Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta defisit perdagangan Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2012. Secara substansif, defisit perdagangan Indonesia disebabkan oleh pilihan modernisasi pembangunan bagi negara sejak era pemerintahan Suharto. Penerapan agenda modernisasi ditunjukkan melalui implementasi ATC dan ACFTA. Kedua protokol perjanjian internasional menunjukkan kuatnya pengaruh modernisasi dari negara maju. Negara maju mendesain perencanaan pembangunan untuk negara Indonesia. Negara Indonesia memperoleh imbalan arus investasi asing. Paradigma modernisasi mengarahkan pada perubahan matriks kebijakan industri menjadi jasa dan keuangan. Industri tekstil nasional mengalami kemunduran.
Modenisasi tidak mengubah struktur tradisional masyarakat. Struktur tradisional mendesain pembagian peran antara lelaki dengan perempuan. Perempuan diutamakan sebagai pekerja di ranah domestik. Modernisasi kemudian memindahkan perempuan ke industri tekstil nasional sejak era Suharto. Hanya saja, perspektif tradisional menyebabkan perempuan mengalami marginalisasi dalam hal pengupahan. Perempuan mengalami disparitas pendapatan dengan lelaki buruh. Konstruksi peran privat perempuan berlanjut hingga masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Penerapan otonomi daerah pada masa reformasi sejak tahun 1999 tidak mengubah paradigma pembangunan.
Sebagai kerangka pemikiran yang menjadi pijakan teori, penelitian ini menggunakan teori atau paradigma Gender and Development. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik mengumpulkan data dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan data-data literatur lainnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan kuatnya persepsi peran domestik untuk perempuan. Persepsi budaya mempengaruhi cara pandang negara, industri tekstil nasional, dan serikat buruh mengenai posisi perempuan dalam industri tekstil nasional. Marginalisasi ditunjukkan oleh kuatnya bias gender dalam proses politik perumusan upah. Negara pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mendesain acuan indeks kebutuhan hidup layak sebagai acuan kebijakan upah. Hanya saja, desain tersebut tidak memperhatikan kenyataan adanya perbedaan gender, kondisi ekonomi, status marital, dan akses politik dari perempuan buruh.

This research is motivated by the fact about the Indonesian?s trade deficit in 2012. Indonesia's trade deficit is caused by modernization paradigm for this country development. Modernization option is demonstrated through the implementation of ATC and ACFTA. Both of this protocol shows the strong influence of the modernization agenda from the developed country. Developed countries are designing the development plans for Indonesia. Indonesian state is obtaining the benefits from foreign investment flows. Modernization paradigm leads to a change in the industry policy. National textile industry suffered a setback.
However, modernization is not changing the traditional structure of society. Traditional structure designs the division of roles between men and women. The Society preferred women as workers in the domestic sphere. Modernization then moves women into the national textile industry since the reign of Suharto. However, the traditional perspective led to marginalization of women in terms of wages. Women experiencing labor income disparity with men. Construction of private role of women continues to the reign of Susilo Bambang Yudhoyono. Implementation of regional autonomy since 1999 does not change the national development policy.
This study uses the theory or paradigm of Gender and Development. This study is using the qualitative methods. This thesis is collecting and analyzing the data from the Ministry of Industry, Ministry of Commerce, and other literature data.
Results from this thesis are showing the strong perceptions of the role of the domestic sphere for women. Cultural perceptions are affecting about how the state, the national textile industry, and trade unions regarding the position of women in the national textile industry. Marginalization is shown in the wage formulation process. The reign of Susilo Bambang Yudhoyono has design the good living index as the foundation of the wage policy. However, this design from the government is ignoring the fact about the gender difference, economic condition, marital status, and the political access from the women worker.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T33735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Proses reformasi birokrasi dengan metode e-Bureaucracy di Kabupaten Jembrana memunculkan satu asumsi bahwa modernisasi birokrasi dapat tertunjang oleh sistem kemasyarakatan berbasis pada nilai budaya. Secara normatif, ada asumsi bahwa penerapan e-Bureaucracy sejak masa Bupati I Gede Winesa mampu mereformasi birokrasi Kabupaten Jembrana. Namun, hasil penelitian terbaru pada masa Bupati Putu Artha menunjukkan bahwa ada anomali potensi kegagalan e-Bureaucracy, mulai dari penurunan fungsi menara J-Net, tidak berfungsinya Kantor Internet Desa, hingga pelayanan birokrasi secara manual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua masalah dasar dalam implementasi e- Bureaucracy. Pertama, lemahnya reformasi internal birokrasi Kabupaten Jembrana. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh euforia masa lalu dan lemahnya daya inovasi aparat birokrasi Jembrana. Lemahnya inovasi disebabkan oleh belum optimalnya prinsip pendelegasian dalam struktur birokrasi di Jembrana. Kedua, belum optimalnya partisipasi masyarakat sebagai basis reformasi eksternal. Penyebabnya adalah kuatnya pendekatan top-down pemerintah kabupaten kepada sistem kemasyarakatan yang ada dan masih belum optimalnya prinsip pemberdayaan masyarakat oleh LSM lokal. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan studi literatur, wawancara mendalam, dan focus group discussions (FGD).

The use of technology in reforming the government bureaucracy, namely e-Bureaucracy in the regency of Jembrana raises the assumption that the modernization of the bureaucracy can be supported by the social system based on cultural values. It is assumed that the implementation of e-Bureaucracy since the leadership of Regent I Gede Winesa was able to reform the bureaucracy in Jembrana. However, the latest research of his successor?s leadership suggests that there is the potential for failure of e-Bureaucracy, ranging from a decrease in function of the J-Net tower, the non-functioning of the rural internet office, and the return to manual service. The results showed that there are two basic problems in the implementation of e-Bureaucracy. First, the lack of sustained internal reform in Jembrana. This condition is caused by the euphoria with the past government and by the lack of innovation by the Jembrana bureaucratic apparatus. This situation is caused by the limited delegation of power in the bureaucratic structure in Jembrana. Secondly, community participation is not really being optimized as the basis of external reform. The lack of community participation is caused by the strong top-down approach from government and the lack of empowerment building by local NGO. The study uses a qualitative approach supplemented with literature study, in-depth interviews, and focus group discussions (FGD)."
UI Center for Study of Governance Universitas Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara ide politik perbedaan berdasarkan perspektif feminisme dengan masalah konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia. Gagasan politik perbedaan dalam konteks feminis ini melihat masalah utama dalam masyarakat kita bukanlah untuk beradaptasi dengan persamaan, melainkan upaya beradaptasi dengan perbedaan. Penelitian ini juga melihat bahwa saat terjadi konflik antar komunitas ini dengan perspektif perempuan karena dalam setiap konflik, perempuan selalu menjadi korban utama. Masalah lain adalah dikotomi ruang publik dengan ruang privat dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi, yang berdasarkan pada prinsip universalisme, yang tidak menerima perbedaan nilai, dan memaksa sistem hanya untuk mengenal nilai mayoritas.

This Research is to find the connection between the notion of politics of difference based on feminist perspective and the social conflict in the Indonesian society. The Notion of politics of difference in feminism context sees that the major problem in our society is not to adapt equality but rather how to adapt with difference in our society. This research also argues that when there is conflicts between communities, women always become the first casualties. Another problem is the dichotomy of the public sphere and the private sphere in oursocial, political, and economical systems, which are based on universalism cannot accept differences of values and tent to force the system to only recognice the values of the majority."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan antara ide politik perbedaan berdasarkan perspektif feminisme dengan masalah konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia. Gagasan politik perbedaan dalam konteks feminis ini melihat masalah utama dalam masyarakat kita bukanlah untuk beradaptasi dengan persamaan, melainkan upaya beradaptasi dengan perbedaan.
Penelitian ini juga melihat bahwa saat terjadi konflik antar komunitas ini dengan perspektif perempuan karena dalam setiap konflik, perempuan selalu menjadi korban utama. Masalah lain adalah dikotomi ruang publik dengan ruang privat dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi, yang berdasarkan pada prinsip universalisme, yang tidak menerima perbedaan nilai, dan memaksa sistem hanya untuk mengenal nilai mayoritas.

This Research is to find the connection between the notion of politics of difference based on feminist perspective and the social conflict in the Indonesian society. The Notion of politics of difference in feminism context sees that the major problem in our society is not to adapt equality but rather how to adapt with difference in our society.
This research also argues that when there is conflicts between communities, women always become the first casualties. Another problem is the dichotomy of the public sphere and the private sphere in oursocial, political, and economical systems, which are based on universalism cannot accept differences of values and tent to force the system to only recognice the values of the majority."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"The use of technology in reforming the government bureaucracy, namely e-Bureaucracy in the regency of Jembrana raises the assumption that the modernization of the bureaucracy can be supported by the social system based on cultural values. It is assumed that the implementation of e-Bureaucracy since the leadership of Regent I Gede Winesa was able to reform the bureaucracy in Jembrana. However, the latest research of his successor?s leadership suggests that there is the potential for failure of e-Bureaucracy, ranging from a decrease in function of the J-Net tower, the non-functioning of the rural internet office, and the return to manual service.
The results showed that there are two basic problems in the implementation of e-Bureaucracy. First, the lack of sustained internal reform in Jembrana. This condition is caused by the euphoria with the past government and by the lack of innovation by the Jembrana bureaucratic apparatus. This situation is caused by the limited delegation of power in the bureaucratic structure in Jembrana. Secondly, community participation is not really being optimized as the basis of external reform. The lack of community participation is caused by the strong top-down approach from government and the lack of empowerment building by local NGO. The study uses a qualitative approach supplemented with literature study, in-depth interviews, and focus group discussions (FGD).

Proses reformasi birokrasi dengan metode e-Bureaucracy di Kabupaten Jembrana memunculkan satu asumsi bahwa modernisasi birokrasi dapat tertunjang oleh sistem kemasyarakatan berbasis pada nilai budaya. Secara normatif, ada asumsi bahwa penerapan e-Bureaucracy sejak masa Bupati I Gede Winesa mampu mereformasi birokrasi Kabupaten Jembrana. Namun, hasil penelitian terbaru pada masa Bupati Putu Artha menunjukkan bahwa ada anomali potensi kegagalan e-Bureaucracy, mulai dari penurunan fungsi menara J-Net, tidak berfungsinya Kantor Internet Desa, hingga pelayanan birokrasi secara manual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua masalah dasar dalam implementasi e-Bureaucracy. Pertama, lemahnya reformasi internal birokrasi Kabupaten Jembrana. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh euforia masa lalu dan lemahnya daya inovasi aparat birokrasi Jembrana. Lemahnya inovasi disebabkan oleh belum optimalnya prinsip pendelegasian dalam struktur birokrasi di Jembrana. Kedua, belum optimalnya partisipasi masyarakat sebagai basis reformasi eksternal. Penyebabnya adalah kuatnya pendekatan top-down pemerintah kabupaten kepada sistem kemasyarakatan yang ada dan masih belum optimalnya prinsip pemberdayaan masyarakat oleh LSM lokal. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan studi literatur, wawancara mendalam, dan focus group discussions (FGD)."
Depok: UI Center for Study of Governance Universitas Indonesia, 2015
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Ksatrio Utomo
"Artikel ini mengeksaminasi praktik kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) ketika presiden mengintervensi proses pembahasan RUU tersebut di parlemen. Di tengah proses pembahasannya, Presiden mengintervensi DPR melalui forum gabungan partai politik pendukung pemerintah di DPR atau dikenal dengan Sekretariat Gabungan (Setgab) dengan meminta partai pendukung pemerintah yang tidak memiliki posisi resmi dalam ketatanegaraan Indonesia untuk mendukung usulan pemerintah tersebut. Tulisan ini beranggapan bahwa intervensi presiden tersebut merupakan bentuk pembatasan kekuasaan DPR yang seharusnya bekerja secara independen. Adanya intervensi tersebut memunculkan pertanyaan tentang hubungan antara eksekutif dan legislatif yang sejak reformasi politik tahun 1998 cenderung membangun pembatasan kekuasaan presiden dengan memperkuat lembaga parlemen. Artikel ini mengajukan argumentasi bahwa Presiden SBY memiliki kesengajaan dalam menggunakan dan memaksimalkan institusi informal dari kekuasaan presiden yang tidak dapat disentuh oleh parlemen. Untuk menjelaskan dasar dari penggunaan pendekatan informal tersebut, artikel ini menggunakan pendekatan historik institusi informal dan antropologi politik. Pendekatan institusi informal menjelaskan mengenai institusi informal dari presiden di Indonesia antara masa prareformasi dan pascareformasi. Kemudian, pendekatan antropologi politik akan membahas pengaruh budaya politik Jawa yang dominan di Indonesia. Kedua pendekatan tersebut menunjukkan adanya faktor budaya politik Jawa yang menjadi landasan dari penggunaan sisi informal dari institusi presiden yang terbentuk sejak lama dengan kekuasaan presiden dan diteruskan oleh SBY yang juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang dibangun di atas nilai-nilai budaya Jawa. Artikel membuktikan adanya pengaruh budaya Jawa tersebut dalam bentuk penggunaan institusi informal dalam proses perumusan RUU BPJS oleh presiden."
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 3:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library