Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Sonyendah Retnaningsih
Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada bulan Juli 1997, sarana hukum yang dapat dijadikan landasan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Namun, mengingat peraturan kepailitan Faillissementsverordening dirasa sudah tidak memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman, maka atas desakan IMF pada tanggal 22 April 1998 dibuatlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan pada tanggal 9 September 1998. Dalam UU No. 4 Tahun 1998 terdapat beberapa kelemahan yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Ketidakseragaman pemahaman terhadap hukum perdata materiil merupakan salah satu sumber permasalahan yang banyak menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaan UU tersebut. Disamping itu, beberapa kelemahan lainnya: pertama, syarat kepailitan yang terlalu sederhana yang tidak mewajibkan hakim mempertimbangkan keadaan badan usaha yang menjalankan perusahaan; kedua, tidak adanya kewajiban untuk membedakan antara perusahaan yang masih berjalan dengan baik atau yang sudah berhenti; ketiga, tidak adanya kewajiban mempertimbangkan apakah perusahaan itu melibatkan ribuan tenaga kerja, dan keempat, tidak adanya kewajiban untuk mempertimbangkan aset perusahaan yang besar dibandingkan dengan utang yang harus dibayar. Akibatnya, proses kepailitan belakangan ini telah disalahgunakan untuk tujuan yang menyimpang dari filosofi dasar hukum kepailitan oleh pihak-pihak yang memiliki sengketa cedera janji. UUK juga kerap digunakan oleh kreditur kecil untuk mengancam bahkan memailitkan debitur besar yang secara finansial dalam keadaan sehat. Pemailitan terhadap sejumlah perusahaan yang termasuk dalam kategori sehat menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum kepailitan di Indonesia. Hal ini dapat menghancurkan kepercayaan dalam masyarakat terhadap industri asuransi dan menimbulkan kegoncangan perekonominan nasional, serta dapat menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usaha dan dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi usaha penamanaman modal di Indonesia. Oleh karena itu, hakim seharusnya mempertimbangkan keadaan finansial perusahaan, dampak sosial penutupan perusahaan, peran perusahaan asuransi yang sangat penting bagi kepentingan umum dan stabilitas perekonomian nasional serta semangat yang melandasi tujuan utama hukum kepailitan melalui terobosan ataupun temuan hukum.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15516
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sonyendah Retnaningsih
ABSTRAK
The Indonesian bankruptcy law system adheres to the debt collective principle which is general seizure (sita umum) of the debtors property as guarantee for the payment of debt through the bankruptcy institution. The principle of debt collective stresses that the debtors debt shall be paid immediately from the property owned by the debtor. Based on such principle, bankruptcy serves as a means of coercion to materialize the creditors rights through liquidation of the debtors assets. Bankruptcy law in Indonesia does not recognize the principle of debt forgiveness, among others, the implementation of debt relief granted to the debtor to pay off debts that are truly incapable of being fulfilled. According to the Bankruptcy Law, after the completion of the bankruptcy process, the debtor is no longer in a state of bankruptcy, because the end of bankruptcy has revoked the status of insolvent debtors, hence debtors are considered as being competent to take care of their property. However, the termination of bankruptcy does not necessarily absolve the debtor from the remainder of the debt; creditors are entitled to collect it and debtors are obligated to pay it off. Upon the completion of the bankruptcy process, debtors or their heirs may apply for rehabilitation. However, rehabilitation is only to be granted if all creditors state that they have obtained payment in a satisfactory manner, meaning that recognized creditors will not file claims against the debtor concerned again even though they may not have received payment on all of their outstanding receivables. Request for rehabilitation can only be granted if the debtor has completed the entire scheme of bankruptcy and creditors were satisfied with the payment.
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2017
340 UI-ILR 7:1 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library