Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Najiana Daroini
"ABSTRAK
Dewasa ini konflik pertanahan beragam jenisnya, salah satunya adalah dalam hal pendaftaran jual beli tanah. Persyaratan pendaftaran jual beli tanah berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengharuskan adanya akta yang dibuat oleh PPAT. Namun pada praktiknya masih banyak terjadi di masyarakat bahwa dalam proses jual beli tidak menggunakan akta PPAT. Dalam ayat 2 Pasal 37 tersebut menyatakan bahwa apabila tidak ada akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan setempat diberikan kewenangan untuk mendaftarkan jual bei tanah tersebut apabila bukti-bukti yang adakebenaraannya dianggap cukup oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini akan menjadi konflik apabila salah satu pihaknya penjual atau pembeli sudah tidak diketahui lagi keberadaannya pada saat akan dilakukan pendaftaran jual beli tanah. Kemudian indikator-indikator kadar kebenaran yang dianggap cukup menurut Kepala Kantor Pertanahan belum ada suatu ketentuan yang menjadi acuan atas indikator tersebut. Terlebih lagi Kepala Kantor Pertanahan di kota-kota besar seperti Jakarta, Depok dan Bogor yang kebanyakan tidak berani untuk melakukan kewenangan tersebut dikarenakan lalu lintas sengketa pertanahan yang cukup tinggi sehingga dikhawatirkan akan timbul sengketa dikemudian hari. Maka dari itu, Kepala Kantor Pertanahan mensyaratkan adanya suatu Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk menjadi dasar dalam pendaftaran jual beli tanah tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya ada suatu peraturan yang menjadi acuan Kepala Kantor Pertanahan untuk menentukan indikator-indikator bukti-bukti yang kebenarannya telah dianggap cukup untuk segera mendaftarkan jual beli tanahnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif.

ABSTRAK
Abstract Nowadays land conflicts has various kinds, one of them is in terms of registration of land sales. The requirement of registration of land sales based on Article 37 of Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 concerning Land Registration requires the existence of deed made by PPAT. But in practice there is still much happen in the society that in the process of buying and selling doesn rsquo t use PPAT deed. In paragraph 2 of Article 37 it states that if there is no PPAT deed, the Head of the local Land Office shall be authorized to register the sale of the land if the proof of which is deemed sufficient by the Head of the Land Office. This will be a conflict if one of the parties seller or buyer is no longer known existence at the time will be registration of land sales. Then the indicators of truth content that is considered sufficient according to the Head of Land Office there is no provision that became a reference for the indicator. Moreover Head of Land Office in big cities like Jakarta, Depok and Bogor which is mostly don rsquo t dare to do the authority because of high land dispute traffic, so it is feared will causes dispute in the future. Therefore, the Head of the Land Office requires a Court Decision with a permanent legal force to become the basis for registration of the land sales. Therefore, it should has a regulation which becomes the reference of the Head of the Land Office to determine indicators of evidence whose truth has been deemed sufficient to immediately register the sale and purchase of the land. This research uses descriptive research method. "
2017
S69659
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najiana Daroini
"Dalam penelitian ini dibahas tentang akta jual beli PPAT yang menjadi dasar timbulnya perkara pertanahan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 470 K/Pdt/2019. Dimana dalam konteks tersebut PPAT menjadi pihak berperkara di pengadilan baik yang disebabkan oleh akta yang dibuatnya maupun perselisihan para pihak terkait akta itu sendiri. Oleh karena itu permasalahan pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah suatu penyangkalan para pihak dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT sehingga menjadi dasar timbulnya perkara pertanahan serta pertanggungjawaban PPAT terhadap pihak-pihak yang dirugikan atas akta yang dibuatnya. Untuk dapat menjelaskan permasalahan pokok dari penelitian ini maka dipergunakan metode penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 470 K/Pdt/2019. Dari analisis yang dilakukan secara kualitatif diketahui bahwa PPAT yang membuat akta jual beli dalam kasus tersebut tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembuatan akta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga berakibat merugikan Penggugat sebagai pemegang hak atas tanah yang menjadi objek perkara. Dengan demikian PPAT harus mempertanggung jawabkannya baik secara administratif, perdata maupun pidana. Sehingga akta dibuat sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi para pihak.

The research discusses the sale and purchase deed made by the Land Deed Official (PPAT) to execute land transfer, which is the cause of the land dispute in the Decision of South Jakarta District Court Number 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 470 K/Pdt/2019. In the case, PPAT deeds as the defendant due to the misrepresented deed led to the dispute. The main issue raised in this research is a claim from the plaintiffs about the sale and purchase deed made by defendant result in the loss and damages as well as the PPAT’s responsibility to the party for the deed it made. To be able to explain the main problem of this research, a normative juridical research method is used through a statute analysis and a case analysis based on the Decision of the South Jakarta District Court Number 766/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel jo. Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 470 K/Pdt/2019. From those analysis, it is determined that the defendant (PPAT) has violated the rules for making enforcable deeds as stipulated in the statutory regulations, which resulted in plaintiffs loss and damages.. Thus, the defendant (PPAT) must be responsible for remidies and charges of administrative, civil and criminal provisions. In conclusion the deed has to be made in accordance with the provisions of the prevailing laws and regulations to provide legal protection and legal certainty for all parties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library