Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153365 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfathiah Safanissa
"Latar Belakang
Refleks okulokardiak (OCR) dapat menyebabkan penurunan denyut jantung signifikan dan peningkatan risiko mual muntah pascabedah. Kejadian refleks okulokardiak dilaporkan berkisar antara 14% hingga 90% yang dipengaruhi oleh agen anestesi, premedikasi, dan proses saat operasi.2 Terdapat banyak faktor yang memengaruhi kejadian refleks okulokardiak. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang memengaruhi refleks okulokardiak pada pembedahan mata di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang merupakan rumah sakit rujukan dengan karakteristik pasien yang bervariasi
Metode
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang, menggunakan data pasien pembedahan mata dengan anestesi umum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2023 - Februari 2024. Analisis perbedaan kelompok dengan OCR dan tanpa OCR dilakukan dengan uji Mann Whitney dan chi-square. Analisis multivariat dengan regresi logistik metode backward dilakukan pada variabel yang dianggap memiliki pengaruh yang signifikan dengan refleks okulokardiak.
Hasil
Dari 178 data pasien yang terkumpul dilakukan eksklusi sehingga terdapat 165 pasien yang dianalisis. Faktor usia anak (0-18 tahun) memiliki OR=0,143 (p=0,015), strabismus memiliki OR 14,843 (p=0,000), konsentrasi agen anestesi inhalasi (sevoflurane dan desflurane) < 1 MAC memiliki OR 5,070 (p=0,004) berpengaruh secara signifikan dengan kejadian OCR. Namun, dosis opioid tidak terbukti signifikan berpengaruh dengan kejadian OCR (p=0,840)
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara usia, jenis bedah, dan konsentrasi agen anestesi inhalasi terhadap kejadian refleks okulokardiak pada anestesi pembedahan mata di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction
The oculocardiac reflex (OCR) can cause a significant decrease in heart rate and increase the risk of postoperative nausea and vomiting. Many factors influence the occurrence of OCR. The incidence of OCR ranges from 14% to 90%, depending on the anesthetic agents, premedication, and surgical procedure. This study aims to identify the factors influencing OCR during eye surgery anesthesia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, a referral hospital with a diverse patient population.
Method
This was an analytical study with a cross-sectional design, using data from patients undergoing eye surgery under general anesthesia at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital from May 2023 to February 2024. The association was analyzed using the Mann-Whitney test and chi-square test. Multivariate analysis with the backward logistic regression method was performed on variables considered to have a significant relationship with the oculocardiac reflex.
Results
178 patient records collected and 165 patients of it were analyzed after exclusions. Younger age (0-18 years) was significantly associated with OCR (OR=0.143, p=0.015), as well as strabismus surgery (OR=14.843, p=0.000) and concentration of inhalation anesthetic (sevoflurane and desflurane) ≤ 1 MAC (OR=5.070, p=0.004). However, opioid dosage did not show a significant association with OCR (p=0.840). Conclusion This study shows a significant influence between age, type of surgery, and concentration of inhalation anesthetic with the incidence of OCR in eye surgeries anesthesia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Anita Masniari
"Penyakit TB lebih berkembang pada masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah, kelompok terpinggirkan dan populasi rentan lainnya. Salah satu yang termasuk populasi rentan adalah komunitas penderita kusta. Penyakit TB dan kusta banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dengan kelembapan udara tinggi, tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah serta status gizi dan higienitas yang buruk. Infeksi kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan pada satu individu dan biasanya terjadi pada pasien imunokompromais. Koinfeksi TB paru pada penderita kusta dapat meningkatkan mortalitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi TB Paru pada penderita kusta yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui faktor risiko yang dapat memengaruhi. Desain penelitian adalah cross sectional dengan jenis penelitian deskriptif analitik berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, foto toraks dan kuesioner. Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin serta Poliklinik Penyakit Dalam – Pulmonologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2022. Sampel penelitian ini adalah pasien kusta baik sedang dalam pengobatan multi drugs therapy (MDT) maupun telah dinyatakan release from treatment (RFT) yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Besar sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 105 orang. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan perangkat lunak SPSS.
Dari total 109 subjek, terdapat 3 orang (2,75%) yang didiagnosis TB paru yang mencakup 1 orang TB paru bakteriologis terkonfirmasi TCM dan 2 orang TB paru klinis. Mayoritas subjek dengan TB paru berusia kurang dari 40 tahun (66,7%), didominasi laki-laki (66,7%) dan seluruhnya berpendidikan rendah. Dari subjek yang memberikan informasi, sebanyak 50% memiliki pendapatan kurang dari 3,5 juta per bulan. Seluruh subjek dengan TB paru mengaku tidak pernah mendapat vaksinasi BCG dan mayoritas mengaku memiliki riwayat merokok (66,7%). Sebanyak 66,7% mengaku tidak ada riwayat kontak fisis, tidak pernah menggunakan barang dan berbincang dengan penderita TB paru. Hanya 33,3% penderita koinfeksi TB paru pada kusta yang memiliki status gizi kurang. Seluruh penderita TB paru pada kusta didiagnosis kusta tipe multibasiler. Dari hasil analisis bivariat, faktor pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan luaran TB paru. Namun pada analisis multivariat tidak dapat mengeluarkan hasil.

TB disease develops more in communities with low socio-economic status, marginalized groups, and other vulnerable populations. One of the vulnerable populations is the leprae community. TB and leprosy are often found in tropical climates with high air humidity, low socio-economic levels of the population, and poor nutritional and hygiene status. Infection with these two diseases can occur simultaneously in one individual and usually occurs in immunocompromised patients. Pulmonary TB coinfection in leprosy sufferers can increase mortality.This study aims to determine the proportion of pulmonary TB in leprosy sufferers who seek treatment at the Skin and Venereology Polyclinic, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, and the risk factors that can influence it. The research design was cross-sectional with a descriptive analytical research type based on the results of laboratory examinations, chest x-rays, and questionnaires. The research was conducted at the Skin and Venereology Polyclinic and the Internal Medicine- Pulmonology Polyclinic, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, in 2022. The sample for this study was leprosy patients who were either undergoing multidrug therapy (MDT) or had been declared released from treatment (RFT) and who met the research criteria and were willing to participate in the research. The sample size required for this research is 105 people. The data obtained was processed and analyzed univariately, bivariately, and multivariately with SPSS software.Of the total 109 subjects, there were 3 people (2.75%) who were diagnosed with pulmonary TB, including 1 person with bacteriological pulmonary TB confirmed by TCM and 2 people with clinical pulmonary TB. The majority of subjects with pulmonary TB were less than 40 years old (66.7%), dominated by men (66.7%), and all had low education. Of the subjects who provided information, 50% had an income of less than 3.5 million per month. All subjects with pulmonary TB admitted that they had never received BCG vaccination, and the majority admitted to having a history of smoking (66.7%). As many as 66.7% admitted that they had no history of physical contact, had never used items, or talked to pulmonary TB sufferers. Only 33.3% of people with pulmonary TB co-infection with leprosy have poor nutritional status. All patients with pulmonary TB in leprosy were diagnosed with multibacillary-type leprosy. According to the results of the bivariate analysis, educational factors have a significant relationship with pulmonary TB outcomes. However, multivariate analysis could not produce results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Diastiningsih
"Latar belakang: Data global, terdapat 2,2 milyar penduduk di seluruh dunia memiliki gangguan penglihatan jauh dan dekat. Setengah dari kasus atau sekitar 1 milyar memiliki gangguan penglihatan yang dapat dicegah atau belum ditangani, dan berpotensi kejadian low vision. Seorang dengan low vision berakibat kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat mempengaruhi kualitas hidup seperti putus sekolah, dan kehilangan pekerjaan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian low vision di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Desain studi yang digunakan adalah desain studi potong lintang (cross sectional). Data yang digunakan adalah data sekunder berasal dari rekam medis. Sampel penelitian ini adalah 281 responden pasien kontrol rawat jalan Poli Anugerah IPKMT RSCM Kirana. Hasil: Proporsi kejadian low vision di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 16,8%. Adanya hubungan signifikan secara statistik dengan kejadian low vision pada faktor klinik yaitu katarak nilai-p=<0,001dan PR=6,03 (95%CI;2,21 – 16,5) dan retinopati diabetik dengan nilai-p=0,005 dan PR=3,20 (95%CI;1,69 – 6,06). Kesimpulan: Katarak dan retinopati diabetik memiliki hubungan secara signifikan dengan kejadian low vision. Meningkatkan pelayanan kesehatan mata dan deteksi dini diharapkan dapat mencegah gangguan penglihatan yang berakibat low vision.

Background: Global data reported that 2.2 billion of worldwide population suffer from far and near vision impairment. Half of the cases, or approximately 1 billion people, exhibits the visual impairment which can be prevented but has not been addressed, leading to the occurrence of low vision. A person with a low vision would be susceptible to the risk of the difficulty in performing their daily activity and affects their quality of life such as school dropout and loosing their job. Objective: This study aims to determine the factors associated of low vision incidence in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Method: This study performs a cross sectional study design, using secondary data obtained from medical records. As many as 281 respondents were collected from outpatient control in Poliklinik Anugerah IPKMT RSCM Kirana. Results: The propotion of low vision incidence in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was estimated 16.8%. There is a statistically significant relationship with the incidence of low vision between clinical factor, i.e. cataract with p-value=<0,001 and PR=6,03(95%CI;2,21 – 16,5) and diabetic retinopathy with p-value=0,005 and PR=3,20 (95%CI;1,69 – 6,06). Conclusion: Cataract and diabetic retinopathy were identified to have a significant relationship with the incidence of low vision. Improving eye health services and early detection is expected to prevent visual impairment which result in low vision"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betardi Oktara
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) selama periode pemulihan anestesia umum merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien anak. Etiologi EA pada pasien anak belum sepenuhnya diketahui, faktor-faktor risiko yang dianggap memengaruhi terjadinya EA diantaranya usia prasekolah, penggunaan gas anestesia modern, kemampuan adaptasi yang rendah, dan kehadiran orangtua selama proses pemulihan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan angka kejadian dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya EA pada pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Tujuh puluh delapan anak berusia 2-12 tahun dengan status fisik ASA I, II dan III dimasukan dalam penelitian observasional ini. Perilaku anak selama induksi anestesia dinilai berdasarkan nilai Pediatric Anesthesia Behavior (PAB). Di ruang pemulihan kejadian EA dinilai berdasarkan skala Aono pada saat pasien tiba (T0), setelah 5 menit (T5), 15 menit (T15) dan 30 menit (T30).
Hasil: Angka kejadian EA pada pasien anak yang menjalani anestesia inhalasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencapai 39,7%. Angka kejadian EA lebih tinggi pada pasien dengan usia 2-5 tahun yang memiliki nilai PAB 2 atau 3. Midazolam, jenis gas anestesia, dan keberadaan orangtua selama pemulihan tidak berhubungan dengan kejadian EA.
Kesimpulan: Usia dan perilaku anak selama induksi anestesia memiliki hubungan yang kuat terhadap terjadinya EA. Pasien anak dengan usia 2-5 tahun yang memiliki nilai PAB 2 atau 3 dan akan menjalani anestesia umum inhalasi sebaiknya mendapat terapi pencegahan untuk menurunkan tingkat kejadian EA.

Background: Emergence agitation (EA) during recovery from general anesthesia has been identified as a frequent problem in the pediatric population. The etiology of EA in children is not fully understood but possible risk factors that have been presumed to be associated with the high incidence of EA include pre-school age, newer inhalation anesthetics, poor adaptability, and parental presence during recovery. The aim of the present study was to assess the incidence of EA and the affecting factors in children undergoing inhalation anesthesia in RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Methods: Seventy-eight American Society of Anesthesiologists I, II and III, aged between 2-12 years undergoing inhalation anesthesia were included in this observational study. Children’s behavior during induction of anesthesia was assessed with Pediatric Anesthesia Behavior (PAB) score. In post anesthesia care unit (PACU) the incidence of EA was assessed with Aono’s four point scale upon admission (T0), after 5 min (T5), 15 min (T15) and 30 min (T30).
Results: The incidence of EA in children undergoing inhalation anesthesia in RSUPN Cipto Mangunkusumo in 39,7%. The incidence was higher in 2-5 years old children with PAB score 2 or 3. Midazolam, type of inhalation anesthetic agents and parental presence during recovery do not appear to have any bearing on the incidence of EA.
Conclusions: Age of the children and the behavior during induction of anesthesia have a strong correlation with the incidence of EA. Children with the age 2-5 years and have a PAB score 2 or 3 undergoing inhalation anesthesia should have a prophylactic treatment for decreasing the incidence of EA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nismara Datyani
"Latar Belakang Nyeri merupakan salah satu gejala yang paling banyak dirasakan pasien sesudah menjalani operasi. Sebanyak lebih dari 80% pasien melaporkan nyeri akut pascabedah. Nyeri akut pascabedah dipengaruhi oleh banyak faktor preoperatif seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, tingkat pendidikan, jenis analgesia, nyeri prabedah, dan jenis pembedahan. Maka dari itu, peneliti ingin menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi derajat nyeri akut pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode Penelitian kohort retrospektif dilakukan dengan mengambil rekam medis pada bulan 15 Juni—14 Juli 2022. Didapatkan sejumlah 137 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis dianalisis dengan uji Chi-square untuk melihat hubungannya. Hasil Faktor preoperatif yaitu jenis analgesia dan nyeri prabedah bermakna signifikan secara statistik terhadap derajat nyeri akut 24 jam pascabedah (p<0,05). Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna yang signifikan terhadap derajat nyeri akut 24 jam pasacabedah (p>0,05). Kesimpulan Faktor preoperatif seperti jenis analgesia dan nyeri prabedah mampu memengaruhi derajat nyeri akut 24 jam pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction Pain is one of most common symptoms experienced by patients after undergoing surgery. More than 80% of patients report acute postoperative pain. Acute postoperative pain if influenced by many preoperative factors, such as age, gender, comorbidities, education level, type of analgesia, preoperative pain, and types of surgery. Therefore in this study, researcher wants to investigate the factors that influence the degree of acute postoperative pain after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkosomo. Methods A retrospective cohort study was conducted by taking medical records from 15 June to 14 July 2022. A total of 137 samples that met the inclusion and exclusion criterias were obtained. Medical records data was analyzed using the Chi-square test to see the relationship between factors and acute postoperative pain. Results Preopetaive factors, such as the type of analgesia and preoperative pain, were statistically significant on the degree of acute pain 24 hourse after surgery (p<0,05). Other factors such as age, gender, comorbidities, and education level do not have a significant relationship to the degree of acute pain 24 hours after surgery (p>0,05). Conclusion Preoperative factors such as the type of analgesia and preoperative pain can influence the degree of acute pain 24 hours after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Minarni
"Latar Belakang: Penggunaan deksmedetomidin dengan bolus awal memiliki efek samping seperti transient hypertension, bradikardi dan hipotensi. Penggunaan deksmedetomidin intravena dosis rendah diharapkan tidak menimbulkan efek samping namun diharapkan tetap memberikan efek sedasi yang baik untuk premedikasi pasien yang akan menjalani anestesia umum dibandingkan midazolam sebagai kontrol.
Metode: pada uji klinik dengan randomisasi tersamar ganda ini, 80 pasien yang menjalani pembedahan elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dibagi menjadi 2 kelompok yang mendapatkan regimen premedikasi yang berbeda. Kelompok deksmedetomidin mendapatkan deksmedetomidin 0,3 µg/kgbb/jam intravena selama 15 menit dosis tunggal dikuti NaCl 0,9% 2ml intravena bolus, sedangkan kelompok midazolam mendapatkan NaCl 0,9% 20ml intravena selama 15 menit diikuti midazolam 0,05 mg/kgbb dosis tunggal. Kedua kelompok kemudian menjalani prosedur induksi, laringoskopi-intubasi yang sama. Tingkat sedasi pada menit ke-20 setelah obat mulai diberikan akan dibandingkan. Tingkat sedasi disebut baik bila berada pada Ramsay Sedation Scale 2.
Hasil: Terdapat perbedaan tingkat sedasi yang bermakna secara statistik (p<0,005) yaitu dari 40 pasien yang mendapatkan deksmedetomidin semuanya (100%) berada pada Ramsay Sedation Scale 2, sedangkan dari 40 pasien yang mendapatkan midazolam 25 pasien berada pada Ramsay Sedation Scale 2 (62,5%), dan 15 pasien berada pada Ramsay Sedation Scale 3 (37,5%).
Kesimpulan: Deksmedetomidin dosis 0,3 µg/kgbb/jam intravena selama 15 menit dosis tunggal memiliki tingkat sedasi yang lebih baik daripada midazolam 0,05 mg/kgbb intravena.

Background: The administration dexmedetomidine using loading dose have some undesirable effects such as transient hypertension, bradycardia and hypotension. The use of low-dose dexmedetomidine single infusion was proposed to avoid those undesirable effects but still provide goodsedation effects for premedication, compared to midazolam as a control, for patients undergoing general anesthesia.
Method: in this randomized double-blind trial, 80 patients planned for elective surgery in RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo were enrolled and divided into 2 groups receiving different premedication regimens. The dexmedetomidine group got 0.3 micrograms/kg/hour infusion in 15 minutes followed by a single bolus of 2ml NaCl 0.9%, while the midazolam group got 20ml of NaCl 0.9% infusion in 15 minutes followed by single bolus of midazolam 0.05 milligram/kg. The level of sedation at minute 20 after the start of drug administration was compared. Both groups then underwent the same induction, laryngoscopy and intubation procedures. The level of sedation is stated good when The Ramsay Sedation Scale is 2.
Results: all 40 patients (100%) in the dexmedetomidine group were on Ramsay Sedation Scale 2 while in the midazolam group 25 patients werw on Ramsay Sedation Scale 2 (62.5% ), and 15 patients were in the Ramsay Sedation Scale 3 (37.5%) and statistically there was a significant difference (p<0.005).
Conclusion: Dexmedetomidine 0.3 micrograms/kg/hour single infusion in 15 minutes provide a better level of sedation than midazolam 0.05 milligram/kg single bolus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Ridski Harsono
"Latar belakang: Status epileptikus konvulsivus (SEK) merupakan kegawatdaruratan epilepsi dengan angka mortalitas yang tinggi dengan berbagai faktor yang memengaruhi. Keluaran pasien dengan SEK di Indonesia belum banyak diteliti, namun berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan angka mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan studi lainnya.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan disain kohort prospektif untuk mengentahui keluaran kesintasan pasien SEK selama 30 hari yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2019-Oktober 2020. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-meier dan dilanjutkan dengan analisis kesintasan menggunakan analisis cox-regression baik univariat maupun multivariat.
Hasil: Terdapat 196 pasien dengan 200 episode SEK, dengan 61,5% disebabkan oleh etiologi intrakranial, 28,5% oleh etiologi ekstrakranial, dan 10% oleh putus/kurang dosis OAE. Tingkat kesintasan 30 hari pasien SEK di RSCM secara umum adalah 56%. Kesintasan pada kelompok etiologi ekstrakranial (43,8%) lebih buruk dibandingkan etiologi intrakranial (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). Berdasarkan analisis univariat, faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan adalah jenis kelamin, frekuensi bangkitan kejang, tingkat kesadaran dan SKG selama periode SEK, perubahan dari SEK menjadi SENK, riwayat epilepsi, jumlah komorbid, jumlah obat anti epilepsi (OAE) yang diberikan, penggunaan agen anestesi, terjadinya SER dan SESR, adanya komplikasi dan jumlah komplikasi, terjadinya komplikasi hipotensi dan/atau gagal nafas, serta lama perawatan di rumah sakit. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat, faktor yang memengaruhi kesintasan adalah riwayat epilepsi, jumlah komorbid, ada tidaknya komplikasi, dan adanya komplikasi gagal nafas atau penggunaan ventilator.
Kesimpulan: Tingkat keisntasan 30 hari pasien SEK pada penelitian ini rendah. Etiologi ekstrakranial memiliki tingkat kesintasan yang lebih buruk. terdapat 15 faktor lain yang memengaruhi kesintasan pasien dengan SEK.

Background: Covulsive status epilepticus (CSE) is an epileptic emergency with high mortality rate and has various influencing factors. The outcome of patient with CSE in indonesia has not been widely studied, and based on pre-eliminary study, the mortality rate was quite high compared to previous studies.
Methods: This prospective cohort study determine 30 days outcome of CSE patients that admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital in January 2019–October 2020. Overall survival rates for CSE and between 2 groups are presented by Kaplan-meier curve, then continued with a survival analysis using univariate and multivariate cox-regression analysis.
Results: A total of 196 patient with 200 episode of CSE, with 61,5% due to intracranial etiology, 28,5% by extracranial etiology, and 10% by OAE withdrawal. Overall 30 days survival rate for CSE patients at RSCM are 56%. The survival rate in extracranial etiology group (43,8%) was worse than intracranial etiology group (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). In univariate analysis, factors that influence survival are gender, seizure frequency, level of consciousness and GCS, evolution from CSE to NCSE, epilepsy history, number of comorbids and anti-epileptic drugs (AED), use of anesthetics agents, the occurrence of refractory status epilepticus and super refractory status epilepticus, the presence and number of complications, the occurrence of hypotension and/or respiratory failure, and the hospital length of stay. Whereas in multivariate analysis, factors that influenced survival rate were history of epilepsy, number of comorbidities, the presence of complications, and the presence of respiratory failure or ventilator use.
Conclusion: Thirty days survival rates of CSE patients in this study was low. Extraxranial etiology has lower survival rates. There are 15 factors that influence survival rates in patient with CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Sulistyaningsih
"Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan pertama dari kejadian kanker ginekologi perempuan. Kanker serviks merupakan kanker kedua paling banyak pada wanita yang tinggal di negara yang tertinggal dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun 2018. Kanker serviks sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita dan keluarganya serta beban pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Masih tingginya kejadian kanker serviks bisa disebabkan karena faktor risiko yang belum tertangani secara baik di masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan menggunakan disain studi case control. Sumber data yang digunakan adalah data primer. Terdapat sebanyak 166 sampel yang terdiri dari 83 kasus dan 83 kontrol sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Berdasarkan hasil analisis terdapat hubungan yang signifikan antara usia pertama kontak seksual dengan kejadian kanker serviks dengan nilai odds ratio sebesar 3,20 (p value: 0,001.; 95% CI: 1,626-6,299). Selain itu faktor risko lain seperti jumlah pasangan (OR=4,91; p value: 0,000; 95% CI: 1,884-12,845), paritas (OR=2,84; p value: 0,001; 95% CI: 1,510-5,357), pil oral kontrasepsi (OR=2,74; p value: 0,002.; 95% CI: 1,452-5,197) juga berhubungan secara signifikan dengan kejadian kanker serviks. Terdapat beberapa faktor risiko yang tidak berhubungan secara statistik antara lain merokok (OR=2,23; p value: 0,075; 95% CI: 0,910-5,564), personal hygiene (OR=1,48; p value: 0,212; 95% CI: 0,799-2,727) dan status gizi (OR=1,18; p value: 0,755; 95% CI: 0,356-4,150). Penting untuk membuat berbagai program promosi kesehatan dengan kegiatan sosialisasi dan KIE terkait faktor risiko kejadian kanker serviks.

Cervical cancer is the most common type of gynecologic cancer in women. In the least developed countries, cervical cancer is the second most common type of cancer with 570.000 new cases in 2018 . Cervical cancer significantly influences patients’ quality of life and places a financial burden on the government. The high number of cervical cancer cases can be due to poor management of its risk factor in society. This is a quantitative case-control study using primary data. A total of 166 samples are gathered based on inclusion and exclusion criteria. These samples were then divided equally into the control and case groups, making each group have 83 subjects. Based on data analysis, there is a significant relationship between the age of first sexual intercourse and cervical cancer with an odds ratio of 3,20 (p-value: 0,001.; 95% CI: 1,626-6,299). Moreover, other risk factors such as the number of sexual partners (OR=4,91; p-value: 0,000; 95% CI: 1,884-12,845), parity (OR=2,84; p-value: 0,001; 95% CI: 1,510-5,357), usage of oral contraception (OR=2,74; p-value: 0,002.; 95% CI: 1,452-5,197) also play a significant part in the occurrence of cervical cancer. On the other hand, some risk factors does not correlate with cervical cancer statistically, including smoking (OR=2,23; p-value: 0,075; 95% CI: 0,910-5,564), personal hygiene (OR=1,48; p-value: 0,212; 95% CI: 0,799-2,727) and nutritional status (OR=1,18; p-value: 0,755; 95% CI: 0,356- 4,150). It is important to develop various health promotion programs including social activities and counseling about risk factors of cervical cancer."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Aurora
"Pemberian terapi yang sesuai, khususnya obat antiepilepsi (OAE) sebagai terapi utama dapat menyembuhkan pasien penyandang epilepsi.Seringkali faktor yang berkaitan erat dengan pemberian OAE kurang diperhatikan.Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan penulis membahas bagaimana hubungan antara faktorfaktor yang memengaruhi respons terapi pada anak penyandang epilepsi.Penelitian dilakukan dengan metode cross-sectional, yaitu dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis epilepsy registry pada pasien anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan tanggal kunjungan 1995-2010. Dari penelitian, ditemukan bahwa dari 174 subyek penelitian, 76,4% mengalami bangkitan umum dan 23,6% mengalami bangkitan fokal. Terdapat 62,1% subyek yang mengalami epilepsi simtomatik dan 37,9% epilepsi idiopatik. Sembilan puluh enam koma enam persen subyek mendapatkan regimen yang sesuai dengan lini pertama, 63,8% mendapatkan OAE dengan dosis sesuai, 77,0% subyek mendapatkan terapi tunggal (monoterapi), dan 70,3% tidak mengalami perubahan regimen selama terapi. Dari analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square maupun Fisher's, tidak ditemukan hubungan yang signifikan baik untuk faktor kesesuaian regimen, dosis OAE, kombinasi OAE, maupun perubahan regimen selama terapi (seluruhnya memiliki nilai p > 0,05). Namun, nilai OR masing-masing faktor menunjukkan hasil yang sesuai dengan teori sehingga dapat disimpulkan bahwa secara klinis respons bebas kejang akan didapatkan pada pasien yang mendapatkan regimen sesuai, dosis sesuai, monoterapi, dan tidak ada pergantian regimen. Adapun bila dikaitkan dengan klasifikasi epilepsi yang dialami, pasien dengan epilepsi idiopatik memiliki kecenderungan mendapatkan respons bebas kejang (OR=1,407 95%CI 0,732-2,705). Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik menunjukkan monoterapi menjadi faktor yang terkuat dalam pencapaian respons terapi epilepsi walaupun hasil pada penelitian ini tidak signifikan.

Appropiate therapy admission, especially antiepileptic drugs (AED) as the main therapy for epileptic patients, might help the patients to achieve its maximum recovery. Health care providers don?t pay much attention to factors related to AED admission. Therefore, this research was determined to analyze the association between several factors affecting treatment response in children with epilepsy. This research is a cross-sectional study, using secondary data from epilepsy registry medical record in pediatric patient at Pediatric Health Department of RSUPN Cipto Mangunkusumo during 1995-2010. This study showed that among 174 subjects, 76.4% subjects had general seizure and 23.6% subjects had focal seizure. It is also found that 62.1% subjects had symptomatic epilepsy and 37.9% subjects had idiophatic epilepsy. Ninety six point six percent subjects had appropriate regiment with first-line drugs, 63.8% subjects had appropriate AED dose, 77.0% subjects received monotherapy, and 70.3% did not receive any regiment modification during therapy. Through bivariate analysis using Chi-Square and Fisher?s test: there were no significant association between regiment compatibility, AED dose, AED combination, and regiment modification during therapy (p > 0.05). However, the odds ratio (OR) of each factors showed corresponding result with the theory. In conclusion, seizure-free response will be achieved by patients who had appropriate regiment, appropriate dose, monotherapy, and no regiment modification. Analysis about association between epilepsy classification and therapy response showed that patient with idiophatic epilepsy tended to be easier to be seizure-free. Multivariate analysis using logistic regression showed that monotherapy was the strongest factor affecting therapy response, even though in this study it was not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubita Rahmarianti
"Salah satu komplikasi mikroangiopati dari penyakit DM dan merupakan penyebab kematian terpenting pada penderita DM adalah Nefropati Diabetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kejadian Gangguan Ginjal pada penderita DM serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut di RSCM tahun 2012. Penelitian ini dilakukan pada penderita DM yang berobat baik di rawat jalan (Poli DM) maupun rawat inap dengan menggunakan desain cross sectional. Sampel penelitian terdiri dari 255 pasien DM yang terpilih seara random sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 34,9% sampel mengalami Gangguan Ginjal. Hasil dari analisis chi square menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dan lama menderita DM dengan kejadian Gangguan Ginjal.

One of the microangiopathic complications and the most important cause of death in people with diabetes is Diabetic Nephropathy. The purpose of this study was to describe the incidence of renal disorders in patients with diabetes and the factors that influence the event at the RSCM in 2012. The study was conducted in patients with DM were treated well in the outpatient (Poly DM) and hospitalizations using cross-sectional design. The research sample consisted of 255 patients who elected seara DM random sampling. The results showed that as many as 34.9% of the sample had Kidney Disorders. Results of chi-square analysis showed that there is a relationship between sex and the incidence of long- suffering DM Kidney Disorders."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S44912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>