Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189412 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jauda Hanoon
"Latar Belakang Operasi sesar meningkat di Indonesia dan dikaitkan dengan nyeri sedang-berat, sehingga memerlukan manajemen nyeri yang efektif untuk mencegah dampak negatif. Mengidentifikasi regimen analgesik, durasi operasi, dan anestesi yang optimal dapat meningkatkan hasil, tetapi studi tentang nyeri pascaoperasi akut dan faktor terkait di Indonesia masih terbatas. Metode Desain kohort observasional retrospektif digunakan, dengan sampel pasien yang menjalani operasi sesar di RSCM pada tahun 2021. Data mengenai kejadian nyeri akut sedang-berat (VAS ≥ 4), regimen analgesik, anestesi, dan durasi operasi diolah dari rekam medis dan kemudian dianalisis. Hasil 55 pasien diikutsertakan dalam analisis. 5 (9%) mengalami nyeri pascaoperasi akut sedang-berat. Analisis uji Fisher terhadap hubungan antara skor VAS ≥ 4 dengan regimen analgesik (p=0,053), anestesi (p=1,000), dan durasi operasi (p=1,000) tidak ditemukan signifikan. Kesimpulan Penelitian prospektif lebih lanjut dengan ukuran sampel yang besar diperlukan untuk memberikan kesimpulan mengenai pengaruh regimen analgesik, anestesi, dan durasi operasi terhadap nyeri pascaoperasi akut pada pasien operasi caesar.

Introduction Cesarean deliveries are rising in Indonesia and are associated with moderate-severe pain, requiring effective pain management to prevent negative impacts. Identifying optimal analgesic and anaesthesia regimens, and surgery duration could improve outcomes, but studies on acute postoperative pain and related factors in Indonesia remain limited. Method A retrospective observational cohort design was utilised, with a sample of patients who underwent caesarean sections in RSCM in the year 2021. Data regarding the incidence of moderate-severe acute pain (VAS ≥ 4), analgesic regimen, anaesthesia, and surgery duration was extracted from medical records and subsequently analysed. Results 55 patients were included in the analysis. 5 (9%) experienced moderate-severe acute postoperative pain. Fisher test analysis of the association between VAS ≥ 4 score and analgesic regimen (p=0.053), anaesthesia (p=1.000), and surgery duration (p=1.000) was not found to be statistically significant. Conclusion Further prospective studies with large sample sizes are needed to provide conclusions regarding the effect of analgesic regimen, anaesthesia, and surgery duration on acute postoperative pain in caesarean section patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Lembahmanah
"Latar Belakang: Penyuntikan obat anestesia spinal dosis tunggal diketahui menyebabkan hipotensi yang lebih besar dibandingkan dosis terbagi pada pasien obstetrik sehat, namun belum ada penelitian yang dilakukan pada pasien obsterik dengan penyulit hipertensi, khususnya di Indonesia. Hipotensi akibat anestesia spinal, khususnya pada pasien obstetrik dengan penyulit hipertensi, akan mengganggu kesejahteraan ibu dan janin.
Tujuan: Membandingkan penurunan MAP dan kebutuhan efedrin, serta mengetahui level ketinggian blok antara teknik anestesia spinal dosis terbagi dengan dosis tunggal untuk bedah Sesar dengan penyulit hipertensi.
Metode. Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 42 pasien di RSU Kabupaten Tangerang yang memenuhi kriteria dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok dosis terbagi (TB) dilakukan dengan menyuntikkan 2/3 dosis (1,5 ml), dilanjutkan 1/3 dosis sisanya (1 ml) setelah jeda 90 detik. Kelompok dosis tunggal (TU) dilakukan dengan menyuntikkan seluruh dosis dalam sekali bolus. Keduanya dilakukan dalam posisi duduk, menggunakan kombinasi obat anestesia spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg dan fentanil 25 mcg (volume total 2,5 ml), kecepatan 0,2 ml/detik, barbotase £0,1 ml sebelum penyuntikan, serta pemberian coloading cairan kristaloid 5-10 ml/KgBB. MAP diukur sebanyak 7 kali, dan kebutuhan efedrin serta ketinggian blok dicatat. Analisis hasil menggunakan uji General Linear Model (GLM) untuk pengukuran berulang, uji Fisher dan Mann-Whitney U.
Hasil: Uji GLM menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antar waktu pengukuran antar kelompok (P >0,05), namun grafik garis menunjukkan trend MAP kelompok TB lebih tinggi pada 3 menit pertama dibandingkan kelompok TU. Penurunan MAP >20% terjadi lebih cepat pada kelompok TU (menit ke-3). Ketinggian blok sensorik keduanya terbanyak pada level T4 sebesar 11 subjek (52,4%) pada kelompok TB dan 9 subjek (42,9%) pada kelompok TU (P=0,59). Perbandingan dosis total pemakaian efedrin mendapat nilai median (range) kelompok TB sebesar 10 (0-25) mg dan kelompok TU sebesar 15 (0-30) mg (P=0,30).
Simpulan: Penurunan MAP dan kebutuhan efedrin pada dosis terbagi tidak lebih kecil secara signifikan dibanding dosis tunggal, namun trend penurunan MAP >20% terjadi lebih lambat dan pemakaian efedrin lebih sedikit pada 3 menit pertama, dengan level ketinggian blok keduanya serupa.

Background: Injection of a single bolus of local anesthetics in spinal anesthesia is known to cause greater hypotension than a fractionated dose in healthy obstetric patients, but no studies have been performed on obstetric patients with hypertensive complications, especially in Indonesia. Spinal hypotension will interfere to maternal and fetal well-being, particularly to mother with pregnancyinduced hypertension.
Objective: Compare the decrease in mean arterial pressure (MAP) and ephedrin requirements, as well as to determine the level of sensory blockade between fractionated dose and single dose technique in spinal anesthesia for Cesarean section in pregnancy-induced hypertension.
Methods: Single blinded randomized clinical trials of 42 patients at Tangerang District General Hospital who met the criteria were divided into two groups. The fractionated dose group (TB) was administered by injecting 2/3 of the total doses (1,5 ml) initially, followed by 1/3 of the remaining dose (1 ml) after 90 s. A Single dose group (TU) was performed by injecting all doses in one bolus. Both were performed in a sitting position, using a combination of 0,5% hyperbaric bupivacaine 10 mg and fentanyl 25 mcg (total volume of 2,5 ml), with velocities 0,2 ml/sec, £0,1 ml barbotage before injection, and administration of 5-10 ml/KgBW crystalloids for co-loading. MAP was measured 7 times, as well as ephedrine requirement and level of sensory blockade were recorded. Analysis was performed using a General Linear Model (GLM) test for repeated measurements, Fisher exact and Mann-Whitney U test.
Results: The GLM test showed no significant differences between the time measurements between groups (P>0,05), but the line chart showed the TB group's trend of MAP was higher in the first 3 minutes than TU group. MAP decline >20% occured faster in TU group (minute-3). The level of sensory block was mostly at the T4 level of 11 subjects (52,4%) in TB group and 9 subjects (42,9%) in TU group (P = 0,59). The total dose of ephedrine requirement was in median (range) value of 10 (0-25) mg in TB group and 15 (0-30) mg in TU group (P = 0,30).
Conclusion: MAP decline and ephedrine requirement in fractionated dose were not significantly smaller than single dose, but >20% decrease in MAP's trend occured more slowly and ephedrine requirement was less in the first 3 minutes, with similar level of sensory block in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Limen, Ronal Yosua
"Latar belakang: Nyeri pasca bedah merupakan fenomena yang subyektif. Penelitian ini untuk membandingkan efek analgetik NSAID dan PCA dengan Elektroakupunktur dan PCA pada nyeri pasca bedah Caesar.
Metodologi: 38 wanita yang mendapatkan anestesi spinal selama menjalani bedah Caesar di Departemen Obstetrik dan Ginekologi di RSUPN Cipto Mangunkusumo, dibagi secara acak menjadi kelompok NSAID dan PCA serta kelompok Elektroakupunktur dan PCA. Setelah selesai menjalani pembedahan subyek diberikan NSAID atau mendapat stimulasi Elektroakupunktur dan kemudian dipasang PCA. Waktu pertama kali membutuhkan morfin dan dosis PCA yang digunakan dicatat.
Hasil: Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok Elekroakupuntur dan PCA (205 menit) menunda waktu kebutuhan untuk morfin 25 menit lebih lama dibandingkan dengan kelompok NSAID dan PCA (180 menit). Dosis total PCA pada 24 jam pertama berkurang 25 % pada kelompok Elektroakupunktur dan PCA (4,5 mg) dibanding kelompok NSAID dan PCA (6 mg), sehingga tidak terdapat perbedaan bermakna. Pada kelompok NSAID dan PCA maupun kelompok Elektroakupunktur dan PCA tidak didapatkan efek samping yang berhubungan dengan opioid seperti pusing.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan dalam waktu kebutuhan analgetik tambahan pasca bedah Caesar dan dosis PCA 24 jam pada kelompok NSAID dan PCA dengan Elektroakupunktur dan PCA.

Background: Post-operation pain is a very subjective phenomenon. The aim of this study was to compare the analgesic effects of NSAID and PCA or Electro-acupunture and PCA on post-cesarean pain.
Methods: 38 women, who had had spinal anesthesia during cesarean section at the Department of Obstetrics of Cipto Mangunkusumo Hospital, were randomly assigned to the NSAID and PCA group and the electro-acupuncture and PCA group. After the operation, we applied subjects with NSAID or Electro-acupuncture, and the patient controlled analgesia (PCA). The first time of requesting morphine and the doses of PCA used were recorded.
Results: The results showed that the Electro-acupuncture and PCA group (205 minutes) could delay the time of requesting morphine up to 25 minutes when compared with the NSAID and PCA group (180 minutes). The total dose of PCA used within the first 24 hours was 25 % less in the Electro-acupuncture and PCA group (4,5 mg) when compared with the NSAID and PCA group (6 mg), which no significant difference between the NSAID and PCA group and the Electro-acupuncture and PCA group. Finally, the incidence of opioid-related side effects, such as dizziness, was not record in the NSAID and PCA group or Electro-acupuncture and PCA group.
Conclusion: There was no different in the time of requesting pain relief medication after cesarean section and the PCA doses used within the first 24 hours in NSAID and PCA group or Electro-acupuncture and PCA group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dwi Wicaksono
"Latar belakang: Operasi sesar merupakan salah satu tindakan yang paling sering
dilakukan dibidang obstetrik bahkan hingga dalam satu rumah sakit. Angka kejadian
infeksi daerah operasi sesar sangat bervariasi pada seluruh dunia berkisar pada 3-15%.
Proses terjadinya IDO merupakan suatu proses multifaktorial yang meliputi mulai dari
persiapan perioperatif, kondisi pasien, jenis operasi, jenis kuman dan lain-lain.
Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, pola kuman, dan faktor risiko kejadian
infeksi daerah operasi (IDO) di RSCM tahun 2016-2018.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cohort
retrospective. Subyek penelitian ini merupakan pasien yang menjalani operasi sesar di
RSCM pada tahun 2016-2018 yang direkrut menggunakan metode consecutive
sampling. Dari data yang didapatkan dilakukan analisis bivariat dan multivariat untuk
menentukan faktor risiko terjadinya IDO pasca operasi sesar
Hasil: Didapatkan sebanyak 2.052 kasus yang memenuhi kriteria inklusi penelitian.
Sebanyak 85 kasus infeksi daerah operasi (IDO) didapatkan dari 2.052 tindakan yang
dilakukan (4,14%). Sebanyak 85 kelompok kasus IDO dan 1.967 kelompok kasus
kontrol diikutsertakan dalam analisis faktor risiko. Kuman paling sering didapatkan
pada kultur kasus infeksi daerah operasi pasca operasi sesar adalah Staphylococcus
aureus (16,5%), Klebsiella pneumoniae (12,9%), Escherischia coli (9,4%),
Enterococcus faecalis (9,4%), dan lainnya (21,2%). Variabel yang berpengaruh
terhadap kejadian IDO pasca secar adalah gawat janin (p=0,002 ;AOR = 2,265 IK95
% 1,350-3,801) dan IMT ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR 1,824 IK95% 1,066-3,121).
Kesimpulan: Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian IDO pasca SC adalah gawat
janin (p=0,002 ;AOR = 2,265 IK95 % 1,350-3,801) dan IMT ≥30 kg/m2 (p=0,028;
AOR 1,824 IK95% 1,066-3,121).

Background: Caesarean section is one of the most performed operations in the field
of obstetrics and even in hospital. The incidence of infections in cesarean section varies
greatly around the world at 3-15%. Surgical site infection is a multifactorial process
that starts from the perioperative preparation, the patient, the type of surgery, the type
of germ and other factors.
Objective: To determine the characteristics of patients, bacterial patterns, and risk
factors for the incidence of surgical site infection (SSI) in Cipto Mangunkusumo
National General Hospital in 2016-2018.
Method: This study was an observational study using a retrospective cohort method.
The subject of this study were patients undergoing cesarean section in Cipto
Mangunkusumo National General Hospital in 2016-2018 recruited using consecutive
sampling method. Based on the data obtained, bivariate and multivariate analysis were
conducted to determine the factors affecting after caesarean section SSI
Result: A total of 2.052 subjects were included in the study. There were 85 cases of
surgical site infection (SSI) out of 2.052 operations (4.14 %). A total of 85 SSI case
groups and 1.967 control groups were included in the risk factor analysis. Bacteria
most commonly found in surgical site infection culture were Staphylococcus aureus
(16,5%), Klebsiella pneumoniae (12,9%), Escherischia coli (9,4%), Enterococcus
faecalis (9,4%), and others (21,2%). Variable associated with SSI in this study is fetal
distress (p=0,002 ;AOR = 2,265 CI 95 % 1,350-3,801) and BMI ≥30 kg/m2 (p=0,028;
AOR 1,824 CI 95% 1,066-3,121).
Conclusion: Factors influencing the incidence of SSI after SC was fetal distress
(p=0,002 ;AOR = 2,265 CI 95 % 1,350-3,801) and BMI ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR
1,824 CI 95% 1,066-3,121)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Selama pemulihan pasca operasi caesarea ibu akan mengalami banyak masalah
dimana diperlukan adaptasi suami pada kondisi ini. Disisi lain banyak rumah sakit
membatasi kunjungan suami terhadap pasangannya yang mengalami persalinan
melalui operasi caesarea, sedangkan keterlibatan atau peran suami sangat dibutuhkan
untuk membantu istri mengatasi masalahnya. Keterlibatan suami dalam persalinan
sampai dengan pasca persalinan memerlukan persiapan baik secara mental maupun
fisik (Richman, 1982). Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan
suami dalam merawat istri yang melahirkan dengan tindakan operasi caesarea
adalah: faktor pendidikan, pengetahuan dan motifasi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat adanya hubungan antara tingkat pendidikan, pengetahuan dan motivasi
dengan keterlibatan suami dalam merawat istri pasca operasi caesarea. Penelitian ini
dilakukan RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta, dari tanggal 20 Desember 2002 sampal dengan tanggal 4 Januari 2003.
metode penelitian adalah deskripsi korelasi dengan jumlah responden 30 orang. Dari
hasil analisa data didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
tingkat pendidikan dengan keterlibatan suami dalam merawat istri pasca operasi
caesarea dengan p value 0,42 dengan tingkat kepercayaan 95 %. Tingkat
pengetahuan dengan keterlibatan suami dalam merawat istri pasca operasi caesarea
dengan p value 0,22. Motivasi dengan keterlibatan suami dalam merawat istri pasca
operasi caesarea diperoleh p value 1,0, sehingga dapat diperoleh kesimpulan tidak
ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan, pengetahuan, dan motivasi
denan ketrlibatan suami dalam merawat istri pasca operasi caesarea."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5211
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
"Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga
asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi
umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi
umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks
okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda
dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral
dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II.
Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo.
Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva,
traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual
Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok
intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4,
dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit.
Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5%
sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah
pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik,
namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi
subtenon memberi hasil yang lebih baik.

Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia,
arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent
this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub-
Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and
postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15
patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American
Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to
receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart
rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result:
The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction
and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and
in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in
ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain
scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We
conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power
75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general
anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first
hour after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Anasy
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri yang efektif pascabedah merupakan bagian
yang penting pada perawatan pasien yang menjalani pembedahan. Penanganan
nyeri pascabedah laparoskopi nefrektomi donor ginjal sangat penting untuk
pemulihan dini. Epidural kontinyu merupakan teknik anestesi regional yang
digunakan pada operasi donor ginjal di RSCM, namun hasilnya belum
memuaskan karena masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus
Lumborum (QL) bilateral dengan bantuan USG dan blok epidural kontinyu
terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 52 pasien sehat yang
mendonorkan ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan proses randomisasi pada subjek penelitian,
didapatkan pada kelompok blok QL bilateral sebanyak 26 pasien dan epidural
kontinyu sebanyak 26 pasien. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, subjek dalam
kelompok blok QL mendapatkan bupivacaine 0,25% sebanyak 20 mL secara
bilateral dan subjek pada kelompok epidural mendapatkan infus bupivakain
0,125% 6 mL/jam secara kontinyu. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Mann Whitney.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
terhadap derajat nyeri NRS saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12 dan jam
ke-24 (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). Kebutuhan PCA morfin pada
24 jam pascabedah pada setiap waktu pengukuran tidak ditemukan perbedaan
bermakna (p = 0,823; 0,985; 0,693; dan 0,854). Skor Bromage, serta waktu
pertama kali pasien memencet PCA morfin ditemukan sama pada kedua
kelompok. Pada kelompok blok QL Sebanyak 6 orang (23,10%) yang merasakan
mual dan 4 orang (15,4%) yang mengalami muntah. Pada kelompok blok epidural
kontinyu sebanyak 1 orang (3,8%) yang merasakan mual dan 1 orang (3,8%) yang
mengalami muntah. Efek samping parestesia tidak ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding blok epidural kontinyu.

ABSTRACT
Background: Post operative pain management is substantial. Regional anesthesia for renal transplant donor is advantageous for early recovery. Continous epidural regiment often used in renal donor patients. However, the benefits are not fully met due to high incidence of severe post operative pain. This study compares the effectivity of USG guided bilateral Quadratus Lumborum (QL) block with continous epidural block for post operative pain management. We evaluate the degree of pain and morphine consumption.
Methods: This is a random clinical trial in Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects were random clinical trial. Fifty two subjects were renal donors who underwent surgery in RSCM. Subjects were randomized and divided into two groups, continous epidural (26 subjects) and QL block (26 subjects). Prior extubation, the QL block groups received bilateral QL block with 20 ml of Bupivacain 0.25% and the epidural group were given 6 ml/hr of Bupivacain 0.125% continously via epidural. The subjects pain were rated with NRS pain score. Morphine consumption and adverse events (nausea, vomiting, and paresthesias) were noted. Data were analyzed with Mann-Whitney test.
Results:This study showed no difference between both group regarding NRS pain score in RR, the first 2, 6, 12 and 24 hour (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). There are no difference in morphine consumption in both group (first 2 hour p=0,823; first 6 hour p=0,985; first 12 hour p=0,693; and first 24 hour p=0,854). Bromage score and the first time subjects pressed the PCA device are similar. There are 6 subjects (23.1%) who experienced nausea and 4 subjects (15.4%) who experienced vomitus from the QL block group. One subject (3.8%) experienced nausea and 1 (3.8%) subject vomitted from the epidural group.
Conclusion: The efficacy of QL block for 24 hour post-operative pain management is comparable with continous epidural analgesia following laparoscopic nephrectomy."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vetta Fegitalasky
"Latar belakang: Memberikan edukasi dan memberikan kesempatan pasien untuk
berpartisipasi pada pengambilan keputusan merupakan kunci keberhasilan
hubungan dokter dengan pasien. Oleh karena itu diperlukan komunikasi antar
dokter dan pasien untuk mendiskusikan tatalaksana medis. Untuk menilai
pemahaman pasien terhadap suatu prosedur, diperlukan alat bantu misalnya dalam
bentuk kuesioner. Saat ini belum ada kuesioner standar di Indonesia maupun
internasional untuk menilai pemahaman pasien mengenai seksio sesarea. Untuk itu
peneliti merasa perlu untuk membuat suatu kuesioner untuk menilai pemahaman
pasien terhadap prosedur seksio sesarea
Tujuan: (1) Membuat kuesioner yang dapat menilai pemahaman pasien terhadap
edukasi pra tindakan operasi seksio sesarea, (2) kuesioner dapat dipakai sebagai
sarana untuk mengetahui pemahaman pasien sebelum dilakukan edukasi
pratindakan seksio sesarea, (3) Kuesioner ini akan digunakan untuk penelitian
selanjutnya yaitu untuk membandingkan pemahaman pasien yang diberikan
edukasi dengan alat bantu video edukasi dan pasien yang diberikan edukasi standar.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, yaitu membuat suatu
kuesioner baru. Validasi dilakukan dengan uji validasi isi oleh panel expert, uji face
validity dan uji validitas konstruk. Kuesioner terdiri atas 28 butir pertanyaan pilihan
ganda. Pengujian validitas konstruk dengan menilai item discimination dan item
difficulty. Analisis uji validitas penelitian ini menggunakan korelasi Bivariat
Pearson yang diolah dengan program SPSS versi 20.
Hasil: Penelitian dikatakan valid apabila r-hitung > r-tabel. Pada perhitungan rtabel
didapatkan nilai koefisien 0,207. Hasil penelitian kami, berdasarkan nilai rhitung
>0,207 yaitu sebanyak 19 dari 28 butir soal kuesioner dinyatakan valid.
Tingkat reliabilitas yang kami dapatkan sebesar 0,551.
Kesimpulan: Kuesioner pemahaman pasien terhadap tindakan seksio sesarea
menghasilkan 19 butir kuesioner yang valid dan dapat digunakan sebagai alat untuk
menilai pemahaman pasien sebelum operasi seksio sesarea.

Background: Patients education prior cesarean section is a success key in doctorpatient
relationship. Therefore, good communication to discuss medical procedure
is needed. An instrument such as questionnaire is important to evaluate patients
knowledge of medical procedure. Nowadays, theres no standard tool to evaluate
patients knowledge of cesarean section, neither here in Indonesia, nor in abroad.
Hence, we need to create a new questionnaire to evaluate it.
Objective: (1) To make a questionnaire that can evaluate patients knowledge of
cesarean section, (2) The questionnaire can be use as a tool before doctors educate
patients during informed consent, (3) The questionnaire could be use again in the
next research, to compare patient with standard informed consent and with
educational video.
Method: This is a pilot study to create a new questionnaire about patients
knowledge of cesarean section. We conduct a validation test which are content
validity, face validity and construct validity. The questionnaire has 28 item, with
multiple choice questions type. To measure construct validity, we analyze item
discrimination and item difficulty. Data was processed using SPSS version 20 to
analyze pearson bivariate correlation.
Result: This questionnaire is valid if pearsons r-count > r table. We determine the
r-table is 0.207. Hence, the value was valid if the coefficien is >0.207. Using SPSS
version 20, there are 19 from 28 items which are valid. The reliablity of this
questionnaire is 0.551.
Conclusion: This questionnaire result in 19 valid items and it can be use as a tool
to evaluate patient knowledge before cesarean section."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian dengan judul keluhan sakit kepala klien post operasi seksio sesar
dengan anestesi spinal setelah 24 jam pertama dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan sakit kepala pada klien dengan anestesi
spinal. Penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif sederhana. Tempat
penelitian di ruang rawat kebidanan rumah sakit Muhammadiyah Taman Puring
Jakarta Selatan dengan responden 30 orang. Instrumen pengumpulan data berupa
kuisioner yang diolah dari vaniabel penelitian. Hasil penelitian didapatkan klien
dengan sakit kepala karena mobilisasi dini dan hidrasi yang kurang berjumlah 20
orang (66,67%), sakit kepala dengan hidrasi yang kurang dari 2500 ml berjumlah 10
orang (33,3%), dan sakit kepala karena mobilisasi dini berjumlah 5 orang (16,67%).
Rekomendasi yang peneliti berikan pada perawat untuk memotivasi ibu post operasi
seksio sesar untuk tidak melakukan mobilisasi sebelum 24 jam dan minum
+ 2500 ml-3000 ml per hari."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5113
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Rezkita Andrea
"ABSTRAK
Dimulai dari data SDKI yang pertama yaitu tahun 1987 hingga yang kelima yaitu SDKI 2002-2003, terjadi peningkatan prevalensi operasi sesar, hingga pada SDKI yang terakhir (2002-2003) prevalensi operasi sesar adalah 4,1%, data tersebut diambil dari data wanita yang bersalin dalam 5 tahun terakhir (1997-2003). Berdasarkan data tersebut belum terdapat keterangan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan melalui operasi sesar.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berbubungan dengan kejadian persalinan melalui operasi sesar (Sectio Cesarian) di Indonesia selama kurun waktu 1997-2003.
Studi ini merupakan analisis data sekunder dari data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003. Desain yang digunakan adalah desain potong lintang (cross sectional).
Dari basil analisis diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan persalinan melalui operasi sesar di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun (1997-2003) adalah usia ibu < 20 tahun dan > 35 tahun (OR=2.0, 95%CI: L5-2.6), primipara (OR= 1.4, 95%CI: 1.1-1.8), adanya komplikasi kehamilan (OR=3.5, 95%Cl: 2.7-4.5), adanya komplikasi persalinan (OR= 2.2, 95%CI: 1.8-2.8). Pada variabel pendidikan ibu terlihat adanya dose response relationship SMP (OR= 1, 95%Cl: 0.7-1.4), SMU (OR=1.7, 95%Cl: 1.2-2.3) yang tertinggi adalah tingkat Perguruan Tinggi (OR=2.5, 95%CI: 1.8-16), Pada variabel status ekonomi terindikasi adanya interaksi dengan fasilitas kesehatan (rumah sakit) dan terlihat adanya dose response relationship baik persalinan yang dilakukan di rumah sakil pemerintah maupun swasta. Jika persalinan dilakukan di rumah sakit pemerintah maka peluang untuk dilakukannya persalinan melalui operasi sesar adalah sebagai berikut: niiai OR di rumah sakit swasta meningkat sesuai dengan peningkatan status ekonominya (OR rendah :12; 95%C1; 6.4-22.6; OR menengah: 14.6; 95%CI: 8.0-27.0 dan OR tinggi: 25; 95%CI: 16.9-36.9) . Demikian juga dengan OR di rumah sakit pemerintah (OR rendah: LO; OR menengah: 2.8; 95% CI: 1.8-4.4; OR tinggi: 5.0; 95% CI: 15-7.4). Dan variabel pendidikan ibu terlihat pula adanya dose rensponse relationship, makin tinggi pendidikan ibu, maka peluang untuk dilakukan persalinan melalui operasi sesar makin tinggi (OR1: 1.0; 95%CI: 0.7-1.4; OR2: 1.7; 95%CI: 1.2-2.3; OIU: 2.5; 95%CI: 1.8-3.6).
Dari penelitian ini dapat disimpuikan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan melalui operasi sesar di Indonesia dalam kurun waktu 1997-2003 adalah umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun, paritas, adanya komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan, tingkat pendidikan ibu, serta joint effect antara status ekonomi responden dengan fasilitas rumah sakit yang digunakan.
Penulis menyarankan agar peneltian ini dapat dilanjutkan pada penelitian yang lebih spesifik, hubungan antara operasi sesar dengan status ekonomi responden dan keterjangkauan akses pelayanan kegawatdaruratan obstetri serta lebih mendalam dalam menganalisa statistiknya.

ABSTRAK
Starting from the first IDHS in 1987 to the fifth IDHS 2007-2003, the prevalence of sectio cesarean is increasing. The last IDHS (2002-2003) shows a prevalence of 4.1% in the last five years period (1997-2003). The data did not explain about factors related to sectio cesarean.
The objective of this study is to understand factors related to sectio cesarean in Indonesia during 1997-2003 period.
This study is an analysis of secondary data gathered through Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2002-2003. Design of the study is cross sectional.
The analysis shows that variables related to sectio cesarean-are mothers age <20 years and >35 years (OR 2.0; 95% CI 1.5-2.6), primipara 95%CI: 1.1-1.8), pregnancy complications (OR-3.5, 95%CI: 2.7-4.5), delivery complications (OR-2.2, 95%CI: 1.8-2.8). There is dose response relationship in mother education variable, junior high school (OR= 1, 95%CI: 0.7-1.4), senior high school (OR-1.7, 95%CI:--L2-2.3) and univeristy (Oft-2.5, 95%CI: 1.8-3.6). Socioeconomic status variable indicated an interaction with health care facility (hospital) and shows dose response relationship in oath public and private hospitals. OR in private hospitlas increased in acoordance to the increase of socioeconomic status: low socioeconomic status (OR:12; 95%CI; 6.4-22.6); middle (OR:14.6; 95%CI: 8.0-27.0) and high (OR 25; 95%CI: 16.9-36.9). Similar situation also occured at public hospital (OR low: 1.0; OR middle: 2.8; 95% CI: 1.8-4.4; OR high: 5.0; 95% CI: 3.5-7,4). Dose response relationship also appear in mother education variable, the higher mother education the higher the chance of having sectio cesarean (OR 1: 1.0; 95%CI: 0.7-1.4; OR2: 1.7; 95%Cl: 1.2-2.3: OR3: 2.5; 95%CI: 1.8-3.6 3.
This study concludes that factors related sectio cesarean in Indoneisa in the 1997-2003 period arc mothers age <20 years and >35 years, parity, pregnancy complications and delivery complications, mothers education, and joint effect between socioeconomic status and hospital facility.
It is suggested to continue the study into a more specific research on sectio cesarean and socioeconomic status and access to obstetric emergency care using a more sophisticated statistical analysis.;Starting from the first IDHS in 1987 to the fifth IDHS 2007-2003, the prevalence of sectio cesarean is increasing. The last IDHS (2002-2003) shows a prevalence of 4.1% in the last five years period (1997-2003). The data did not explain about factors related to sectio cesarean.
The objective of this study is to understand factors related to sectio cesarean in Indonesia during 1997-2003 period.
This study is an analysis of secondary data gathered through Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2002-2003. Design of the study is cross sectional.
The analysis shows that variables related to sectio cesarean-are mothers age <20 years and >35 years (OR 2.0; 95% CI 1.5-2.6), primipara 95%CI: 1.1-1.8), pregnancy complications (OR-3.5, 95%CI: 2.7-4.5), delivery complications (OR-2.2, 95%CI: 1.8-2.8). There is dose response relationship in mother education variable, junior high school (OR= 1, 95%CI: 0.7-1.4), senior high school (OR-1.7, 95%CI:--L2-2.3) and univeristy (Oft-2.5, 95%CI: 1.8-3.6). Socioeconomic status variable indicated an interaction with health care facility (hospital) and shows dose response relationship in oath public and private hospitals. OR in private hospitlas increased in acoordance to the increase of socioeconomic status: low socioeconomic status (OR:12; 95%CI; 6.4-22.6); middle (OR:14.6; 95%CI: 8.0-27.0) and high (OR 25; 95%CI: 16.9-36.9). Similar situation also occured at public hospital (OR low: 1.0; OR middle: 2.8; 95% CI: 1.8-4.4; OR high: 5.0; 95% CI: 3.5-7,4). Dose response relationship also appear in mother education variable, the higher mother education the higher the chance of having sectio cesarean (OR 1: 1.0; 95%CI: 0.7-1.4; OR2: 1.7; 95%Cl: 1.2-2.3: OR3: 2.5; 95%CI: 1.8-3.6 3.
This study concludes that factors related sectio cesarean in Indoneisa in the 1997-2003 period arc mothers age <20 years and >35 years, parity, pregnancy complications and delivery complications, mothers education, and joint effect between socioeconomic status and hospital facility.
It is suggested to continue the study into a more specific research on sectio cesarean and socioeconomic status and access to obstetric emergency care using a more sophisticated statistical analysis.
"
2007
T19075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>