Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94440 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indira Rizkyana
"Upacara persembahan teh atau disebut dengan istilah Teh Pai (茶拜Chá bài), telah menjadi salah satu bagian dari rangkaian acara pernikahan orang Tiongkok sejak Dinasti Tang (唐朝 Táng cháo) (618-906 SM). Upacara persembahan teh ini juga dilakukan dalam acara pernikahan orang Indonesia keturunan Tionghoa hingga sekarang. Penelitian ini bertujuan menjelaskan mengapa Teh Pai dalam pernikahan orang Indonesia keturunan Tionghoa masih bertahan hingga sekarang. Penjelasan mengenai masih dipertahankannya Teh Pai di Indonesia hingga saat ini akan dipaparkan melalui teori semiotika Peirce. Selain itu, dalam penelitian ini juga dibahas rangkaian acara Teh Pai. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawancara dan ditunjang studi kepustakaan berupa buku, artikel, jurnal, dan kamus. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa rangkaian prosesi Teh Pai masih terus dilaksanakan karena meyimbolkan ajaran bakti. Ajaran bakti atau 孝 xiào dari Konfusius (孔夫子 Kǒng Fūzǐ) akan membentuk moral baik seseorang melalui perilaku bakti kepada orang tua. Selama masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa masih memegang teguh ajaran bakti, maka Teh Pai masih tetap dilaksanakan.

Tea ceremony, also known as Teh Pai (茶拜 Chá bài), has been a part of the Chinese wedding ceremony since the Tang Dynasty (唐朝 Táng cháo) (618-906 BC). Teh Pai has also been a part of Chinese-Indonesian wedding ceremony until now. The purpose of this study is to explain why Teh Pai in Chinese-Indonesian wedding still persists to the present day. An explanation of the ongoing existence of Teh Pai will be presented through Peirce's semiotic theory. In addition, this paper also explains the processions of Teh Pai ceremony. This study uses qualitative research methods through interviews and is supported by literary works in the form of books, articles, journals, and dictionary. The conclusion of this research shows that the ceremony of Teh Pai processions symbolize the teachings of fillial piety. Filial piety or xiao 孝 Xiào taught by Confucius (孔夫子 Kǒng fūzǐ), will shape someone's good moral character through filial behavior towards their parents. As long as Chinese-Indonesian people still adhere to values of filial piety, Teh Pai will still continue to be practiced."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Li Jie
"Penelitian ini membandingkan peran gender dan adat dalam upacara pernikahan di Tiongkok dan Vietnam serta implikasinya terhadap norma sosial. Melalui analisis kualitatif, penelitian ini meneliti tradisi pernikahan di kedua negara untuk memahami bagaimana adat memperkuat ekspektasi gender. Di Tiongkok, adat pernikahan lebih menekankan kelanjutan garis keluarga dan menegaskan dominasi laki-laki dalam hierarki keluarga, sementara di Vietnam, lebih berfokus pada kesatuan keluarga dan penghormatan leluhur. Metode penelitian mencakup analisis konten dari media massa, teks akademik, serta analisis narasi tekstual dan visual dari dokumenter yang berkaitan dengan praktik pernikahan. Dengan menggunakan teori ritual Turner, performativitas gender Butler, maskulinitas hegemonik Connell, deskripsi Tebal Geertz, dan teori Objektifikasi Nussbaum, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana adat pernikahan tradisional mempertahankan norma peran gender. Hasilnya menunjukkan bahwa, meski ada perubahan karena modernisasi, banyak praktik tradisional masih memengaruhi pandangan masyarakat di daerah pedesaan. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang fungsi adat pernikahan dalam memperkuat peran gender di Tiongkok dan Vietnam, serta bagaimana modernitas menantang praktik-praktik ini.

This study compares gender roles and marriage customs in wedding ceremonies in China and Vietnam, as well as their implications for social norms. Through qualitative analysis, this research examines wedding traditions in both countries to understand how customs reinforce gender expectations. In China, wedding customs place greater emphasis on the continuation of the family lineage and reinforce the male dominance in the family hierarchy, while in Vietnam, they focus more on family unity and ancestral reverence. The research methodology includes content analysis of mass media, academic texts, along with textual and visual narrative analysis of documentaries related to wedding practices. Using Turner’s ritual theory, Butler’s gender performativity, Connell’s hegemonic masculinity, Geertz’s thick description, and Nussbaum’s objectification theory, this study explores how traditional marriage customs sustain gender role norms. The results indicate that while modernization has brought about changes, many traditional practices continue to influence societal views in rural areas. This research contributes to an understanding of the function of marriage customs in reinforcing gender roles in China and Vietnam, as well as how modernity challenges these practices."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Rianti
"Pernikahan merupakan salah satu dari 3 peristiwa utama dalam kehidupan orang Cina, 2 hal lainnya adalah kelahiran dan kematian. Oleh karena hal tersebut, pernikahan masyarakat Cina tidak dapat dilepaskan dari tradisi upacara yang melekat didalamnya, yakni tradisi Upacara Persembahan Teh--- Chabai 茶拜. Upacara persembahan teh adalah salah satu bagian dari budaya leluhur Cina yang sudah diimplementasikkan turun temurun sampai sekarang, upacara ini terus dilaksanakan dan dilestarikan walau dengan konsep yang berbeda seiring dengan berkembangnya jaman. Meskipun demikian, makna dari Upacara Persembahan Teh tetap sama, yakni untuk menghormati orang tua dari kedua mempelai dan saudara-saudara yang dituakan dalam keluarga.

Marriage is one of the three main occasions in the life of the Chinese, besides birth and death. Therefore, Marriage in Chinese culture cannot be separated from its wedding rituals, specifically Tea Offering Ceremony ritual. Tea offering ceremony is a part of old Chinese culture that has been implemented until present days, this ceremony continues to be implemented and preserved with several conceptual changes to adjust to the modern era. Nevertheless, the significance of this ceremony remains the same, which is to honor the parents and the elders in the families of the bride and groom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Firdha Amalia Nurdiwanti
"ABSTRAK
Upacara minum teh di Jepang di sebut sebagai Chanoyu. Chanoyu merupakan ritual tradisional yang menerapkan kedisiplinan, tujuan hidup dan cara berpikir. Teh bubuk hijau pekat yang di buat dan disuguhkan kepada tamu adalah pengaruh kuat dari Zen Buddha. Jepang menganut sistem Ie yang menempatkan wanita pada posisi kedua. Chanoyu menerapkan sistem Ie yang berbeda, pemimpin ritual bukan dilihat berdasarkan gender namun keahlian seeoarng dalam memahami dan mendalami pembuatan teh. Periode Meiji wanita diajarkan untuk menjadi wanita yang ideal yaitu ryosai kenbo. semenjak itu kurikulum sekolah khusus wanita di periode meiji menerapkan pelajaran moral kepada murid nya melalui Chanoyu. Setelah Perang Dunia ke II berakhir wanita tertarik kepada Chanoyu untuk melapaskan diri dari peran seorang Istri dan Ibu, untuk bersosialisasi di luar rumah. Wanita muda yang belum menikah mengikuti Chanoyu untuk melatih diri sebagai calon Istri dan Ibu yang baik. Mayoritas kaum Pria yang menduduki jumlah pemimpin ritual chanoyu kini berbading terbalik. Sejak saat itu peran wanita Jepang di dalam Upacara minum teh Jepang berubah.

ABSTRACT
The Japanese tea ceremony is called chanoyu. chanoyu is a traditional way to express a dicipline, way of life, and the way of thinking. Green thick powder tea that is make and serve to the guests actively strongly influenced by Zen Buddhism. Japan has a system Ie that put woman in a second position. Chanoyu has a different system of Ie, in this system the leader of Chanoyu is not seen by a gender but by how that person realling pursuing themselves into the skills and mastery in the tea ceremony. At the Meiji Period woman are teach as an ideal woman that is called ryosai kenbo. since then they put chanoyu into their curricullum especially for girl rsquo s school to teach them a moral lesson that adopted from chanoyu. After the world war II end woman are into Chanoyu because of to release a role from a mother and a wife, and to socialize outside the house. Young woman who are not yet married, get into the Chanoyu class to prepare themselves to become a good wife and good mother. Whereas the great majority of the chanoyu rsquo s leader, the resulted now overturned. Since that time Japanese woman roles in Japanese Tea Ceremony has changed."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Shaumi Widyanisa
"Skripsi ini membahas memahami kebudayaan Jepang dengan melalui sebuah ritual chado atau upacara minum teh. Upacara minum teh yang merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang ternyata dapat mewakili nilai kebudayaan Jepang yang begitu kompleks. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa orang Indonesia perlu memahami kebudayaan Jepang sebelum berinteraksi dengan orang Jepang; frame sangatlah penting bagi orang Jepang dalam memposisikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari; selain itu juga adanya hubungan vertikal dan hubungan horizontal yang mempengaruhi bagaimana pola interaksi orang Jepang.

This thesis discusses the understanding of Japanese culture through a Chado or tea ceremony. Tea ceremony, which is one of Japanese culture represents the values of Japanese culture; which is so complex. Qualitatively researched through descriptive design, the results suggest that Indonesian people need to understand Japanese culture before interacting with the Japanese; frame is very important to the Japanese people in positioning themselves in every size of daily life. Also it is found that there is a vertical and horizontal relation that affect how the interaction patterns of the Japanese."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S44443
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Layla Kautsarrani
"

Skripsi ini membahas tentang makna tradisi upacara minum teh di Jepang (Chanoyu) dan kaitannya terhadap fungsi ruang dan estetika. Upacara minum teh di Jepang mengalami perkembangan, berawal dari pengobatan sampai menjadi sebuah ritual upacara. Upacara minum teh Jepang merupakan salah satu budaya turun menurun yang masih aktif dilaksanakan hingga sekarang, dimana dalam masyarakat Jepang budaya kesenian dan keagamaan Budha berpengaruh di setiap aspek kehidupan masyarakat Jepang, maka dari itu upacara minum teh di Jepang menarik untuk di bahas. Tujuan dari penelitian adalah menjelaskan makna upacara minum teh Jepang dan kaitannya terhadap space (ruang) dengan penerapan Zen, Tao dan prinsip estetika Wabi-Sabi.

 

 


This thesis discusses the meaning of the tradition of the tea ceremony in Japan (Chanoyu) and its relation to space. The tea ceremony in Japan is developing, starting from medicine to becoming a ceremonial ritual. Japanese tea ceremony is one of the hereditary cultures that is still actively carried out until now, where in Japanese society Buddhist culture and religious culture influences in every aspect of Japanese people's life, therefore the tea ceremony in Japan is interesting to discuss. The purpose of this research is to explain the meaning of Japanese tea ceremony and its relation to space with the application of Zen, Tao and Wabi-Sabi aesthetic principles.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Ekspresibuku, 2007
390 JAG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhanti Parama Sany
"Skripsi ini menjelaskan hubungan antara simbol dan ritual dalam kebudayaan Masyarakat Desa Pangkalan, Kabupaten Cirebon. Hal tersebut dapat tergambarkan dalam sebuah pertunjukan tari topeng Cirebon di upacara adat Mapag Sri yang masih dianggap sakral hingga saat ini. Padahal, saat ini masyarakat Desa Pangkalan merupakan masyarakat yang terbuka, dengan akses transportasi yang memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan kehidupan kota dan lebih mengedepankan sifat-sifat rasional. Interaksi dengan kehidupan kota terjadi sebagai salah satu cara masyarakat Desa Pangkalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang semakin kompleks. Namun, di balik pemenuhan kebutuhan yang semakin kompleks, masyarakat Desa Pangkalan masih mempertahankan upacara adat Mapag Sri dengan pertunjukan tari topeng yang dianggap sakral dan penting sebagai bagian dari upacara adat Mapag Sri hingga saat ini. Oleh karena itu, pertunjukan tari topeng Cirebon dalam upacara adat Mapag Sri merupakan objek penelitian skripsi ini.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan konsep simbol dari Clifford Geertz, yaitu ikon. Ikon merupakan simbol suci yang mampu menyatakan, menyembunyikan, dan menghadirkan yang suci dalam kenyataan. Apalagi, jika ikon ini dihubungkan dengan mitologi, kosmologi, dan kepercayaan sehingga ikon memiliki sifat sakral. Dalam penelitian ini, ikon diletakkan dalam upacara dengan pertunjukan topeng, topeng, hingga dalang yang menarikan tari topeng Cirebon. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang mampu merepresentasikan hubungan antara simbol, kebudayaan, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat Desa Pangkalan akan kehadiran yang suci ke dalam kenyataan melalui pertunjukan tari topeng Cirebon dalam upacara adat Mapag Sri hingga saat ini.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Kualitatif-Interpretatif. Dengan menggunakan metode ini, peneliti bukan hanya memcari informasi, tetapi lebih kepada untuk memahami suatu objek penelitian berdasarkan makna dan nilai masyarakat yang besangkutan. Dalam hal ini, objek studi dalam metode ini adalah sistem nilai masyarakat yang bersangkutan atau, disebut Clifford Geertz, sebagai logico-meaningful. Dengan menempatkan pertunjukan, topeng, dalang, maupun upacara yang diletakkan ikon, penelitian ini dapat menjelaskan sistem nilai yang tetap diacu sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Desa Pangkalan hingga saat ini.

This undergraduated thesis describes the relation between symbols, ritual and culture of Pangkalan village society in Cirebon regency. That relation can be seen in a Topeng dance (Mask dance in English ) performance on Mapag Sri tradition ceremony, which still as the sacred one until now. Although nowadays the society in Pangkalan village is open minded society, which seen in a transportation access to the city.. This access make them more to interact with the city life and trust to rational characteristics. The interaction to the city life is one of their ways of completing the needs from an emerging complex society. However, behind the needs of an increasingly complex, society of Pangkalan village still retain traditional ceremony Mapag Sri dance with masks. They belief that this ceremony considered sacred and important part of traditional ceremonies until this day. Therefore, the Cirebon mask dance performance in traditional ceremonies Mapag Sri is the object of research this essay.
The Research was conducted with the use of symbols from Clifford Geertz, Ikon. It is a holy symbol that is capable to clarify, hide, and represent the sacred in to the reality. The Ikon is associated with the mythology, cosmology and the belief of Pangkalan village society, because of that, make ikon has a sacred nature. In this research, Ikon was placed in the mask ceremony, the face mask itself, and the Dalang (mastermind of ceremony) of the Cirebon mask dance. They are a unit that is capable of representing the relations between symbols, culture and community needs of the Pangkalan village to the presence of the holy into reality through the Cirebon mask dance performance in the traditional ceremony of Mapag Sri until now.
The research method used in this research is the Qualitative Method-Interpretative, by using this method, researcher not only looking for information but more to understand the object of a research based on the meaning and value of pertinent community. In this case, the object of study in this method is the value system of society involved or what Clifford Geertz referred as the logico-meaningful. With the mask ceremony, the mask itself, the ?Dalang?, and the ritual where the icon is placed, then this research may explain the value system that still referred as part of the Pangkalan village society culture until to this day."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>