Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Sarjiyanto
"Arkeologi dan museum saat ini telah menjadi fenomena global, termasuk di Indonesia. Museum arkeologi adalah institusi yang mensinergikan disiplin ilmu arkeologi dan museologi. Museum ini berperan mengumpulkan budaya material, mengelolanya dan menginterpretasinya untuk dikomunikasikan pada publik. Menetapkan gagasan dan membuat konsep perencanaan awal pembentukan Museum Arkeologi Indonesia merupakan pokok bahasan pada tesis ini. Dengan konsep tiga fungsi dasar museum berupa penelitian, preservasi, dan komunikasi, perencanaan museum arkeologi dikembangkan. Pada museum generasi mendatang, termasuk museum arkeologi kecenderungannya beralih dari Eropa dan Wilayah Barat ke wilayah Asia dan Timur Tengah.
Bagi Indonesia sebagai salah satu pusat perkembangan peradaban di Asia, ini merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus direbut. Dengan potensi data arkeologi yang demikian melimpah dan sumberdaya yang cukup memadai, Indonesia harus berkompetisi bersama negara lain memajukan ilmu pengetahuan melalui media museum. Museum arkeologi dapat menjadi sebuah alat untuk menemukan identitas nasional, mengenali, dan menghargai tinggalan budaya material serta berbagai budaya yang masih hidup di daerah. Mengkonsepkan pembentukan Museum Arkeologi Indonesia merupakan bagian dari upaya mewujudkannya.
Nowadays Archaeology and Museum have become a global phenomenon. Such is the case in Indonesia. An archaeological museum is an institution which synergizes the disciplines of archaeology and museology. A museum?s role is to collect material culture, manage them and then interpret them to communicate them to the general public. Determining an idea and making an early plan to establish an Archaeological Museum of Indonesia are the main topic of discussion of this thesis. By using the concept of three basic functions of a museum ? research, preservation, and communication ? a plan of an archaeological museum is developed. The next generation of museums, including archaeological museums, the trend shifts from Europe and the Western World to Asia and the Middle East. For Indonesia, as one of the development centers of civilization in Asia, this is a challenge and opportunity worth pursuing. With abundant potency of archaeological data and adequate sources, Indonesia has to compete with other countries in advancing science and knowledge with museum as its media. Archaeological museum can be used as a tool to find our national identity as well as to recognize and appreciate remains of material culture and various living cultures all over Indonesia. Making a concept of the establishment of an Archaeological Museum of Indonesia is part of the effort to realize it."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
T27813
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Sarjiyanto
"Pengadaan perkebunan pala oleh Belanda di Banda yang melibatkan tenaga budak merupakan usaha paling awal di wilayah Asia, terutama di Kepulauan Nusantara. Keinginan memperoleh salah satu rempah yang paling dibutuhkan dunia ini memicu berbagai pedagang untuk memonopoli dari sumbernya langsung. Ketika perjanjian-perjanjian dagang tidak cukup untuk mencapai tujuan, Mulailah muncul tekanan-tekanan yang menimbulkan konflik antara Belanda sebagai pedagang pendatang dan warga dan tokoh setempat Banda yang memilki sumberdaya rempah pala. Puncak konflik terjadi ketika terjadi pembantaian tahun 1621, terhadap tokoh-tokoh adat dan beberapa Orangkaya Banda, serta pengusiran sebagian besar penduduk asli Banda. Melalui organisasi dagangnya, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). lanskap wilayah Banda dibagi dalam petak-petak perkebunan yang disewakan pada para vrijburgher dari Belanda. Disiapkanlah pula para pekerja yang berstatus budak. Terbentuklah kemudian masyarakat perkebunan yang saling melakukan relasi sosial. Perkebunan dikelola oleh seorang pekebun (perkenier) dan tempat pengeringannya dikenal nama perk yang sesungguhnya merupakan dapur pengasapan (rookkobuizen). Persoalan besarnya adalah bagaimana sesungguhnya hubungan yang terjadi pada komponen masyarakat perkebunan yang terdiri dari VOC, perkenier dan para budak? Selain itu bagaimana kekuasaan memainkan peranan dalam relasi sosial yang terjadi ? Bagaimana pula identitas masing-masing komponen masyarakat perkebunan direpresentasikan melalui praktik-praktik budaya yang dijalankan ? Representasi seperti apa yang terbentuk dari praktik-praktik budaya yang dijalankan ? Tujuan dari kajian ini untuk melihat berbagai bentuk relasi sosial terkait dengan kekuasan dan representasi dari identitas budaya yang dimiliki kelompok masyarakat perkebunan. Melalui pendekatan yang dikenal dengan arkeologi sejarah (historical archaeology), melalui metode yang menggabungkan antara data arkeologi dan data sejarah, diharapkan tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa kekuatan dan kekuasaan menciptakan bentuk-bentuk budaya yang sesuai dengan kondisi dan, situasi yang terjadi pada masanya. Latar belakang sosial, budaya, ideologi, dan ekonomi berpengaruh besar terhadap bentuk relasi sosial dan implementasinya pada budaya material yang ditinggalkan. Termasuk represantasi dari status, dan identitasnya yang dimiliki kelompok masyarakat perkebunan pala.
The procurement of nutmeg plantations by the Dutch in Banda which involved slave labor was the earliest business in the Asian region, especially in the Archipelago. The desire to obtain one of the most needed spices in the world has prompted various traders to monopolize the direct source. When the trade agreements were not sufficient to achieve the goal, pressures began to emerge which caused conflict between the Dutch as immigrant traders and the residents and local leaders of Banda who had the resources of nutmeg spices. The peak of the conflict occurred when there was a massacre in 1621, against traditional leaders and some Bandanese Orangkaya, as well as the expulsion of most of the indigenous people of Banda. Through its trade organization, the Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). the landscape of the Banda region is divided into plantation plots which are rented out to vrijburghers from the Netherlands. Prepare also slave workers. Then a plantation community was formed that carried out social relations with each other. The plantation is managed by a planter (perkenier) and the drying area is known as a perk which is actually a smoking kitchen (rookkobuizen). The big problem is what is the real relationship between the components of the plantation community, which consists of the VOC, perkenier and slaves? In addition, how does power play a role in the social relations that occur? How is the identity of each component of the plantation community represented through the cultural practices that are carried out? What kind of representation is formed from the cultural practices that are carried out? The purpose of this study is to look at various forms of social relations related to power and representation of the cultural identity of plantation community groups. Through an approach known as historical archaeology, through a method that combines archaeological data and historical data, it is hoped that the expected goals can be achieved. The results obtained show that strength and power create cultural forms that are in accordance with the conditions and situations that occurred at that time. Social, cultural, ideological, and economic backgrounds have a big influence on the form of social relations and their implementation in the abandoned material culture. This includes a representation of the status and identity of the nutmeg plantation community group."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library