Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shippen, Eugene
"Testosterone therapy can improve the overall health and feeling of well-being of aging men, improving sex drive, mental functions, and energy levels and reducing the risk of cardiovascular disease."
Toronto: M. Evans, Lanham, Md., 2007
615.366 SHI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Basukarno
"Follicle-stimulating hormone (FSH) dan Testosteron merupakan hormon penting untuk spermatogenesis. Peningkatan FSH serum dan penurunan testosteron berhubungan dengan spermatogenesis abnormal. Azoospermia dapat diklasifikasikan sebagai azoospermia obstruktif dan nonobstruktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai batas untuk pemeriksaan testosteron dan FSH dalam memprediksi azoospermia obstruktif dan non-obstruktif. Dari 1.064 pasien, 120 pasien memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 66,7% pada kelompok obstruktif dengan 33,3% pada kelompok non-obstruktif. Tidak ada perbedaan dalam hal usia (36,83 vs 36,62 tahun). Testosteron adalah 405.54 ± 186.14 ng/dL vs 298.84 ± 161.45 ng/dL (p = 0.002) sedangkan FSH adalah 8,53 ± 8,43 mIU/mL vs 20,12 ± 11,89 mIU / mL (p <0,001) untuk azoospermia obstruktif dan non-obstruktif masing-masing. Rata-rata testis 17,74 ± 4,03 cc dan 17,50 ± 4,23 cc sedangkan pada kelompok non obstruktif masing-masing 12,97 ± 5,18 cc dan 13,37 ± 5,31 cc untuk testis kiri dan kanan. Nilai FSH diatas 10,36 mIU/mL mempunyai sensitivitas 82,1% dan spesifisitas 79,5% untuk memprediksi azoospermia non obstruktif. Sayangnya, Testosteron tidak dapat digunakan untuk memprediksi klasifikasi azoospermia. Azoospermia obstruktif dan non-obstruktif dapat diprediksi menggunakan FSH tetapi tidak dengan kadar serum testosteron. Populasi testosteron yang lebih tinggi harus digunakan untuk studi lebih lanjut.

Follicle-stimulating hormone (FSH) and Testosterone are important for spermatogenesis. Increased serum FSH and decreased testosterone are related to abnormal spermatogenesis. Azoospermia can be classified as obstructive and nonobstructive azoospermia. This study aims to discover cut-off value of Testosterone and FSH in predicting obstructive and non-obstructive azoospermia. From 1064 patients, 120 fulfilled inclusion and exclusion criteria. There were 66.7% in obstructive with 33.3% in non-obstructive group. No difference in terms of age (36,83 vs 36,62 y.o). Testosterone were 405.54 ± 186.14 ng/dL vs 298.84 ± 161.45 ng/dL (p = 0.002) while FSH was 8,53 ± 8,43 mIU/mL vs 20,12 ± 11,89 mIU/mL (p < 0.001) for obstructive and non-obstructive azoospermia respectively. Average testicular were 17.74 ± 4.03 cc and 17.50 ± 4.23 cc while in non-obstructive group are 12.97 ± 5.18 cc and 13.37 ± 5.31 cc for right and left testis respectively. FSH value above 10.36 mIU/mL has sensitivity 82.1% and specificity 79.5% for predicting non-obstructive azoospermia. Unfortunately, Testosterone could not be used in predicting azoospermia classification. Obstructive and non-obstructive azoospermia could be predicted using FSH but not testosterone serum level. Higher testosterone population should be used for further study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nanis Sacharina Marzuki
"Defisiensi enzim 5 alfa-reduktase tipe 2 (D5AR2) merupakan penyakit genetik, yang disebabkan gangguan konversi testosteron (T) menjadi dihidrotestosteron (DHT). Diagnosis D5AR2 pada umumnya ditegakkan dengan rasio T/DHT dan analisis DNA gen SRD5A2, namun rasio T/DHT sering tidak konklusif, sehingga diperlukan pemeriksaan alternatif dalam diagnosis D5AR2, dalam hal ini dipilih rasio metabolit 5β/5αsteroid urin yakni rasio etiokolanolon/androsteron (Et/An) urin karena telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dan juga karena tersedia di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untukmembandingkan akurasi rasio T/DHT dan Et/An urin dalam diagnosis penyandang dan pembawa sifat D5AR2. Selain itu mengetahui pola mutasi gen SRD5A2 dan hubungan genotipe-fenotipe. Studi deskriptif potong-lintang dilakukan untuk mengetahui pola mutasi gen SRD5A2 dan hubungan genotipe-fenotipe dilakukandi Lembaga Eijkman, Jakarta sejak Juli 2016–September 2018. Studi komparatif dilakukan untuk membandingkan akurasi rasio T/DHT (dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI) dan rasio Et/An urin (dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta) dalam mendiagnosis penyandang dan pembawa sifat D5AR2, dilanjutkan dengan analisis kurva ROC (receiver operating characteristics) masing-masing rasio, dengan baku emas analisis DNA gen SRD5A2.
Enam puluh enam subjek penyandang 46,XY DSD dan 95 subjek keluarga peyandang direkrut dalam penelitian ini. Hasil analisis DNA gen SRD5A2 membagi subjek penyandang 46,XY DSD menjadi 37 subjek penyandang D5AR2 dan 29 subjek bukan penyandang D5AR2, dan subjek keluarga menjadi 53 subjek pembawa sifat dan 42 subjek bukan pembawa sifat D5AR2. Rasio T/DHT tidak berbeda bermakna antara penyandang dan bukan penyandang D5AR2, dan juga tidak berbeda bermakna antara pembawa sifat dan bukan pembawa sifat D5AR2. Nilai AUC rasio Et/An urin dalam mendiagnosis penyandang D5AR2 adalah 79,7% (IK 95% 69,0–90,4%, p < 0,001). Dengan nilai titik potong >0,95 didapatkan sensitivitas rasio Et/An urin dalam diagnosis D5AR2 adalah 67,57% dan spesifisitas 86,21%. Dengan nilai titik potong >0,99 didapatkan sensitivitas rasio Et/An urin dalam mendiagnosis pembawa sifat D5AR2 adalah 67,92% dan spesifisitas73,81%. Kombinasi rasio Et/An urin subjek penyandang dan salah satu keluarga dekatnya meningkatkan perkiraan akurasi diagnostik menjadi sangat baik (AUC menjadi 84,1% (IK 95% 74,3–93,9%, p < 0,001), dengan sensitivitas sangat baik (89,19%), namun spesifisitas kurang baik (57,69%). Enam jenis mutasi baru dideteksi, yaitu c.34delGinsCCAGC, R50H, W136stop, G191R, F194I, I253V, dan 7 mutasi lain. Tidak ada hubungan nyata genotipe dan fenotipe.

The 5 alpha-reductase type 2 deficiency (5ARD2) is a genetic condition associated with impairment in conversion of testosterone (T) to dihydrotestosterone (DHT), leading to undervirilization in 46,XY individuals. Diagnosis of 5ARD2 is mainly established by T/DHT ratio and molecular analysis. Yet, the T/DHT ratio often yielded in conflicting results, and the available urinary ratio of etiocholanolone/androsterone (Et/An) was selected as an alternative test.
This study aimedto compare the accuracy of T/DHT and urinary Et/An ratios in diagnosing 5ARD2 cases and carriers and to elaborate the molecular characteristics of SRD5A2 gene in 5ARD2 cases and the genotype and phenotype correlations.
Descriptive and comparative cross-sectional studies were conducted at the Eijkman Institute, Jakarta in year 2016–2018. The accuracy of T/DHT and Et/An ratios were compared using ROC (receiver operating characteristics) curve analysis in the cases and carriers group with molecular analysis of SRD5A2 gene as the gold standard. The molecular characterization of SRD5A2 gene and genotype-phenotype correlations were described.
Sixty six 46,XY DSD subjects and 95 subjects of their family members, who gave written consent or parental approval were recruited. Thirty seven 5ARD2 cases and 29 control were identified in 46,XY DSD subjects, and 53 carriers and 42 control of family members were confirmed by molecular analysis of SRD5A2 gene. The T/DHT ratios were not different significantly in cases and carriers group, while the AUC (area under the curve) of urinary Et/An showed 79.7% (95% CI 69.0–90.4%, p < 0.001). After determining cutoff values for diagnosing cases (>0.95) and carriers (>0.99), the sensitivity and specificity of urinary Et/An ratio in cases groups were 67.57% and 86.21%, respectively, and in carrier groups 67.92% and 73.81%, respectively. Simultaneous urinary Et/An ratios of cases and one of their closed family members increased the diagnostic accuracy with AUC of 84.1% (95% CI 74.3–93.9%, p < 0,001) and sensitivity 89.19%, yet the specificity of only 57.69%. Six novel mutations (c.34delGinsCCAGC, R50H, W136stop, G191R, F194I, and I253V), and 7 other mutations, which were G34Fs, c.699-1 G>T, V89L, Y128C, N193S, R227Q, and g.5352+15 T>C, in the SRD5A2 gene were detected. There were no clear genotype-phenotype correlations found.
Conclusion: The diagnostic accuracy of urinary Et/An ratio was good in 5ARD2 cases and carriers, and the accuracy was very good if the urinary Et/An ratios of cases and their closed family members were combined. The T/DHT ratio was inaccurate in diagnosing 5ARD2 cases. Six new mutations were detected.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrati Handini
"Dari tahun ke tahun, usia harapan hidup wanita Indonesia semakin meningkat. Sementara SDKI pada tahun 2003-2004 menyebutkan sekitar 21,1 % penduduk Indonesia yang telah memasuki usia menopause.
Menopause merupakan peristiwa fisiologis yang menyebabkan munculnya berbagai perubahan fisik, reproduksi dan psikis. Hal ini berhubungan dengan berhentinya fungsi indung telur yang mempengaruhi produksi hormon estrogen dan progesteron. Keadaan ini menyebabkan munculnya berbagai keluhan, gangguan atau penyakit, seperti sindroma menopause, osteoporosis, dan penyakit jantung koroner.
Untuk mencegah, dan mengurangi risiko kejadian tersebut, salah satu alternatifnya adalah dengan pemberian Terapi Sulih Harmon/Harmane Replacement Therapy (HRT). TSH adalah hormon pengganti yang diberikan kepada wanita menopause karena sudah tidak memproduksi estrogen lagi. TSH dapat mencegah, dan mengurangi resiko keluhan, gangguan atau penyakit akibat menopause. Penggunaan TSH sampai sekarang masih menimbulkan kontraversi di masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan penggunaan terapi sulih hormon pada pasien menopause. Sebagai variabel bebas adalah usia saat menopause, lama menopause, sindroma menopause, riwayat reproduksi, riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, riwayat penggunaan kontrasepsi, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan tentang terapi sulih hormon, anjuran dokter dan permintaan pasien.
Sedangkan sebagai varibel terikat adalah penggunaan terapi sulih hormon. Penelitian ini dilakukan di Klinik Menopause Yasmin Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik Menopause RSPAD Gatol Soebroto mulai bulan Januari 2003 - Desember 2004.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Sampel penelitian adalah pasien yang sudah menopause yang datang berkonsultasi di klinik menopause selama periode Januari 2003- Desember 2004. Jumlah sampel minimal ditetapkan kasus banding kontrol = 1 : 1, dengan tingkat kemaknaan 95% dan presisi 20%, diperoleh 105 responden untuk kelompok kasus dan 105 responden untuk kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan pemberian terapi sulih hormon adalah variabel riwayat penyakit, riwayat kontrasepsi hormonal, pengetahuan tentang terapi sulih hormon ananjuran dokter. Dari analisis multivariat didapatkan OR= 3,117 untuk variabel riwayat penyakit, OR = 2,381 untuk variabel riwayat menggunakan kontrasepsi hormonal, OR= 2,303 untuk variabel berpengetahuan linggi dan OR = 4.454 untuk variabel anjuran dokter.
Diperlukan upaya sosialisasi dan pendidikan yang berhubungan dengan masalah-masalah menopause dan penggunaan TSH kepada masyarakat luas. Hal ini harus didukung oleh kebijakan dari Departemen Kesehatan maupun organisasi profesi kedokteran tentang penatalaksanaan TSH, termasuk mempersiapkan tenaga yang handal untuk melaksanakan konseling pasca menopause.

Reasons on Use of Hormone Replacement Therapy for Menopausal Patients in Yasmine Perjan Menopause Clinic in Dr Cipto Mangunkusumo Hospital & Menopause Clinic RSPAD Gatot Subroto 2005.Through the years the life span of Indonesian women has been increasing. While in year 2003-2004 SDKI says that 21,1 % of Indonesian population is entering menopausal ages.
Menopause itself is a physiologic episode that causes many physical changes and in reproduction and psyche as well. It relates to the stop of the ovary function that affects the estrogen and progestine hormones. This condition will also affect other complaints on body, disorders or diseases, such as menopausal syndrome, osteoporosis, and coronary heart disease.
Hormone Replacement Therapy (HRT) is an alternative therapy to prevent and reduce the risks of those complaints. HRT aims to replace the hormone of a menopausal woman so that it could prevent and reduce the risks. But HRT user gives controversial with public
This research aims to find out the basic reasons for the patients to use the therapy. As free variables are the age by the time menopause starts, the length, the syndrome, the reproduction history of the patient and family, the history of contraception use, education, occupation and knowledge on HRT, doctor's advises and patients demands. As bond variable is the use of HRT. This research is conducted in Yasmin Perjan Menopause Clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and Menopause Clinic in RSPAD Gatot Soebroto starting January 2003 up to December 2004.
It uses primary and secondary data. The samples are patients with menopausal problem that already have a consultation in the clinic during period of January 2003 - December 2004. The total sample, with ratio = 1.1 minimally, with significant level 95% and precision 20%, is found respectively from 105 respondents each lbr case group and controlled group.
The result shows that the variables that related significantly to HRT are history of the diseases, hormonal contraception, knowledge on HRT and doctor's advises. From multi variant analysis it is found OR= 3, 1 17 times for variable of history o f disease, OR = 2,381 for variable of history on hormonal contraception, OR= 2,303 for variable with high education and OR= 4.454 for doctor's advises.
Finally it is necessary to socialize and to educate people relates to menopausal problems and use of HRT to the public. Policies are from Health Department and other Medical Profession Organization on HRT management. It is needed more experiences to do the menopausal consultation.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2005
T13579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Data Angkasa
"Pada tahun 2000, harapan hidup wanita Indonesia meningkat menjadi 67,5 tahun dan kelompok usia tua akan mencapai 8,2% dari seluruh populasi Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, usia harapan hidup wanita Indonesia akan mencapai 70 tahun. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, maka akan terjadi peningkatan penyakit-penyakit tua, khususnya pada wanita kejadian penyakit usia ma ini dihubungkan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Penurunan hormon ini telah dimulai sejak usia 40 tahun.
Menopause sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen pada wanita akan memberikan gejala-gejala yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Gejala-gejala yang mungkin timbul dibagi menjadi efek jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik (hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala), gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido), gejala urogenital (vagina kerng, keputihan, gatal pada vagina, iritasi pada vagina, inkontinensia urin), gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesteroi tinggi, HDL turun, LDL naik). Sedangkan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar.
Usia menopause perempuan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan Inggcis adalah 51,4, sedangkan di negara-negara Asia Tenggara adalah 51,09 tahum. Usia menopause untuk perempuan Indonesia adalah 50 tahun. Jika usia harapan hidup wanita Indonesia adalah 70 tahun, maka hampir 20 tahun lamanya mereka akan mengalami berbagai masalah kesehatan akibat kekurangan hormon estrogen. Dampaknya adalah kualitas hidup kaum perempuan akan berkurang. Gejala klimakterik disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen, maka pengobatannya adalah dengan pemberian hormon estrogen dari luar tubuh, yang dikenal dengan dengan istilah Hormone replacement therapy (HRT) atau istilah dalam bahasa Indonesia Terapi Sulih Hormon (TSH). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa pemberian TSH pada perempuan menopause dapat menghilangkan keluhan klimakterik, bahkan mencegah terjadinya patah tulang, penyakit jantung koroner, kanker usus besar, dementia ripe Alzheimer dan katarak. Dengan kata lain pemberian TSH dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan menopause."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredrico Patria
"Menjelang tahun 2000, harapan hidup wanita Indonesia meningkat menjadi 67,5 tahun dan kelompok usia tua akan mencapai 8,2 % dari seluruh populasi Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, usia harapan hidup wanita Indonesia akan mencapai 70 tahun. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, maka akan terjadi peningkatan penyakit-penyakit tua, khususnya pada wanita kejadian penyakit usia tua ini dihubungkan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Penurunan hormon ini telah dimulai sejak usia 40 tahun.
Menopause sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen pada wanita akan memberikan gejala-gejala yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Gejala-gejala yang mungkin timbul dibagi menjadi efek jangka pendek maupun efek jangka panjang. Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik (hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala), gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido), gejala urogenital (vagina kering, keputihan/infeksi, gatal pada vagina, iritasi pada vagina, inkontinensia urin), gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesterol tinggi, HDL turun, LDL naik). Sedangkan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar.
Osteoporosis sebagai salah sate efek jangka panjang akan memberikan dampak tersendiri. Prevalensi osteoporosis pada wanita usia 50-59 tahun adalah 24%, sedangkan pada wanita usia 60-70 tahun adalah 62%. Kejadian osteoporosis ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah usia pasca menopause akibat meningkatnya usia harapan hidup, dengan dampak akhirnya pada kejadian fraktur. Fraktur pada osteoporosis terjadi pada 25-30% wanita pasca menopause. Pada wanita pre menopause, estrogen akan menekan resorpsi tulang, sehingga pada saat pasca menopause dengan menurunnya kadar hormon estrogen maka efek tersebut juga akan menurun. Estrogen diperkirakan mengendalikan pembentukan osteokias dengan mengendalikan pembentukan interleukin (IL)-1, IL-6 dan Tumour Necrosis Factor (TNF)-a.
Dalam penanganan osteoporosis, pengobatan pengganti hormonal sangat diperlukan saat ini dan pemberian dosis rendah estrogen dengan dosis rendah progesteron yang digabung dengan kalsium, kalsitriol, senam beban dan aktivitas akan memberikan hasil yang cukup baik, yang ditunjukkan dalam kenaikan densitas tulang femur, lumbal dan radius. Pemberian estrogen juga akan membantu menghilangkan gejala-gejala menopause lainnya. Meskipun demikian terdapat kekhawatiran dari para wanita pasca menopause mengingat risiko untuk timbulnya keganasan pada pemakaian hormon pengganti ditambah dengan adanya perbedaan kebudayaan khususnya di negara-negara Asia yang membuat penerimaan terapi hormonal lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa.
Penelitian menunjukkan bahwa risiko keganasan pada endometrium pada wanita usia 50 tahun adalah 3%. Pemakaian hormon pengganti estrogen saja akan meningkat risiko keganasan 4-5 kali dalam 5 tahun pemberian dan 10 kali dalam pemberian Iebih dari 15 tahun. Gabungan estrogen dan progesteron akan menurunkan risiko kejadian keganasan pada endometrium dan pada payudara sampai sama dengan risiko tanpa pengobatan hormonal.
Pada penelitian lain ditemukan adanya peningkatan aktivitas enzim enzim peroxisomal proliferating activator receptor Alfa dan gamma yang dapat memicu keganasan pada payudara pada pemakai estrogen untuk jangka panjang. Penelitian World Health Initiative (WHI) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keganasan pada payudara sebesar 26 %, peningkatan sebesar 41% pada kejadian stroke, meskipun terjadi penurunan keganasan kolon 37% pada pemakaian hormon selama 5,6 tahun. Sehingga terapi sulih hormon tidak dianjurkan melebihi 5 tahun. Pada diskusi selanjutnya dikemukakan bahwa pemakaian estrogen pada usia di atas 54 tahun perlu diperhatikan kemungkinan peningkatan bahaya keganasan pada payudara."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Maulina
"Latar Belakang: Histerektomi adalah salah satu prosedur ginekologis yang paling banyak dilakukan pada wanita. Salah satu efek buruknya adalah perubahan fisik dan penampilan dalam bentuk gejala menopause, sering kali mengurangi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala menopause yang dialami oleh wanita premenopause yang menjalani histerektomi dengan salpingo-ooforektomi bilateral.
Metode: Penelitian deskriptif dengan metode kohort retrospektif dilakukan di RSUD dr. Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Semua wanita yang menjalani histerektomi total dengan salpingo-ooforektomi bilateral dilibatkan dalam penelitian ini. Pasien yang buta huruf atau tidak kooperatif dikeluarkan. Gejala menopause dibagi menjadi gejala vegetatif, psikosomatik, dan somatotropik. Setiap mata pelajaran ditindaklanjuti selama 6 bulan, mencatatmenopause gejala bulanan.
Hasil: Di antara 37 subjek dalam penelitian ini, 100% subjek mengalamimenopausegejala dalam 6 bulan pertama masa tindak lanjut. Kategori gejala yang paling sering dikeluhkan adalah gejala vegetatif (97,3%), diikuti oleh somatotropik (83,8%) dan gejala psikosomatik (70,3%). Prevalensi tertinggi keluhan darimenopause gejalanya adalah berkeringat (78,4%) dan muka memerah (75,7%), diikuti oleh nyeri otot (59,5%), suasana hati tidak stabil (54,1%), penurunan libido (51,4%), kelainan kencing (45,9%), kekeringan vagina (43,2%) ), masalah konsentrasi (43,2%), Insomnia (40,5%), kelelahan (29,7%), sakit kepala (5,4%), dan palpitasi (2,7%).
Kesimpulan: Wanita premenopause yang menjalani histerektomi akan mengalami gejala menopause dalam enam bulan pertama. Mengatasi dan mengelola setiap gejala menopause yang terjadi akan sangat penting dalam perawatan pasien pasca HTSOB.

Background:  Hysterectomy is among the most gynecological procedure done on women. One of its adverse effects is physical and appearance changes in form of menopausal symptoms, often reducing the quality of life. This study aims to investigate menopausal symptoms experienced by premenopausal woman undergoing hysterectomy with bilateral salpingo-oophorectomy.
Methods: A descriptive study with retrospective cohort method was conducted in dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Indonesia. All women undergoing total hysterectomy with bilateral salpingo-oophorectomy were included in this study. Illiterate or uncooperative patients were excluded. Menopausal symptoms were divided into vegetative, psychosomatic, and somatotropic symptoms. Each subjects was followed up for 6 months, noting menopausal symptoms monthly.
Results: Among 37 subjects in this study, 100% of subjects experienced menopausal symptoms in the first 6 months follow up period. The most commonly complained symptom category was vegetative symptoms (97.3%), followed by somatotropic (83.8%) and psychosomatic symptoms (70.3%). The highest prevalence of complaints from menopausal symptoms is sweating (78.4%) and hot flushes (75.7%), followed by muscle soreness (59.5%), unstable mood (54.1%), decreased libido (51.4%), urinary disorders (45.9%), vaginal dryness (43.2%), concentration problem (43.2%), Insomnia (40.5%), fatigue (29.7%), headache (5.4%), and palpitation (2.7%).
Conclusion: Premenopausal women undergoing hysterectomy would experience menopausal symptoms in the first six months. Addressing and managing each menopausal symptoms occurring would be essential in post HTSOB patient treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deiana Triseptiarani Ilma
"Menopause merupakan kondisi di mana siklus menstruasi berhenti selama 12 bulan berturut-turut, umumnya terjadi pada usia 48 hingga 60 tahun. Saat terjadi menopause pada usia 40-45 tahun disebut dengan menopause dini. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan data sekunder SDKI 2017 dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah perempuan umur 40-49 tahun dengan total sampling sesuai kriteria inklusi sebanyak 12.362 responden. Analisis yang digunakan yaitu regresi logistik sederhana dengan model faktor risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status merokok dengan kejadian menopause dini di Indonesia setelah dikontrol dengan faktor tempat tinggal dan status merokok by tempat tinggal dengan risiko 1,893 kali lebih besar terjadi pada perempuan perokok dibanding perempuan bukan perokok (OR= 1,893 95% CI: 1,429-2,506). Perempuan bertempat tinggal di pedesaan lebih berisiko 1,479 kali lebih besar dibanding perempuan yang bertempat tinggal di perkotaan. Hasil interaksi status merokok by tempat tinggal didapatkan perempuan merokok yang tinggal di perkotaan berisiko 6,63 kali lebih besar untuk mengalami kejadian menopause dini dibandingkan perempuan tidak merokok yang tinggal di perkotaan, sedangkan perempuan merokok yang tinggal di pedesaan berisiko 12,36 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian menopause dibandingkan perempuan di pedesaan yang tidak merokok. Penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian terhadap frekuensi merokok dan tingkat keterpaparan rokok untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

Menopause is a condition where menstrual cycles cease for 12 consecutive months, typically occurring between the ages of 48 to 60. When menopause occurs between the ages of 40-45, it is referred to as early menopause. This study is a quantitative research utilizing secondary data from IDHS 2017 with a cross sectional study design. The study population consists of women aged 40-49 years, with a total sample of 12,362 respondents based on inclusion criteria. The analysis used was simple logistic regression with a risk factor model. The research findings indicate a significant relationship between smoking status and the occurrence of early menopause in Indonesia, after controlling for place of residence and smoking status by place of residence, with a 1.893 times greater risk for early menopause among smoking women compared to non smoking women (OR=1.893, 95% CI: 1.429-2.506). Women residing in rural areas have a 1.479 times higher risk compared to women residing in urban areas. The interaction effect of smoking status by place of residence reveals that smoking women living in urban areas have a 6.63 times greater risk of experiencing early menopause compared to non-smoking women in urban areas, while smoking women in rural areas have a 12.36 times higher risk of experiencing menopause compared to non-smoking women in rural areas. Further research can explore the frequency of smoking and the level of exposure to obtain more accurate results"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaima Amalia
"Keamanan pangan merupakan salah satu isu internasional. Bahaya penggunaan antibiotik pada budidaya hewan menjadi salah satu penyumbang timbulnya resistensi pada manusia. DiIndonesia, lazim digunakan antibiotik sebagai growth promotor pada budidaya hewan.Larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan tertulis dalam Undang-UndangNo. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperjelasdengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Tesis ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan, khususnya faktor kesehatan, hukum, politik, dan ekonomi. Penelitian menggunakan studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ekonomi memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan faktor politik, hukum dankesehatan.

Food safety is an international issue. Using antibiotic in poultry production is dangerous and it could be caused of antibiotic antimicrobial resistance for human. In Indonesia, poultries using antibiotic as growth promoter AGP. The prohibition of hormones andantibiotics as feed additive using written in Act 18 of 2009 on Livestock and Animal Health, which is then clarified by the Regulation of the Minister of Agriculture No.14 Permentan PK.350 5 2017 on Classification of Animal Drugs. This thesis discusses the factors that influence the making policy of prohibiting the use ofhormones and antibiotics as feed additive, especially health, legal, politic, and economicfactors.This is a descriptive study by qualitative approach. The data were collected by of in depthinterview and literature review. The result is the economy factor is more influence thanpolitic, legal and health`s factor."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Candra
"ABSTRAK
Kanker menunjukkan suatu potensi untuk invasi baik in vitro maupun in vivo. Proses ini dimediasi oleh Methaderin (MTDH). Hipoksia-inducible factor-2α (HIF-2α) dapat meningkatkan ekspresi MTDH; Namun, sedikit diketahui tentang korelasi antara HIF-2α dan MTDH ekspresi dalam kanker payudara. Suatu studi telah menyelidiki hubungan antara HIF-2 dan MMP9. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara HIF-2 dan MTDH. Desain penelitian ini adalah analisis berpasangan dengan 48 sampel jarinagn kanker payudara sebelum dan sesudah Kemoterapi dan terapi hormonal yang terdiri dari 20 terapi hormonal dan 28 kemoterapi. Ekspresi mRNA HIF-2 dan MTDH diukur dengan menggunakan QRT-PCR. HIF-1 ekspresi protein dideteksi oleh teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH setelah terapi tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan sebelum terapi. Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH pada derajat histopatologi III tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan dengan histopatologi I dan II. Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH pada usia > 40 tahun tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan dengan <40 tahun. Spearman analisis korelasi mengungkapkan bahwa HIF-2α dan ekspresi MTDH secara signifikan berkorelasi (r = 0,632; P = 0.000). Hasil ini menunjukkan bahwa tingginya ekspresi HIF-2α dikaitkan dengan buruk nya prognosis pada pasien dengan kanker payudara dan menjadikan bahwa HIF-2α dan MTDH bisa menjadi penanda dari perkembangan kanker payudara.

ABSTRACT
Malignant cells show increased invasion potency in vitro and in vivo. This process is considered to be mediated by Methaderin (MTDH). Hypoxia-inducible factor-2α (HIF-2α) may upregulate MTDH expression; however, little is known about the correlation between HIF-2α and MTDH expressions in breast cancer. The current study investigated correlation between HIF-2 and MMP9 immunohistochemically according to various clinical and pathological features in 102 paraffin-embedded archival tissue block specimens from patients with breast cancer. Aim of this study is to investigate correlation between HIF-2 and MTDH. Design of this study is couple analysis with 48 breast cancer sample before and after Chemoteraphy and hormonal therapy comprises 20 hormonal therapy and 28 chemotheraphy. Expression of mRNA HIF-2 and MTDH were measured using qRT-PCR. HIF-1 protein expression was detected by enzim linked immunoabsorbant assay (ELISA). mRNA HIF-2 and MTDH expression after theraphy is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to before theraphy. mRNA HIF-2 and MTDH expression in Histopathology Grade III is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to histopathology grade I and II. mRNA HIF-2 and MTDH expression in >40 years old is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to <40 years old. Spearman correlation analysis revealed that HIF-2α and MTDH expression ons were significantly correlated (r = 0.632; P = 0.000). These results suggest that high HIF- 2α expression is associated with poor overall survival in patients with breast cancer, indicating that HIF-2α could be a valuable marker of breast cancer"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>