Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Giyanto
"Rancangan tugas akhir ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petugas pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam menangani konflik antar narapidana dengan menggunakan teknik mediasi. Teknik mediasi memposisikan petugas sebagai orang yang netral dalam mendamaikan pihak yang berkonflik. Konflik antar narapidana yang sering terjadi di Lembaga Pemasyarakatan berakibat langsung terhadap terciptanya stabilitas keamanan sehingga setiap permasalahan harus cepat diselesaikan. Kondisi keamanan yang kondusif menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan Lapas karena hal tersebut dapat mendukung terselenggaranya proses pembinaan narapidana.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kemampuan petugas saat ini dalam menangani masalah antar narapidana belum maksimal Pendekatan keamanan masih menjadi prioritas dalam mengambil tindakan. Data dilapangan juga menunjukkan sering terjadinya masalah-masalah pemerasan, perkelahian, dan penyalahgunaan obat terlarang.
Program ini berbentuk pelatihan yang akan diselenggarakan selama 6 hari dengan beberapa materi ketrampilan dasar yang harus dikuasai petugas pengamanan sebagai mediator. Dengan kegiatan tersebut diharapkan petugas pengamanan mampu untuk menangani konflik antar narapidana dan menyelesaikan secara damai tanpa ada pihak yang dirugikan. Hasil dari pelatihan dapat dilihat dari efektifitas petugas pengamanan yang telah mengikuti pelatihan ketika mengaplikasikan kemampuannya dalam menangani permasalahan di lapangan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giyanto
"Abstrak
Menurut pakar sosiologi pendidikan, terdapat relasi timbal balik (resiprokal) antara realitas dunia pendidikan dengan relitas sosial masyarakat. relasi ini bermakna bahwa hal yng berlangsung dalam masyarakat yang kompleks ini merupakan gambaran dari kondisi dunia pendidikan sesungguhnya. demikian juga sebaliknya kondisi dunia pendidikan mencermikan kondisi masyarakat yang sebenernya."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011
305 JP 10:1(2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Giyanto
"Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Temanggung adalah salah satu bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, yang luas kawasan hutannya mencapai 5.410,50 hektar. Luas tersebut tersebar di antara Gunung Tierep (RPH Jumprit) 1.569,00 hektar, Gunung Sindoro (RPH Kwadungan) L761,30 hektar, dan Gunung Sumbing (RPH Kecepit dan RPH Kemloko), yang masingmasing mempunyai 1.213,90 hektar dan 866,20 hektar. Kerusakan hutan yang terjadi di BKPH Temanggung semuanya terjadi di kawasan hutan lindung yang digunakan sebagai lahan pertanian khususnya untuk tanaman semusim seperti tembakau. Data dari BKPH Temanggung memperlihatkan, bahwa Iuas kawasan hutan lindung terbesar yang dibuka untuk pertanian sampai tahun 2004 terdapat pada kawasan Gunung 'Sindoro (RPH Kwadungan). Dad 1.761,30 hektar yang digunakan untuk hutan lindung, 1.353.50 hektar (76,00%) dari hutan lindung telah digunakan untuk lahan pertanian, khususnya untuk tanaman semusim seperti tembakau.
Penelitian ini bertujuan untuk niengetahui dan menganalisis: (1) Pengaruh dari variabel sosial ekonomi masyarakat pada setiap desa yang sudah dibina dan belum dibina terhadap kelestarian fungsi hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, (2) Faktor-faktor yang melatarbelakangi terhadap terjadinya pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, dan (3) Upaya penanggulangan dan pencegahan pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Variabel sosial ekonomi masyarakat pada setiap desa yang sudah dibina dan belum dibina mempunyai pengaruh terhadap kelestarian fungsi hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung, (2) Pembukaan hutan lindung dilatarbelakangi oleh adanya masyarakat mengetahui aturan-aturan yang berlaku dalam hutan lindung namun terdesak olah kebutuhan ekonomi, sehingga terpaksa membuka hutan untuk meningkatkan pendapatan, sebagai akibat harga tembakau yang rendah, dan (3) Penanggulangan dan pencegahan pembukaan lahan hutan lindung di kawasan IIutan Lindung Gunung Sindoro dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kerjasama yang sinergis antara Pemerintah Daerah, perusahaan rokok (gudang garam dan jarum), dan masyarakat setempat.
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Hutan Lindung Gunung Sindoro (KPH Kwadungan). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dianalisis dengan regresi berganda, yaitu untuk melihat hubungan antara faktor sosial ekonomi masyarakat terhadap luas hutan lindung yang dibuka.
Metode kualitatif dianalisis dengan tabulasi terhadap data yang berkaitan dengan persepsi masyarakat dan penegakan hukum. Data primer dan sekunder dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam.dan dokumenter.
Hasil analisis memperlihatkan, bahwa pada desa yang sudah dibina variabel sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap luas hutan lindung yang dibuka di Desa Bansari adalah jumlah tanggungan kepala keluarga dan pendapatan per kapita per tahun (P-value = 0,004* dan P-value = 0,025*), Desa Mranggen Tengah adalah luas lahan yang dimiliki dan pendidikan formal (P-value = 0,041* dan P-value = 0,037*), dan Desa Mojosari adalah umur kepala keluarga (P-value = 0,044*). Pada desa yang belum dibina variabel sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap luas hutan lindung yang dibuka di Desa Candisari adalah jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan per kapita per tahun (P-value = 0,046* dan P-value = 0,029*), Desa Mranggen kidul adalah umur kepala keluarga dan jumlah tanggungan keluarga (P-value = 0,007* dan P-value = 0,002*), dan Desa Tlogowero adalah jumlah tanggungan kepala keluarga (P-value = 0,022*). Pada desa yang sudah dibina dan belum dibina sebanyak 95,56% responden dan 86,67% responden mengetahui keberadaan kawasan hutan lindung, serta 97,78% responden dan 95,56% responden pada desa yang sudah dibina dan belum dibina menyatakan, bahwa merambah hutan lindung adalah perbuatan yang dilarang_ Sebanyak 95,56% responden dari desa yang dibina dan 88,89% responden dari desa yang belum dibina menyatakan, bahwa merambah hutan lindung bermanfaat untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Upaya penanggulangan dan pencegahan yang telah dilakukan adalah reboisasi, penyuluhan dan penegakan hukum.
Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) Faktor-faktor sosial ekonomi mempunyai pengaruh terhadap kelestarian .fungsi hutan lindung Gunung Sindoro: (a) pada desa yang sudah dibina faktor sosial ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian fungsi hutan lindung gunung sindoro di Desa Bansari adalah jumlah tanggungan kepala keluarga dan pendapatan per kapita per tahun, Desa Mranggen Tengah adalah luas lahan yang dimiliki dan pendidikan formal, dan Desa Mojosari adalah umur kepala keluarga. (b) pada desa yang belum dibina faktor sosial ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian fungsi hutan lindung Gunung Sindoro di Desa Candisari adalah jumlah tanggungan kepala keluarga dan pendapatan per kapita per tahun, Desa Mranggen KiduI adalah umur kepala keluarga dan jumlah tanggungan kepala keluarga, dan Desa Tlogowero adalah jumlah tanggungan kepala keluarga. (2) Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pembukaan lahan di kawasan hutan lindung Gunung Sindoro karena masyarakat terdesak oleh kebutuhan ekonomi (harga tembakau yang rendah) sehingga untuk meningkatkan pendapatan, masyarakat. terpaksa melakukan pembukaan lahan, walaupun melanggar aturan-aturan yang berlaku di kawasan hutan lindung. (3) Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya pembukaan lahan di areal hutan lindung Gunung Sindoro Kecamatan Bansari dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Sindoro, melalui kerjasama yang sinergis antara Pemerintah Daerah, perusahaan rokok (gudang gamin dart jarum), dan masyarakat, serta adanya penegakan hukum yang konsekuen.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Perlu adanya kerjasama yang sinergis antara petani, Pemerintah Daerah dan perusahaan rokok (Gudang Garam dan Jarum), sehingga diharapkan harga tembakau akan mengalami peningkatan, dan (2) Perlu dibuat adanya pembatasan pemanfaatan lahan, agar tidak terjadi kerusakan lahan di wilayah hutan lindung.

The Unit of Temanggung `s Forest Administration (BKPH) is the one part of The North Kedu Forest Administration Unit (KPH) which is under The Central Java Unit I Perum Perhutani, in charge of 5,410.50 hectares covered by forest_ That area consists of 1,569.00 hectares of Tlerep Mount (RPH Jumprit), 1,761.30 hectares of Sindoro Mount (RPH Kwadungan), 1,213.90 hectares of RPH Kecepit and 866.20 hectares of RPH Kernloko. The RPH Kecepit and RPH Kemloko are located in Sumbing Mount. The forest degradation of Temanggung BKPH's happened in almost the whole area of the protected forest which is used by the agriculture, especially by the annual crop plantation such as tobacco. BKPH Temanggung states that the biggest opened protected forest area until 2004 for, the apiculture is happpened in Sindoro Mount area (RPH Kwadungan). That area is especially used as_lobacco's plantation which includes 76.00% (1,353.50 hectares) of 1,761.30 hectares protected forest.
This research aims to study: (1) The impact of the community's socio-economic variables on the preservation of protected forest in Sindoro Mount, Bansari District of Temanggung Regency; (2) The driving factors of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest of Bansari District of Temanggung Regency; (3) The solutions and preventions of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest of Bansari District of Temanggung Regency.
The hypothesis of this study are: (1) The community's socio-economic influence the preservation of the protected forest of Sindoro Mount; (2) The opening of protected forest in Sindoro Mount is being done by the community who have to increase their income as the impact of the decreasing of tobacco's price to fulfil their economic needs, eventhough they know the rules of protected forest; (3) The solutions and prevention of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest can be done by sinergisting the cooperation between the Local Goverment and the Cigarette Company (Gudang Garam and Jarum) with the local community to increase the community's income.
This research was conducted at the Sindoro Mount Protected Forest (RPH Kwadungan) using the quantitative and qualitative method. The quantitative method were analyzed by using the multiple regression to study the relation between the community's socio-economic factors and the use of lands within the protected forest and its use as plantation. This research also used the qualitative method to analyze the relation of local community and law enforcement by using the tabulation of data. The primary and secondary data were collected by depth interviewing and documenting.
The analysis states that: (1) The community's socio-economic factors of the constructed village which impacts significantly to the forestry opening area are the number of family members and annual personal income (P-value-0.004' and P-value-0.025') for Bansari Village, the area of land owning and formal education (P-value-0.041' and P-value-0.037') for Central Mranggen Village and the age of the head of the family (P-value=0.044') for Mojosari Village. The community's socio-economic factors of the non-constructed village which impacts significantly to the forestry opening area are the number of family members and annual personal income (P-value-0.046' and P-value-0.029') for Candisari Village, the age of the head of the family and the number of family members (P-value-0.007* and P-value ).002*) for Mranggen Village and the number of family members (P-value--0.022*) for Tlogowero Village; (2) There are 95.56% respondents of constructed village and 86.67% respondents of non-constructed village knows the protected forest area, there are 97.78% respondents of constructed village and 95.56% respondents of non-constructed village slates the forestry opening is illegally action, there are 95.56% respondents of constructed village and 88.89% respondents of non-constructed village states that the forestry opening increase the income; and (3) The solutions and preventions that have been doing consists of replantation, information giving and law enforcing.
The conclusions of this study are: (1) The community's socio-economic factors of the constructed village which impacts significantly to the forestry opening area consists of the number of family members and annual personal income for Bansari Village, the area of land owning and formal education for Central Mranggen Village and the age of the head of the family for Mojosari Village. The community's socio-economic factors of the non-constructed village which impacts significantly to. the forestry opening area consists of the number of family members and annual personal income for Candisari Village, the age of the head of the family and the number of family members for Mranggen Village and the number of family members for Tlogowero Village; (2) The opening of protected forest in Sindoro Mount is being done by the community who have to increase their income as the impact of the decreasing of tobacco's price to fulfil their economic needs, eventhough they know the rules of protected forest; (3) The solutions and preventions of forestry opening at The Sindoro Mount protected forest can be done by sinergisting the cooperation between_the Local Goverment and the Cigarette Company (Gudang Garam and Jarum) with the local community to increase the community's income and forming the consequen law enforcement
The suggestions of this study ere: (1) There should be a synergistic cooperation between The Local Government and The Tobacco Company (Gudang Garam and Jarum) with The Local Farmers to maintains the good balance of tobacco supply-demand and price; (2) There should be a local regulation to protect the forest and effort to build people's legal awareness.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Giyanto
"Istilah desa sudah dikenal jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai, dan sebagaimana dikemukakan oleh bahwa: Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan permulaan adanya ?Desa? (Suryaningrat,1992), Sedangkan yang dimaksud Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa (Widjaja, 2008). Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri (Widjaja, 2008). Sebutan Desa sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang batas-batas wilayahnya, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri atau self-gouverning community ( Eko, 2008).
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan hingga sekarang, keberadaan Desa diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan sebagaiaman diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan usul dan prakarsa Pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Pada tahun 2005 sebagian desa di Kabupaten Tangerang diubah statusnya menjadi Kelurahan. Hal yang sama juga di Kota Serang pada tahun 2011 sebagian desa diubah menjadi Kelurahan. Desa dengan Kelurahan adalah berbeda, Desa adalah otonom yang diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, sedangkan kelurahan adalah SKPD Kabupaten/Kota. Dalam perubahan tersebut terjadi pro dan kontra, serta tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sehubungan dengan perubahan status tersebut dilakukan penelitian terhadap perubahan desa menjadi kelurahan suatu kajian kelembagaan.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kelembagan adalah organisasi, karena istilah kelembagaan dan organisasi penggunaannya dapat dipertukarkan (Uphoff, 1986). Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah perubahan struktur, teknologi, produk, orang budaya organisasi dan budaya masyarakat. Penelitian ini merupakan studi kasus, pendekatan yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan paradigm penelitian post positivisme, Sebagai unit analisis adalah 5 (lima) kelurahan di Kecamatan Kelapa Dua Kab. Tangerang, dan 3 (tiga) kelurahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang.
Dalam penelitian ini menghasilkan 4 (empat) temuan pokok sesuai tujuan penelitian. Pertama, proses perubahan desa menjadi kelurahan tidak didasarkan aspirasi masyarakat, melainkan lebih banyak kepentingan politis baik di Tangerang maupun Serang; kedua di Tangerang pelayanan kepada masyarakat diluar jam kerja tidak maksimal, karena hilangnya unsur wilayah dalam struktur organisasi kelurahan, sedangkan di Serang pelayanan kepada masyarakat menjadi maksimal; ketiga, baik di Tangerang maupun Serang, status perangkat desa yang menjadi perangkat kelurahan sampai saat ini belum jelas; keempat, di Tangerang dengan desa berubah menjadi kelurahan, maka terjadi perubahan nilai-nilai di masyarakat, sedangkan di Serang tidak terjadi.
Dalam perubahan desa mejadi kelurahan di masa yang akan datang maka di rekomendasikan, pertama perlu dilakukan sosialisasi terlebih dahulu, agar tidak terjadi pro dan kotra di masyarakat; kedua, perlu dipersiapkan desain organisasi kelurahan yang berasal dari desa; ketiga, perlu kejelasan status SDM dalam perubahan desa menjadi kelurahan; keempat, agar nilai-nilai budaya masyarakat desa tidak hilang maka perlu diakomodir pada kelurahan yang berasal dari desa.

Desa (village) is a term that has been used for a long time ago prior to the Dutch colonization as stated by Suryadiningrat (1992) that it is unknown when exactly it was first introduced. Desa (village) is a unit of law abiding society that has an original structure based on the privilege rights of origin (Widjaja, 2008). Desa is an autonomous institution with their own traditions, customs and laws, which is relatively independent (Widjaja, 2008). Desa is very diversified in Indonesia. In the beginning it was a local community organization whose territorial boundaries were dwelled by a number of people that had customs to self- govern or self-governing community (Eko, 2008).
In the history of Indonesian nation the existence of desa has been acknowledged in various rules of laws ever since the colonization era until today. Along with the progress of the time and the demands, the status of desa community can be transformed into a village administrative unit (kelurahan) as stipulated in the rules of laws based on the proposal and ideas of the village governance along with Village Consultative Board (Badan Permusyaratan Desa).
In year 2005 the status of the majority of villages in Tangerang regency were transformed into village administrative unit. In year 2011 the same went for that of Serang city. Desa and village administrative unit are different. The former is an autonomy that is authorized to self-govern their affairs whereas the latter is Regency/City Apparatus Work Unit (SKPD). Such changes raised the case of for and against, and in fact, they are far from their expectations. In relation to that, the research of institutional studies was conducted concerning the changes from desa to village administrative unit.
In this research what is meant by institution is organization because both terms can be used interchangeably (Uphoff, 1986). The scope of the research is the changes in structure, technology, products, people, organization and society cultures. This research is a case study adopting qualitative approach with post positivism research paradigm. As the units of analysis, there are 5 (five) village administrative units in KelapaDua district of Tangerang regency, and 3 (three) village administrative units in Taktakan district of Serang city.
The research found 4 (four) main findings in line with the purposes of the research. Firstly, the changes from desa to village administrative unit did not come from the society's aspirations, in fact it was dominantly based on political interests both in Tangerang and in Serang.; secondly, in Tangerang the public services outside working hours were not optimum due to the loss of territorial element within the village administrative unit organization, but in Serang the services were optimum; thirdly, either in Tangerang or in Serang, the status of the village apparatus that had been shifted to village administrative unit apparatus was not yet clear ; fourthly, in Tangerang changing values within the society occurred, but not in Serang.
In conclusion, for future changes it is, therefore, necessary to give the following recommendations: first, it is necessary to conduct socialization first prior to the changes to avoid the case for and against within the society; second, it is also necessary to prepare organizational design of a village administrative unit that is originallya desa; third, for such changes it is also necessary to have a clear status of the human resources; fourth, in order to avoid the loss of the village communal valuesit is, therefore, necessary to accommodate them in the village administrative unit originated from a desa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1419
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library