Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sastri Sunarti
"Penelitian sastra lisan perlu dilakukan untuk memahami hakikat sistem kelisanan dan sekaligus mengetahui masyarakat yang melahirkan sastra tersebut, seperti penelitian terhadap sastra lisan bailau sebagai salah satu ragam sastra lisan dari daerah Bayang Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Selain dari itu, penelitian terhadap sastra lisan baiIau dapat juga mengungkapkan bahwa sastra lisan ini pernah ada keberadaannya pada saat kepunahan khasanah sastra lisan di Indonesia sedang di ambang pintu. Saya mendukung pernyataan James J. Fox (1986:3) yang menyatakan bahwa sastra lisan merupakan sesuatu yang lebih dari sekadar cermin masa lampau suatu masyarakat; melainkan bahwa sastra lisan itu juga merupakan gambaran tentang rakyat yang diungkapkan dan diproyeksikan sepanjang waktu.
Pandangan J. Fox tersebut diperkuat oleh pernyataan Finnegan (1973:3) yang menyebutkan bahwa sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat dan isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut. Finnegan (1978:7) juga menjelaskan bahwa membicarakan sastra lisan tidak sempurna kalau kita hanya membicarakan karya sastranya saja melainkan kita harus juga menghubungkannya dengan pencerita, penceritaan, pendengar, atau khalayaknya. Untuk menghargai sepenuhnya karya lisan, menurut Finnegan, tidak cukup hanya kalau berdasarkan hasil analisis melalui interpretasi kata-kata, nada, struktur statistik, dan isinya saja. Gambaran tentang sastra lisan hendaknya juga membicarakan penggubah atau pencerita, variasi yang terjadi yang disebabkan oleh khalayak, saat penceritaan, reaksi khalayak, sumbangan alat-alat musiknya, dan konteks sosial tempat cerita itu dilaksanakan.
Saya sangat terkesan dengan pernyataan Ibu Pudentia di ruang kelas mata kuliah sastra lisan bahwa peneliti sastra lisan Indonesia saat ini berpacu dengan kematian sastra lisan itu sendiri. Hal yang senada dengan pernyataan tersebut juga dilontarkan oleh Nani Tuloli (1991:2) bahwa besar kemungkinan akan hilangnya kekayaan budaya seiring berubah dan hilangnya ragam sastra lisan jika tidak segera diadakan penelitian dan usaha-usaha melestarikan sastra lisan ini. Setidaknya kita akan kehilangan proses pewarisan sastra lisan ini karena penutur sastra lisan yang ada saat ini kebanyakan adalah penutur yang sudah berusia lanjut, sebagaimana yang saya temukan pada tukang bailau dari daerah Bayang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sastri Sunarti
"ABSTRAK
Penggunaan konsep "orality" merupakan sebuah terobosan yang besar karena selama ini kelisanan selalu dinilai dari sistem nilai keberaksaraan. Sebelumnya, orang yang melek huruf atau beraksara menganggap orang yang tidak beraksara sebagai buta huruf. Kondisi mereka dianggap sebagai suatu kekurangan, ketiadaan, dan kelemahan. Anggapan begitu dapat diterima dalam masyarakat yang beraksara universal. Padahal situasi dalam masyarakat yang belum tersentuh oleh tulisan sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat beraksara.Meski saat ini amat sulit menemukan masyarakat yang sama sekali niraksara tetapi jejak kelisanan atau orientasi kelisanan itu masih dapat kita temukan dalam masyarakat yang sudah mengenal keberaksaraan tinggi seperti surat kabar awal di Minangkabau.
Kelisanan sebagai satu medium, memiliki sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem yang terdapat dalam keberaksaraan. Kita tidak dapat mellihat keunggulan kelisanan jika kita belum berhasil menorobos hadangan keberaksaraan kita. Surat kabar terbitan awal di Minangkabau memperlihatkan adanya interaksi antara kedua medium ini melalui beberapa ciri kelisanan yang disampaikan oleh Ong dan Sweeney. Ciri-ciri kelisanan yang terdapat dalam surat kabar terbitan awal di Minangkabau inilah yang akan dibahas dalam disertasi ini.

ABSTRACT
The use of the concept ?orality? constitutes an important break-through, because, until recently, the worth of orality has always been assessed from the point of view of literacy and its value system. In the past, people able to read and write, literates, considered those without letters to be illiterate. Their condition was defined as a deficiency, an absence, a weakness. Such a standpoint may be acceptable in a full-fledged literate society. However, in a society that has not yet been touched by literacy, the situation is totally different from that in a literate society. Even though today it is quite difficult to find a society that is without any script whatsoever, we can still find traces of orality, or of oral orientation, in societies such as Minangkabau, which are characterized by high levels of literacy.
Orality as a medium represents a system that differs totally from a literate one. We cannot appreciate the forte of orality if we don?t break through the limitations of our own literacy. Using characteristics of orality as identified by scholars such as Walter Ong and Amin Sweeney, it can be shown that in the earliest newspaper publications in Minangkabau society, there was considerable interaction between orality and literacy. It is the oral characteristics in these early Minangkabau newspaper publications that will be discussed in this PhD thesis."
Depok: 2011
D1175
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sastri Sunarti
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013
070.172 SAS k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library