Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149450 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Devanda Ghoziandi
"From the perspective of the predominantly heterosexual society, giving a tribute to the LGBTQ+ community in performance can be considered an act of respect. However, such an act can be counterproductive to the LGBTQ+ community. To build a case in seeing the root of the problem, this thesis examines Taylor Swift’s music video and song “You Need to Calm Down,” which was purposely made for her advocacy for LGBTQ+ people. It is argued that the music video does not depict LGBTQ+ people in the most realistic way as it prolongs or extends the harmful stereotypes of LGBTQ+ people, and the gender performances that are acted out or played in the music video do not conform to the gender performativity concept that has become the ground of LGBTQ+ rights. Additionally, the said gender performances are also considered unfavorable as they compare the struggle of LGBTQ+ people to a personal problem that shows a heteronormative bias. Using the analysis of cinematic devices as a method, it is concluded that Swift’s advocacy for LGBTQ+ people has its complexity that falls on heteronormative bias, problematic gender performativity, and unfavorable stereotypes.

Dari perspektif masyarakat yang didominasi heteroseksual, melibatkan komunitas LGBTQ+ dalam karya seni dapat dianggap sebagai tindakan penghormatan. Namun, tindakan semacam itu dapat menjadi kontraproduktif bagi komunitas LGBTQ+. Untuk melihat akar masalahnya, penelitian ini mengkaji video musik dan lagu Taylor Swift “You Need To Calm Down”, yang sengaja dibuat sebagai wujud pembelaannya terhadap komunitas LGBTQ+. Beberapa argumen mengatakan video music tersebut tidak menggambarkan komunitas LGBTQ+ dengan cara yang paling realistis karena memperpanjang atau memperluas stereotip negatif dari orang-orang LGBTQ+, dan pertunjukan gender yang diperankan atau dimainkan dalam video musik tidak sesuai dengan konsep performativitas gender yang menjadi landasan hak-hak LGBTQ+. Selain itu, pertunjukan gender tersebut juga dinilai kurang baik karena membandingkan perjuangan komunitas LGBTQ+ dengan masalah pribadi yang menunjukkan bias heteronormatif. Dengan menggunakan metode analisis perangkat sinematik, disimpulkan bahwa advokasi Swift untuk komunitas LGBTQ+ memiliki kompleksitas yang terjerumus pada bias heteronormatif, performativitas gender yang bermasalah, dan stereotip yang tidak menguntungkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda
"Dewasa ini fenomena keberadaan kaum homoseksual semakin hangar dibicarakan seiring dengan semakin banyaknya individu yang memiliki pilihan obyek seksual kepada sesama
jenis tersebut Orientasi seksual mereka yang berbeda dengan mayoritas masyarakat
omderung mendapatkan tanggapan negatif dan berbagai pihak, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat umum sehingga kehidupan mereka cenderung diliputi
masalah, tekanan dan berbagai hal lainnya. Dalam hal ini gangguan penyesuaian seksual
yang dialami kaum homoseks memainkan peranan panting dalam perkembangan kepribadian mereka (Wheeler dalam Lemcr, 1975). Oleh karena im peneliti lertarik untuk mengadakan studi yang dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kepribadian kaum
homoseks, sekaligus untuk mendeteksi orientasi seksual mereka berdasarkan tes proyeksi kepribadian, yakni tes Rorschach, dan metode wawancara mendalam (deplh interview).
Penelitian ini merupakan penelitian daskriptif dengan pcndekatan kualitatif Pengumpulan data dalam studi ini menggunakan instrumen berupa tes Rorschach, yang dilengkapi pula dengan metode wawancara Bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara mmdalam berdasarkan pedoman wawancara umum dan personal life line Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 3 (tiga) orang homoseks pria (gay) yang berusia antara 19-39 tahun. Kelompok subjek dalam penelitian ini merupakan pria homoseks yang telah
mengakui orientasi seksualnya tersebut dan berdomisili di Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subyek memiliki ciri kepribadian yang unik
satu sama lainnya Tidak ditemukan adanya persamaan karakteristik pada aspek kognisi
dan intelektual. Sedangkan pada aspek emosi dan afeksi, dapat disimpulkan bahwa ketiga
pria homoseks dalam peuelitian ini mengalami masalah afeksi dan hubungan
interpersonal, terutama dalam aspek seksualitas. Demikian pula pada aspek fungsi ego, di mana ketiganya memiliki fungsi ego yang tergolong lemah karena diliputi perasaan cemas, tegang, tidak aman dan mengalami berbagai konflik sehubungan dengan orientasi
seksual mareka.
Dalam kontcks psikodiagnistik, dapat disimpulkan pula bahwa tea Rorschach dapat dimanfaatkan sebagai alat diagnose kecenderungan homoseksualitas seseorang karena
dan protokol hasil tes ketiga subyek terdapat banyak respon yang mengungkap oricntasi
homoseksual mereka. Kesepuluh kartu Rorschach memiliki kemampuan untuk
mengungkap kecenderungan homosdcsual individu, di mana dalam hal ini kartu yang dapat dikalakan paling efektif adalah kartu III dan kartu X. Kesemua indikasi
homoscksualitas dalam penelitian ini terutama diperoleh dari hasil analisis isi respon.
Katagori skoring lain, baik lokasi, determinan, P/0 maupun tingkat FLR tidak menunjukkan ciri khas tertentu pada ketiga subyek
Adapun isi respon khas yang dimunculkan oleh ketiga subyek dalam penelitian ini adalah:
- Identifikasi lawan jenis, yakni Egur perempuan pada kartu III
- Respon botani berupa pohon dan atau daun yang mengandung makna interpretif
bahwa subyek memiliki peran seksual yang tidak pasti dan terpaku pada
dorongan homoseks, terutama orientasi homoseks pasi£
Respon binatang berupa ulat, kupu-kupu (pada area tidak popular), burung, dan katak Serta respon nature berupa laut yang mengandung makna interpretif bahwa
subyek mengalami kcgagalan/kesulitan penyesuaian heteroseksual dan memiliki orientasi homosdcsual feminin pasif
Di samping itu muncul pula beberapa indikator lainnya pada minimal 1 (sam) subyek,
yakni dalam bentuk:
- Rapon dehumanisasi Rcspon anaiomis
- Respon derealisasi Respon topeng
Penekanan pada respon scks Respon obyek
- Reject kartu VI
Dengan pertimbangan bahwa penelltian ini masih mengandung banyak kekurangan, bagi
pihak yang hendak melakukan penelitian serupa disaranknn supaym
- Menyediakan waktu yang lebih banyak untuk mengadakan pene1itian supaya dapat memperkaya dan, misalnya dengan menambah jumlah subyek
Mempersempit kriteria atau karaktedstik subyek, misslnya dalam hal rentang usia, tingkat statuus sosial, lama menjalani kehidupan sebagai homoseks, dam Iain- lain dengan harapan diperoleh ciri tertentu yang menggambarkan kondisi subyek
secara lebih mendalam.
Mencoba melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk
menvasitasi kembali reliabilitas dan validitas indikator-indikator yang menjadi acuan dalam studi ini.
Mencoba melakukan penelitian pada kelompok subyek yang memiliki
kecenderungan homoseksual namun belum mmgakui dan alau belum menjalani
kehidupan sebagai kaum homoseks unmk memperkaya pengetahuan mengenai
pemanfaatan indikaxor yang ada, temasuk indikator berupa detenninan "m"
dengan isi respon tertentu yang mengindikasikan homoseksual laten menurut
Lindner (dalam Lemer, I987).
Mencoba melakukan penelitian kepada kaum homoseks perempuan (lesbi) untuk mendapatkan gambaran apakah tes Rorschach juga dapat mengungkap
kecenderungan homoseksual mereka yang dikenal sebagai kelompok individu dengan ciri khas sifax tenutup; sekaligus untuk menelaah kembali apakah indikator-indikalor yang digunakan dalam studi ini jugs dimunculkan oleh kaum lesbi tersebut dan apakah terdapat perbedaan bentuk respon/indikalor antara kaum gay dan kaum lesbi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryayoga Harjuno Ananda
"Dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, tema seksualitas dan LGBTQ+ baru muncul pada tahun 2004 dengan diterbitkannya novel Cermin Merah karya Nano Riantiarno. Tema tersebut dapat dikatakan sebagai tema baru, jika mengingat masyarakat Indonesia yang masih memegang prinsip bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kodrat manusia yang harus dijalankan. Itulah prinsip yang disebut heteronormativitas. Dominannya prinsip heteronormativitas ini pun kemudian ditunjukkan di dalam karya sastra, salah satunya dalam novel Cermin Merah. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana gambaran pandangan heteronormatif terhadap tokoh LGBTQ+ di dalam novel tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitiatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan prinsip heteronormatif dalam novel ini menganggap bahwa hubungan heteroseksual sebagai sebuah kemutlakan yang didukung oleh norma-norma yang berlaku (sosial, budaya, dan agama) serta dengan mendasarinya pada faktor reproduksi manusia. Oleh sebab itu, masyarakat dalam novel Cermin Merah menolak penyimpangan orientasi seksual yang dilakukan oleh tokoh Arsena beserta tokoh-tokoh lainnya karena dianggap berbeda dan melanggar norma yang berlaku. Penolakan tersebut kemudian berujung pada tindakan diskriminatif terhadap tokoh LGBTQ+, khususnya tokoh Arsena, Edu, dan Anto. Seiring perkembangan zaman, orientasi seksual manusia pun semakin berkembang sehingga perlu ada keterbukaan dalam menghadapi persoalan tersebut.

Throughout the history of Indonesian literature, sexuality and LGBTQ+ related themes begun to appear in 2004 with the release of Nano Riantiarno’s Cermin Merah. These two themes are relatively new in Indonesia, considering that Indonesian people still holds a principle which believes that sexual relationship between men and women is human nature that must be upholded. That principle is called heteronormativity. The domineering presence of this principle is later shown in literature works, one of which is in Cermin Merah. This research is aimed to explain how heteronormative view towards LGBTQ+ characters is represented in said novel. This research is made using descriptive-qualitative method. Results showed that heteronormative people in this novel treated heterosexual relationship as something absolute supported by the norms that applied in their society (social, cultural, and religion) as well as the human reproductive factor. Therefore, the people in Cermin Merah completely neglected Arsena and the other characters’ sexual deviance because it violated their norms. Their rejection led to discriminative actions towards LGBTQ+ characters in this novel, specifically Arsena, Edu, and Anto. As time goes by, human’s sexual orientation keeps on growing which is why there needs to be an openness in order to deal with its presences."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Andro Putranto
"Dalam masyarakat yang kental dengan cara pandang heteronormativitas, individu nonbiner memanfaatkan ruang digital untuk mempresentasikan identitas gender diri seutuhnya. Salah satu aplikasi kencan berbasis internet, Bumble menembus batas mengekang tersebut dengan membentuk ruang aman beserta rangkaian kebijakan yang mengutamakan gender inklusivitas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melibatkan enam pengguna Bumble yang mengidentifikasi diri sebagai nonbiner, serta memperoleh data melalui wawancara mendalam bersama informan, serta observasi penggunaan Bumble. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana platform Bumble tersebut tak sepenuhnya ramah bagi gender minoritas karena pengguna nonbiner sering kali mengalami mikroagresi. Selain itu, identitas gender memegang peran penting bagi pengguna nonbiner di Bumble dalam membangun interaksi dengan orang baru. Pengguna nonbiner menanggulangi diskriminasi yang terjadi melalui metode penyaringan profil secara manual dengan kriteria tertentu untuk memilah profil yang mereka ingin menjalin interaksi. Hal ini bertujuan untuk melindungi diri dari terjadinya mikroagresi dan diskriminasi serta tetap dapat menavigasikan identitas gender mereka dengan leluasa pada aplikasi tersebut.

In a society deeply rooted by heteronormative perspectives, nonbinary individuals leverage digital spaces to authentically present their gender identities. Internet-based dating application, Bumble, defies these constraints by establishing a safe space and a set of policies that prioritize gender inclusivity. This research employs a qualitative method involving six Bumble users who identify as nonbinary, gathering data through in-depth interviews, also through observations of Bumble usage. The findings indicate that the Bumble platform is not entirely accommodating to gender minorities, as nonbinary users frequently experience microaggressions. Furthermore, gender identity plays a crucial role for nonbinary users on Bumble in establishing interactions with new people. Nonbinary users prevent discrimination through manual profile filtering methods with specific criteria to select profiles with whom they wish to interact. This aims to protect themselves from microaggressions and discrimination while navigating their gender identities freely on the application."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Safira Nurarafah
"David Levithan dikenal sebagai salah satu penulis yang tidak menggambarkan karakter LGBTQ yang stereotipikal dalam novel-novelnya. Salah satu novelnya, Every Day (2012) menyampaikan cerita tentang seorang karakter yang memiliki identitas gender berada di luar gender biner (gender non-conforming) yang dapat melakukan perjalanan dari satu tubuh ke tubuh lain setiap hari. Karakter utama novel ini adalah roh yang tidak memiliki tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki konstruksi gender di Every Day (2012). Menggunakan analisis tekstual, penelitian ini menunjukkan bahwa Every Day (2012) mempermasalahkan representasi dari konstruksi gender dan menantang konstruksi tersebut melalui karakternya.

David Levithan is known as one of the authors who does not portray stereotypical LGBTQ character in his novels. One of his novels, Every Day (2012) delivers a story about a gender non-conforming character who can travel from ones body to another every single day. The main character of the novel is a spirit who does not possess any bodies. This research aims to investigate gender construction in Every Day (2012). Using textual analysis, this research suggests that Every Day (2012) problematizes the representation of gender construction and challenges the construction through its characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yarra Rania Nurul Iman
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan wacana heteronormatif manga boys’ love (BL) dan bagaimana wacana tersebut memengaruhi popularitas BL di Indonesia. Penulis menggabungkan metode model analisis femininitas dan maskulinitas oleh Zhou, et al. (2018), analisis teks, dan interpretasi komposisi visual oleh Rose (2001) untuk menganalisis keberadaan wacana heteronormatif dalam manga Dakaretai Otoko 1-i ni Odosarete Imasu dan metode analisis tematis oleh Clarke dan Braun (2013) untuk menganalisis tanggapan pembaca BL Indonesia di Twitter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dakaretai Otoko 1-i ni Odosarete Imasu merupakan BL dengan wacana heteronormatif dan pembaca BL Indonesia di Twitter juga lebih sering mengungkit aspek heteronormatif manga tersebut. Preferensi pembaca BL Indonesia yang memilih manga BL dengan karakter heteronormatif dapat dibaca sebagai bukti kuatnya internalisasi norma-norma heteronormatif di Indonesia yang didukung oleh nilai-nilai agama dan sosial.

This research discusses the existence of heteronormative themes in boys’ love (BL) manga and determines how they affect the popularity of BL in Indonesia. This research combines Zhou, et al. (2018)’s femininity and masculinity model, text analysis method, and compositional interpretation method by Rose (2001) to analyse the heteronormative themes in Dakaretai Otoko 1-i ni Odosarete Imasu and thematic analysis method to examine Indonesian BL readers’ comments on Twitter. Results have shown that Dakaretai Otoko 1-i ni Odosarete Imasu indeed has heteronormative themes and the comments on Twitter are mostly focused on heteronormative aspects of the manga. Indonesian BL readers’ tendency to prefer BL mangas with heteronormative themes can be seen as an evidence of the strong internalisation of heteronormative norms in Indonesia, which is also supported by the religious and social values."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Carollina Rochmawati
"Film-film bertemakan LGBTQ + semakin populer di kalangan warga Amerika, dan karakter-karakter LGBTQ + semakin sering diperlihatkan di film-film Hollywood sejak abad ke-21. Media umum Amerika sedang meningkatkan keragaman dalam representasi masyarakat, termasuk meningkatkan visibilitas cerita dan karakter LGBTQ +. Salah satunya adalah Call Me by Your Name (2017). Film ini telah memenangkan banyak penghargaan dan diterima dengan baik tidak hanya oleh penonton queer tapi juga penonton heteroseksual. Namun, terdapat masalah dalam penggambaran identitas dan hubungan homoseksual dalam Call Me by Your Name karena adanya unsur heteronormativitas. Penelitian ini disusun dalam bentuk studi pustaka menggunakan analisis tekstual. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap heteronormativitas dalam karakterisasi, plot, dan sinematografi Call Me by Your Name, serta menjelaskan bagaimana penggambaran homoseksualitas sebagai identitas seksual dan hubungan homoseksual dalam film ini berkontribusi pada kesuksesannya. Hasil analisis menunjukan bahwa Call Me by Your Name gagal menampilkan representasi homoseksualitas secara positif karena melanggengkan heteroseksisme dan memberikan gratifikasi kepada penonton heteroseksual.

LGBTQ+ movies have gained more popularity among American audience, and LGBTQ+ characters have been more visible in Hollywood movies since the twenty-first century. American mainstream media has been working on the diversity of representations, including bringing up the visibility of LGBTQ+ narratives and characters. One of them is Call Me by Your Name (2017). The movie has won numerous awards and been well received by not only queer but also heterosexual audience. However, its portrayals of homosexual identity and relationship are problematic due to the presence of heteronormativity. This research is written in a form of library research using textual analysis. This research aims to find heteronormativity in its characterization, plot, and cinematography, and to elaborate how its heterosexist portrayals of homosexuality as a sexual identity and a homosexual relationship contribute to its success. The findings show that Call Me by Your Name fails to offer a positive representation of homosexuality because it perpetuates heterosexism and gratifies heterosexual audience."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Putri
"Disforia gender merupakan sebuah gangguan mental yang dipicu oleh ketidaksesuaian identitas gendernya dalam lingkungan yang heteronormatif. Artikel ini bertujuan untuk memperlihatkan kaitan dan pengaruh konstruksi identitas gender dalam lingkungan heteronormatif dengan disforia gender pada film Girl. Metode yang digunakan adalah metode kajian film oleh Boggs dan Petrie dan teori performativitas gender oleh Judith Butler. Teori disforia gender remaja oleh Riittakerttu Kaltiana-Heino dan Heidi Claahsen-van der Grinten juga digunakan untuk memperdalam analisis kajian film ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa internalisasi heteronormativitas yang dimiliki oleh lingkungan sosial dapat menimbulkan disforia gender yang menyebabkan hadirnya perilaku-perilaku ekstrem.

Gender dysphoria is a mental disorder that is triggered by an incongruence between gender identity and sex. In general, this disorder can cause distress and difficulty functioning in a social environment. In the narrative and cinematographic aspects of Girl's film, gender dysphoria is shown to be present due to Lara's efforts to construct her gender identity in a heteronormative environment. This article aims to show the relationship and influence of gender identity construction in a heteronormative environment with gender dysphoria in the film Girl. The method used is the film study method by Boggs and Petrie and the gender performativity theory by Judith Butler. The theory of adolescent gender dysphoria by Riittakerttu Kaltiana-Heino and Heidi Claahsen-van der Grinten is also used to deepen the analysis of this film study. The results of the analysis show that the internalization of heteronormativity possessed by the social environment can cause gender dysphoria which causes the presence of extreme behaviors."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Aulia Rahman
"Taylor Swift, sebagai ikon pop global yang mampu menciptakan suatu fenomena bernama “Swiftonomics”, mengundang ketertarikan studi tentang dinamika interaksi penggemarnya melalui media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh pengalaman bersama, identifikasi kelompok, dan keterlibatan emosional terhadap perilaku keterlibatan audiens dengan konten musik Taylor Swift di platform media sosial. Dengan menggunakan metode survei yang dilaksanakan melalui kuesioner daring, penelitian ini menganalisis respons dari 339 partisipan di wilayah Jabodetabek yang mendengarkan musik Taylor Swift menggunakan teknik analisis deskriptif dan regresi linier hierarkis. Hasil menunjukkan bahwa participation dan resonant contagion berperan penting dalam meningkatkan semua jenis keterlibatan audiens. Selain itu, keterlibatan emosional, khususnya arousal, berkorelasi positif dengan perilaku keterlibatan proaktif dan aktif. Sementara itu, escapism dan pleasure tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan perilaku keterlibatan. Instagram teridentifikasi sebagai platform utama yang digunakan oleh penggemar untuk interaksi ini, mencerminkan pentingnya platform ini dalam strategi pemasaran digital musik. Penelitian ini memberikan kontribusi pada pengembangan teori perilaku informasi dalam konteks musik dan media sosial, serta menawarkan wawasan strategis bagi praktisi industri musik dalam merancang kampanye yang lebih efektif untuk menggali keterlibatan audiens

Taylor Swift, as a global pop icon capable of creating a phenomenon known as "Swiftonomics," has sparked interest in studying the dynamics of her fan interactions on social media. This research aims to understand the influence of shared experiences, group identification, and emotional engagement on audience engagement behaviors with Taylor Swift's music content on social media platforms. Utilizing a survey method conducted through an online questionnaire, this study analyzes responses from 339 participants in the Greater Jakarta area who listen to Taylor Swift's music, using descriptive analysis and hierarchical linear regression techniques. The results indicate that participation and resonant contagion play significant roles in enhancing all types of audience engagement. Furthermore, emotional engagement, particularly arousal, is positively correlated with proactive and active engagement behaviors. In contrast, escapism and pleasure did not show a significant correlation with engagement behaviors. Instagram was identified as the primary platform used by fans for these interactions, highlighting the importance of this platform in digital music marketing strategies. This research contributes to the development of information behavior theory in the context of music and social media and offers strategic insights for music industry practitioners in designing more effective campaigns to foster audience engagement."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Venty Rosalin Handayani
"Makalah ini menganalisis representasi warna merah red di dalam lagu Taylor Swift yang berjudul Red. Tujuan dari analisis ini adalah mencari tahu ragam emosi yang ditunjukkan oleh warna merah di dalam lagu melalui penggunaan metafor dan simbolisasi tertentu di dalam lirik lagu dalam mengekspresikan emosi penyanyi dan bagaimana hal ini mendukung makna dari lagu Red sendiri secara keseluruhan. Di dalam Red Swift secara konsisten menggunakan beberapa perbandingan untuk merepresentasikan dan mengekspresikan perasaannya sebagai tokoh wanita di dalam lagu.
Analisis ini berdasarkan pada teori semiotik guna menganalisis penggunaan simbol atau tanda tertentu yang ditemukan di dalam lagu dan semantik dalam menganalisis makna di balik lirik-lirik lagu dengan mengacu kepada hubungan antar kata untuk melihat representasi warna merah di dalam lagu secara utuh
Hasil dari analisis ini menunjukkan bahwa warna merah merepresentasikan emosi seperti penyesalan hasrat dan cinta yang dirasakan penyanyi terhadap tokoh pria di dalam lagu Warna merah sendiri merepresentasikan tidak hanya perasaan cinta seperti ditunjukkan dalam 'loving him was red' tetapi juga emosi yang membara atau penuh dengan hasrat serta cinta yang kuat seperti dalam liriknya 'burning red'. Warna merah sendiri juga digambarkan sevagai hasrat seksual seperti diimplikasikan dalam 'touching him'. Faktanya warna merah sendiri seringkali dipandang sebagai warna yang merepresentasikan seksualitas dan sensitivitas.

This essay analyses the representation of the colour red in Taylor Swift's song, Red. The aim of this essay is to find out what kinds of emotion red, as colour, represents in the song through the use of metaphor and certain symbolization in the song in expressing the emotion of the singer and in supporting what Red, the title of the song, means. In Red, Swift continuously uses some comparisons to represent and to express her feelings as the woman character in the song.
This analysis is based on the theory of semiotics in analysing the use of certain symbols or signs found in the song and semantics in analysing the meaning behind the lyrics by referring to the connection between words to see the representation of red in the song as a whole.
The result of this analysis shows that red represents such emotions like regret, desire, and love that the singer feels towards the man. Red represents not only love as described in 'loving him was red', but also the burning or passionate and intense love emotion as in 'burning red'. Red is also interpreted as a sexual desire as implied in 'touching him'. In fact, red is often viewed as a colour that represents sexuality and sensitivity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>