Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mukti Andriyanto
"Sebuah produk arsitektur akan terlma sebagai wujud yang nyata oleh mata manusia berkat adanya kehadiran cahaya. Cahaya adalah elemen utama pembentuk wujud dan menegaskan setiap titik, garis dan bidang yang tercipta di ruang muka bumi ini. Dalam sebuah perancangan arsitektur, para arsitek sudah tentu dan sepantasnya mempertimbangkan kehadiran pencahayaan baik alami maupun artitisial pada setiap karya mereka. Cahaya artifisial tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan cahaya alami. Kehadiran cahaya artifisial merupakan jawaban atas kondisi gelap dan substitusi atas kenadiran sinar matahari di malam hari. Namun kerap kali para arsitek Iupa unluk dapat tetap menampilkan sosok wujud kreasinya pada malam hari.
Pencahayaan eksterior pada bangunan, merupakan Salah satu bentuk pencahayan pada bangunan. Apabila ditata dengan baik dengan rakan sangat membantu penampilan wujud sebuah bangunan pada malam hari. Meskipun hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pada bangunan Selidaknya akan memberikan ekspresi visual yang berbeda jika dibandingkan dengan wujudnya pada siang hari atau hanya sekedar ingin mempertahankan identilas. Setiap penataan pencahayaan eksterior yang berbeda pada sebuah bangunan akan memiliki konsuekuensi efek visual yang berbeda pula.
Pada bangunan berlingkat tinggi, sebuah pencahayaan ekslerior dapat menampilkan sosok sebuah bangunan sebagai "individu" diantara mass-massa bangunan yang Iain. Pencahayaan tersebut akan sangat menunjang untuk membangkitkan karakter bangunan dan memberikan sebuah identitas pada bangunan. Aspek-aspk yang perlu dipertimbangkan untuk pencahayan bangunan bertingkat tinggi, sejauh apakah jangkauan sebuah Iampu dapat menyinari sebuah bangunan dan bagaimana mensiasati ketingginya sebuah bangunan dengan adanya keterbatasan kekuatan cahaya yang menyinarinya. Selain itu bagaimana menata pencahayaan eksterior yang baik pada bangunan bertingkat tinggi agar karakter bangunan tersebut dapat terjelma dengan baik pula. Untuk itu periu adanya sbuah studi terhadap Iampu dan parlengkapannya yang digunakan pada pencahayaan eksterior bangunan berlingkat tinggi di Jakarta, serta masalah-masalah yang terkait di dalamnya.
Untuk melakukan studi terhadap pencahayaan pada tampak bangunan tentunya akan dilakukan pendataan terhadap perangkal pencahayaan yang dimiliki oleh bangunan tersebut, penempatannya pada bangunan dan karaktenstik cahayanya serla hal-hal yang berkailan eral dengan bangunan ilu sendiri. Selain itu akan dilihal pula dampak hasil melihat hasil pencahayaan pada bangunan tersebut melalui potret bangunan saat malam pada kondisi Iampu sedang menyala. Hasil utama yang diharapkan antara Iain berupa pengetahuan mengenai perangkat pencahayaan serta karakteristiknya dan dampak-dampaknya baik secara tisik maupun non-fisik."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S48456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukti Andriyanto
"ABSTRAK
Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk untuk menantang paradigma yang mendominasi dalam penyediaan perumahan yang menjadikan rumah sebagai objek terstandar untuk bertinggal. Bagi kaum migran, urbanisasi ke Jakarta seperti mencoba ldquo;durian besar rdquo; untuk mencoba peruntungannya. Benak mereka berpikir bahwa dengan hidup di Jakarta dapat memberikan mereka akses atas sebidang tanah untuk dimanfaatkan, bukan perumahan, apalagi rumah. Rumah yang dipahami adalah shelter di atas lahan yang berfungsi sebagai container menciptakan atau menaungi aktifitas ekonomi informal guna bertahan hidup di kota. Rumah bukan dipahami sebagai sebuah standar fasilitas untuk kelayakan hidup. Bagi masyarakat miskin kota, menurut Turner 1977 rumah bukan sebagai ldquo;what it is rdquo; namun sebagai ldquo;what it does to people rsquo;s live rdquo;. Invisible housing adalah gagasan, istilah yang diajukan peneliti untuk menggambarkan ide metafisik tentang sesuatu yang bukan fisik obyektif terhadap kondisi rumah-rumah yang dihuni oleh masyarakat miskin perkotaan di wilayah urban seperti Jakarta. Objek penelitian adalah rumah-rumah masyarakat pembuat tempe dan tahu di tepi Sungai Ciliwung, Pengadegan dan rumah-rumah pembuat tempe di Perumahan KOPTI Semanan, Jakarta Barat. Temuan di lapangan menunjukan pembuat tempe dan tahu menganggap eksistensi di urban disamakan dengan menguasai ldquo;sebidang tanah rdquo; sebagai wadah aktifitas ekonomi dan sekaligus bertinggal. Lahan-lahan di tepi sungai merupakan lahan yang dianggap paling mudah dan murah untuk dimanfaatkan atau ldquo;lahan bebas rdquo;. Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan grounded theory, melalui informan dengan teknik snowballing. Perolehan data primer dilakukan melalui survey, pengukuran rumah dan wawancara kepada responden penghuni rumah.
ABSTRACT
This qualitative research aims to challenge the dominant paradigm in the provision of housing that makes a housing as standardized object for living. For migrants, urbanity to Jakarta is conceived as trying big durians striving for fortune. Their minds thoght that living in Jakarta can give them access to a space or a piece of land to utilized, not housing, let alone a house. A house is understood as ldquo a shelter rdquo built on a land that served as a container creating or protecting their informal economic activities to survive in the city. A house is not understood as a standard facility for the viability of life. For the urban poor, according to Turner 1977 the house is not as what it is but as what it does to people 39 s live . Invisible housing is an idea, a term proposed by researcher to describe the metaphysical idea of something that is not objectively physical to the condition of houses inhabited by the urban poor in urban areas such as Jakarta. The objects of research are the houses of the community of tempe and tofu maker on the banks of the Ciliwung River, Pengadegan and house of tempe maker at KOPTI Housing Semanan, West Jakarta. The findings in the field showed the tempe and tofu maker conceiveed urbanity as space of existence is equated with mastering a piece of land as a container of economic activity and at the same time as dwelling thing. Land near by the river was the land that is considered the easiest and cheapest to be utilized or known as free land . The research was conducted qualitatively with grounded theory, through informant with snowballing technique. Primary data acquisition is done through survey, home measurement and interview to respondents of house dweller. "
2018
T51044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library