Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Mitharani Putri
"Komponen makna merupakan kajian linguistik mengenai unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Penelitian ini membahas komponen makna kata bodoh dan kata-kata yang bersinonim dengan kata bodoh. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah kata-kata yang bersinonim dengan kata bodoh dalam Tesaurus Bahasa Indonesia merupakan kata-kata yang tepat untuk sinonim kata bodoh. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan komponen makna kata bodoh dan sinonimnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kata bodoh dan kata-kata yang bersinonim dengan kata bodoh dari Tesaurus Bahasa Indonesia. Data dianalisis dengan menggunakan teori komponen makna yang dikemukakan oleh Nida (1977). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua sinonim kata bodoh adalah sinonim. Kata yang bukan sinonim kata bodoh adalah dogol, domot, odoh, dan jahil. Peneliti menemukan kata-kata tersebut sudah tidak bermakna ‘bodoh’ pada konteks terbaru. Kata-kata yang bersinonim dengan kata bodoh termasuk dalam sinonim dekat (near synonym) dan secara garis besar memiliki tiga klasifikasi makna, yaitu (1)‘seorang yang bodoh karena menderita penyakit’, (2)‘seorang yang bodoh karena tumpul otak’, dan (3)‘seorang yang bodoh karena lambat berpikir dan bertindak spontan’. Penelitian ini menghasilkan makna kata-kata yang bersinonim dengan kata bodoh sehingga data penelitian ini dapat memberikan kritik dan masukan dalam penyusunan definisi kata bodoh dan sinonimnya untuk Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi VI (KBBI 6).

The meaning component is a linguistic study of lexical elements consisting of one or several elements that together form the meaning of the word or the meaning of the lexical element. This study discusses the components of the meaning of the word stupid and words that are synonymous with the word stupid. The formulation of the problem of this research is whether the words that are synonymous with the word stupid in the Indonesian Thesaurus are the right words for the synonym of the word stupid. The purpose of this study is to explain the components of the meaning of the word stupid and it’s synonyms. The research method used is a qualitative method with library research techniques. The data used in this study are the word stupid and words that are synonymous with the word stupid from the Indonesian Thesaurus. The data were analyzed using the meaning component theory proposed by Nida (1977). The results show that not all synonyms for stupid are synonyms. Words that are not synonyms for stupid are dogol, domot, bodoh, and jahil. Researchers found these words no longer mean 'stupid' in the latest context. Words that are synonymous with the word stupid are included in near synonyms and broadly have three classifications of meaning, namely (1)'a person who is stupid because he has an illness', (2)'a person who is stupid because of a dull brain', and (3) 'one who is stupid because he is slow to think and act spontaneously'. This research produces the meaning of words that are synonymous with the word stupid, so that the data of this study can provide criticism and input in the preparation of the definition of the word stupid and its synonyms for the Great Dictionary of The Indonesian Language (KBBI 6).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Muis
Jakarta: Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional, 2010
499.221 MUH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Siti Maulidiya
"Kata aing adalah salah satu pronomina persona pertama tunggal dalam bahasa Sunda yang saat ini mulai digunakan dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri perkembangan kata aing dalam bahasa Sunda dan menjelaskan penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan data secara deskriptif. Selain itu, penelitian ini juga berlandaskan kajian sosiolinguistik berupa variasi tingkat tutur. Data yang digunakan diambil dari naskah abad ke-16 berjudul Carita Parahyangan, naskah abad ke-18 berjudul Carita Waruga Guru, dan novel abad ke-20 berjudul Babalik Pikir sebagai data bahasa Sunda dan korpus deipzig Corpora Corporation (LCC) sebagai data bahasa Indonesia.  Hasil analisis menunjukkan bahwa kata aing pada naskah abad ke-16 digunakan pada empat variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah, penutur kelas lebih rendah kepada mitra tutur kelas lebih tinggi, penutur dan mitra tutur dari kelas sosial yang sama, dan penutur kepada dirinya sendiri, pada naskah abad ke-18 kata aing digunakan pada dua variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah dan penutur kepada dirinya sendiri, dan pada naskah abad ke-20 digunakan pada tiga variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah, penutur dan mitra tutur dari kelas sosial yang sama, dan penutur kepada dirinya sendiri. Sementara itu, kata aing dalam bahasa Indonesia digunakan pada empat variasi tingkat tutur, yaitu penutur kelas lebih tinggi kepada mitra tutur kelas lebih rendah, penutur kelas lebih rendah kepada mitra tutur kelas lebih tinggi, penutur dan mitra tutur dari kelas sosial yang sama, dan penutur kepada dirinya sendiri.

Aing is one of the first-person singular pronouns in the Sundanese language that is currently starting to be used in Indonesian. This research aims to trace the development of the word of aing in the Sundanese language and its usage in Indonesian. The study employs a qualitative method by describing the data descriptively. Additionally, it is grounded in sociolinguistic studies, focusing on variations in speech levels. The data used is extracted from 16th-century manuscripts titled Carita Parahyangan, 18th-century manuscripts titled Carita Waruga Guru, and a 20th-century novel titled Babalik Pikir as Sundanese language data. The Leipzig Corpora Corporation (LCC) corpus is used as Indonesian language data. The analysis results indicate that the word of aing in 16th-century manuscripts is used in four variations of speech levels: speakers of higher classes to lower-class interlocutors, speakers of lower classes to higher-class interlocutors, speakers and interlocutors from the same social class, and speakers referring to themselves, in 18th-century manuscripts, the word of aing is used in two variations: speakers of higher classes to lower-class interlocutors and speakers referring to themselves, and in 20th-century manuscripts, aing is used in three variations: speakers of higher classes to lower-class interlocutors, speakers and interlocutors from the same social class, and speakers referring to themselves. Meanwhile, the word of aing in Indonesian is used in four variations of speech levels: speakers of higher classes to lower-class interlocutors, speakers of lower classes to higher-class interlocutors, speakers and interlocutors from the same social class, and speakers referring to themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sabarti Akhadiah
Jakarta: Erlangga, 1994
499.221 1 SAB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widhyasmaramurti
"Setiap orang, saat menjalani hidupnya tidak pernah terlepas dari emosi. Emosi, atau rasa hati, juga dapat diartikan sebagai bentuk rasa takut, marah, cinta, dan lain-lain (Eysen, 1975: 321). Adapun rasa marah, dapat berupa rasa ketidaksukaan, ketidakpuasan, antipati, sakit hati, ataupun benci yang timbal dalam diri seseorang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S11706
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Yasmin Pratiwi
"Bahasa anak muda bersifat dinamis dan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Di Jepang, salah satu kata yang mengalami perkembangan tersebut adalah kata egui. Kata egui awalnya bermakna ‘intens’ dan ‘brutal’. Makna awal kata egui tersebut, mulanya digunakan dalam konteks ujaran yang negatif. Namun, akhir-akhir ini kata egui juga digunakan dalam konteks ujaran yang positif, sehingga tampaknya kata egui mengalami perluasan makna. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perluasan makna kata egui dalam wakamono kotoba (bahasa anak muda Jepang). Sumber data penelitian ini diambil dari ujaran-ujaran di media sosial Twitter. Untuk membantu analisis makna egui, disebarkan kuesioner kepada penutur jati bahasa Jepang. Hasil penelitian menemukan bahwa kata egui dapat memiliki makna sugoi, totemo, kakkoii, dan kawaii. Walaupun begitu, makna awal kata egui seperti kitsui, mugoi, tsurai, serta mazui juga masih tetap digunakan. Selain itu, dalam penggunaannya, kata egui dapat digunakan sebagai adjektiva, interjeksi, dan adverbia

The languange of young people is dynamic and continues to develop with the times. In Japan, one of the words that has experienced this development is the word egui. The word egui originally meant ‘intense’ and ‘brutal’. The initial meaning of the word egui, was originally used in a negative context of speech. However, lately the word egui is also used in a positive context of speech, so it seems that the word egui has other meanings. Based on this, the meaning of egui is broadening. Thus, the purpose of this study is to explain the broadening meaning of the word egui in wakamono kotoba (Japanese youth language). The data sources in this study were taken from speeches on Twitter. To help analyze the meaning of egui, a questionnaire was distributed to native Japanese speakers. The result of the study found that the word egui can have the meanings of sugoi, totemo, kakkoii, and kawaii. Even so, the initial meaning of egui such as kitsui, mugoi, tsurai, and mazui are still used. In addition, in its use, the word egui can be used as an adjective, interjection, and adverb."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cokorda Gde Angga Indra Pratama
"Penelitian ini membahas komponen makna cerdas dan pintar dalam bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI digunakan sebagai korpus data dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komponen makna cerdas dan pintar, dan relasi makna dari cerdas dan pintar. Teori yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain teori makna yang berdekatan, teori komponen makna, dan teori relasi makna digunakan untuk tercapainya tujuan tersebut. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa cerdas memiliki 25 komponen makna, sedangkan pintar memiliki 39 komponen makna. Dari komponen makna ini diperoleh relasi makna antara cerdas dan pintar, yaitu relasi makna sinonim dekat.

This research analyze component meaning of cerdas and pintar in Indonesian language. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI is used as corpus data in this research. The aim of this research is to determine component meaning of cerdas and pintar, and to determine semantic relation between cerdas and pintar. To reach the objectives of the research, the researcher used component meaning theory, and semantic relation theory. The result of this research showed that cerdas has 25 component meaning while pintar has 39 component meaning. The result also showed that semantic relation between cerdas and pintar is a close synonym relation. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S67391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Yulianto
"Dalam Kamus Bahasa Jawa Bausastra Jawa Edisi ke 2 (KBJ (BJ) 2) yang terbit tahun 2011, ditemukan 19 kata bermakna ‘minum’. Kesembilan belas kata bermakna ‘minum’ ini memiliki definisi kata yang sederhana dan bersifat kurang mendetail. Komponen-komponen makna yang digunakan sebagai unsur dalam pendefinisian kata juga belum dijelaskan secara lengkap. Hal demikian dapat memicu terjadinya ketidaktepatan penggunaan kata minum. Oleh sebab itu, penelitian ini membahas mengenai analisis komponen makna kata minum dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kamus KBJ (BJ) 2 sebagai sumber data. Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan komponen makna kata minum dalam bahasa Jawa yang ada di dalam KBJ (BJ) 2. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan semantik leksikal. Dengan menggunakan teori Nida (1975), hasil penelitian menunjukkan adanya 1 komponen makna utama, 4 komponen makna pembeda, dan 28 komponen makna pelengkap. Komponen-komponen makna tersebut dapat ditambahkan dan disusun untuk melengkapi pendefinisian kata minum di dalam kamus monolingual bahasa Jawa berikutnya setelah KBJ (BJ) 2. Pendefinisian kata minum dalam KBJ (BJ) 2 belum menjelaskan mengenai komponen makna terkait pelaku tindakan minum, objek yang diminum, posisi mulut maupun bibir saat minum, peranti yang digunakan, dan cara melakukannya.

In Javanese Dictionary Bausastra Javanese 2nd Edition (KBJ (BJ) 2) published in 2011, found 19 words meaning 'drink'. The nineteen words meaning 'drink' have simple word definitions and are less detailed. The meaning components used as elements in defining words have not been fully explained. This can lead to the occurrence of inaccuracies in the use of words drink. Therefore, this study discusses the analysis of word meaning components drink in Javanese using a dictionary KBJ (BJ) 2 as a data source. The purpose of this research is to describe the components of word meaning drink in the Java language that is inside KBJ (BJ) 2. This research method is a qualitative descriptive method with a lexical semantic approach. By using Nida's theory (1975), the results of the research show that there is 1 main meaning component, 4 differentiating meaning components, and 28 complementary meaning components. These meaning components can be added and arranged to complete the word definition drink in the next Javanese monolingual dictionary after KBJ (BJ) 2. Word definitions drink in KBJ (BJ) 2 has not yet explained about the related meaning components the perpetrator of the act of drinking, the object that is drunk, the position of the mouth and lips when drinking, the device used, and how to do it."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dance Wamafma
"Modalitas imperatif pada tataran semantik dikaji secara morfosintaksis untuk menguak makna yang berpangkal pada verba dan makna relasionalitas yang ditimbulkan oleh adanya hubungan makna antarverba dengan unsur lain dalam suatu kalimat. Analisis dilakukan secara terpisah di mana bahasa Jepang dan bahasa Indonesia diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa bersangkutan.
Konsep dasar yang merupakan takaran pada tataran imperatif dirumuskan sebagai; "Aktualisasi peristiwa was desakan bersifat ajaran". Makna ini dirumuskan oleh Nitta Yoshio dalam bahasa Jepang dengan sebutan `hatarakikake', yaitu `haraku' bertindak, bekerja, dan `kakeru' ujaran. Konsep ini dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia ternyata mendasari suatu pandangan tentang pikiran manusia yang dapat diamati melalui kalimat dan unsur-unsurnya pada kategori modalitas imperatif, yang mencakup, modalitas perintah, modalitas permohonan atau permintaan, modalitas permohonan negatif, modalitas larangan, modalitas perintah negatif, dan modalitas izin.
Aspek-aspek di atas pada tataran konsep yang sama itu dikontrastifkan untuk menguak perbedaan bentuk bahasa, kedudukan semantis modus, dan cakupan makna modalitas yang juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti kedudukan sosial pelaku bahasa (pembicara dan lawan bicara) dan hubungannya dengan penanda imperatif dalam kalimat. Kedua bahasa akhirnya dapat dinyatakan memiliki perbedaan yang sangat lebar, yaitu (1) untuk membentuk modus imperatif, proses morfemis verba bahasa Jepang berciri infleksi sementara bahasa Indonesia menggunakan afksasi. (2) Makna imperatif kedua bahasa memperlihatkan cakupan makna yang cukup banyak. Misalnya pernarkah jangan' dalam bahasa Indonesia dapat diungkapkan dalam bahasa Jepang dengan permohonan negatif, larangan, perintah negatif. (3) Unsur lain seperti partikel khusus dalam kalimat perintah tidak ditunjukkan oleh bahasa Indonesia. Misalnya partikel 'g-a' yang menyatakan makna kepelakuan pada subjek dalam kalimat perintah bahasa Jepang. Ini sangat jelas diamati karena tata bahasa Indonesia tidak mengenal struktur dengan kata bantu seperti dalam jenis rumpun bahasa tleksi. (4) Hubungan sosial pelaku bahasa dalam kalimat imperatif banyak mempengaruhi terbentuknya verba bahasa Jepang. Sehingga bentuk-bentuk infleksi verba bahasa Jepang erat kaitannya dengan subjek pelaku dan pembicara dalam tataran deontik, Hal mana ini tidak terjadi dalam bahasa Indonesia. (5) Penanda imperatif bahasa Jepang dapat menunjukkan restriksi yang berbeda-beda dengan penanda modalitas imperatif lain. Pada bahasa Indonesia tidak ada. (6) Konstruksi dasar imperatif bahasa Jepang adalah infleksi verba sedangkan dalam bahasa Indonesia berbentuk kata dasar untuk larangan dan dalam bahasa Indonesia untuk penghalus perintah menggunakan prefiks 'di + verba dasar', 'verba dasar + sufiks lalr', 'verba dasar + kan'. (7) Terdapat bentuk imperatif untuk anak kecil dalambahasa Jepang, seperti `te + choudai', sini!, hal mana tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. (8) Penanda izin dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan adverbia `boleh + verba dasar', sementara dalam bahasa Jepang dinyatakan dengan ajektifa dalam konstruksi 'sufiks te mo ii', atau 'sufiks te mo yoi', atau verba negasi `kamau'. (9) Letak kata pembentuk larangan negatif `jangan' dengan penanda 'na' berlawanan, misalnya pada kata 'jangan makan' (BI), `taberu na', makna jangan, cakupan maknanya pun berbeda. Adverbia 'na' menyatakan perintah negatif sedangkan 'jangan' dapat memaknai perintah negatif, larangan, permohonan negatif dan lain-lain. "Na" wajib hadir di belakang verba bentuk kamus sementara `jangan' terletak di depan verba yang dapat melesap. (10) Hubungan antar penanda permohonan dalam makna keinginan `tai' dengan pesona 1,2,3, dapat dibedakan berdasarkan bentuk mofologi verbanya. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. (11) Perbedaan budaya dan tingkat sosial turut menentukan terbentuknya infleksi verba yang digunakan pelaku bahasa."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alrom Trisena Edriasa
"ABSTRAK
Indonesia telah mengalami kontak bahasa dengan Belanda. Hal tersebut disebabkan oleh pendudukan Belanda selama lebih dari 350 tahun. Salah satu hasil kontak bahasa tersebut adalah adanya kata serapan yang dipergunakan dalam istilah bangunan yang mengacu pada proses, bahan-bahan dan alat-alat. Dalam paper ini, akan dipaparkan bentuk-bentuk kata serapan dan perbedaan ejaan dan makna antara istilah bangunan hasil serapan dalam bahasa Indonesia dengan istilahnya dalam bahasa donor. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif disimpulkan bahwa perubahan makna dan ejaan didasarkan pada perbedaan budaya dan sistem bahasa yang berlaku.

ABSTRACT
Indonesia has a language contact with Netherlands. This is due to Netherlands 39; occupation in Indonesia for more than 350 years. One of the impacts of the language contact is the word absorption in the field of architecture that refers to the process, materials, and tools. This paper will explain about the forms of word absorption, the spelling differences, as well the meaning differences between the architectural terms that have been absorbed into Indonesian word using the donor language 39;s term. Using a qualitative descriptive method, it can be concluded that the changes of both meaning and spelling are based on a culture and system of the language that is used. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>