Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taniawati Supali
"Penentuan adanya parasit B. malayi dalam darah dengan cara konvensional menggunakan membran filtrasi banyak mengalami kendala. Penyebabnya antara lain karena keengganan penduduk diambil darahnya waktu malam hari saat istirahat. Pengambilan darah waktu malam hari harus dilakukan sesuai periodisitas mikrofilaria, agar mikrofilaria yang berada dalam sistim peredaran darah tepi dapat terdeteksi. Di samping itu kemampuan diagnostik cara konvensional berhubungan dengan tinggi rendahnya densitas mikrofilaria dalam darah, namun cara ini tidak dapat mendeteksi cacing dewasa.
Dengan berkembangnya teknologi deoxyribonucleic acid (DNA), teknik polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya DNA B. malayi (dalam darah) dengan menggunakan sampel darah malam hari. Pada pelaksanaannya teknik tersebut juga terdapat kendala karena harus menggunakan sampel darah yang diambil malam hari.
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah metode PCR dapat dilakukan untuk mendeteksi DNA parasit B. malayi menggunakan darah slang. Penelitian dilakukan terhadap 141 sampel darah penduduk Desa Rogo dan Desa Mahoni Propinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah endimis filaria B. malayi antropofilik dengan periodisitas nokturna.
Sampel penelitian terdiri dari sampel darah yang diambil pada waktu malam dan siang hari. Sampel darah malam diperiksa dengan cara konvensional (membran filtrasi) dan cara PCR, sedangkan sampel darah slang diperiksa dengan cara PCR. Data diolah untuk mengukur kemaknaan, menggunakan uji McNemar serta dilakukan penilaian sensitivitas dan spesifisitas PCR terhadap cara membran filtrasi.
Hasil penelitian terhadap 141 sampel darah malam menunjukkan bahwa cara konvensional (membran filtrasi) dapat mendeteksi sebanyak 48 sampel pengandung parasit B. malayi, sedangkan cara PCR menjadi 91 sampel. Pada perbandingan hasil pemeriksaan membran filtrasi darah malam dengan uji PCR darah siang, didapatkan cara PCR darah siang lebih sensitif dari cara membran filtrasi. Metode PCR darah siang dapat mendeteksi 87 sampel positif, dari 141 total sampel, sedangkan membran filtrasi hanya dapat mendeteksi 48 sampel positif B. malayi. Dengan uji X2 (McNemar) didapat (p = 0,0000) berbeda bermakna. Nilai sensitivitas PCR 100%, sedangkan nilai spesifisitas 58%.
Hasil penelitian perbandingan uji PCR darah malam dengan uji PCR darah siang, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna ( p = 0,2891). Hal tersebut disebabkan karena antara hasil uji PCR darah malam dan hasil uji PCR darah slang hanya terdapat selisih 4 sampel.

Many problems have encountered in assessing the presence of B. malayi parasite in blood based on conventional method. One reason is the reluctance of people to be bled according to the periodicity of microfilaria. Although the conventional technique is related to microflarial density, it could not be used to detect living adult worm without microfilariae in blood circulation.
The development of deoxyribonucleic acid (DNA) technology enables polymerase chain reaction (PCR) to detect DNA of B. malayi either from microfilaria or adult stage. Nevertheless, the problem of night blood collection was still unsolved. The same problem arouse due to night blood samples collection. The aim of this study is to know whether the PCR assay could be used to detect the DNA of nocturnally B. malayi during day time.
The study was carried out on 141 blood samples collected twice, at night and the next day from people of Rogo and Mahoni villages, Central Sulawesi, which are endemic for anthropophilic B. malayi with nocturnal periodic. Night blood samples were examined by conventional method (membrane filtration) as well as PCR assay whereas day blood samples were only processed by PCR.
The PCR assay in night blood samples could detect 91 positive samples contained B. malayi and the day time detected 87 samples out of the total samples. The conventional method could only detect 48 positive samples. McNemar analysis showed significantly difference between those two methods (p= 0,0000). The sensitivity of PCR assay in the day blood samples compared to membrane filtration was 100 % and the specificity was around 55 %. There was no significant difference shown between PCR results in night blood compared to day blood samples (p=0,2891).
It was concluded that the PCR assay in day time could replace the conventional method without considering the periodicity of microfilaria in blood.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP 2000 134a
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
"ABSTRAK
Penelitian respon imun terhadap larva stadium empat (L4) jarang dilakukan. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan materi larva stadium empat yang cukup untuk pembuatan antigen.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan larva stadium empat (L4) pada kultur in vitro dengan menggunakan candle jar sebagai pengganti inkubator C02.
Larva infektif (larva stadium tiga) Brugia malayi berhasil dikultur in vitro menjadi larva stadium empat dalam medium NCTC 135 dan lstove's modified Dulbeccos yang diperkaya dengan 10% serum manusia selama 3 minggu. Larva infektif dikultur dalam candle jar dan diinkubasi pada suhu 37C.
Pada kultur in vitro dengan candle jar 52,99% larva infektif menjadi larva stadium empat; sedangkan dengan Cara in vivo pada mongolian jird hanya 10,8% dan larva infektif menjadi larva stadium empat dan perbedaan ini adalah bermakna ( Uji t, p < 0,001).

ABSTRACT
Immunological studies against the fourth stage larvae (L,4) are still scarce because it is difficult to collect enough L4 material produced in vivo for antigen.
The aim of this study is to produce the fourth stage larvae (L4) of B. malayi by using in vitro culture in candle jar.
Third stage larvae of Brugia Malayi has been successfully molted into fourth stage larvae in an in vitro culture medium composed of NCTC 135 and Iscove's modified Dulbecco's supplemented with 10% human serum for 3 weeks. The in vitro culture was done in a candle jar and incubated at 37C.
Of the infective larvae 52.99 % transformed into fourth stage larvae in an in vitro culture by mean of candle jar whereas only 10.8% of the infective larvae transformed into fourth stage larvae in in vivo using mongolian jird and this result differed significantly (t test, p < 0.001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
"Filariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oieh cacing filaria pad pembuluh dan kelenjar limfe, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Gejala klinik akut berupa demam beruiang, peradangan saluran atau kelenjar limfe, oedema dan gejala kronis berupa elefantiasis. Penyakit ini menyerang kelompok masyarakat yang aktif bekerja di daerah pedesaan sehingga dapat menurunkan produktivitas ekonomi suatu komunitas.
Di Indonesia lebiii dari 20 juta penduduk tinggal di daerah endemis filariasis dan kira-kira 3-4 juta dari jumlah tersebut terinfeksi filariasis (Partono & Bintari, 1989). Dan ke-3 spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia, Brugia malayi mempunyai penyebaran yang paling luas di Indonesia.
Program pengendalian filariasis telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970, melalui pemberian DEC secara massal pads penduduk yang tinggal di daerah endemis. Ada beberapa kendala dalam memantau keberhasilan program tersebut, yaitu: (I) Keengganan penduduk diambil darah malam berulang-ulang (2) Mahalnya biaya operasional pengambilan darah malam, dan (3) Pemeriksaan entomologis konvensional melalui pembedahan nyamuk langsung di bawah mikroskop di lapangan tidak dapat membedakan spesies larva parasit, terutama di daerah B. malayi terdapat bersamaan dengan parasit filaria hewan B. pahangi.
Dengan menggunakan bioteknologi telah dikembangkan pelacak DNA yang ditandai molekul radioaktif untuk parasit B. malayi (Piessens dkk., 1987), tetapi pelacak DNA radioaktif tersebut mahal, waktu parch pendek, perlu latihan khusus untuk pemakaiannya, perlu pembuangan khusus dan berbahaya bagi pemakainya.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan pelacak DNA yang ditandai molekul nonradioaktif, tetapi pelacak DNA non-radioaktif ini kurang sensitif dibandingkan dengan pelacak DNA radioaktif. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mengembangkan pelacak DNA B. malayi non-radioaktif yang spesifik dan sensitif pada tes dot blot dan dapat digunakan sebagai alat pemantau secara entomologis pada program pengendalian filariasis B. malayi di daerah-daerah endemis di Indonesia. Ada 7 persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pelacak DNA digunakan sebagai alat pemantau, yaitu: (1) Harus dapat dihasilkan dalam jumlah yang tidak terbatas dengan waktu yang relatif singkat di Indonesia, (2) Harus stabil dalam kurun waktu lama, (3) Harus spesifik dan sensitif untuk parasit B. malayi, (4) Harus dapat bereaksi dengan B. malayi di Indonesia, (5) Harus sensitif untuk mendeteksi I larva infektif B. malayi dalam nyamuk, (6) Tes dot blot harus dapat diulang, dan (7) Tes dot blot harus mudah dilakukan.
Sikuensing DNA berulang B. malayi dari beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan sebelum menentukan sikuen pelacak DNA B. malayi barn. Tiga strain B. malayi dari Indonesia, yaitu B. malayi strain Kendari (zoofilik subperiodik), B. malayi strain Bengkulu (zoofilik subperiodik), dan B. malayi strain Buton (antrofilik) telah dianalisis hasil sikuen DNA berulangnya dengan komputer untuk mendapatkan suatu konsensus sikuen DNA berulang B. malayi Indonesia.

Filariasis is a disease resulting from an infection with a nematode parasite in lymph vessels and lymph nodes, and is transmitted by mosquito bites. The acute clinical manisfestations of lymphatic filariasis are characterized by fever, lymphadenitis, retrograde lymphangitis, oedema and the chronic clinical manisfestation is characterized by elephantiasis. The disease is predominantly affecting the young and the active working people in rural and slum areas, therefore it will decrease the economic productivity of the community significantly.
More than 20 million people live in endemic areas and approximately 3-4 million are currently infected. From the three species of parasites infecting man, drug malayi is the major and is widely distributed throughout the Indonesian islands.
Filariasis control program has been launched by the government since 1970, however, it met the following constraints in monitoring the progress of control program, (I) Poor participation in night blood collection from the people, (2) High costs of surveillance, and (3) Inappropriate technology in conventional entomological assessment to distinguish the infective larvae in vector mosquitoes.
In the last few years, new techniques for entomological assessment were explored using biotechnology. A radioactive B. malayi DNA probe was developed (Piessens et al., 1987) The radioactive labelled DNA probes are not suitable for field use because they are expensive, they have a short shelf life, and special training for handling the probes is imperative. Besides, laboratories arrangements for safe disposal are necessary.
Recently, non-radioactive labelled DNA probes have been developed but these probes were less sensitive compared to the radioactive labelled probes. Therefore, the objective of this experiment is to develop a new non-radioactive B. malayi DNA probe, which has more advantages than the conventional radiolabelled DNA probe, is specific and sensitive in a dot blot assay as a tool in entomological assessment for monitoring the progress of the filar ias i s control program in B. malayi infected areas of Indonesia. There are 7 requirements to be fulfilled before the probe can be widely used, such as:
1. The probe should be produced in a sufficient quantity in a relatively short period in Indonesia.
2. The probe should be stable.
3. The probe should he specific and sensitive for B. malayi parasite.
4. The probe should be able to hybridize with the Indonesian B. malayi strains.
5. The probe should be sensitive enough to detect 1 L3 in mosquitoes.
6. The dot blot assay should be reproducible.
7. The dot blot assay should be simple.
A new 25-mer (25 nucleotides) B. malayi DNA probe was designed by-comparing the consensus sequences of B. malayi to B. pahangi. In order to produce the probe in Indonesia, it needs to be cloned in the plasmid DNA (plasmid bluescript). However, it was found that the probe is too small to be an effective probe in a vector DNA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D348
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
Jakarta: UI-Press, 2014
PGB 0293
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
"ABSTRAK
Salah satu jenis kanker yang banyak ditemukan di Indonesia adalah kanker serviks. Berdasarkan urutan frekuensi penderita, kanker serviks menduduki tempat teratas dibandingkan kanker ginekologi lainnya pada wanita.
Di dalam tubuh, sel kanker akan ditolak oleh reaksi imunitas selular, yang dilakukan oleh limfosit T. Reaksi imunitas selular dapat diuji secara in vitro berdasarkan kemampuan limfosit bertransformasi akibat adanya "phytohemagglutinin". Pada penderita kanker kemampuan limfosit untuk bertransformasi menurun.
Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan reaksi imunitas selular dari 30 orang wanita penderita kanker serviks yang akan berobat di Sub-bagian Radioterapi RSCM dan 30 orang wanita yang tidak menderita kanker serviks, maupun kanker lainnya, dengan cara mengkultur darah kemudian dihitung indeks stimulasinya. Selain itu juga diperiksa jumlah limfosit dan jumlah leukosit.
Dengan uji t, diperoleh kesimpulan adanya penurunan reaksi imunitas seluler (indeks stimulasi) dan jumlah limfosit pada wanita penderita kanker serviks (a = 0,01). Sedangkan jumlah leukosit tidak menurun jika dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita kanker serviks maupun kanker lainnya (a = 0,01)"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library