Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roseri Rosdy Putri
"Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dipelihara demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa. Berdasar catatan Direktorat Purbakala, hingga tahun 2000, tercatat lebih dari 5000 benda cagar budaya tidak bergerak di seluruh wilayah Indonesia. Setiap perorangan yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya diwajibkan untuk melindungi dan memeliharanya sesuai kondisi fisik benda cagar budaya tersebut. Salah satu upaya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya adalah dengan melakukan pemugaran.
Pemugaran adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya bila diperlukan, yang dapat dipertanggung-jawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis. Pemugaran dilakukan dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak. Pemugaran di Indonesia telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda, dan tercatat lebih dari 400 benda cagar budaya berupa bangunan yang telah dipugar. Beragamnya pelaksana pemugaran dan beragamnya bentuk benda cagar budaya yang dipugar mempengaruhi hsil akhir pemugaran. Hal ini disebabkan belum dimilikinya format baku tentang metode dan teknik pemugaran benda cagar budaya. Penelitian ini ditujukan untuk mencatat tentang metode dan teknik pemugaran benda cagar budaya yang telah berlangsung di Indonesia selama ini.
Candi Induk Utara Candi Plaosan Lor, menjadi objek penelitian dalam tulisan ini, telah selesai dipugar pada tahun 1997. Candi ini berada dalam kompleks Candi Plaosan yang terletak di desa Bugisan, kecamatan Prambanan, kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bersama-sama dengan candi Induk Selatan Candi Plaosan Lor yang telah selesai dipugar pada tahun 1964. Candi Induk Utara dan candi Induk Selatan memiliki kesamaan bentuk arsitektur mulai dari kaki hingga atap termasuk ragam hiasnya sehingga memperlihatkan sebagai candi kembar. Dengan membandingkan kondisi candi Induk Utara sebelum dipugar dan sesudah dipugar, tampak adanya perbedaan tampak yang sangat berarti. Melihat kondisi candi sebelum dipugar tidak terbayang bentuk candi secara utuh. Prinsip keaslian yang diterapkan dalam kegiatan pemugaran candi Induk Utara candi Plaosan Lor menjadi kunci dari pengembalian keutuhan candi tersebut.
Maksud pemugaran dengan mempertahankan keaslian bentuk benda cagar budaya adalah melakukan perbaikan dengan mempertahankan desain awal benda cagar budaya sebelum mengalami kerusakan. Ketentuan yang dipakai adalah: (1) pengembalian bentuk benda cagar budaya dilakukan sampai pada Batas yang secara akademis dapat dipertanggung-jawabkan, serta harus dihentikan bila timbul keragu-raguan; (2) penyelesaian bentuk akhir dari ragam hias hanya dibatasi pada bentuk dasar ragam hias sebagai upaya untuk menghindari kerancuan dalam mempertahankan keaslian data; (3) Kegiatan pengembalian keaslian bentuk harus selalu disertai dengan kegiatan perekaman data, verbal dan pictorial.
Pemugaran dengan mempertahankan keaslian bahan adalah melakukan perbaikan dengan mempertahankan material yang dipakai untuk membangun benda cagar budaya sama seperti pada saat awal pendiriannya. Pelaksanaannya dilakukan dengan ketentuan-ketentuan: (1) bahan pengganti memiliki ukuran, jenis, kualitas, dan kandungan unsur bahan yang sama dengan bahan asli, yang didapat melalui penelitian laboratorium; (2) bahan pengganti harus diberi tanda yang ditempatkan pada bagian yang tidak mengganggu estetika bangunan secara keseluruhan; (3) pengadaan bahan pengganti tidak dibenarkan apabila pada akhirnya tampak mendominasi; (4) penggunaan bahan pengganti harus disertai dengan perekaman data, baik verbal maupun gambar dan foto.
Pemugaran dengan mempertahankan keaslian pengerjaan adalah upaya perbaikan dengan mempertahankan bentuk struktur dan sistem konstruksi benda cagar budaya sama seperti pada saat awal pendiriannya. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ketentuan-ketentuan: (1) penggunaan teknologi pengerjaan masa kini atau baru dapat dibenarkan atau diperbolehkan apabila teknologi pengerjaan yang asli sudah tidak memungkinkan; (2) teknologi pengerjaan masa kini atau baru dapat diterapkan setelah melalui penelitian dan uji kelayakan; (3) penggunaan teknologi pengerjaan masa kini harus disertai dengan perekaman data, baik verbal maupun gambar dan foto.
Pemugaran dengan prinsip mempertahankan keaslian tata letak adalah melakukan perbaikan dengan mempertahankan lokasi dan keletakan benda cagar budaya terhadap lingkungan makro dan mikro sama seperti pada saat awal pendiriannya. Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan adalah (1) pengembalian keletakan benda cagar budaya ke tempat aslinya, dilakukan setelah diadakan penelitian terhadap kondisi benda cagar budaya dan lingkungannya; (2) perekaman data tentang kondisi keletakan benda cagar budaya beserta komponen dan unsur-unsur didalamnya sudah dihimpun dan dikumpulkan sebelum benda cagar budaya dipugar; (3) pengembalian keletakan material candi yang memiliki hiasan dilakukan dengan cara mencocokkan alur hiasan antara batu satu dengan lainnya.
Akhir dari penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat tiga tingkat keharusan dalam penerapan prinsip keaslian pada pemugaran benda cagar budaya, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Penerapan prinsip keaslian dengan tingkat keharusan tinggi dicapai oleh prinsip keaslian bentuk dan tata letak. Penerapan prinsip keaslian dengan tingkat keharusan sedang dicapai oleh prinsip keaslian bahan. Penerapan prinsip keaslian dengan tingkat keharusan rendah terjadi pada penerapan keaslian pengerjaan. Secara ekstrim, penerapan prinsip keaslian pengerjaan dalam pemugaran benda cagar budaya dapat dikatakan tidak tercapai.
Melihat hasil penilaian terhadap penerapan setiap butir keaslian pada pemugaran candi Induk Utara Candi Plaosan Lor, dan juga yang terjadi pada banyak pemugaran benda cagar budaya berbahan batu lainnya, maka prinsip keaslian yang tepat untuk pemugaran benda cagar budaya dari batu adalah mempertahankan keaslian bentuk, bahan, dan tata letak. Keaslian pengerjaan dapat dikatakan selalu tidak tercapai mengingat bahwa teknologi pengerjaan yang baru dinilai lebih memenuhi kebutuhan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi benda cagar budaya dibandingkan dengan teknologi pengerjaan asli. Penggunaan teknologi pengerjaan yang baru membuat tujuan pemugaran sebagai suatu upaya pelestarian benda cagar budaya dapat tercapai."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roseri Rosdy Putri
"ABSTRAK
Mesjid merupakan bangunan suci tempat melaksanakan ibadah bagi umat Islam dan segala macam kegiatan yang berhubungan dengan agama Islam. Tidak seperti dalam agama Hindu yang membutuhkan kitab Cilpasastra untuk membangun bangunan sucinya, agama Islam tidak mempunyai suatu kitab khusus berisi peraturan-peraturan pembangun_an sebuah mesjid. Sebuah mesjid selain dibangun sebagai tempat yang bersih dan suci, bangunan mesjid haruslah menghadap ke kiblat, ke arah di mana semua umat Islam menghadap pada waktu sedang melaksanakan shalat.
Menurut Abdul Rochym dan Aboebakar, pembangunan sebuah mesjid di suatu daerah, selain mengikuti peratur_an pembuatan bangunan mesjid secara umum, bangunan mesjid tersebut pasti mendapat pengaruh dari arsitektur bangunan tradisional daerah yang bersangkutan. Peneli_tian terhadap arsitektur Mesjid Raya Bingkudu yang terletak di desa V_Suku Candung Bawah, Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam, Bukit Tinggi, belum banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan terhadap Mesjid Raya Bingkudu dan bertitik tolok dari pendapat yang diajukan oleh Abdul Rochym dan Aboebakar di atas.
Untuk mengkaji pendapat tersebut, dilakukan anali_sis perbandingan antara Mesjid Raya Bingkudu dengan bangunan tradisional rumah gadang. Analisis dilakukan dengan melihat variabei-variabei yang dimiliki oleh bangunan-bangunan yang akan diperbandingkan tersebut. Variabel-variabel yang diperbandingkan meliputi. (1) Lantai, (2) Tiang, (3) Anjungan, (4) Atap, (5) Tangga dan Batu Tapakan, (6) Ukiran Kayu. Untuk melihat keku_naan pada Mesjid Raya Bingkudu dilakukan analisis per_bandingan dengan bangunan mesjid kuna di Indonesia secara umum. Variabel yang diperbandingkan meliputi (1) Fondasi Bangunan, (2) Denah bangunan, (3) Atap Bangunan, (4) Kolam, (5) Menara.
Hasil analisis di atas memperlihatkan bahwa ternya_ta Mesjid Raya Bingkudu memiliki beberapa variabel yang sama seperti yang dimiliki oleh bangunan mesjid kuna di Indonesia umumnya. Selain itu bagian-bagian dari bangun_an Mesjid Raya Bingkudu memiliki bentuk dan fungsi yang sama pula dengan bangunan rumah gadang. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa Mesjid Raya Bingkudu merupakan salah satu mesjid kuna di Indonesia yang dalam pembangu_nannya mendapat pengaruh dari arsitektur daerah, dalam hal ini rumah gadang. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abdul Rochym dan Aboebakar."
1990
S11884
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library