah dianut selama tiga ratus tahun terakhir; pandangan dunia itu kita namakan sebagai "paradigma Cartesian-Newtonian". Paradigma ini pada mulanya merupakan cara pandang pemikiran dan sains modem yang mekanistik, atomistik dan reduksionis. Karena sains dan pemikiran modern berperan utama dalam mengkonstitusi peradaban modern, maka secara alamiah paradigma Cartesian Newtonian itu berkembang secara pervasif, mendalam dan menghegemoni manusia modern umumnya baik disadari maupun tidak. Ditemukan bahwa karakteristik pokok paradigma Cartesian-Newtonian adalah dualisme yang tegas antara kesadaran dan materi, antara jiwa dan tubuh, subyek dan obyek, yang mencakup wilayah ontologis dan epistemologis. Kecuali secara teoritis tidak dapat lagi menjadi kacamata untuk memahami realitas, secara praksis paham dualisme ini bermuara kepada pelbagai konflik serius antar sesama manusia dan antara manusia dengan alam semesta. Krisis ekologis merupakan salah satu dampak nyata dart dualisme paradigma Cartesian-Newtonian.
Sesuai dengan karakter paradigma alternatif yang ditawarkan, yaitu holistik dan ekologis, metode yang digunakan untuk membangun paradigma itu pun menggunakan pendekatan holistik, sistematik, dan ekologis. Cara pandang seseorang terhadap realitas merupakan agregat dari pandangan dunia yang dianut dalam wilayah ontologi, kosmologi, epistemologi, ekologi, dan juga antropologi. Dengan perthnbangan itu, agar paradigma baru yang dikehendaki dapat menjadi alternatif terhadap paradigma Cartesian-Newtonian dalam era post-positivisme ini tentuharus mengandung pandangan dunia yang mencakup wilayah ontologi, kosmologi, epistemologi, ekologi, dan antropologi. Oleh karena itu, tesis ini memanfaatkan gagasan-gagasan beberapa filsuf yang dianggap selaras dan sinergis sedemikian sehingga dapat dirakit (disintesis) secara organis membangun sebuah pandangan dunia baru, paradigma baru yang kita namakan filsafat holisme-ekologis. Beberapa filsuf dan pemikir yang menjadi acuan utama penulisan tesis ini adalah Mulla Sadra, Alfred North Whitehead, Gregory Bateson, Fritjof Capra, dan Ame Naess; mereka secara berturut-turut menyumbang gagasan pemikiran dalam ontologi, kosmologi, epistemologi dan ekologi, serta antropologi yang masing-masing pemikir memilikinya.
Diperoleh bahwa mereka memiliki kesamaan pokok yang sesuai dengan tema sentral tesis ini, yaitu pandangan yang holistik dan ekologis terhadap realitas dan pengetahuan mengenai realitas. Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanistik, non-linier. Berpandangan ekologis maksudnya memandang bahwa segala sesuatu di alam raya mengandung nilai-nilai intrinsik; bahwa alam kosmos merupakan jaringan yang saling terhubungkan serta merupakan sistem hidup yang berkemampuan self: organization. Mereka sama-sama memiliki sense of sympatheia atau participant consciousness sedemikian sehingga mereka merasakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam raya yang sungguh mempesona (enchantment of the world). Mereka menolak keras pelbagai bentuk keterpilahan, fragmentasi dan pengisolasian baik pada ranah ontologis maupun ranah epistemologis. Umumnya mereka juga mengkritik tajam metafisika Aristotelean yang dianggap cenderung membakukan realitas yang dinamis.
Mulla Sadra berhasil menjelaskan relasi yang alamiah dan substansial antara kesadaran dan materi, jiwa dan tubuh, melalui prinsip gerak trans-substansial; bahwa jiwa dan tubuh merupakan dua tingkat gradasi eksistensi dalam kesatuan lautan eksistensi. Whitehead membangun kosmologi yang menempatkan alam raya sebagai suatu organisme atau sistem hidup dengan penekanan kepada `proses', `becoming' daripada `being', relasi, kreativitas, dan prinsip pansubyektivitas. Bateson menyumbang gagasan-gagasan epistemologis yang lebih menganggap primer 'pola' daripada materi, `relasi' daripada entitas, context daripada content, kualitas daripada kuantitas, keseluruhan daripada bagian-bagian. la membangun Teori Sibemetika yang menempatkan pikiran (Mind) sebagai sesuatu yang imanen dalam sistem sebagai suatu keseluruhan. Capra merupakan kompilator yang merangkum pelbagai fenomena perkembangan pemikiran dan sains mutakhir melalui kajian epistemologi dan cara pandang mengenai realitas, visi dan nilai. la menyebutkan terjadinya pergeseran paradigma dari `self-assertion' menuju `integration' yang mencakup perubahan cara berpikir dan nilai-nilai. Arne Naess mencoba mengejewantahkan gagasan-gagasan ekologis para fiisuf, terutama Whitehead, dalam semangat aktivisme dan gerakan ekologis yang ia sebut sebagai Gerakan Ekologi Dalam (Deep Ecology Movement). la mendekonstruksi pengertian `self manusia modern yang cenderung antroposentristik-egoistik dan menawarkan konsep `self yang kosmik, ekosentristik, dan imanen dalam sistem yang lebih besar.
Dengan demikian, beberapa karakter utama paradigma holistik-ekologis dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama, sistem ontologis yang dinamis, eksistensial dan menyatukan kesadaran-materi. Realitas lebih dilihat sebagai jaringan kehidupan yang saling terkait erat, interkoneksi dan interdependensi antar bagian-bagian dan antara keseluruhan dan bagian-bagiannya. Kedua, epistemologi yang mengintegrasikan subyek `yang mengetahui' dan obyek `yang diketahui', imanensi kesadaran subyek dalam sistem sebagai suatu keseluruhan. Pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan seperti etika dan estetika; bahwa fakta dan nilai tidak terpisahkan. `Mengetahui' adalah proses kehidupan, kreativitas yang mengkonstitusi realitas; `mengetahui' adalah `mengada', suatu proses transformasi nilai-nilai eksistensial kemanusiaan. "Berpikir seperti alam berpikir" merupakan salah satu adagium epistemologi yang dianut dalam paradigma holisme-ekologis. Ketiga, berkarakter dialogis-sintesis dan realis-kritis sehingga dapat berdialog dengan pelbagai wilayah peradaban manusia, seperti wacana wins, pemikiran kebudayaan kontemporer dan realitas kehidupan global. dengan segenap problemanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2277
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Blikololong, Jacobus Belida
"Apa yang dikemukakan Georg Simmel dalam The Philosophy of Money pada hakekatnya bukannya sebuah metafisika. Meski di dalamnya terkandung konsep-konsep filosofis yang penting, padangannya dalam buku itu lebih merupakan sumbangan bagi sosiologi cultural dan analisis tentang implikasi-implikasi social yang lebih luas dari masalah ekonomi. (Coser, Master of Sociological Thought, 1977).
Minat Simmel terhadap fenomena uang sebetulnya tertaman dalam perhatian teoretis dan filosofisnya yang lebih luas. Simmel melihat uang sebagai bentuk khusus nilai. Selain itu Simmel juga menyoroti dampak uang terhadap dunia batin manusia dan kebudayaan obyektif secara keseluruhan. Dia juga melihat kaitan antara uang dan komponen-komponen kehidupan lainnya, seperti pertukaran, milik, kerakusan, ekstravaganza, sinisme, kebebasan individu, gaya hidup, kebudayaan, nilai kepribadian, dan sebagainya (Kracauer, 1978). Dan yang terpenting, Simmel melihat uang sebagai sebuah komponen kehidupan spesifik yang mampu membantu manusia untuk memahami totalitas kehidupan. Simmel ingin menarik keluar "totalitas roh zaman dari analisisnya tentang uang".
Menurut Simmel, pertukaran ekonomi dapat dipahami sebagai bentuk interaksi sosial. Ketika transaksi moneter menggantikan barter, terjadi perubahan penting dalam bentuk interaksi antara para pelaku sosial. Simmel melihat uang sebagai suatu yang bersifat impersonal, suatu yang tidak terdapat pada ekonomi barter. Hubungan antar individu diwarnai warna dan ciri kalkulatif, menggantikan kecenderungan kualitas sebelumnya. Dalam pengamatannya, manusia modern telah menjadikan uang sebagai tujuan itu sendiri, padahal uang sebetulnya hanya merupakan sarana. Bahkan, uang adalah contoh paling murni dimana sarana diubah menjadi tujuan. Bersamaan dengan itu, muncullah dampak-dampak negatif terhadap individu, seperti sinisme dan sikap indiferen (blase attitude). Dampak ekonomi uang lain yang digaris bawahi Simmel adalah reduksi nilai-nilai manusia menjadi uang. Segalanya bernilai kalau menghasilkan banyak uang. Nilai manusia direduksi ke ekspresi moneter, kata Simmel. Sambil menunjukkan dampak negatif dari fenomena uang, Simmel menegaskan semuanya tergantung pada manusia itu sendiri. Tapi diingatkannya bahwa uang hanyalah sarana, bukannya tujuan pada dirinya sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Lodera
"Upacara Pasupati merupakan sebuah ritual yang tidak saja memiliki dimensi religi yang melandasinya, namun juga memiliki dimensi etis dan estetis. Hal itu terlihat dalam berbagai aktivitas Upacara Pasupati itu sendiri yang menampakkan adanya aktivitas dalam bentuk kerjasama dan partisipasi dalam hubungan ketetanggaan dan dalam berbagai aktivitas lainnya.
Penelitian ini mencoba mengkaji dan menelusuri dimensi-dimensi etis dan estetis pelaksanaan upacara Pasupati terutama yang terkait dengan masalah hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan hidupnya dan manusia dengan Tuhan, yang memang selama ini belum pernah diteliti dalam bentuk karangan ilmiah.
Secara pragmatis penelitian ini bertujuan untuk menelusuri tenomena-fenomena etis dan estetis dalam pelaksanaan upacara pasupati dan konsekuensinya terhadap integrasi masyarakat Bali.
Upaya untuk memperoleh hasil penelitian tersebut dipergunakan beberapa teknik penelitian yakni dengan mengidentifikasi Lokasi Penelitian, mengumpulkan data dengan metode pencatatan dokumen, dan observasi, menganalisa data, mengecek kesahihan data atau kebenaran data yang diperoleh dan menggunakan metode Kritis Refleksif untuk mengolah data yang bersifat empiris.
Berdasarkan atas temuan dan analisis data penelitian, maka dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai berikut:
Makna etis dari sebuah Upacara Pasupati, mengandung berbagai jenis pendidikan terutama dalam pendidikan moral dan karakter umat Hindu, serta mengandung unsur imperatif bagi umatnya untuk selalu melaksanakan sradha bhakti secara rutin, dalam waktu-waktu tertentu dan dalam perspektif, pelaksanaan sebuah Upacara Pasupati dapat menuntun umat Hindu untuk berprilaku dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, sehingga menumbuhkan rasa percaya pada Tuhan, dapat senantiasa berkomunikasi dengan Tuhannya dan dapat mengetahui kebenaran baru tentang yang religius.
Dengan percaya kepada Tuhan justru menjadikan seseorang lebih kuat menghadapi berbagai persoalan hidup dan memiliki integrasi individual (tidak lemah, dan mudah putus asa), serta memiliki integrasi sosial (harmonis dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama). untuk memperkuat perasaan dan ide-ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan rnasyarakat, guna dapat dipeliharanya rasa persatuan dan rasa kebersamaan
Makna estetis dari pelaksanaan upacara Pasupati adalah keindahan yang dihayati oleh masyrakat Bali bukan semata-mata untuk dinikmati oleh indra manusia melainkan rasa seni mampu berkiprah dalam menghubungkan manusia dengan Tuhannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T4091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsu Hendra Siwi
"Manusia, kegiatan dan wadah merupakan tiga hal penting dalam bahasan arsitektur. Setiap kegiatan manusia membutuhkan ruang. Setiap saat manusia tidak hanya aktif di dalam ruang, merasakan ruang, berada dalam ruang dan berpikir tentang ruang tetapi manusia juga menciptakan ruang untuk menstrukturkan ekspresi dunianya ke dalam bentuk nyata. Ruang sebagai eksistensi, memberikan pemahaman antara hubungan kepentingan manusia dengan lingkungannya.
Ruang menjadi bahasan arsitektur yang sebelumnya sudah menjadi bahasan filsafat dan psikologi. Dalam perkembangannya, ruang dipahami secara subjektivis maupun secara objektivis baik secara epistemologi maupun ontologi. Pada subjektivisme, eksistensi ruang mengacu pada pikiran yang bukan dari sumber-sumber objektif. Kesadaran akan ruang tidak mengacu pada objek di luar. Sedangkan persepsi ruang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman individual penahu. Manusia mengetahui adanya ruang disebabkan oleh idea. Ruang merupakan forma intuisi kita sendiri. Ruang bukan sesuatu bentuk phenomena indera luar, tetapi merupakan kondisi subjek pada perasaan yang merupakan intuisi eksternal yang independen.
Pada objektivisme, pengetahuan bersumber pada:
a-posteori pengalaman. Paham ini menekankan bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diasalkan dari dan atau dikonfirmasikan oleh pengetahuan inderawi. Ruang sebagai kajian pengetahuan diartikan sebagai objek di luar subjek. Ruang sebagai objek material merupakan wadah fisik yang dapat diamati oleh indera manusia sehingga harus terukur, menempati suatu posisi, mempunyai bentuk dan berada. Ruang tidak bergantung pada persepsi manusia (subjek) walaupun persepsi kita terhadap ruang akan membawa kesadaran kita. Ruang dalam pandangan objektivis ini menjadikan arsitektur dipandang sebagai seni visual yang mementingkan indera penglihatan.
Paham subjektivis dan objektivis mengandung kelemahan-kelemahan. Pemahaman ruang arsitektur secara subjektivis menerjemahkan keberadaan ruang bahwa ruang berada di benak subjek. Pada kenyataannya ruang arsitektur merupakan ruang materiil yang merupakan perwujudan dari ide ruang yang immateriil. Ide ruang direalisasikan menjadi ruang fisik tidak akan sama persis, sehingga antara ide dan realitas tidaklah sama persis, walaupun ada usaha untuk menyamakannya. Dalam arsitektur, ide/ pikiran ruang dapat bersumber dari proses kreatif yang berupa intuisi maupun dari pengalaman inderawi. Hal inilah sebagai kritik terhadap teori pengetahuan yang subjektivis maupun yang objektivis. Pada objektivisme selain tersebut di atas, juga mengandung kelemahan. Bila objektivis memandang hal yang tampak saja, arsitektur bukan hanya permasalahan yang tampak saja akan tetapi juga yang tidak tampak, seperti harapan, keinginan-keinginan, fantasi, obsesi dan sebagainya.
Hal yang tampak maupun yang tidak tampak merupakan phenomena yang harus dapat ditangkap yang kemudian direduksi sehingga akan mendapatkan yang esensi. Seluruh dimensi manusia (manusianya sendiri, kegiatan dan lingkungannya) menjadi phenomena dalam fenomenologi. Fenomenologi dipakai sebagai pendekatan untuk menjawab kelemahan-kelemahan dari subjektivisme dan objektivisme. Dengan Fenomenologi ruang akan lebih kaya makna dan dapat terungkap secara lebih lengkap. Fenomenologi merupakan metoda untuk menangkap semua phenomena yang ada, akan tetapi untuk mengungkapkan phenomena yang tak tampak yang berupa ketidaksadaran pada subjek manusia diperlukan suatu pendekatan psikologi yaitu Psikoanalisis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T7027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>