Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noviandri
"ABSTRAK
Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata. Berarti perjanjian yang dibuat
secara sah, mengikat "bagi kedua belah pihak yang
membuatnya. Untuk memberikan kepastian dan jaminan
pelaksanaan suatu perikatan, perjanjian lazimnya dituangkan
dalam suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang
penjabat umum (Notaris) atau disebut akta otentik. Akta
otentik harus memenuhi syarat formil, yaitu apa yang
terkandung dalam pengertian "verlijden," yakni "pembuatan,
pembacaan dan penanda tanganan akta," dan syarat materiil,
yang didasarkan pada penelitian dan penilaian Notaris
terhadap isi akta otentik, yaitu yang berhubungan dengan
peristiwanya. Suatu perjanjian kredit di Bank yang disertai
dengan pemberian jaminan berupa harta bersama, baik Bank
dan Notaris harus meneliti apakah terhadap pemberian
jaminan tersebut, ada persetujuan bersama suami isteri.
Apabila tidak ada persetujuan, Notaris dan Bank dapat
digugat atau dijadikan turut tergugat oleh salah satu pihak
suami atau isteri yang tidak memberikan atau dimintai
persetujuan. Gugatan itu didasarkan atas perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad), oleh pihak yang merasa
dirugikan dengan dibuatnya dan dipergunakannya akta
otentik. Karena perbuatan Notaris dan Bank telah memenuhi
unsur-unsur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu adanya
kesalahan dan dari kesalahan itu menimbulkan kerugian pihak
(orang) lain. Dalam perkembangannya, unsur kesalahan tidak
hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang,
tetapi juga bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
melanggar hak subyektif orang lain (gangguan); melanggar
kaedah tata susila; bertentangan dengan kepatutan,
ketelitian dan sikap hati-hati (Arest Hoge Raad, 31 Januari
1919). Analisa kasus dilakukan terhadap Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 2196 K/Pdt/1992 tanggal 30
Juni 1994 j o. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah Di
Semarang No.793/Pdt/1991/PT.Smg. tanggal 17 Pebruari 1992
jo. Putusan Pengadilan Negeri Semarang
No.18/Pdt/G/1991/PN.Smg. tanggal 19 Juni 1991. Dalam
putusan-putusan tersebut, Notaris dan Bank digugat atas
dasar melakukan perbuatan melawan hukum. Pengumpulan data
diperoleh dengan cara studi kepustakaan dan lapangan."
2005
T37752
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tettri Noviandri
"Perseroan Terbatas PMA X (PT PMA X) didirikan dengan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris A. Setelah memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri, Surat Persetujuan Badan Koordinasi Modal (SP BKPM) yang menjadi dasar pendirian PT PMA X dinyatakan palsu oleh BKPM. Persoalan yang timbul adalah berkaitan dengan akta Pendirian PT PMA X dan Notaris pembuat akta. Bagaimana status hukum dan keabsahan akta Pendirian PT PMA X yang telah mendapat pengesahan dari Menteri? Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris dalam kasus pemalsuan SP BKPM PT PMA X yang tercantum pada akta Pendirian PT PMA X?
Penelitian ini menggunakan metodologi yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Pihak PT PMA X dan Kantor Konsultan Hukum Y menyatakan bahwa SP BKPM PT PMA X diurus dan diselesaikan oleh Z, pegawai di BKPM. Z ternyata memalsukan SP BKPM PT PMA X. SP BKPM palsu atas nama PT PMA X mengakibatkan cacat hukum dalam akta otentik Pendirian PT PMA X, sehingga akta otentik Pendirian PT PMA X menjadi batal. Batalnya akta otentik Pendirian PT PMA X harus diikuti dengan formalitas pembubaran PT PMA X karena PT PMA X sudah menjadi badan hukum. Batalnya akta Pendirian PT PMA X tidak mengakibatkan sanksi hukum terhadap Notaris A. Notaris A dalam menjalankan tugas jabatannya dengan wewenang membuat akta otentik tidak wajib untuk melakukan verifikasi data dalam akta yang dibuatnya yang telah sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh para pihak."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Noviandri
"Skripsi ini membahas mengenai ruang lingkup rechtsverwerking sebagai doktrin yang dikenal dengan doktrin “pelepasan hak” dimana pelepasan hak yang dimaksud dalam rechtsverwerking adalah ketika seseorang memiliki suatu hak namun hak tersebut tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu, maka seseorang dapat kehilangan haknya, selama ini konsep pembiaran hak ini dikenal luas pada pelepasan hak atas tanah. sebagaimana telah adanya Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengenai pelepasan hak atas tanah, maka keberlakuan doktrin rechtsverwerking seharusnya tidak lagi digunakan sebagai dasar dari adanya pelepasan hak atas tanah, dimana kedudukan peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada doktrin dalam sistem hukum Indonesia. maka penulis secara khusus meneliti konsep rechtsverwerking dalam artian doktrin “pelepasan hak” yang dapat digunakan pada konsep hak-hak lainnya salah satunya yaitu pada konteks hukum kontrak, dimana ketika seseorang telah melepaskan haknya dan menuntut kembali pemenuhan haknya maka pihak lainnya yang telah bertindak atas dasar pelepasan hak tersebut menerima kerugian dari persepsi pembiaran hak yang telah dilakukan pihak yang melepaskan haknya. kemudian pengenalan rechtsverwerking lebih dalam akan dilakukan perbandingan penerapannya yang memiliki padanan dengan doktrin estoppel pada sistem hukum common law Amerika Serikat, dimana apabila seseorang tidak menggunakan haknya, dalam hal ini memiliki sikap diam terhadap hak yang dimilikinya, maka ketika timbul permasalahan akibat dari sikap diamnya tersebut terhadap persepsi pihak lain yang kemudian menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya, estoppel sebagai doktrin berperan untuk mencegah penyalahgunaan sikap diam yang seolah-olah melepaskan haknya untuk menimbulkan persepsi pihak lain bahwa ia telah melepaskan haknya. 

This thesis discusses the scope of rechtsverwerking as a doctrine known as the ‘waiver of rights’ doctrine. rechtsverwerking refers to a situation where someone possesses a certain right but does not exercise it within a specific period, which may result in the loss of that right. This concept of waiving rights is widely recognized, particularly in relation to the release of land rights. As exemplified by Article 32 paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 concerning the release of land rights, the application of the rechtsverwerking doctrine should no longer be used as the basis for releasing land rights, as legislation takes precedence over doctrines in the Indonesian legal system.  In this regard, the author specifically examines the concept of rechtsverwerking in the context of the 'waiver of rights' doctrine, which can be applied to other rights, including in the realm of contract law. In such cases, when someone has waived their rights and subsequently demands the fulfillment of those rights, the other party who has acted based on the waiver may incur damages due to the perception that the right has been relinquished. Therefore, the study delves into the deeper understanding of rechtsverwerking through a comparison with the estoppel doctrine in the common law system of the United States.  In the common law context of the United States, the estoppel doctrine prevents the misuse of silence or inaction that appears to constitute the waiver of rights. It comes into play when someone does not assert their rights or remains silent about their rights, and this silence subsequently leads to problems and damages another party. The estoppel doctrine prevents the other party's misperception that the right has been waived when, in fact, it has not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Hilma Noviandri
"Perempuan usia dewasa muda rentan mengalami pelecehan seksual dibuktikan dengan meningkatnya kasus pelecehan seksual di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara antara pola asuh orang tua dan sifat kepribadian dengan pengalaman pelecehan seksual pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini adalah penelitian korelasi dengan melibatkan 107 responden yang dipilih menggunakan teknik quota sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner data demografi, kuesioner Pola Asuh Orang Tua, kuesioner IPIP-BFM-25, dan Sexual Experiences Questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan 90,7% dari responden pernah mengalami pelecehan seksual dan tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara antara pola asuh orang tua dan sifat kepribadian dengan pengalaman pelecehan seksual pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini merekomendasikan meneliti lebih lanjut terkait kesadaran korban menyadari situasi yang telah dialami merupakan bentuk pelecehan.

Young women were vulnerable to sexual harassment, as evidenced by the rising number of sexual harassment cases in Indonesia. This study aimed to identify the relationship between parenting style and personality traits with sexual harassment experiences in young women. This research was a correlational study involving 107 respondents selected using quota sampling based on inclusion and exclusion criteria. The instruments were a demographic data questionnaire, a Parenting Style questionnaire, an IPIP-BFM-25 questionnaire, and a Sexual Experiences Questionnaire. The results showed that 90.7% of the respondents had experienced sexual harassment, and no significant relationship was found between parenting style and personality traits with sexual harassment experiences in young women. This study recommends further research on victims' awareness of the situation they have experienced as a form of sexual harassment."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library