Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180281 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arsanto Triwidodo
"Pada penelitian ini terbukti bahwa selubung (conduit) dengan menggunakan fasia lebih baik daripada menggunakan otot. Hal itu disebabkan fasia mempunyai struktur yang hampir sarna dengan pennenum, sehingga akan memberi dinding yang terbentuk sebagai selubung. Kecuali itu di dalam fasia terdapat fibrilin, adhesion glycoprotein, jibronectin, laminine, dan thromboplasmine. Sehingga memberi wahana yang sangat baik dan mendukung axonal survival dalam elongasi akson. Lumen yang terbentuk juga akan memisahkan bahan sisa degenerasi yang menyebabkan obstruksi proses regenerasi saraf.

In this study, it was proven that the sheath (conduit) using the fascia was better than using muscles. This is because the fascia has a structure that is almost like the pennenum, so it will give the wall that forms a sheath. In addition, in the fascia there is fibrilin, adhesion glycoprotein, jibronectin, laminine, and thromboplasmine. So that it provides an excellent vehicle and supports axonal survival in axon elongation. The formed lumen will also separate the degenerated residual material that causes obstruction of the nerve regeneration process."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Australia: Harwood Academic, 2000
616.804 7 DEG
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Barker, Roger A.
East Sussex: Psychology Press, 1999
617.483 BAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahmat Widodo
"Cedera saraf perifer merupakan beban klinis yang besar. Berbagai modalitas terapi dikembangkan untuk mencapai perbaikan fungsi, salah satunya dengan platelet-rich plasma (PRP). Walaupun PRP sudah diterapkan secara klinis, namun proses intrinsik di dalamnya belum sepenuhnya diketahui. Oleh karena itulah penelitian ini dibuat untuk mengetahui efek pemberian PRP terhadap populasi sel Schwann dan makrofag pada lokasi cedera saraf perifer. Penelitian eksperimental dengan sampel tikus Wistar, terdiri dari tiga kelompok penelitian untuk masing-masing terminasi di hari ke-3 dan hari ke-7, yaitu kontrol, model sciatica, dan model sciatica yang diberi PRP. Model sciatica dilakukan dengan metode crush injury. Fungsi motorik dinilai pada hari ke-3 dan ke-7 menggunakan Sciatic Functional Index (SFI) dan Foot Fault Test (FFT). Ekspresi marker sel Scwann diperiksa dengan imunohistokimia (IHK) SOX10, dan ekspresi marker sel makrofag dengan IHK CD68. Fungsi motorik meningkat pada hari ke-7 (p<0,05), dan populasi sel Schwann meningkat pada hari ke-7 (p<0,05). Pemberian PRP mempengaruhi proses regenerasi saraf perifer model tikus sciatica.

Peripheral nerve injury is a large clinical burden. Various therapeutic modalities have been developed to achieve improved function, one of which is with platelet-rich plasma (PRP). Although PRP has been applied clinically, the intrinsic processes are not fully understood. For this reason, this study was made to determine the effect of PRP administration on the Schwann cell population and macrophages at the site of peripheral nerve injury. Experimental study with samples of Wistar rats, consisted of three research groups for termination on day 3 and day 7 respectively, namely control, sciatica model, and sciatica model treated with PRP. The sciatica model was performed using the crush injury method. Motor function was assessed on day 3 and 7 using the Sciatic Functional Index (SFI) and Foot Fault Test (FFT). Schwann cell marker expression was examined by SOX10 immunohistochemistry (IHC), and macrophage cell marker expression was examined by CD68 IHC. Motor function increased on day 7 (p<0.05), and the Schwann cell population increased on day 7 (p<0.05). PRP administration affects the process of peripheral nerve regeneration in the sciatica rat model."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rickie Edwardo
"Katalis merupakan doping suatu reaksi dengan maksud memperbesar kecepatan reaksi. Katalis terlibat dalam reaksi tetapi tidak mengalami perubahan kimiawi yang permanen sehingga pada akhir reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam bentuk dan jumlah yang sama seperti sebelum reaksi.Namun katalis tidak dapat digunakan selamanya. Deaktivasinya aktivitas katalis diduga disebabkan karena terjadi penutupan pori oleh kokas (coke). Regenerasi merupakan proses yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan kokas di dalam katalis. Siklus deaktivasi dan regenerasi katalis ini dapat melihat berapa lama masa aktif dari katalis. Siklus aktif katalis yang paling lama terjadi saat proses rentang waktu deaktivasi 3 jam dan suhu regenerasi 450oC. produk akhir siklus yang masih bisa terproduksi sebesar 1.9% Benzena, 0.9% Toluenea dan 0.7 % Xylene.Dari hasil siklus deaktivasi dan regenerasi katalis HZSM-5 dapat terlihat pula kemampuan shape selectivity dari katalis HZSM-5.

The catalyst is a reaction with the intention of doping increase the reaction rate. Catalyst in the reaction but not a permanent chemical change so that at the end of the catalytic reaction will be found back in shape and the same number as before the reaction. However, the catalyst can not be used forever. Deactivated catalyst activity alleged to be caused due to the closure of pores by coke. Regeneration is a process to eliminate the content of coke in the catalyst. In this case regeneration is using air resulting in oxidation reactions. Cycle Deactivation and regeneration of Catalyst can knowing how long active time from catalyst. Cycle active catalyst who longest active at process 3 hours deactivation and 450oC regeneration temperature. The last product who can still production at last cycle is 1.9 % Benzene, 0.9 % Toluene and 0.7 % Xylene. From the results cylcle deactivation and regeneration of catalyst HZSM-5 can we see shape selectivity from catalyst HZSM-5."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S45816
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Membuktikan efek neuroproteksi dan/atau neuroterapi ekstrak air Acalypha indica Linn. pada katak yang dilumpuhkan dengan injeksi pankuronium bromida Metode Enam puluh ekor katak (Bufo melanostictus Schneider) dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok neuroproteksi dan neuroterapi. Setiap kelompok dibagi ke dalam 6 subkelompok yaitu kontrol negatif (diberi air); kontrol positif (pirasetam), dan 4 kelompok dosis ekstrak: 200, 300, 400, 500 mg/KgBB. Pankuronim bromida 0,2 %, pelumpuh otot, disuntikkan subkutan pada punggung katak. Untuk efek proteksi, ekstrak diberikan per oral 1 jam sebelum disuntik,sedangkan untuk efek terapi ekstrak diberikan, sepuluh menit sesudah penyuntikan pankuronium bromida. Parameter yang diukur adalah waktu (menit) timbul dan lama kelumpuhan, serta waktu untuk perbaikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dosis ekstrak 400 dan 500 mg/KgBB terjadi efek neuroproteksi yang berbeda bermakna dibanding kontrol negatif dan pirasetam (p<0.05). Ekstrak pada dosis 200-500 mg/KgBB menunjukkan efek neuroterapi yang berbeda bermakna dibandingkan kontrol negatif (p=0,000) dan tidak berbeda bermakna dibandingkan pirasetam, kecuali pada dosis ekstrak 300 mg/KgBB, menunjukkan efek lebih baik dibandingkan dengan pirasetam(p=0,012). Kesimpulan Bahwa ekstrak air Acalypha indica Linn. memiliki efek neuroproteksi dan neuroterapi yang sama atau lebih baik dibandingkan pirasetam pada katak yang dilumpuhkan dengan pankuronium bromida. Namun, masih diperlukan uji farmakodinamik dan farmakokinetik pada dua model hewan coba yang lazim digunakan.

Abstract
Aim To demonstrate nerve protection and/or treatment effect of Acalypha indica Linn. extract on nerve paralysis induced by subcutaneus injection of pancuronium bromide on frog?s back. Methods The study was performed on sixty frogs (Bufo melanostictus Schneider) that divided into two groups, i.e. the neuro-protection and neuro-therapy group. Each group was divided further into 6 sub-treatment groups: negative control group treated by water and positive control group treated by piracetam, treatment groups received the extracts 200, 300, 400, 500 mg/kgBW. Pancuronium bromide 0.2% (1 : 20 dilutions) were injected subcutaneously as muscle relaxant. The protective effect was studied by giving the extract orally, 1 hour prior to injection; while the therapeutic effect of the extract was studied by 10 minute treatment after injecting pancuronium bromide solution. The parameters measured were the onset and duration of paralysis (in minutes) and the recovery time (time needed to recover into normal condition). Results The study showed signifi cantly different protective effect of Acalypha indica Linn. root water extract at 400 and 500 mg/Kg.BW compared to negative control group and positive control group (piracetam (p<0.05); while the therapeutic effect was obvious at the dose 200-500 mg/Kg.BW compared to negative control group (p=0.000). There was no significant difference compared to positive control group (piracetam), except at 300 mg/Kg.BW (p=0,012). Conclusion These results have proven that the water extract of Acalypha indica Linn. root has comparable protective and treatment effect on nerves system, as piracetam, but further studies should be performed to provide more evidences particularly pharmacokinetic and pharmacodynamic studies on two animal models that commonly used."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elsi Anismar
"Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai politik Islam yang lahir dari sebuah gerakan sosial keagamaan yang sering disebut Tarbiyah. Universitas Indonesia merupakan salah satu kampus yang menjadi titik awal berkembangnya Jamaah Tarbiyah di Indonesia. Hingga saat ini Tarbiyah kampus masih menjadi salah satu basis sosial utama PKS. Skripsi ini membahas bagaimana Jamaah Tarbiyah UI sebagai basis sosial PKS melakukan proses kaderisasi terhadap anggotanya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Skripsi ini memaparkan Jamaah Tarbiyah UI memiliki struktur organisasi yang berkoordinasi dengan PKS, namun hal ini disamarkan. Jamaah Tarbiyah UI membangun sistem mulai dari rekrutmen, kaderisasi, dan pembinaan yang sistematis. Hal ini tidak lain adalah strategi yang dilakukan PK dalam rangka mempertahankan basis sosialnya dari kalangan kaum muda terdidik.

PKS is an Islamic political party which was formed by a social of religious movement named Tarbiyah. UI is one of Universities that becomes the starting point of Jamaah Tarbiyah development. Tarbiyah is still one of the main bases of PKS. This thesis use qualitative method with indepth interview. This thesis deals with how Jamaah Tarbiyah UI as the social base of PKS does the process of cadre formation to their members. It also discusses further that Jamaah Tarbiyah UI has an organization structure that is coordinated with PKS which is not officially published. Jamaah Tarbiyah UI also develops the system of the recruitment, cadre formation, and systematical training. All of these are the strategies done by PKS in order to maintain their social base of educated youth."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Basuki
"Tujuan penelitian : Mendapatkan nilai rerata orang dewasa normal tentang (1) n peroncus dan n.tibialis serta PAST n.suralis, (2). Mengamati apakah usia, jenis kelamm dan panjang tungkai mempengaruhi nilai rerata yang didapat, (3). Mengamati apakah terdapat perbedaan antara tungkai kanan dan kiri. Subyek penelitian : Meliputi 50 orang yang terdiri dari 26 orang pria dan 24 orang wanta di lingkungan bagian ilmu penyakit saraf FKUI-RSUPNCM, Jakarta; usia 16-50 tahun, dalam keadaan normal dan schat. Tempat penelitian : Laboratonum EMG-Evoked potential bagian ilmu penyakit saraf FKUI RSUPNCM, Jakarta, data dikumpulkan dari Desember 1997 s./d. Mei 1998. Pemeriksaan : Dilakukan terhadap (1). N.peroneus, n.tibialis dan n.suralis dengan alat EMG Medelec MS-6 II, (2). Data yang didapat dicatat secara manual kemudian diolah dengan komputer di bagian statistik ilmu kesehatan masyarakat FKUI-RSUPNCM. Hasil: Dari analisa statistik didapatkan (1). Pengaruh jenis kelamin terhadap (a) PAOT n.peroneus didapatkan perbedaan yang bermakna antara pria dan wanita pada latensi proksimal tungkai kanan dan tungkai kiri, sedangkan KHS dan latensi F pada tungkai kiri, (b) PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna antara pra dan wanita pada amplitudo F tungkai kanan, (c). PAST n.suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna baik pada tungkai kanan maupun tungkai kini. (2) Pengaruh usia terhadap (a). PAOT n.peroncus tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai, (b). PAOT n.tibialis didapatkan perbedaan bermakna pada amplitudo tungkai kiri, (c) PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua tungkai. (3). Pengaruh panjang tungkai terhadap PAOT nperoneus, n.tibialis dan PAST n suralis tidak didapatkan perbedaan bermakna pada semua parameter. Kesimpulan : Secara umum (1). PAOT n peroncus dari subyek yang diteliti dipengaruhi oleh (a). Jenis kelamin latensi proksimal tungkai kanan dan kin pada pria lebih panjang daripada wanita KHS pria lebih cepat daripada wanita, (b). usia dan panjang tungkai tidak mempengaruhi nilai yang didapat (2). PAOT n tibialis, (a) Jenis kelamin : amplitudo F pada pria lebih tinggi daripada wanita, (b). Usia : amplitudo dipengaruhi oleh usia, yaitu makin tua usia amplitudo makin rendah, (3). Panjang tungkai : tidak mempengaruhi nilai yang didapat. (3). Pada penelitian ini PAST n suralis tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan panjang tungkai. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Eva Dana
"Tujuan : Untuk mengetahui apakah neuromodulasi dengan stimulasi saraf tibialis posterior bermanfaat untuk memperbaiki fungsi buli-buli neurogenik baik pada tipe hiperrefleksia maupun tipe hipo/arefleksia. Desain : Studi intervensi pra dan pasca perlakuan. Metode : Intervensi terapi neuromodulasi dengan stimulasi saraf tibialis posterior sebanyak 10 kali terhadap 9 anak dengan buli-buli neurogenik akibat lesi medula spinalis. Perbaikan fungsi buli-buli setelah intervensi terapi, dinilai dengan melihat perubahan kapasitas buli-buli, compliance buli-buli, urin residu, tekanan detrusor saat pengosongan bUIi-buli (untuk tipe hiperrefleksia) dan detrusor leak point pressure (untuk tipe hipo/arefleksia).

Objective: To investigate whether neuromodulation with posterior tibial nerve stimulation can be used to improve hyperreffexic or hipo/areffexic neurogenic bladder function. Design: Pre and post treatment Intervention study. Method: Nine children with neurogenic bladder because of spinal cord lesion were given neuromodulation with 10 times stimulation of posterior tibial nerve. Urodynamic studies were compared pre and post treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Anggraini
"ABSTRAK
Nervus optikus merupakan saraf kranial kedua, mempersyarafi bola mata, yang terdiri dari selubung dan serabut nervus optikus didalamnya Diameter nervus optikus dapat bervariasi dipengaruhi oleh berbagai sebab yaitu ras, etnik, jenis kelamin atau karena sebab lain yaitu inflamasi, tumor, trauma ataupun penekanan nervus optikus akibat massa disekitarnya. Selubung nervus optikus dapat dinilai rasionya dan dapat dipengaruhi nilainya bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata nervus optikus serta rasio selubung dan nervus optikus dengan pemeriksaan MRI pada usia lebih dari 18 tahun sejumlah 64 nervus optikus dari 32 pasien (16 laki-laki dan 16 perempuan) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara laki-laki dan permpuan. Pasien dianamnesis tidak terdapat riwayat trauma orbita, sakit mata yang menyebabkan penurunan lampang pandang, dan dilakukan pemeriksaan visus yang mambaik setelah dilakukan uji pinhole. Pasien juga tidak terdapat kelainan pada orbita atau massa pada intrakranial pada pemeriksaan MRI kepala. Selanjutnya dilakukan penambahan sekuen sesuai aksis nervus optikus potongan koronal T2 supresi lemak untuk menilai rasio selubung dengan nervus optikus, potongan parasagital kanan kiri T1 supresi lemak untuk pengukuran diameter nervus optikus segmen intraorbita dan intrakanalikular, serta potongan aksial T2 untuk pengukuran segmen intrakranial. Statistik deskriptif disajikan berupa rerata dengan simpangan baku nervus optikus serta rasio selubung dengan nervus optikus. Rerata diameter selubung nervus optikus intraorbita dewasa normal bagian proksimal 4,54 mm (SD 0,28 mm), bagian tengah (mid) 3,49 mm (SD 0,19 mm), bagian distal 3,26 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakanalikular 3,03 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakranial 4,22mm (SD 0,32 mm), diameter nervus optikus bagian proksimal 2,54 mm (SD 0,28 mm). Rerata rasio normal selubung dengan nervus optikus adalah 1,81:1 (SD 0,11). Pada statistik analitik dengan uji t tidak berpasangan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diameter selubung dan nervus optikus antara laki-laki dibandingkan perempuan.

ABSTRACT
Optic nerve as the second cranial nerve which inervates the eye balls, consists of nerve sheath and optic nerve fibers within. Optic nerve diameter varies, and is influienced by various factors namely age, ethnicity, gender or other conditions such as inflammation, tumor, trauma or mass pressing the optic nerve. Nerve sheath and optic nerve ratio can be measured and is influenced by increase of intracranial pressure. The aim of this research is to determine the mean optic nerve diameter and sheath-optic nerve ratio by MRI on subjects older than 18 years, of 64 optic nerves and 32 patients (16 male and 16 female) to determine the difference of male and female. Patient is interviewed to ensure no history of orbital trauma nor orbital disease which decrease the visual field, and improvement of visus on pinhole test. Only patient with no orbital nor intracranial mass on MRI examination is included in this research. Further additional MR sequence is acquired on coronal optic nerve plane on T2 fat suppression sequence, parasagital plane on T1 fat suppression to measure intraorbital and intracanalicular optic nerve diameter, and T2 axial to measure intracranial segment. Descriptive statistic is provided as mean with standard deviation of optic nerve diameter as well as sheath to optic nerve ratio. Intraorbital segmen of optic nerve sheath diameter of normal adult on proximal side is 4,54 mm (SD 0,28 mm), middle part 3,49 mm (SD 0,19 mm), distal part 3,26 mm (SD 0,17 mm), intracanalicular segment optic nerve 3,03 mm (SD 0,17 mm), intracranial segment of optic nerve 4,22 mm (SD 0,32 mm), proximal optic nerve diameter 2,54 mm (SD 0,28 mm). Mean of normal nerve to sheath ratio is 1,81:1 (SD 0,11). Analytic statistic which utilize unpaired t test demonstrate no difference of male and female optic nerve and nerve sheath diameter."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>