Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82313 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jeffry Senduk
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1984
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nizwar Said
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ,
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
I. G. N. Wila Wirya
"ABSTRAK
1. Gejala Kinis dan kelainan patologi anatomis penderita sindrom nefrotik dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab dan disebut idiopatik atau primer apabila penyebabnya belum diketahui.
Istilah 'lipoid nephrosis' mulai digunakan oleh Munk pada tahun 1913 untuk menjelaskan keadaan sejumlah penderita dengan edema proteinuria berat, hipoproteinemia dan hiperlipidemia. Pemeriksaan mikroskop cahaya pada jaringan ginjal penderita menghasilkan glomerulus tanpa kelainan, namun terlihat kelainan pada tubulus proksimal dengan titik-titik lemak di dalam selnya yang dianggap bersifat 'degeneratif'.
Pada observasi selanjutnya ternyata bahwa gejala-gejala yang sama dapat juga terjadi pada penderita dengan berbagai penyakit sistemik termasuk lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus dan amiloidosis. Gejala-gejala klinis ini timbul sebagai akibat adanya proteinuria yang berat apapun penyebabnya, oleh karena itu sebagai pengganti istilah ?liphoid nephrosis' disepakati untuk memakai istilah sindrom nefrotik (Epstein, 1917).
Umumnya sindrom nefrotik dibagi atas 2 golongan besar, yaitu yang primer atau idiopatik dan sekunder. Sindrom nefrotik primer penyebabnya belum diketahui dengan pasti, sedangkan yang sekunder ditimbulkan oleh berbagai penyakit utamanya, misalnya diabetes mellitus, malaria lain-lain.
Menurut Schlesinger dkk. (1966) frekuensi sindrom nefrotik di negara Barat adalah 2 per tahun per 100.000 orang anak di bawah umur 16 tahun. Sindrom nefrotik Kelainan Minimal (KM) merupakan kelainan terbanyak pada anak, yaitu 76,4% menurut ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children, 1978), 52,2% pada sari Habib dan Kleinknecht (1971), dan 64,3% pada seri yang dilaporkan oleh White dkk. (1970).
Kasus yang dikumpulkan penulis pada penelitian ini merupakan penderita yang tidak selektif, datang sendiri, belum pernah diobati diterima dari berbagai rumah sakit maupun sejawat di Jakarta. Penderita yang telah diobati sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Selanjutnya penulis akan membandingkan hasil penelitian sendiri dengan ISKDC oleh karena hasil penelitian badan ini juga mencerminkan penelitian penderita sindrom nefrotik yang prospektif, tidak selektif, belum diobati dan diterima dari berbagai pusat penelitian di dunia (10 negara di Eropa. Amerika Utara, Israel, dan Jepang).
Sebelum tahun 1970 di Indonesia belum ada laporan mengenai penderita sindrom nefrotik anak di dalam kepustakaan. Demikian juga mengenai pengobatan terhadap penderita-penderita ini belum mengikuti saran yang dianjurkan oleh ISKDC (1967), sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan atau dinilai dengan hasil laporan dari luar negeri.
Selama 10 tahun (1970-1979) pengamatan penulis pada para penderita sindrom nefrotik primer pada anak yang berobat ke Bagian IKA FKUI/RSCM di Jakarta, banyak yang menunjukkan kelainan tidak khas. Banyak di antara mereka disertai gejala hematuria, hipertensi serta kadar ureum darah atau kreatinin serum yang meninggi. Pada sindrom nefrotik murni kelainan-kelainan tersebut umumnya tidak ditemukan. Berdasarkan observasi tersebut di atas penulis beranggapan bahwa kasus-kasus yang ditemukan itu merupakan kasus sindrom nefrotik yang termasuk golongan bukan kelainan minimal (BKM)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D423
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannessa Wulandari
"Latar Belakang: Sindroma Guillain-Barre merupakan kondisi kritis dengan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan hiperkatabolisme sehingga meningkatkan risiko malnutrisi. Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot diafragma, dan meningkatkan risiko infeksi yang akan memperberat kondisi sakit kritis. Terapi medik gizi bertujuan menyediakan substrat energi, mengurangi responss metabolik terhadap stres, memicu responss imun, serta mempertahankan massa bebas lemak.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan sindroma Guillain-Barre berusia antara 21-58 tahun. Keempat pasien memiliki status gizi obes berdasarkan kriteria World Health Organization WHO Asia Pasifik. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada keadaan sakit kritis dimulai dengan enteral dini dengan target 20-25 kkal/kg BB fase akut dan protein 1,2-2 g/kg BB. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna. Mikronutrien diberikan vitamin D3, B, C, seng.
Hasil: Tiga pasien pulang dengan perbaikan kekuatan motorik dengan lama perawatan intensif yang bervariasi, sedangkan satu pasien masih dalam perawatan karena membutuhkan ventilasi mekanik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi adekuat menunjang proses penyembuhan penyakit dan memperbaiki kapasitas fungsional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Nurhiyani
"ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang optimal seorang anak, akan tetapi pengaruh gangguan susunan saraf pusat seperti palsi serebral merupakan faktor terpenting yang mungkin masih dapat dicegah lebih lanjut dengan penanganan dini (hendarto, 1982). Penanganan dini (pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi dini) gangguan susunan saraf pusat sangat penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu program pemerintah pada Repelita V yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai tulang punggung pembangunan.
Palsi serebral adalah gangguan pada suatu saat dalam masa perkembangan anak yang mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif, disebut juga 'Significant Developmental Motor Disability' (SDMD) (Abrams dan Panagakos, 1980). Kelainan ini dapat terjadi intrauterin
(pranatal), perinatal atau pascanatal. Walaupun sulit untuk meneliti secara retrospektif etiologi palsi serebral terutama yang berhubungan dengan faktor pranatal dan perinatal (Stanley, 1884), tetapi etiologi kelainan ini harus dicari, karena penting untuk pencegahan (Breland, 1985).
William John Little (1862) salah seorang pendiri disiplin ilmu bedah tulang di Inggris, pertama kali menghubungkan palsi serebral dengan kelainan pra dan perinatal, sehingga dahulu kelainan ini disebut sebagai 'Little disease'. Berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan dibuat penggolongan sebagai berikut: rigiditas hemiplegia, rigiditas paraplegia, rigiditas umum dan kelainan gerak tanpa rigiditas (Ingram, 1984). Saat ini dipergunakan penggolongan menurut WHO International Classification of Diseases (W.H.O., 1977) yakni: diplegia, hemiplegia, kuadriplegia, monoplegia, paraplegia, hipotonia,
kuadriplegia dengan atetoid dan paraplegia dengan hipotonia.
Dengan pelayanan dan kemajuan obstetrik yang baik, kemajuan unit perinatalogi, dan rendahnya angka kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, angka kejadian anak-anak dengan palsi serebral menurun. Pada tahun 1950-an angka kejadian palsi serebral 4-7/1000 kelahiran hidup, pada tahun 1980-an turun menjadi 1,5/1000 kelahiran hidup (Glenting, 1982).
Di negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteran tidak hanya menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, tetapi juga meningkatkan jumlah anak-anak yang dahulu biasanya meninggal sehingga akhirnya meningkatkan pasien gangguan perkembangan (Hendarto dkk., 1985).
Bobath & Bobath {1978) menekankan pentingnya pengobatan dini palsi serebral, sehingga pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak dipergunakan perkembangan refleks primitif dan beberapa reaksi tubuh sebagai suatu cara diagnostik dini gangguan pergerakan serebral. Dengan rehabilitasi media dini diharapkan tercapainya fungsi optimal pasien palsi serebral, karena disfungsi otak terjadi pada saat tumbuh kembang anak belum selesai dan masih berlanjut (Sachs, 1984). Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian klinis dan sesuai dengan teori Von Hoff (1981), yang mengatakan bahwa perbaikan kerusakan otak lebih baik pada anak daripada orang dewasa. Menurut d'Avignon dkk. {1981), metode diagnostik Voyta dapat mendeteksi palsi serebral secara dini dan ternyata penanggulangan fisioterapi dini dengan metode Voyta memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode Bobath. Gangguan perkembangan mental yang menyertai palsi serebral dapat merupakan penghalang untuk mencapai kemajuan pengobatan (Hendarto dkk., 1985). Pada kasus tertentu, sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan foto kepala, elektroensefalografi serta angiografi. Tetapi saat ini pada kasus palsi serebral dengan etiologi yang tidak jelas atau tidak diketahui, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonogragi kepala (Nwaesei dkk., 1988) dan "CT scan' kepala yang merupakan pemeriksaan tidak invasif (Kulakowski dkk., 1979; Kotlarek dkk., 1980; Taudorf dkk., 1984 ).
Phelps (1937) menyarankan untuk pertama kalinya pembentukan suatu unit rehabilitasi di Amerika, serta mempopulerkan penatalaksanaan multidisiplin terhadap pasien palsi serebral, seperti disiplin ilmu bedah tulang, saraf, nata, THT, ahli bina?.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Charitanadya Adhitama
"Latar Belakang : Sindroma Guillain Barre SGB , menyebabkan pasien gagal napas dan memerlukan perawatan dan pengawasan di unit ruang rawat intensif. Beberapa faktor risiko dipikirkan terhadap terjadinya gagal napas pada SGB, berdasarkan gejala klinis yang timbul saat pasien masuk rumah sakit.
Metode : Penelitian ini berdesain potong lintang dengan mengambil data sekunder dari pasien SGB yang menjalani perawatan inap di RSUPNCM sejak Januari 2010-Mei 2018. Data dianalisa dan dilakukan penghitungan dengan multivariat regresi logistik.
Hasil : Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria inklusi. Insiden terjadinya gagal napas pada pasien SGB sebesar 25. Kelemahan bulbar OR 26,964; IK 95 2,050-354,616 , disotonomia OR 71,646;IK 3,039-1689,312, dan total skor Medical Research Council MRC OR 0,871; IK 95 0,776-0,978 merupakan 3 variabel yang secara independen berisiko tinggi untuk terjadinya gagal napas pada SGB. Faktor risiko yang tidak berhubungan secara bermakna terhadap kejadian gagal napas adalah usia, riwayat antesenden infeksi, durasi awitan hingga admisi, arefleksia, kelemahan fasial, oftalmopegia, dan tipe patologi SGB.
Kesimpulan : Kelemahan bulbar, disotonomia dan total skor MRC merupakan faktor risiko untuk terjadinya gagal napas pada pasien SGB dan disarankan agar mendapatkan perawatan di Intensive Care Unit ICU.

Background Guillain Barre Syndrome GBS may cause respiratory insufficiency and requires care and supervision in the Intensive Care Unit. Several risk factors are thought to be the occurrence of respiratory failure in GBS, based on clinical characteristics at hospital admission.
Methods: A cross sectional study was conducted by taking secondary data from GBS patients who were admitted to the Cipto Mangunkusumo hospital from January 2010 to May 2018. Data were analyzed and calculated by multivariate logistic regression.
Results: A total of 59 patients met the inclusion criteria. The incidence of respiratory failure in GBS patients was 25 . Bulbar weakness OR 26,964 95 CI 2,050 354,616 , dysotonomia OR 71,646 95 CI 3,039 1689,312 , and total score of Medical Research Council MRC OR 0,871 95 CI 0,776 0,978 are 3 variables that are independently high risk for the occurrence of respiratory failure in GBS. Risk factors that are not significantly associated with respiratory failure are age, antecedent infection history, duration of onset to admission, areflexia, facial weakness, ophthalmopegia, and type of GBS pathology.
Conclusions: Bulbar weakness, dysotonomia and total MRC score were risk factors for respiratory failure in GBS patients and were advised to receive treatment in the Intensive Care Unit ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Ratnasari
"Background
Prodromal factors of Guillain-Barre syndrome (GBS) are often associated with previous viral infection (60%). The ailment supported by the acquired immunomediated disorder concept. Viral hepatitis is very rarely found in GBS, preceded by cytomegalovirus (15-18%), Campylobacter jejuni (28%), and Epstein-Barr virus (5%). There is no specific etiology of GBS because those viruses usually appear sporadically (subclinically). All hepatitis virus infection can cause neurological complications, including GBS.
Case Report
We report two cases of hepatitis A virus infection (HAV) in GBS patients in Dr. Sardjito General Hospital during 5 years of observation (1996-2000) from 92 GBS patients. The diagnosis of HAV was based on more than 2 times increment of transaminase enzyme, positive IgM anti HAV, negative HbsAg, and negative IgM ami HCV. The diagnosis of GBS was based on clinical symptoms of acute generalized paralysis, cerebrospinal fluid examination, and electromyelography. In both cases, sub-clinical and sporadic symptoms appeared several days before paralysis, which makes it more likely that the prodromal period of GBS occurred at the same time of HAV incubation period.
Discussion
The incidence of HAV in GBS patients during 5 years of observation was 2%. This corresponds with the case reported by Verona et al, 1996 and Pelletier et al, 1985, i.e. the presence of peripheral neuropathy (n. facialis and n. occulomotorius). Possible alternative pathways for hepatitis virus complicating as GBS are perivascular and endometrial peripheral nerve infiltration by mononuclear cells, T cell sensitization, stimulation of IL-2 growth factor surface receptor, and B cell stimulation. All of the conditions mentioned above causes necrotizing arteritis, vascular occlusion, and at the end, segmental demyelinization. Hepatitis virus may replicate in the central nervous system or peripheral nervous system, subsequently developing into multiple neuropathy disorder and poly arteritis.
Conclusion
The diagnoses of HAV and GBS in both cases were established. HAV is one of several viruses that may trigger GBS. In both cases, HAV infection was sub-clinical and sporadic. Symptoms of hepatitis infection subsided along with improvements in the patient's neurological status. Acute viral hepatitis has a wide clinical spectrum and laboratory manifestation that is in accordance with the severity, varying from unclear symptom (anicteric) to jaundice. Acute hepatitis A, B, C infections have the same symptoms in general. However, hepatitis B and C tend to be more severe. The mildest symptoms are transaminase enzyme level increment, no jaundice, gastrointestinal symptoms, flu-like symptoms, and sometimes it can not be diagnosed. The more severe symptoms are jaundice with obvious generalized symptoms.' The incidence of hepatitis A is difficult to be determined accurately because of its characters, i.e. sporadic, endemic, and has a high rate of asymptomatic infection.23-4"
2002
IJGH-3-2-Augustl2002-58
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vinchia
"Pasien trisomi21 memiliki peningkatan resiko leukemia terutama tipe Leukemia Mielositik Akut(LMA). Proses leukemogenesis terjadi dalam 3 hit. Hit pertama adalah trisomi 21, hit kedua adalah varian gen GATA1 dan hit ketiga adalah mutasi somatik lainnya. Hit pertama dan kedua cukup untuk menyebabkan Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola varian gen GATA1 dalam memengaruhi TAM. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pasien dianamnesa dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan patologi klinik dan ekstraksi DNA. DNA akan dilakukan PCR, elektroforesis dan Sanger Sequencing. Data akan dilakukan analisis bioinformatik. Subyek terbanyak berusia 0-1 bulan(45,75%), dilahirkan oleh ibu <35 tahun(78,1%) dan lebih banyak dijumpai pada kehamilan multipara(71,8%). Kelainan laboratorium yang paling sering adalah anemia, dan lebih banyak dijumpai pada pasien 0-1 bulan, kelahiran aterm dari ibu primipara. Dari hasil analisis bioinformatik ditemukan 79 varian dan pada 32 pasien, di antaranya 10 silent, 67 missense dan 2 nonsense. Pada pengujian patogenisitas, nonsense mutation dapat diklasifikasikan sebagai pathogenic. Pada pasien TAM lebih banyak dijumpai hanya gejala laboratorium(62.5%) daripada pasien dengan gejala klinis dan laboratorium(37.5%). Keseluruhan varian nonsense menunjukkan gejala klinis dan laboratorium, pada varian missense didapatkan 47,7% sampel hanya dengan gejala laboratorium, sedangkan pada silent variant didapatkan 30% sampel dengan gejala laboratorium.

Trisomy21 have increased risk of Acute Myelocytic Leukemia(AML). Leukemogenesis occurs in 3 hits. The first hit was trisomy21, the second hit was GATA1 gene variant and third hit was somatic mutation. The first and second hit were enough to cause Transient Abnormal Myelopoiesis(TAM). The purpose of this study was to determine the variant of GATA1 gene in influencing TAM. This research is descriptive cross-sectional research. Anamnesis dan physical examination will be done. Blood samples will be taken. DNA will be further processed through PCR, electrophoresis and Sanger Sequencing. The data will be analyzed bioinformatically. Most subjects were aged 0-1month(45.75%), borned to mothers <35years (78.1%) and were more common in multiparous pregnancies(71.8%). The most frequent laboratory abnormalities are anemia, these are more common in patients aged 0-1month, born aterm from primiparous mothers. From the results of bioinformatic analysis, 79 variants were found in 32patients, of which 10were silent, 67were missense and 2were nonsense. In pathogenicity testing, we found this nonsense variant is pathogenic. TAM patients were frequently found with laboratory symptoms only(62.5%). All of the nonsense variants show clinical and laboratory symptoms. In missense variant, 47.7% of the samples only show laboratory symptoms, while 30%silent variant shows laboratory symptoms only."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anti Dharmayanti
"A 46-year-old man was admitted to ICU with a diagnosis at the time of admission of Guillain Barre Syndrome (GBS) and sepsis due to suspected Ventilator-Associated Pneumoniae (VAP). Specimens for the following laboratory workup were inquired, i.e. complete blood count, culture and resistance workup using specimens obtained from the tip of suction pipe, urinalysis and urine culture, blood culture and resistance, procalcitonin and lactate levels. Neutrophilia was found along with increased procalcitonin and lactate levels, which supported the sepsis diagnosis. Moreover, the result of culture from suction pipe demonstrated colonies of Pseudomonas luteola MDRO, which might be originated from the oropharyngeal colonization of the patients due to poor oral hygiene and ineffective oral hygiene nursing; therefore, the colonies of the microorganism were swabbed away when obtaining the specimens. Ineffective oral hygiene nursing may have a potency to cause VAP and recurrent VAP."
Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia, 2017
610 UI-IJIM 49: 2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>