Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lim, Andrew Halimanto
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelltlan: Akar kayu manis (AKM) merupakan tumbuhan obat yang telah lama dipakai di masyarakat kita untuk mengatasi berbagai penyakit. Salah satu diantaranya adalah efek protektif terhadap hati. Untuk mengetahui efek protektif ekstrak akar kayu manis (EAKM) dengan beberapa tingkat dosis (1,6 , 8, 40 mg/kg BB) glisirizin terhadap kerusakan hati karena parasetamol dosis berlebih dan membandingkannya dengan N-asetilsistein (NA), maka diteliti kemungkinan penggunaannya secara eksperimental. Penelitian ini dilakukan terhadap 56 ekor tikus strain LMR yang dibagi secara acak menjadi 7 kelompok yaitu: I: kelompok kontrol alamiah, II: kelompok kontrol pelarut, III: kelompok uji parasetamol, IV - VI: kelompok uji parasetamol + EAKM dengan beberapa tingkat dosis glisirizin ( 1,6 , 8, 40 mg/kg BB), VII: kelompok uji parasetamol + NA. 48 Jam setelah perlakuan, semua tikus coba dimatikan dengan dekapitasi; darah dikumpulkan untuk pemeriksaan aktivitas SGPT dan hati diambil untuk pemeriksaan histopatologi sel hati. Data dianalisis dengan uji statistik nonparametrik Kruskal-Wallis dan perbandingan multipel antar masing-masing kelompok menurut Kruskal-Wallis (p 0,01).
Hasil dan Kesimpulan: Kelompok IV menunJukkan aktivltas SGPT dan derajat histopatologi sel hati rata-rata kira-kira 1/2 kali lebih rendah daripada kelompok I11 tetapi kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada kelompok VII dan secara statistik terdapat perbedaan bermakna (T 0,01). Peningkatan dosis EAKM tampak efek protektif terhadap hati makin berkurang, bahkan pada kelompok VI aktivitas SGPT rata-ratanya hampir sama dengan kelompok III. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa EAKM mempunyal efek protektif terhadap kerusakan hati karena parasetamol dosis berlebih pada dosis glisirizin 1,6 mg/kg BB. Namur demikian efek hepatoprotektlfnya lebih lemah dibandingkan dengan NA.

Scope and Method of Study: The licorice root as a herb has been used in our country as a remedy for various diseases; among others is for liver diseases. To clarify this, it is decided to investigate the effects of the root (i,6; 8; 40 mg/kg BW glycyrrhizin) on liver damage induced by paracetamol overdoses. The experiment was performed on 56 rats of LMR strain which were randomly divided Into t groups 1.e I: as the natural control group, II: as the solvent control group, and III: as the paracetamol treatment group, IV - VI: as the paracetamol + licorice root extract (1,6 , 8, 40 mg/kg BW glycyrrhizin) groups, VII: as the paracetamol + N-acetylcysteine group. Forty eight hours after treatment, the animals were killed under light ether anesthesia by decapitation; the blood was collected for SGPT determination and liver were excised for histological preparation. The result of the experiment were calculated by means of Kruskal?Wallis nonparametrlc and Kruskal-Wallis multiple comparison statistical methods between each group ( p ` 0,01 ).
Results and conclusions: Group IV showed that the means of SGPT activity and histopathology scores about 1/2 times lower than group III but about 2 times higher than group VII and there were significant differences statistically (P 0,01). The increase in doses of licorice root extract decreased the protective effect against liver damage, whereas on group VI, The means of SGPT activity rather similar to group III. Thus, It can be concluded that licorice root extract ( 1,6 mg/kg BW glycyrrhizin ) has protective effect against liver damage caused by paracetamol overdoses. However its hepatoprotective effect is less than N-acetylcysteine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masfar Salim
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Debrisokuin (D) merupakan obat antihipertensi, golongan penghambat adrenergik. D mengalami hidroksilasi di hati. Berbagai obat penting lain juga mengalami cara hidroksilasi sama dengan D, seperti lidokain, nortriptilin, perheksilin dan metoprolol. Kemampuan hidroksilasi D digunakan sebagai indikator untuk menetapkan kemampuan hidroksilasi seseorang. Distribusi frekuensi kapasitas hidroksilasi D pada suatu populasi ternyata merupakan kurva polimodal (bimodal atau trimodal) karena dikendalikan oleh gen tunggal, yang bermanifestasi sebagai kelompok hidroksilator kuat (mayoritas, genotip dominan) dan kelompok hidroksilator lemah (minoritas, genotip resesif). Kelompok hidroksilator lemah mempunyai prevalensi yang bervariasi antar suku bangsa dan secara klinis cenderung mendapat efek samping yang jauh lebih sering dan kadang-kadang berbahaya bila diberikan obat-obat (dalam dosis terapi) dengan cara metabolisme (hidroksilasi) sama dengan D.
Untuk mengetahui kemampuan hidroksilasi D seseorang, sebagai parameter dipakai ratio perbandingan metabolik ('metabolic ratio' = MR), yaitu ratio % dosis D yang diekskresi dalam bentuk utuh terhadap % dosis D yang diekskresi sebagai 4-hidroksi debrisokuin (4-HD) dalam urin, sesudah waktu tertentu pemberian D per oral. Disebut hidroksilator kuat bila MR < 12,6 dan hidroksilator lemah bila MR > 12,6. Untuk analisis kadar D dan 4-HD dalam urin digunakan kromatografi gas dengan metode yang dikembangkan Matta dkk.
Hasil dan Kesimpulan: Telah diteliti 63 orang sukarelawan Indonesia sehat, ternyata 5 subyek (7,94 %) termasuk hidroksilator lemah dan 58 subyek lainnya (92,06 %) termasuk hidroksilator kuat.

Scope and Methodology: Debrisoquine (D) is a hypertensive drug classified as an adrenergic blocking agent. D undergoes hydroxylation in the liver. Other important drugs, such as lidocaine, nortryptiline, perhexiline, and metoprolol also undergo hydroxylation in the same way as D. The capacity of D hydroxylation is used, as an indicator to determine a person's capacity to hydroxylate. The distribution of the frequency of D hydroxylation capacity in a population is polymodal (bimodal or trimodal), because it is controlled by a single gene and it manifest as Extensive Metabolizers group (majority, dominant genotype) and Poor Metabolizers group (minority, recessive genotype). Poor Metabolizers has a variety of prevalence among ethnic groups and clinically tend to get more frequent and sometime dangerous side effects when given other medications (in therapeutic dosage) that have the same metabolism (hydroxylation) as D.
To know a person's capacity to hydroxylate, we use metabolic ratio (MR) as a parameter'. It is the ratio of % of D dosage excreted unchanged to % of D dosage excreted as 4-hydroxy debrisoquine (= 4-HD) in urine, after taking D orally. It is called Extensive Metabolizers if the MR is < 12.6 and Poor Metabolizers if MR>12.6. To analyze the degree of D and 4-HD in urine, we use gas chromatography, a method developed by Wiria et al.
Findings and Conclusions: 63 healthy Indonesian volunteers have been tested and five (7.84 %) are included as weak hydroxylator group and 58 (92.06 %) are included as strong hydroxylator group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Fatma Suniarti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Lidokain adalah anestetik lokal yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi, karena mempunyai mula kerja cepat dan masa kerja lama dan jarang menimbulkan alergi. Anestetik lokal lidokain yang biasa digunakan adalah lidokain 2% dengan epinefrin 1 : 80.000. LC adalah lidokain Inpres yang dikeluhkan oleh dokter gigi Puskesmas mempunyai mula kerja lama dan masa kerja singkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan mula kerja dan masa kerja LC dan PC (obat anestetik lokal standar) pada kasus pencabutan gigi molar satu atau molar dua rahang bawah.
Penelitian dilakukan terhadap 60 orang pasien, yaitu 30 orang mendapat LC dan 30 orang mendapat PC dengan Cara anestesi infiltrasi dan anestesi blok rahang hawah. Observasi mula kerja dilakukan dengan penusukan sonde lurus pada daerah separuh bibir, 2/3 anterior lidah ipsilateral dan mukosa pipi dan luksasi ringan gigi yang akan dicabut dengan interval 1 menit. Observasi masa kerja dilakukan dengan penusukan sonde pada daerah observasi dan soket bekas pencabutan gigi setelah 1 jam dan kemudian setiap 15 menit.
Hasil dan Kesimpulan: Mula kerja rata-rata LC 560,7 detik dan PC 254,8 detik. Masa kerja rata-rata LC 124,5 menit dan PC 170 menit. Mula kerja dan masa kerja LC dan PC berbeda bermakna dengan p <0,01. Perbedaan mula kerja dan masa kerja LC dan PC mungkin disebabkan perbedaan formulasi, yaitu perbedaan bahan baku dan zat penambah lain seperti vasokonstriktor, zat pengawet dan lain-lain.

Scope and Method of Study: Lidocain is currently a local anesthetic agent most widely used in dentistry, be-cause of its rapid onset, long duration of action and
safety. It is commonly used as a 2% solution containing 1: 80.000 adrenalin. Lidocain (LC) is a trade name for lidocain that is routinely used in Puskesmas (Inpres drug). Complaints about the insufficiency of LC are frequently reported by dentists who work at these local health centers. On the other hand, a large body of information revealed that dentists prefer to use another trade name of lidocain, namely "Pehacain" (PC) to LC.
The purpose of the present study is to compare the efficacy of LC vs PC in clinical use, i.e. in the extraction of the first or second molar of the mandible. A total of 60 patients is divided into two groups, consisting of 30 patients each. The first group was treated with LC and the second group with PC, each was locally injected as infiltration and block anesthesia. The onset of action of the drugs was determined by prickling of the lip, tongue and buccal mucosa with a sonde and by a slight luxation of the affected tooth, at an interval of 1 minute. The duration of action of the drugs was determined 1 hour after the onset of anesthesia, by prickling the anesthetized socket every 15 minutes.
Findings and Conclusions: The onset of action of LC was 566.7 ± 82.8 (mean ± SD) seconds, and that of PC was 259.8 ± 32.0 seconds. The duration of action of LC was 124.5 ± 13.5 minutes, while that of PC was 170 ± 9.1 minutes. The onset and duration of action of these two drugs differed significantly (p <0.01). The cause of the differences might lie in the differences in the constituents of the drugs, such as the reducing agents, type of preservation, the amount of vasoconstrictor added, etc.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia L. Pudjiadi
"Penisilin merupakan salah satu obat yang paling tidak toksik bagi kebanyakan orang, mengingat Cara kerjanya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri yang terdiri dari polimer mukopeptida, sedangkan sel manusia tidak mempunyai dinding tersebut sehingga tidak terganggu oleh penisilin. Tapi bagi sebagian kecil populasi yang hipersensitif, penisilin dapat menjadi sangat berbahaya, beberapa miligram atau bahkan mikrogram saja dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat, termasuk syok anafilaktik dan kematian.
Hasil Monitoring Efek Samping Obat Nasional tahun 1981-1985 menunjukkan bahwa Penisilin merupakan jenis antibiotik yang paling sering dilaporkan- menyebabkan syok anafilaktik, sedangkan antibiotik merupakan penyebab tersering dari efek samping obat (Suharti dan Darmansyah, 1985).
Mengingat belum adanya angka mengenai rate syok anafilaktik akibat penisilin di Indonesia, pada penelitian ini dilakukan survai untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat suntikan penisilin-G (benzilpenisilin) di puskesmas Jakarta dalam kurun waktu satu tahun secara retrospektif. Penelitian dibatasi pada benzilpenisilin, karena selain merupakan preparat suntik penisilin yang paling murah dan paling banyak dipakai, juga merupakan satu-satunya jenis preparat suntik penisilin yang tersedia di puskesmas.
Kadang-kadang reaksi alergi penisilin tidak disebabkan oleh obatnya sendiri, melainkan oleh hasil urai / produk degradasinya. Penisilin yang paling banyak dipakai sebagai suntikan yaitu benzilpenisilin; dalam larutan dapat terurai secara spontan menjadi asam benzilpenisilenat yang sebagian besar akan bereaksi dengan protein tubuh membentuk kelompok ?Major Antigenic Determinant?. Sebagian kecil akan terurai lagi menjadi asam benzilpenisiloat, yang bersama hasil urainya membentuk kelompok ?Minor Antigenic Determinant?. Reaksi alergi yang terjadi dalam waktu kurang dari 1 jam setelah pemberian penisilin (immediate type) antara lain syok anafilaksis, umumnya disebabkan oleh ?Minor Antigenic Determinant? ini (Bellanti, 1971).
Dari penelitian pendahuluan di beberapa puskesmas ternyata preparat benzilpenisiliri yang sudah dilarutkan dan tidak habis terpakai kadang-kadang disimpan lagi (di kulkas maupun diluar kulkas) untuk dipakai lagi keesokan harinya. Mengingat penguraian penisilin dapat terjadi spontan didalam larutan, dan terdapatnya beberapa merk dagang benzilpenisilin (penisilin-G) yang kemungkinan tidak sama mutunya / kecepatan degradasinya maka dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap kadar asam penisiloat dari beberapa macam merk dagang penisilin-G baik ketika baru dilarutkan maupun setelah didiamkan beberapa hari di kulkas dan diluar kulkas untuk melihat perubahannya. ditanyakan juga merk dagang penisilin-G yang dipakai kepada puskesmas-puskesmas yang didatangi untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat penisilin-G.
Untuk melihat hubungan antara terdapatnya asam penisiloat dalam preparat penisilin-G dengan syok anafilaktik akibat penisilin, dilakukan pemeriksaan kadar asam penisiloat pada sisa preparat yang menyebabkan syok anafilaktik (diminta dari puskesmas). Untuk mencegah terjadinya reaksi yang tidak diinginkan pada penyuntikan penisilin, sering dilakukan skin-test pada pasien yang akan disuntik. Sebagai bahan skin-test dipakai larutan benzilpenisilin yang diencerkan berhubung bahan skin-test lain tidak tersedia, dan benzilpenisilin sendiri merupakan Minor Antigenic Determinant, sehingga hasil yang positif dapat membantu meramalkan kemungkinan terjadinya syok anafilaktik bila penisilin disuntikkan. Pada penelitian ini diadakan kuesioner untuk mendapatkan gambaran mengenai prosedur skin-test di puskesmas (pengenceran bahan yang dipakai, kriteria penilaian hasil skin-test, dan lain-lain)."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Instiaty
"ABSTRAK
Gen CYP2C8 mempunyai beberapa alel mutan yang menyandi enzim CYP2C8 dengan kapasitas metabolisme yang rendah. Enzim CYP2C8 berperanan penting dalam metabolisme antimalaria amodiakuin menjadi metabolit aktifnya desetilamodiakuin sehingga mutasi pada gen CYP2C8 diduga berpotensi menyebabkan kegagalan terapi maupun kejadian efek samping agranulositosis yang dipicu oleh metabolit nonenzimatiknya amodiakuinkuinonimin.
Penelitian observasional ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi distribusi alel mutan gen CYP2C8 yaitu CYP2C8*2, CYP2C8*3, dan CYP2C8*4 pada salah satu kelompok etnik yang tinggal di daerah endemik malaria, yaitu suku Nias. Analisis PCR-RFLP untuk identifikasi alel gen CYP2C8 yang dilakukan pada 214 sampel berupa tetes darah di kertas saring (dot blot) dan subjek suku Nias memperlihatkan bahwa semua sampel membawa alel normal (wild type). Dengan tidak ditemukannya alel mutan gen CYP2C8 pada suku Nias, kita dapat berharap bahwa kemungkinan kegagalan terapi amodiakuin dan efek samping obat akibat metabolit nonenzimatiknya pada suku Nias tidak berkaitan dengan polimorfisme gen CYP2C8.

ABSTRACT
The CYP2C8 gene has been documented to have several alleles encoding enzyme with low metabolic capacity. Since CYP2C8 plays a major role in metabolizing antimalarial drug amodiaquine to its active metabolite desethylamodiaquine, it is assumed that mutation in CYP2C8 gene may potentially lead to treatment failure or to occurrence of adverse drug reactions such as agranulocytosis induced by its nonenzymatic metabolite amodiaquinequinoneimine.
The aim of this study was to determine the frequency distribution of CYP2C8 mutant alleles particularly CYP2C8*2, CYP2C8*3 and CYP2C8*4 in one of the ethnic group that resides in malaria endemic area, Nias. PCR-RFLP analysis of 214 dot blot samples from Nias ethnic group subjects revealed that all of the samples carried the wild type allele of the CYP2C8 gene. In the absence of mutant alleles of CYP2C8 among Nias ethnic group, one can expect that treatment failure in amodiaquine therapy and adverse drug reactions associated with reactive metabolite of the drug are not related with CYP2C8 genetic polymorphisms."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18010
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alyya Siddiqa
"Masalah terapi malaria yang dihadapi Indonesia adalah resistensi obat dan kegagalan pengobatan. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan adalah buruknya biotransformasi obat pro drug menjadi bentuk aktifnya akibat karakteristik genetik manusia. Sejak tahun 2004, obat antimalaria amodiakuin yang dikombinasikan dengan artemisinin menjadi terapi lini pertama terapi malaria di Indonesia. Amodiakuin, sebagai pro-drug, memerlukan enzim CYP2C8 untuk membentuk metabolit aktifnya, desetilamodiakuin. Polimorfisme gen CYP2C8 yang menyandi protein enzim CYP2C8 diduga dapat menyebabkan kegagalan terapi akibat tidak terbentuknya metabolit aktif yang mencukupi.
Penelitian dengan disain potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan proporsi ale! mutan gen CYP2C8 pada penderita malaria faiciparum tanpa komplikasi di desa Sentani Papua yang gaga! dan yang berhasil diterapi dengan amodiakuin atau artesunatamodiakuin.
Sampel penelitian adalah sampel darah pada kertas saring Whatman dari 43 subjek yang gagal dan 65 subjek yang berhasil diterapi dengan amodiakuin atau kombinasi artesunat-amodiakuin. Penelitian dilakukan dengan metode PCR-RFLP untuk mengidentifikasi ada tidaknya alel mutan. Alel mutan yang diperiksa adalah CYP2C8*2, CYP2C8*3, dan CYP2C8*4.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya alel mutan gen CYP2C8 pada kedua kelompok penderita malaria faiciparum. Hasil ini membuktikan bahwa alel-alel mutan gen CYP2C8 pada populasi penelitian terdistribusi dalam frekuensi yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Polimortisme gen CYP2C8 tidak berhubungan dengan penyebab kegagalan terapi pada kelompok subjek penderita malaria faiciparum yang gagal diterapi.

The major problems of malaria in Indonesia nowadays are drug resistance and therapeutic failure. One factor that might cause the therapeutic failure is insufficient or poor biotransformation of pro-drug to its active form related to human genetic characteristics. Since 2004, combination of artemisinin and amodiaquine has been adopted as the first line therapy for malaria in Indonesia. Amodiaquine, as a pro-drug, needs CYP2C8 enzyme to produce its active metabolite, desethylamodiaquine. Polymorphism of CYP2C8 gene that codes the enzyme is assumed to be responsible for therapeutic failure because desethylamodiaquine produced in small amount.
This is a cross-sectional study to identify the proportion of mutant allele of CYP2C8 gene on malaria faciparum patients without complication at Sentani village, Papua, who were treated by amodiaquine or artesunatamodiaquine.
The blood samples on Whatrnan filter papers were obtained from 43 subjects who failed to respond and 65 subjects who responded well by amodiaquine or artesunate-amodiaquine. The study applied PCR-RFLP methods to analyze CYP2C8 gene and to determine the mutant alleles. The mutant alleles analyzed included CYP2C8*2, CYP2C8*3, and CYP2G8*4.
Our study showed that no mutant alleles were found in both groups. This result proved that the frequency distribution of CYP2C8 mutant alleles is very low or even absence in our study population. It is concluded that polymorphism of CYP2C8 gene is not related to the therapeutic failure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meiyanti
"Latar belakang: Mahkota dewa, (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua Tanaman ini dikenal di Indonesia, secara empiris banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit Uji in vivo pada hewan coba menunjukkan bahwa mahkota dewa dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetabui efek bubuk daging buah mahkota dewa dalam menurunkan kadar glukosa darah pada manusia sehat setelah pembebanan glukosa, dan untuk mengetahui besarnya dosis mahkota dewa yang efektif untuk menurunkan glukosa darah.
Rancangan penelitian: Desain yang digunakan adalah uji Mimic terbuka (tanpa pembanding) dengan dosis yang ditingkatkan, titrasi tidak dipaksakan (unforced titration) Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk daging buah mahkota dewa yang dimasukkan ke dalam kapsul. Lima belas sukarelawan dibenkan pembebanan glukosa 75 gram setelah puasa 10 jam untuk mendapatkan kadar glukosa swami baseline. Tiga hari kemudian dilakukan kembali pembebanan glukosa disertai dengan pemberian mahkota dewa dosis 250 mg. Untuk mehliat respon drlibat kadar glukosa serum pads 0 menit dan 15, 30, 60, 120, 180, dan 240 menit setelah pembebanan glukosa raja maupum setelah pembebanan glukosa + mahkota dewa. Setelah itu dihitung luas area di bawah kurva kadar glukosa serum terhadap waktu sampai dengan 4 jam (AUG 04 jam). Bila pada pemberian mahkota dewa 250 mg diperoleh pengurangan mlai AUC < 10 % dibandingkan AUC baseline maka dilakukan peningkatan dosis menjadi 500 mg atau menjadi 1000 mg bila dengan pemberian dosis 500 mg penunman nilai AUC < 10 % dibandingkan AUC baseline.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian ini memberikan hasil bahwa bubuk daging buah mahkota dewa dosis 500 mg mernperlihatkan pennnman ndai AUC yang secara statistik bermakna (p< 0,05). Penurunan kadar glukosa serum bergantung pada dosis yang diberrkan, makin besar dosis yang diberikan makin besar penurunan kadar glukosa serum.
Disimpulkan bahwa bubuk daging buah mahkota dewa dosis 500 mg dapat menurunkan kadar glukosa darah orang sehat. Mash perlu dilakukan uji klimk lebih lanjut untuk menilai efikasi bush mahkota dewa pada penderita diabetes melitus, sebelum dipergunakan sebagai obat tambahan/alternatif

Background: Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Schell) Boerl) is an original Indonesian plant derived from Papua This plant is well-known in Indonesia and has been empirically used for the treatment of various diseases. In vivo test in experimental animals indicates that mahkota dewa could reduce blood glucose level.
Objective: The objective of this study was to evaluate the effect of mahkota dewa mesocarp fruit powder in reducing the increased blood glucose level in glucose loading healthy volunteers, and to determine the effective dose of mahkota dewa in reducing blood glucose level.
Methods: The study design was open clinical study (without control group) with increasing doses and unforced titration. The material used in this study was capsules containing mahkota dewa mesocarp fruit powder. Fifteen healthy volunteers were induced hyperglicernic by loading of 75 gram of glucose after 10 hour fasting . The resulting blood glucose level upon loading alone was described as the serum basal level of glucose. Three days later, the glucose loading procedure was repeated together with the administration of 250 mg mahkota dewa. In order to examine the response, blood glucose levels were observed in 0 minute, 15, 30, 60, 120, 180 and 240 minute after being loaded by glucose in absence and presence mahkota dewa. Subsequently, the area under the curve of blood glucose level aligned with 4 hour lime axis (AUC o.-0 hour) was calculated. lithe AUC value decreased < 10% after 250 mg mahkota dewa administration compared to baseline AUC then the dose was increased to 500 mg or it would be increased to 1000 mg if the AUC value decreased < 10% after 500 mg dose administration compared to baseline AUC.
Results and conclusions: This study suggests the potentially beneficial effect of mahkota dewa mesocarp fruit powder of 500 mg dose in reducing the AUC value of serum glucose after glucose loading, which is statistically significant (p < 0.05). The effect of mahkota dewa in decreasing blood glucose depends on the given dose. The greater the dose given, the greater the decreasing effect of blood glucose occur. In conclusion, mahkota dewa mesocarp fruit powder of 500 mg dose reduces blood glucose level in healthy volunteers after glucose loading. Further clinical studies should be conducted to evaluate the efficacy of mahkota dewa fruit in diabetes mellitus patients before it is used as adjunctive/alternative treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Joyce Novelyn
"ABSTRAK
Pendahuluan: Kusta merupakan penyakit menular yang belum sepenuhnya dapat
dikendalikan, dan menjadi masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang ditimbulkan,
salah satunya akibat reaksi kusta. Terapi utama untuk reaksi kusta adalah kortikosteroid,
dalam dosis standar 12 minggu sesuai rekomendasi WHO dan Kemenkes RI. Dengan
terapi standar ini, kesembuhan dapat tidak tercapai dan sering terjadi rekurensi, sementara
durasi pemberian yang lama diduga dapat memberikan perbaikan klinis lebih baik serta
bertahan lebih lama. Bukti efikasi kortikosteroid pada reaksi kusta masih kurang, dan
dosis optimal serta lama terapi yang dibutuhkan sangat bervariasi. Di sisi lain, kebutuhan
akan kortikosteroid dosis tinggi jangka panjang menimbulkan kesulitan menghindari efek
samping, mencakup hampir semua sistem organ. Dengan adanya perbedaan penetapan
durasi pemberian kortikosteroid pada reaksi kusta, sementara penggunaan jangka panjang
cenderung meningkatkan efek samping, maka diperlukan analisis perbedaan efektivitas
terapi dan efek samping antara kortikosteroid 12 minggu dengan >12 minggu.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain kohort
retrospektif yang membandingkan efektivitas terapi dan kejadian efek samping antara
penggunaan kortikosteroid 12 minggu dengan >12 minggu pada pasien kusta dengan
reaksi, melibatkan seluruh pasien baru kusta dengan reaksi tanpa batasan usia, yang
berobat ke RSCM dan Puskesmas Cakung selama periode 1 Januari 2015 sampai 31
Desember 2017. Data sekunder dikumpulkan dari rekam medik, dan pengamatan
dilakukan sampai Desember 2018. Efektivitas terapi dinilai dari perbaikan klinis hingga
kortikosteroid dapat diturunkan bertahap dan dihentikan, tanpa ada rekurensi dalam 3
bulan setelah siklus pertama selesai. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping
terkait kortikosteroid yang tercatat pada rekam medik.
Hasil: Dari 195 subjek, 57 (29.2%) menggunakan kortikosteroid selama 12 minggu, dan
138 (70.8%) menggunakannya selama >12 minggu. Efektivitas terapi berupa perbaikan
klinis tanpa rekurensi selama 3 bulan terjadi pada 38 (66.7%) pasien kelompok 12 minggu
dan 106 (76.8%) pasien kelompok >12 minggu (RR 0.604 dengan IK 95% 0.307 1.189,
p 0.143). Dari 145 subjek, efek samping kortikosteroid terjadi pada 12 (31.6%) pasien
kelompok 12 minggu dan 70 (65.4%) pasien kelompok >12 minggu (RR 0.244 dengan
IK 95% 0.111 0.538, p<0.001). Dari total 171 kejadian efek samping yang timbul,
37.4% adalah efek samping ringan berupa dispepsia, kelainan kulit dan lipodistrofi,
sementara 62.6% adalah efek samping berat berupa gangguan neuropsikiatrik, kelainan
mata, penyakit kardiovaskular, perdarahan saluran cerna, kelainan metabolik-hormonal,
serta reaktivasi infeksi.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan efektivitas berupa perbaikan klinis tanpa rekurensi
selama 3 bulan, antara penggunaan kortikosteroid 12 minggu dengan >12 minggu,
sementara efek samping yang timbul berbeda signifikan, yakni durasi pemberian yang
lebih panjang menimbulkan kejadian efek samping 4 kali lebih banyak.

ABSTRACT
Introduction: Leprosy is an infectious disease that has not been fully controlled, and has
become a public health problem because of the defects caused, one of which is a leprosy
reactions. The main therapy for leprosy reactions is corticosteroids, in a standard 12
weeks dose according to WHO recommendations and the Indonesian Ministry of Health.
Through this standard, therapy healing can not be achieved and recurrence often occurs,
while long duration of administration thought to provide better clinical improvement and
last longer. Evidence related to the efficacy of corticosteroids in the leprosy reactions is
still lacking, and the optimal dose and duration of therapy needed varies greatly. On the
other hand, the need for long-term high-dose corticosteroids makes it difficult to avoid
adverse effects, covering almost all organ systems. With the differences in the duration
of corticosteroid administration in leprosy reactions, while long-term use tends to increase
adverse effects, an analysis of the differences in therapeutic effectiveness and adverse
effects between corticosteroid use for 12 weeks and >12 weeks is needed.
Method: This study is an observational analytic study with a retrospective cohort design
that compares the effectiveness of therapy and the incidence of adverse effects between
corticosteroid use for 12 weeks and >12 weeks in leprosy patients with reactions,
involving all new leprosy patients without age restriction, who seek treatment at RSCM
and Puskesmas Cakung during the period of January 1, 2015 to December 31, 2017.
Secondary data was collected from medical records, and observations were carried out
until December 2018. Effectiveness of therapy was assessed from clinical improvement
to corticosteroids can be gradually reduced and stopped, without recurrence within 3
months after the first cycle was completed. Adverse effects were assessed from all
corticosteroid-related side effects recorded in the medical record.
Result: Of 195 subjects, 57 (29.2%) used corticosteroids for 12 weeks, and 138 (70.8%)
used it for >12 weeks. The effectiveness of therapy in the form of clinical improvement
without recurrence for 3 months occurred in 38 (66.7%) patients in the 12 weeks group
and 106 (76.8%) patients in the >12 weeks group (RR 0.604 with 95% CI 0.307 - 1.189,
p 0.143). Of 145 subjects, corticosteroids adverse effects occurred in 12 (31.6%) patients
in the 12 weeks group and 70 (65.4%) patients in the >12 weeks group (RR 0.244 with
95% CI 0.111-0.538, p <0.001). Of the total 171 occurrences of adverse effects, 37.4%
were mild such as dyspepsia, skin disorders and lipodystrophy, while 62.6% were severe
in the form of neuropsychiatric disorders, eye disorders, cardiovascular disease,
gastrointestinal bleeding, metabolic-hormonal disorders, and reactivation of infection.
Conclusion: There is no difference in effectiveness in the form of clinical improvement
without recurrence for 3 months, between corticosteroid use for 12 weeks compared with
>12 weeks, while the adverse effects that arise differ significantly, namely the longer
duration of administration causes 4 times more events."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian akibat infeksi di dunia. Sejak tahun 2008 - 2017 terdapat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia (< 90%). Rekomendasi pengobatan TB di Indonesia adalah paduan obat antituberkulosis (OAT) dosis berselang sebagian (2RHZE/4R3H3) atau harian (2RHZE/4RH). Menurut WHO, paduan OAT RHZE/R3H3 mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi. Namun, penelitian meta-analisis RCT menyatakan bahwa kedua paduan OAT mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/2RH dengan 2RHZE/4R3H3.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain cross sectional yang membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/4RH dengan 2RHZE/4R3H3 pada pasien TB paru kategori I di RSUP Persahabatan periode Januari 2015 sampai Juni 2018. Data sekunder diambil dari rekam medik. Hasil pengobatan dinilai sesuai definisi dalam pedoman nasional penanggulangan TB di Indonesia dan WHO. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping terkait OAT yang tercatat dalam rekam medik.
Hasil: Terdapat 175 pasien pada masing-masing kelompok. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4RH terdapat 89.1% pasien berhasil, 13.1% sembuh,76.0% pengobatan lengkap, 10.6% putus berobat, 0.6% gagal, dan tidak ada yang meninggal. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 terdapat 91.4% pasien berhasil, 39.4% sembuh, 52.0% lengkap, 8% putus berobat, tidak ada yang gagal, dan 0.6% meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), putus berobat (p=0.659 ,OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), gagal (p=1.000), dan meninggal (p=1.000) di antara kedua kelompok. Namun, terdapat perbedaan bermakna untuk kesembuhan (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) dan pengobatan lengkap (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540). Sebagian besar pasien mengalami efek samping pengobatan (51.1%) terutama di tahap intensif (73.2%). Pada tahap lanjutan tidak ada perbedaan bermakna kejadian efek samping antara kedua kelompok (p= 0.324, OR=1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Kesimpulan: Kesembuhan kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 lebih baik daripada 2RHZE/4RH, sedangkan pengobatan lengkap sebaliknya. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan, putus berobat, kegagalan, meninggal, dan kejadian efek samping pada tahap lanjutan di antara kedua kelompok.

Introduction: Tuberculosis (TB) is the main cause of death for infectious disease in the world. Since 2008 - 2017, there was a decline of TB success rate (< 90%) in Indonesia. Treatment of TB in Indonesia are using antituberculosis drugs with part daily dose combination (2RHZE/4R3H3) or daily dose combination (2RHZE/4RH). WHO concluded that 2RHZE/4R3H3 combination had higher failure and recurrence rate. However, a meta-analysis study showed that both combinations had same failure and recurrence rate. Therefore, this study is conducted to compare treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination.
Method: This was an observational analytic study with cross sectional design which compared treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination in pulmonary tuberculosis patient at RSUP Persahabatan period January 2015 until June 2018. Secondary data was taken from medical record. Treatment outcomes were assessed using definition in Indonesia National Guideline of TB and WHO. Adverse effects were assessed from all adverse effects that written in medical record.
Result: There are 175 patients in each group. In 2RHZE/4RH combination group, there were 89.1% patients succeed, 13.1% cured, 76.0% completed treatment, 10.6% lost to follow up, 0.6% failed and no one died. In 2RHZE/4R3H3 combination group, there were 91.4% patients succeed, 39.4% cured, 52.0% completed treatment, 8% lost to follow up, no one failed, and 0.6% died. There was no significant difference for success (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), loss to follow up (p=0.659, OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), failure (p=1.000), and death rate (p=1.000) between two groups. However, there was a significant difference for cure (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) and complete treatment rate (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540) between two groups. Most patients had adverse effects (51,5%), especially in intensive phase (73,2%). In continuation phase, there was no significant difference of adverse effects event between two groups (p = 0.324, OR= 1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Conclusion: Cure rate was better in 2RHZE/4R3H3 group than 2RHZE/4RH group, for completed treatment on the contrary. There was no significant difference for success rate, loss to follow up rate, failure rate, death rate, and adverse effects event in continuation phase between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riki Nova
"Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan salah satu penyakit keganasan hematologi yang prevalensinya dapatterus meningkat di masa depan. Terapi LGK saat ini adalah imatinib yang merupakan tirosin kinase inhibitor. Meskipun imatinib memiliki kemampuan klinis superior, diperkirakan sekitar 20-30% pasien LGK resisten terhadap terapi imatinib,yang salah satu penyebabnya terkait ekspresi P-gp berlebih, sehingga memompakan imatinib intraseluler ke domain ekstraseluler. P-gp disandi oleh gen ABCB1 yang bersifat sangat polimorfik, tiga single nucleotide polymorphism (SNP) telah diteliti pada pasien LGK, yaitu C1236T, C3435T dan G2677T/A. Mutasi yang paling umum terjadi untuk memprediksi respons klinis terapi imatinib pada pasien LGK Asia adalah mutasi C1236T. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mutasi C1236T gen ABCB1 dengan pencapaian MMR pada pasien LGK fase kronik yang mendapat imatinib.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross-sectional) menggunakan 120 sampel darah pada pasien LGK fase kronik yang mendapat imatinib mesilat selama ≥ 12 bulan yang memenuhi kriteria seleksi. Dilakukan amplifikasi dengan metode PCR dilanjutkan dengan sekuensing metode Sanger untuk penentuan mutasi C1236T gen ABCB1.
Hasil: Dari 120 sampel darah yang memenuhi kriteria seleksi dan dianalisis. Terdapat 28,3% pasien LGK fase kronik yang mencapai MMR. Mutasi C1236T adalah 72 pasien (60%). Tidak terdapat hubungan mutasi dengan pencapaian MMR (risiko prevalensi 0,717 [0,275-1,461], p = 0,282).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara mutasi C1236T gen ABCB1 pada pasien LGK fase kronik yang mendapat imatinib 12 bulan dengan pencapaian MMR.

Chronic myeloid leukemia (CML) is one of the hematological malignancy disease which prevalence may continue to increase in the future. The treatment option of CML recently is imatinib, the tyrosine kinase inhibitor. Despite its superior clinical performance, imatinib drug resistance is developed in 20-30% patient, one of the causes is related to over expression of P-gp that transfer intracelluler imatinib to the extracelluler domain. P-gp is encoded by ABCB1 gene which is highly polymorphic. Three ABCB1 gene single nucleotide polymorphism (SNP), has been studied in CML patient; C1236T, C3435T, and G2677T/A. The most common mutation that can predict the clinical respond of imatinib therapy in Asian CML patient is C1236T mutation. This study purpose is to find the association between C1236T mutation in ABCB1 gene to the achievement of MMR in chronic phase.
Methods: This is a cross-sectional study using 120 blood samples of chronic phase CML patient who received imatinib mesylate for up to 12 months and met the selection criteria. The amplification process with PCR methods was performed, followed by Sanger methods of sequencing to determine the C1236T gene ABCB1 mutation.
Results: A total of 120 blood samples that met the selection criteria was obtained and analyzed. About 28,3% of chronic phase CML patient achieved the MMR. C1236T mutation was found in 72 patients (60%). There was no association between mutation and MMR achievement (prevalence risk 0,717 [0,275-1,461] p = 0,282]).
Conclusion: There was no association between C1236T gene ABCB1 mutation of chronic phase CML patient who received imatinib 12 months with the MMR achievement.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>