Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172863 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Aisyah Sofiah
"Keterbatasan akses terhadap kredit adalah akibat dari kurangnya produk dan layanan keuangan yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Inklusi keuangan merupakan inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk membantu masyarakat umum, termasuk UMKM, dalam memperoleh pinjaman. Kredit bagi UMKM sangat penting agar UMKM dapat terus beroperasi secara produktif dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Namun, di Indonesia masih banyak UMKM yang unbankable dan belum mampu menggunakan layanan perbankan konvensional. Seiring berjalannya waktu, dengan perkembangan teknologi dari segala aspek, upaya untuk mewujudkan inklusi keuangan juga dilakukan secara digital. Bahkan, inklusi keuangan digital semakin berkembang, terutama melalui industri financial technology. Salah satu layanan yang disediakan oleh financial technology adalah sistem peer-to-peer lending. Banyak UMKM lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman dari peer-to-peer lending yang disediakan oleh financial technology karena banyak kelebihan dan manfaatnya. Namun, hukum dan pelaksanaannya memang masih belum sempurna. Dalam menganalisis apa saja kekurangan dan permasalahan hukumnya, digunakan metode penelitian yuridis normatif, maka akan ditinjau sistematika hukum yang ada, objek hukumnya dan peristiwa hukumnya. Berdasarkan penelitian ini, masih ada kekurangan dan permasalahan hukum dalam bidang ini yaitu mengenai suku bunga, celah yang dapat menimbulkan praktik shadow banking dan asuransi kredit yang dapat menimbulkan masalah hukum yaitu kebocoran data pribadi dan skema ponzi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian khusus pada hukum yang relevan serta implikasi dari hukum tersebut.

Limited access to credit is a result of a lack of financial products and services that can be enjoyed by the people. Financial inclusion is a government initiative aimed at assisting the general public, including MSMEs, in obtaining loans. Credit for MSMEs is critical in order for them to continue to operate productively and contribute to the national economy. However, in Indonesia, there are a large number of UMKM who are unbankable and are unable to use conventional banking services. Over time, with the development of technology from all aspects, efforts to actualize financial inclusion are also carried out digitally. In fact, digital financial inclusion is increasingly expanding, especially through the financial technology industry. One of the services provided by financial technology is a peer-to-peer lending system. Many MSMEs prefer to get loans from peer-to-peer lending carried out by financial technology because there are many advantages. However, the law and its execution are not yet perfect. In analyzing what are the flaws and legal issues, the normative juridical research method is used, then the existing legal systematics, legal objects and legal events will be reviewed. Based on this research, there are still shortcomings and legal issues in this field, and they are regarding the interest rate, loopholes that can lead to shadow banking practices and credit insurance which can cause legal issues in the form of personal data leak and ponzi scheme. Thus, the government should pay special attention to the relevant laws and regulations as well as their implications."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alen Suci Marlina
"Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilaksanakan Otoritas Jasa Keuangan, Indeks Inklusi Keuangan 2022 tercatat sebesar 85,10%, meningkat dibanding 2019 sebesar 76,19%. Adapun untuk Indeks Inklusi Keuangan Syariah 2022 adalah sebesar 12,12%, meningkat dibanding 2021 sebesar 9,10%. Melihat masih rendahnya Indeks Inklusi Keuangan Syariah tersebut, Peer-to-Peer (P2P) lending syariah diyakini dapat berperan meningkatkan inklusivitas keuangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Tesis ini akan mengukur dan menganalisa peran P2P lending syariah dalam meningkatkan inklusivitas keuangan UMKM yaitu dengan indeks yang dihasilkan dari dua variabel, yaitu sisi supply dan sisi demand. Penelitian ini menyusun indeks peran P2P lending syariah dalam meningkatkan inklusivitas keuangan UMKM oleh perbankan syariah berdasarkan Global Financial Index (Global Findex) Database 2021. Indeks dari variabel sisi supply dan demand akan menghasilkan indeks peran P2P lending syariah dalam meningkatkan inklusivitas keuangan UMKM oleh perbankan syariah. Indeks diukur dengan mengacu pada Global Findex Database dengan empat kriteria evaluasi yaitu: (i) Sangat Berperan; (ii) Berperan; (iii) Kurang Berperan; dan (iv) Tidak Berperan. Secara teknis, indeks dihitung berdasarkan hasil survei kepada Pegawai Otoritas Keuangan (Kemenkop dan UKM, BI, dan OJK), praktisi perbankan syariah, dan pelaku UMKM yaitu untuk mengetahui peran P2P lending syariah, serta pemilihan produk dan jasa pembiayaan yang mendukung perkembangan usaha UMKM. Hasil penelitian kepada 13 (tiga belas) responden menghasilkan indeks “Berperan” dari sisi supply dengan total indeks sebesar 30,75. Dari sisi demand, hasil penelitian kepada 111 responden menghasilkan indeks “Sangat Berperan” dengan total indeks sebesar 43,30.

Based on the results of the 2022 National Financial Literacy and Inclusion Survey (SNLIK) conducted by the Financial Services Authority, the 2022 Financial Inclusion Index was recorded at 85.10%, an increase compared to 2019 of 76.19%. As for the 2022 Sharia Financial Inclusion Index, it is 12.12%, an increase compared to 2021 of 9.10%. Considering the low index of Sharia Financial Inclusion Index, sharia Peer-to-Peer (P2P) lending is believed to have a role in accelerating the financial inclusion of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs). This thesis will measure and analyze the role of sharia P2P lending in accelerating the financial inclusion of MSMEs, namely the index generated from two variables, the supply side and the demand side. This study compiles an index of the role of Sharia P2P lending in accelerating MSMEs financial inclusion by Islamic banking based on the Global Financial Index (Global Findex) Database 2021. The index from the supply and demand side variables will produce an index of the role of sharia P2P lending in increasing MSMEs financial inclusion by Islamic banking. The index is measured by referring to the Global Findex Database with four evaluation criteria, namely: (i) Highly Contributed; (ii) Contributed; (iii) Less Contributed; and (iv) Not Contributed. Technically, the index is calculated based on the results of a survey of Financial Authority Employees (Ministry of Cooperatives and SMEs, BI, and OJK), Islamic banking practitioners, and MSMEs players, namely to find out the role of sharia P2P lending, as well as the selection of financing products and services that support MSMEs business development. The results of research on 13 (thirteen) respondents produced an index of "Contributed" from the supply side with a total index of 30.75. From the demand side, the results of research on 111 respondents produced an index of "Highly Contributed" with a total index of 43.30."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Fabillah Irdeva
"Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki dampak yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia, namun dalam mengembangkan usahanya masih menghadapi banyak kendala, termasuk masalah permodalan. Mereka berjuang dalam pembiayaan bisnis mereka karena persyaratan kompleks yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan tradisional dari bank. Oleh karena itu, financial technology peer-to-peer (P2P) lending hadir sebagai salah satu alternatif pendanaan UMKM. Namun, masih rendahnya adopsi P2P lending oleh UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi niat adopsi P2P lending oleh UMKM sebagai peminjam yang perlu mendapat perhatian prioritas untuk mendukung perkembangan UMKM di Indonesia. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat mendukung pemerintah dalam menyusun strategi pengembangan P2P lending. Analisis hasil menemukan bahwa faktor utama Ekspektasi Kinerja merupakan faktor utama yang paling penting dan Efektivitas merupakan subfaktor yang paling penting dalam mempengaruhi niat adopsi P2P lending oleh UMKM.

Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) have a substantial impact on Indonesia's economy, and yet they are facing many problems in developing their businesses, including capital problems. Financial technology of peer-to-peer (P2P) lending comes as an alternative for funding MSMEs. However, there is still a low adoption of P2P lending by MSMEs. This research aims to investigate the factors influencing adoption intention of P2P lending by MSMEs as borrowers that need priority attention to support the development of MSMEs in Indonesia. The findings
of the study are expected to support the government in developing strategies for P2P lending development. The analysis of the result finds that the main factor of Performance Expectancy and subfactor of Effectiveness are the most important factor in influencing the adoption intention of P2P lending by MSMEs.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Triana Kamila
"Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia. Namun karena masalah administrasi, UMKM kesulitan untuk mendapatkan akses pembiayaan dengan cara konvensional, seperti pinjaman bank. Untuk itu, Fintech Peer-to-Peer Lending hadir sebagai alternatif baru bagi UMKM untuk mengakses pembiayaan. Dengan demikian, perlu untuk menganalisis peraturan dan implementasi Peer-to-Peer Lending untuk pembiayaan UMKM di Indonesia. Skripsi ini memiliki dua rumusan permasalahan yaitu 1) bagaimana regulasi Peer-to-Peer Lending untuk pembiayaan UMKM?  dan 2) bagaimana implementasi Peer-to-Peer Lending untuk pembiayaan UMKM dan kesesuaiannya terhadap regulasi Peer-to-Peer Lending Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif Penelitian ini menunjukkan bahwa Peer-to-Peer Lending untuk pembiayaan UMKM diatur berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Sayangnya, peraturan tersebut ternyata belum cukup mampu  mengakomodasi pembiayaan untuk sektor produktif atau UMKM secara optimal. Terlepas dari itu, sebagai salah satu Penyedia Peer-to-Peer Lending yang memberikan pembiayaan untuk UMKM, PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia telah berhasil melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan sebagaimana termuat dalam POJK No. 77/POJK.01/2016. Dalam rangka mendukung akses pendanaan bagi UMKM melalui layanan Peer-to-Peer Lending, OJK diharapkan dapat memperbaiki peraturan tersebut sehingga dapat mempercepat literasi dan inklusi keuangan. Selain itu, pemerintah Indonesia disarankan agar mempercepat pengesahan RUU tentang Teknologi Finansial agar menjamin kepastian hukum para pihak dalam Peer-to-Peer Lending.

Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) has an important role in the economy of a country, including in Indonesia. Due to administrative issues, they fail to gain access to finance by conventional means, such as bank loans. For this reason, Peer-to-Peer Lending exist as an important alternative for MSMEs to access funds. Therefore, it is necessary to analyze the regulation and implementation of Peer-to-Peer Lending in Indonesia. This thesis has two research questions namely 1) how are the regulations on Peer-to-Peer Lending Service for MSMEs financing? and 2) how are the implementation of Peer-to-Peer Lending for MSMEs financing and its compliance to Peer-to-Peer Lending regulations? This thesis is a normative legal research. This study shows that Peer-to-Peer Lending for MSMEs financing is regulated under POJK No. 77/POJK.01/2016 on Information Technology-Based Lending Service. Unfortunately, the regulation is not considered sufficient to accommodate financing for the productive sector or MSMEs. Regardless, as one of the Provider of Peer-to-Peer Lending who provide financing for MSMEs, PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia has succeeded in carrying out its obligations to fulfil the provisions as stated in POJK No. 77/POJK.01/2016. In order to better support access to funding for MSMEs by Peer-to-Peer Lending, OJK is expected to be able to improve the regulations so as to accelerate financial literacy and inclusion. In addition, the Indonesian government is suggested to accelerate the validation of the Bill on Financial Technology in order to ensure legal certainty for the parties in Peer-to-Peer Lending."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Satria Kurniawan
"Perkembangan pesat layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi juga membawa risiko tinggi seperti masalah kredit macet. Tidak adanya sistem pertukaran data yang wajib untuk layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi telah mengakibatkan peningkatan risiko gagal bayar dari peminjam, berbeda dengan sektor perbankan. Sistem pertukaran data konsumen akan membantu Perusahaan Fintech untuk mendeteksi debitur macet, dan untuk mengurangi risiko kredit macet. Adapun dengan demikian mengenai rumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana pertukaran data konsumen di sektor jasa keuangan, (2) bagaimana implementasi pertukaran data konsumen antara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. (3) pertukaran data konsumen yang tepat bagi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Metode Peneilitan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif. Alat pengumpulan data adalah data sekunder berupa studi kepustakaan dengan didukung oleh wawancara. Dengan menerapkan penelitian hukum menggunakan pendekatan normatif, dan komparatif. Hasil penelitian yang dilakukan adalah sektor jasa keuangan memiliki dua adalah dua entitas pertukaran konsumen yang diatur oleh Otoritas Jasa. Meskipun ada dua entitas pertukaran data, pada praktiknya mayoritas layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi menggunakan entitias swasta..Dengan demikian pertukaran data konsumen yang paling cocok untuk pinjaman adalah LIPIP

The rapid development of Peer-to-Peer Lending Fintech also brings problem such as the high risk of the nonperforming loan. The absence of mandatory data exchange system has resulted in an increased risk of default from borrowers. Unlike the banking sector, where there are mandatory, there is no mandatory exchange information of consumer data between peer-to-peer lending Fintech companies. The consumer data exchange system would help Fintech Company to detect bad debtor, and to mitigate the risk of the nonperforming loan. This undergraduate thesis explores there main issues: (1) how consumer data sharing in Financial sector especially for Peer-to-Peer Lending Financial Technology consumer is regulated, and (2) how the implementation of consumer data exchange. (3) which is consumer data sharing is suitable for peer-to-peer lending Fintech companies.  By applying the normative legal research using the statute, and comparative approach and support by interview this undergraduate conclude that are two consumer exchange entities : (1) sistem Layanan Informasi Kreditur (SLIK), under Financial Service Authority (OJK). (2) Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP), under private entities, and consumer data exchange is regulated in several provision such as the Financial Service Authority (OJK) Law, Banking law, and also financial regulation. Even though there are two data exchange entities, in practice the majority of Peer-to-Peer Lending Financial Technology are using LPIP and non-using SLIK. The reason is SLIK seen as more tightly regulated, that can hinder growth or even losing business edge from other financial industry. Thus the most suitable consumer data exchange for lending is LPIP
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alvito Rizki
"Perkembangan perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang sangat pesat mendorong industri perbankan untuk tetap berkembang guna bersaing dengan perusahaan teknologi keuangan. Industri perbankan berdaptasi dengan menerbitkan layanan baru yaitu Bank Digital. Untuk mengurangi persaingan dengan perusahaan teknologi keuangan, Bank Digital juga melakukan kolaborasi dengan perusahaan teknologi keuangan Peer to Peer Lending. Salah satu bentuk kerja sama antara Bank Digital dengan perusahaan Peer to Peer Lending yaitu kerja sama penyaluran kredit. Penelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, membahas bagaimana pengaturan kegiatan usaha Bank Digital dalam hal penyaluran kredit. Kedua, membahas permasalahan hukum dan non-hukum apa saja yang timbul pada kerja sama antara Bank Digital dan perusahaan Peer to Peer Lending dalam penyaluran kredit. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian yang didapatkan adalah kerja sama penyaluran kredit yang dilakukan oleh Bank Digital dan Perusahaan Peer to Peer Lending harus didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (“POJK”) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”). Kerja sama penyaluran kredit antara Bank Digital dan Perusahaan Peer to Peer Lending diawali dengan perjanjian kerja sama antara Bank Digital dengan perusahaan Peer to Peer Lending dan setelah perjanjian setujui oleh kedua pihak, perusahaan Peer to Peer Lending melakukan perjanjian pinjam meminjam dengan peminjam. Dalam kerja sama antara Bank Digital dan perusahaan Peer to Peer Lending juga terdapat permasalahan hukum dan non-hukum. Permasalahan yang timbul dari kerja sama antara Bank Digital dan perusahaan Peer to Peer Lending adalah penerima pinjaman yang gagal bayar dan Bank Digital menuntut perusahaan Peer to Peer Lending untuk mengganti kerugian dari penerima pinjaman yang gagal bayar sedangkan permasalahan non-hukum yang timbul adalah penyalahgunaan pinjaman, kesalahan penanggalan pada pencatatan Bank Digital dan Perusahaan Peer to Peer Lending, dan pengembalian dana yang telat oleh perusahaan Peer to Peer Lending. Penelitian ini memberikan saran kepada OJK untuk menerbitkan panduan kerja sama antara Bank Digital dengan perusahaan Peer to Peer Lending dan kepada Bank Digital untuk membuat klasifikasi perusahaan teknologi keuangan yang dapat diajak bekerja sama.

The rapid development of financial technology (fintech) companies encourages the banking industry to continue to grow to compete with financial technology companies. The banking industry is adapting to issuing a new service, namely Digital Bank. To reduce competition with financial technology companies, Digital Bank collaborates with financial technology company Peer to Peer Lending. One form of cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies is credit channeling cooperation. This study addresses two issues. First, analyze how the regulation of business activities of Digital Bank in terms of credit channeling. Second, discuss what legal and non-legal issues arise in the cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies in lending. The form of research used is normative juridical with an analytical descriptive research type. The results of the research obtained are credit channeling cooperation conducted by Digital Bank and Peer to Peer Lending Companies must be based on Financial Services Authority Regulation ("POJK") Number 77/POJK.01/2016 on Information Technology-Based Lending Services ("POJK 77/2016"). The credit channeling cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending Company begins with a cooperation agreement between Digital Bank and Peer to Peer Lending company and after the agreement is agreed by both parties, Peer to Peer Lendingcompanies conduct loan agreements with borrowers. In cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies there are also legal and non-legal issues. Problems arising from the cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies are recipients of loans that default and Digital Bank demands Peer to Peer Lending companies to compensate for losses from defaulted loan recipients while non-legal problems that arise are loan abuse, dating errors on the recording of Digital Banks and Peer to Peer Lending Companies, and late refunds by Peer to Peer Lending companies. This research provides advice to OJK to issue cooperation guidelines between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies and to Digital Bank to make a classification of financial technology companies that can be invited to cooperate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henrietta Sarah Mega
"Kegiatan berinvestasi untuk menumbuhkan aset merupakan hal penting dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu platform investasi yang menjadi pilihan populer adalah platform peer-to-peer lending dengan janji tingkat pengembalian atau return yang tinggi. Namun tingkat pengembalian investasi yang tinggi ini juga diikuti dengan risiko gagal bayar yang tinggi pula. Selain risiko gagal bayar, layanan peer-to-peer lending juga memiliki berbagai risiko operasional yang terdapat dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu dibutuhkan kepastian hukum untuk menjamin penyelenggaraan peer-to-peer lending berjalan dengan efisien dan aman. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan regulasi penyelenggaraan peer-to-peer lending di Indonesia, tanggung jawab penyelenggara atas risiko yang ada dalam layanan peer-to-peer lending, dan perlindungan hukum bagi investor dan penerima pinjaman yang menggunakan layanan peer-to-peer lending. Penelitian ini menemukan bahwa regulasi layanan peer-to-peer lending diatur dalam peraturan-peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia dan OJK sebagai lembaga yang memiliki wewenang regulasi. Walau telah diatur untuk menjamin keamanan penyelenggaraannya, risiko dalam layanan ini tetap ada dan kerugian yang diderita pengguna akibat risiko tersebut menjadi tanggung jawab dari penyelenggara. Lebih lanjut, investor maupun penerima pinjaman memerlukan perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap haknya sebagai pengguna.

Investment activities to grow assets are important for economic growth. One of the investment platforms that has become a popular choice is the peer-to-peer lending platform with the promise of a high rate of return. However, this high rate of return on investment is also accompanied by a high risk of default. In addition to the risk of default, peer-to-peer lending services also have various operational risks involved in their business. Therefore, legal certainty is needed to ensure that the business of peer-to-peer lending runs efficiently and safely. The research method used in this research is normative juridical. This study aims to explain the regulations for peer-to-peer lending services in Indonesia, the responsibility of the company for the risks involved in peer-to-peer lending services, and legal protection for investors and loan recipients who use peer-to-peer lending services. This study finds that the regulation of peer-to-peer lending services is regulated in the rules made by Bank Indonesia and OJK as institutions that have regulatory authority. Even though it has been regulated to ensure the security of its implementation, risks in this service still exist and the losses suffered by the users due to these risks are the responsibility of the peer-to-peer lending company. Furthermore, investors and loan recipients need legal protection in the event of a violation of their rights as users."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Kurniawan
"Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan pinjaman didanai dari tujuh peer-to-peer lending di Indonesia yang terdaftar dan memiliki izin di Otortias Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019. Sejak 2016, jumlah borrower meningkat jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lender sejak terbitnya regulasi oleh pemerintah mengenai transaksi peer-to-peer lending oleh OJK. Meningkatnya jumlah pinjaman disalurkan, membuat perkembangan industri peer-to-peer lending sangat pesat. Penelitian ini mengamati faktor-faktor tertentu yang memengaruhi pinjaman didanai secara penuh. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah funded loan, loan amount, loan period, interest rate, gender, dan loan history. Menggunakan 1006 sampel pinjaman, metode regresi logistik digunakan untuk mengestimasi signifikansi pengaruh variabel-variabel tersebut pada pinjaman didanai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa loan amount, loan period, dan loan history memiliki pengaruh signifikan terhadap pinjaman didanai pada peer-to-peer lending di Indonesia.

This study analyzes determinants of loans funded from peer-to-peer lending in Indonesia registered and licensed in the Financial Services Authority (OJK) in 2019. Since 2016, the number of borrowers has increased far more than the number of lenders since the issuance of regulations by the government regarding peer-to-peer lending transactions by OJK. The increasing number of loans is channeled, making the development of the peer-to-peer lending industry rapidly. Using 1006 loans, this research looks at certain factors that influence loans to be fully funded. The variables used in this study are funded loans, loan amounts, loan periods, interest rates, gender, and loan history. The logistic regression method is used to estimate the significance of the effect of these variables on funded loans. The results of this study indicate that the loan amount, loan period, and loan history giving a significant influence on whether loans funded in peer-to-peer lending in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isyraq Azhar
"Kemajuan teknologi finansial menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan keuangan syariah. Teknologi finansial mengembangkan sebuah konsep, peer-to-peer lending, yang membuka akses pada layanan keuangan tanpa intermediasi perbankan tradisional. Namun, data menunjukkan bahwa pangsa pasar peer-to-peer lending syariah masih sangat kecil dibanding industri peer-to-peer lending secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan usaha lebih jauh untuk meningkatkan pangsa pasar peer-to-peer lending syariah. Penelitian ini mencoba untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi intensi perilaku pengguna (pemberi pendanaan/funder) untuk menggunakan peer-to-peer lending syariah dengan pendekatan Unified Theory of Acceptance and Use of Technology 2 (UTAUT 2). Menggunakan metode ­judgment sampling, 157 pengguna peer-to-peer lending syariah sebagai responden. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Partial Least Square – Structural Equation Modelling (PLS-SEM) dengan bantuan perangkat SmartPLS 3.0 untuk menguji model yang diusulkan. Hasil menunjukkan bahwa performance expectancy, price value, dan habit memiliki pengaruh secara positif terhadap intensi perilaku untuk menggunakan peer-to-peer lending syariah, dimana performance expectancy memberi pengaruh paling besar

Financial technology advances become one of factors that encourages the growth of Islamic finance. Financial technology developed a concept, peer-to-peer lending, that enables access to funding without the role of financial institutions such as banks. However, data shows that market share of Islamic peer-to-peer lending is still very small compared to the peer-to-peer lending industry as a whole. Therefore, further efforts are needed to increase the market share of Islamic peer-to-peer lending. This study attempts to understand factors influencing behavioral intention of users (as a funders) to use Islamic peer-to-peer lending with the Unified Theory of Acceptance and Use of Technology 2 (UTAUT 2) approach. Using the judgment sampling method, 157 Islamic peer-to-peer lending users were collected as respondents. This research was conducted using the Partial Least Square - Structural Equation Modeling (PLS-SEM) method and use SmartPLS 3.0 software to test the proposed model. The results show that performance expectancy, price value, and habit have a positive influence on behavioral intention to use Islamic peer-to-peer lending, where performance expectancy has the biggest influence."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rabiah Al Adawiyah
"Perkembangan Peer to Peer (P2P) Lending memunculkan potensi pencucian uang. Pelaku pencucian uang dapat menjalankan modus pencucian uang dengan menjadi pemberi pinjaman (Lender) dan menginvestasikan dana di P2P Lending. Kemudahan proses registrasi menjadi Lender dapat meningkatkan potensi pencucian uang. Permasalahan yang muncul dari kemudahan proses registrasi Lender antara lain data registrasi Lender tidak lengkap, tidak valid, palsu, atau milik orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan rancangan modul registrasi Lender pada P2P Lending Platform agar dapat mencegah potensi pencucian uang dari proses registrasi Lender. Penelitian ini menggunakan Waterfall Development untuk metodologi pengembangan sistemnya. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai narasumber dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator P2P Lending dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selaku lembaga yang fokus terhadap pencucian uang. Pengumpulan data juga dilakukan dengan studi dokumen aturan-aturan yang relevan. Hasil wawancara dan studi dokumen tersebut dianalisis untuk penyusunan requirements sistem. Penelitian ini menghasilkan rancangan modul registrasi Lender pada P2P Lending dengan sebelas use cases yang bertujuan untuk mengatasi celah potensi pencucian uang di proses registrasi Lender. Validasi dilakukan melalui expert judgment yang melibatkan Staf Senior Direktorat Pengawasan Kepatuhan dikarenakan rancangan ini belum diimplementasikan menjadi sistem yang dapat diuji coba. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yaitu penelitian dapat dikembangkan dengan mengidentifikasi potensi pencucian uang dari berbagai celah yang mungkin dari P2P Lending Platform.

The development of Peer to Peer (P2P) Lending raises the potential for money laundering. Money launderers can perform money laundering mode by becoming a lender and investing funds in P2P Lending. The ease of the registration process to become a lender can increase the potential for money laundering. Problems that arise from the ease of the lender registration process include incomplete, invalid, fake, or other people's registration data. This study aims to produce a design for the lender registration module on the P2P Lending Platform in order to prevent potential money laundering from the lender registration process. This study uses Waterfall Development for system development methodology. Data collection was carried out by interviewing sources from the Financial Services Authority (OJK) as the P2P Lending regulator and the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK) as an institution that focuses on money laundering. Data collection was also carried out by studying the relevant regulations documents. The results of interviews and document studies were analyzed for the preparation of system requirements. This research produces a module design for lender registration in P2P Lending with eleven use cases that aims to address the potential gap for money laundering in the lender registration process. Validation is carried out through expert judgment involving the Senior Staff of the Compliance Supervision Directorate because this design has not been implemented into a system that can be tested. The recommendation for further research is that research can be developed by identifying the potential for money laundering from various possible loopholes of the P2P Lending Platform."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>