Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99266 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emil Dinar Makotjo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T59090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Prasetya
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian furosemide per oral dosis tunggal pada penderita pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dapat mempengaruhi lama tunggu penderita di klinik dan basil pemeriksaan uroflowmetri.
Bahan dan Cara: Penelitian merupakan penelitian prospektif, open label, cross over study terhadap 40 (rerata umur 62.42 ± 7.40 tahun) penderita pembesaran prostat jinak yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, 20 penderita menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 1 dan tanpa furosemide pada kunjungan 2 (kelompok 1); 20 penderita lainnya tidak diberikan furosemide pada kunjungan 1 dan menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 2 (kelompok 2). Lama menunggu penderita di klinik (sejak penderita berkemih sampai memenuhi syarat untuk pemeriksaan) dan basil uroflowmetri yang terdiri dari volume buli, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih dicatat dan dianalisa dengan Student Mast atau Mann-Whitney U-test.
Hasil: Karakteristik subyek penelitian pada kedua kelompok yang terdiri dari umur, kadar hemoglobin, serum kreatinine dan nilai PSA tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0.05). Terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0.01) pada lama tunggu penderita di Klinik Urologi; pada kelompok 1 dari 72.55 bertambah menjadi 120.00 menit sedangkan pada kelompok 2 dari 178.05 berkurang menjadi 89.75 menit. Pada pemberian obat, secara keseluruhan terjadi pengurangan lama menunggu yang sangat bermakna (p<0.01), dari 149.02 menit tanpa furosemide menjadi 81.15 menit dengan pemberian furosemide peroral. Pada analisa basil uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih pada kedua kelompok maupun secara keseluruhan dengan dan tanpa pemberian obat, tidak didapatkan perbedaan yang berrnakna secara statistik (p.0.05).
Kesimpulan: Pemberian furosemide peroral dosis tunggal sangat mengurangi lama menunggu untuk pemeriksaan uroflowmetri penderita pembesaran prostat jinak di klinik tanpa mempengaruhi hasil pemeriksaan uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time dan residu urin pasca berkemih.

Objective: To identify whether a single dose of oral furosemide given to benign prostate hyperplasia patients scheduled for uroflowmetry had an impact on clinic waiting time and flow rate parameters.
Materials and Methods: This was a prospective, open label, cross over study conducted among 40 benign prostate hyperplasia patients (mean age 62.42 ± 7.40 years) who fulfilled the inclusion criteria.. They were separate on two groups, where the 1 s1 group receive 20 mg furosemide at the 15` visit but no furosemide at rd visit and the 2"d group without furosemide at the 1S1 visit and receive 20 mg furosemide at god visit. Clinic waiting time and flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine-measuring by ultrasound) were captured in a database. Student t-test or Mann-Whitney U-test analysis were carried out to evaluate the characteristic different between the two groups.
Results: Patients characteristics (age, hemoglobin content, creatinine and PSA serum) between the two groups were not statistically different (p>0.05). There was significant different on clinic waiting time in both groups; 72.55 versus 120.00 minutes, p<0.01 at 15` group and 178.05 versus 89.75 minutes, p<0.0I at 2nd group. An oral 20 mg of furosemide was significant reduction on clinic waiting time in all patients (81.15 versus 149.02 minutes, p<0.01). From evaluation of flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine), there were not statistically different in each group and in all patiens whether with or without receive 20 mg furosemide (p>0.05).
Conclusions: The impact of a single dose 20 mg of oral furosemide was significant reduced clinic waiting time without significant changes in flow rate parameters at benign prostate hyperplasia patients who scheduled for uroflowmetry."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patandung, Richman
"Pendahuluan dan tujuan: Hiperplasia prostat jinak merupakan penyakit yang melemahkan yang menyebabkan 90% pria berusia 80 tahun menderita sindrom saluran kemih bagian bawah. Dalam studi ini, kami mencoba untuk mengevaluasi hasil dari reseksi transurethral prostat pada pasien hiperplasia prostat jinak untuk menguraikan manfaatnya.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis BPH. Pasien dibagi menjadi dua kelompok (<80gr dan> 80gr). Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan Independent T-Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada skor IPSS dan QoL pada kedua kelompok. Skor IPSS dan kualitas hidup pasca operasi juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien kelompok 1 dan 2.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa volume prostat tidak berhubungan dengan kualitas hidup pasien, yang diilustrasikan oleh indeks IPSS dan QoL setelah TURP. Selain itu, TURP dapat dilakukan pada semua pasien terlepas dari ukuran prostatnya. Lebih lanjut, TURP memiliki keuntungan komplikasi yang lebih rendah untuk pasien dengan ukuran prostat> 80 gr.

Introduction and objectives: Benign prostatic hyperplasia is a debilitating disease which causes 90% of 80 years old male suffers from lower urinary tract syndrome. In this study, we tried to evaluate the outcome of transurethral resection of the prostate in benign prostatic hyperplasia patients to elaborate its benefit.
Methods: This study is conducted retrospectively. Subject in this study are patients who are diagnosed with BPH. Patients is divided into two groups (<80gr and >80gr). Data obtained in this study is statistically analyzed using Independent T-Test and Mann-Whitney.
Results: We found no significant differences in the IPSS and QoL score in both groups. Postoperative IPSS and QoL score also showed no significant differences between group 1 and 2 patients.
Conclusion: We found that prostate volume is not correlated with patient quality of life, which illustrated by IPSS and QoL index after TURP. In addition, TURP can be conducted in any patients regardless of their prostate size. Furthermore, TURP has the advantage of lower complication for patients with prostate size >80 gr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fedry Yance
"Pembesaran Prostat Jinak ( PPJ ) merupakan penyakit yang tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini mengenai laki-laki terutama mulai dari dekade kelima dan prevalensinya meningkat dengan makin bertambahnya umur. Gejala pada PPJ berhubungan dengan meningkatnya jumlah sel-sel epitel dan peningkatan tonus otot polos yang berada pada kelenjar prostat, leher kandung kemih dan kapsul prostat yang diatur oleh saraf otonom. Pada awalnya pembesaran prostat tersebut menekan uretra dan selanjutnya dapat mengalami herniasi ke dalam kandung kemih yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan aliran kencing lebih lanjut.
Ezz, et al melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara gejala gangguan berkemih dengan besarnya volume prostat. Data dari Olmstead County Study of Urinary Symptoms and health Status Among Men mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara besamya volume prostat dengan terjadinya gejala-gejala gangguan berkernih, pancaran urin dan kemungkinan terjadinya retensio urin pada pasien PPJ. Menurut data tersebut, pancaran urin maksimal yang rendah secara bermakna berhubungan dengan beratnya gejala gangguan berkemih dan besamya volume prostat.
Penonjolan prostat ( protrusi ) ke dalam kandung kemih dapat diukur dengan ultrasonografi ( USG ) transabdominal. Menurut Poo terdapat korelasi antara tingkat protrusi prostat intravesika dengan beratnya obstruksi. Melihat adanya perbedaan di atas maka dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kejadian retensi urin pada pasien PPJ dengan besarnya volume prostat dan tingkat protrusi prostat intravesika
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besarnya volume prostat yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan berkemih pada pasien PPJ dan adakah hubungan antara besarnya volume prostat dengan terjadinya retensi urin. Juga dievaluasi hubungan antara terjadinya retensi urin dengan protrusi prostat intravesika.
PPJ adalah kelainan berupa kelenjar prostat yang mengalami hiperplasia terutama kelenjar periuretral. Jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Bila pembesaran tersebut mendesak ke arah luar dari uretra pars prostatika maka tidak menimbulkan gejala. Tetapi jika mendesak ke dalam uretra, akan menekan uretra dan menimbulkan gejala sumbatan saluran kencing bagian bawah. Pembesaran prostat dapat terjadi pada lobos medius sehingga menimbulkan penonjolan ( protrusi ) ke dalam kandung kemih yang dapat dideteksi dengan USG transabdominal. Protrusi prostat ini dapat mengganggu proses pengosongan urin di dalam kandung kemih pada waktu berkemih.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Safendra
"OBJECTIVE: To determine if Intravesical prostatic protrusion (IPP), total prostate volume, transition zone volume and transition zone index is correlated with the severity of clinical benign prostatic hyperplasia.
PATIENTS AND METHODS: From January to May 2005, 56 patients with symptom of BPH were enrolled in this study. All patients were requested to undergo urofiowmetry, postvoid residual urine measurement and international Prostate Symptom Score (IPSS). TRUS was used to calculate the total prostate volume, transition zone (ZT) volume and the transition zone index (TZ index = TZ volume/total prostate volume). And IPP was measured by transabdominal ultrasonography.
RESULT: There were a significant correlation between IPSS and post void residual with total prostate volume, transition zone, transition zone index and intravesical prostatic protrusion. Only transition zone and transition zone index were significant correlation with Q max. Strongest correlation in IPSS and postvoid residual was transition zone (ZT) volume (r = 0.480 and r = 0.621 ) in Q max was transition zone index (r = 0.508).
CONCLUSION : From this study there were correlation between intravesical prostatic protrusion, prostate volume, transition zone volume and transition zone index however the correlation is weak.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadhil Ardiyansyah
"Latar belakang: Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) merupakan masalah prostat yang umum terjadi pada laki-laki, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat disebabkan oleh PPJ akibat dari obstruksi pada Bladder outlet, instrumentasi, bahkan akibat dari sistoskopi atau kateterisasi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola kuman dan kuman terbanyak yang menyebabkan ISK pada pasien PPJ di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito
Metode: Data dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito mulai Januari 2001 sampai Desember 2011. Pola kuman dan sensitivitas obat dicatat.
Hasil: Terdapat 92 pasien dengan usia 46-95 tahun yang didiagnosis dengan PPJ dan Prostatitis. Didapatkan 81,40% merupakan bakteri gram negatif, 9,3% bakteri gram positif, dan 9,3% jamur. Kemudian didapatkan Streptococcusfaecalis (11,62%) merupakan bakteri gram positif terbanyak yang ditemukan di dalam kultur urin. Obat yang dipakai untuk sensitivitas melipuit : Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim-Sulfamethoxazole.
Kesimpulan: Bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan BPH adalah Pseudomonas aerogenosa (25.58%) dan bakteri yang paling jarang ditemukan adalah Citrobacterfreundii (2.32%). Menurut penelitian ini, 82.05% pasien BPH dengan infeksi saluran kemih sensitif terhadap pengobatan dengan Imipenem, diikuti dengan Amikacin (74.35%).

Background: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is the most common condition in men with prostate problems. Urinary tract infection can be caused by BPH due to Bladder outlet obstruction, instrumentation either from cystoscopy or catheterization.
Objective: The aim of this study is to describe microorganism pattern and the most common caused urinary tract infection in BPH patient hospitalized in Dr. Sardjito general hospital.
Method: Data were retrospectively collected from Dr. Sardjito general hospital medical record patients from January 2011 to December 2011. Microorganism pattern and drug sensitivity data were collected.
Results: There were 92 patients age 46-95 years old diagnosed histophatologically as BPH and prostatitis. The 81.40% microorganism pattern were Gram negative bacteria, 9.3% Gram positive bacteria and 9.3% yeast. On the other hand , Streptococcus faecalis (11,62%)is the main gram positif bacteria found in the urine culture. The drug used for sensitivity including; Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim, and Sulfamethocazole.
Conclusion: The most frequent bacteria found in BPH patients is Pseudomonas Aerogenosa (25.58%) and the least frequentbacteria is Citrobacter freundii (2.32%). According to this study, 82.05% UTI patients sensitive to Imipenem medication, followed by Amikacin (74.35%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Faisal Abdi
"Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan dan mengevaluasi manajemen gejala saluran kemih bawah LUTS laki-laki sugestif dari benign prostatic hyperplasia BPH oleh dokter umum di Jakarta. Penelitian cross-sectional observasional ini dilakukan pada periode Januari 2013 hingga Agustus 2013 di Jakarta. Peneliti mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang menjelaskan manajemen LUTS laki-laki sugestif BPH oleh dokter dalam praktek sehari-hari pada bulan sebelumnya. Peneliti mengumpulkan kuesioner dari 200 dokter yang berpartisipasi dalam 4 simposium urologi yang diadakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebagian besar dokter berusia antara 25 dan 35 tahun 71,5 dan telah bekerja selama lebih dari 1 tahun 87,5 . Satu sampai lima kasus LUTS pada pria sugestif BPH diobati oleh 81 dokter setiap bulannya. Saat diagnosis, gejala yang paling umum ditemukan adalah retensi urin 55,5 , frekuensi 48 , dan nokturia 45 . Pemeriksaan diagnostik yang lazim termasuk pemeriksaan colok dubur 65 , sistem skoring 44 , pengukuran tingkat antigen spesifik prostat PSA 23,5 , dan penilaian fungsi ginjal 20 . Kebanyakan dokter merujuk pasien pria dengan LUTS sugestif dari BPH ke dokter spesialis urologi 59,5 dan 46,5 dokter umum meresepkan obat-obatan sebagai terapi awal. Antagonis antagonis alfa-adrenergik 71,5 adalah obat yang paling umum diresepkan. Terapi kombinasi dengan antagonis -adrenergik dan inhibitor 5a-reduktase tidak rutin diresepkan 13 . Tiga puluh delapan persen dari dokter umum merujuk pasien ketika retensi urin berulang dan 33 ketika terjadi komplikasi. Penelitian ini memberikan bukti bahwa manajemen LUTS pada laki-laki sugestif BPH oleh dokter umum di Jakarta menyarankan sisitem rujukan sebagian untuk pedoman yang tersedia dalam hal metode diagnostik dan terapi awal. Namun, beberapa aspek dari pedoman, seperti pengukuran tingkat PSA, penilaian fungsi ginjal, urinalisis, pemeriksaan ultrasound, dan peresepan terapi kombinasi, masih jarang dilakukan.

This study was performed to describe and evaluate the management of male lower urinary tract symptoms LUTS suggestive of benign prostatic hyperplasia BPH by general practitioners GPs in Jakarta. This observational cross sectional study was performed between January 2013 and August 2013 in Jakarta. We developed a questionnaire consisting of 10 questions describing the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in their daily practice in the previous month. We collected questionnaires from 200 GPs participating in 4 urology symposiums held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Most GPs were aged between 25 and 35 years 71.5 and had worked for more than 1 year 87.5 . One to 5 cases of male LUTS suggestive of BPH were treated by 81 of GPs each month. At diagnosis, the most common symptoms found were urinary retention 55.5 , frequency 48 , and nocturia 45 . The usual diagnostic workup included digital rectal examination 65 , scoring system 44 , measurement of prostate specific antigen PSA level 23.5 , and renal function assessment 20 . Most GPs referred their male patients with LUTS suggestive of BPH to a urologist 59.5 and 46.5 of GPs prescribed drugs as an initial therapy. Alpha adrenergic antagonist monotherapy 71.5 was the most common drug prescribed. Combination therapy with adrenergic antagonists and 5 reductase inhibitors was not routinely prescribed 13 . Thirty eight percent of GPs referred their patients when recurrent urinary retention was present and 33 when complications were present. Our study provides evidence that the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in Jakarta suggests referral in part to available guidelines in terms of diagnostic methods and initial therapy. However, several aspects of the guidelines, such as PSA level measurement, renal function assessment, urinalysis, ultrasound examination, and prescription of combination therapies, are still infrequently performed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommie Prasetyo Utomo Wiharto
"Tujuan Mengetahui hubungan antara nilai glukosa darah puasa, disfungsi ereksi DE, dan lower urinary tract symptoms LUTS pada pasien dengan pembesaran prostate jinak.Metode Terdapat 42 pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan pembesaran prostat jinak. LUTS dan DE dievaluasi dengan menggunakan International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function-5 IIEF-5. Diabetes mellitus ditegakkan jika gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL. LUTS dikategorikan menjadi 3 grup; ringan, sedang, dan berat dimana DE dikategorikan menjadi 2; positif dan negative. Semua data dianalisa menggunakan SPSS ver. 22.Hasil Usia rata-rata pasien adalah 68,83 8,56 tahun dengan mayoritas menderita DE 83.33 dan LUTS 80.96. Diabetes mellitus ditemukan pada 26,19 pasien dengan rata-rata nilai gula darah puasa 108.3 21.1 mg/dL. Nilai IPSS didapati berhubungan signifikan dengan nilai gula darah puasa r = 0.879, p

Aims To discover the correlation between fasting glucose level, erectile dysfunction, and lower urinary tract symptoms LUTS in patients diagnosed with benign prostatic hyperplasia BPH .Methods There were 42 patients with BPH related LUTS aged over 50 years old enrolled in this study. LUTS and erectile dysfunction ED were evaluated using International Prostate Symptom Score IPSS and International Index of Erectile Function 5 IIEF 5 . Diabetes mellitus was established if fasting glucose level was above 126 mg dL. LUTS was classified into 3 groups mild, moderate, and severe LUTS while ED was classified into 2 groups ED positive and ED negative. Data were analyzed using SPSS ver. 22Results Patients rsquo mean age was 68.83 8.56 years old with most of them had ED 83.33 and also suffered from severe LUTS 80.96 . Diabetes mellitus was observed in 26.19 subjects with mean fasting glucose level was 108.3 21.1 mg dL. IPSS score were significantly correlated with fasting glucose level r 0.879, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Cahya Kurnia
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pembesaran Prostat Jinak merupakan salah satu penyakit yang
umum ditemukan pada pria lanjut usia, berakibat pada pembesaran prostat, obstruksi muara buli dan gejala saluran kemih bawah. Namun gejala dan obstruksi yang terjadi tidak seluruhnya bergantung pada ukuran prostat. Protrusi prostat intravesika telah ditemukan berkorelasi dengan obstruksi buli. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai hubungan antara protrusi prostat intravesika, prostat specific antigen, dan volume prostat, serta mana dari ketiganya yang merupakan prediktor terbaik untuk menunjukkan adanya obstruksi muara buli yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak.
Metode: Sebuah studi prospektif pada 118 pasien pria diperiksa antara Januari 2012 sampai Juli 2012. Pasien pria berusia lebih dari 40 tahun yang datang dengan LUTS dan dicurigai menderita BPH dipilih untuk mengikuti studi. Mereka dievaluasi dengan digital rectal examination (DRE), International Prostate Symptoms Score (IPSS), serum total PSA, uroflowmetri, pengukuran urin residu postvoid, Intravesical Protrusion Prostate (IPP) dan Prostate Volume (PV), menggunakan USG transabdominal.
Hasil: PV, IPP dan PSA menunjukkan korelasi paralel. Ketiga indikator menunjukkan korelasi yang baik dalam mendeteksi obstruksi muara buli yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Analisis statistik menggunakan tes Chi square dan Spearman?s Rank correlation test. Kurva Receiver Operator Characteristic (ROC) digunakan untuk membandingkan korelasi PSA, PV dan IPP dengan BOO. Angka rerata PSA ditemukan lebih tinggi signifikan pada pasien yang mengalami obstruksi (8.6 ng/mL;0.76-130) dibandingkan dengan yang tidak mengalami obstruksi (6.44 ng/ml;1.0-40.6). Angka rerata volume protat juga ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan obstruksi (50.33 mL±24.34) dibandingkan yang tidak mengalami obstruksi (50.33 mL ±24.34). Angka rerata IPP juga ditemukan lebih tinggi signifikan pada pasien obstruksi (7.29±2.78) dibandingkan dengan yang tidak mengalami obstruksi (6.59±2.93). Koefisien korelasi rho spearman adalah 0.617, 0.721 dan 0.797 untuk PSA, PV, dan IPP.
Dengan menggunakan kurva karakteristik receiver-operator, daerah di bawah kurva ditempat secara berturut-turut oleh PSA, PV, dan IPP yaitu 0.509, 0.562, dan 0.602. Nilai prediktif positif dari PV, PSA dan IPP adalah 59.7%, 55.6%, dan 60.2%. Menggunakan model regresi nominal, IPP tetap menjadi indeks independen utama untuk menentukan BOO yang disebabkan oleh pembesaran prostat jinak. Kesimpulan: Prostat Specific Antigen, Prosat Volume dan Intravesical Prostatic Protrusion diukur dengan menggunakan ultrasonografi transabdominal, merupakan metode yang noninvasif dan mudah didapat yang sangat berkorelasi dengan obstruksi muara buli (bladder outlet obstruction/BOO) pada pasien dengan pembesaran prostat jinak, dan korelasi IPP lebih kuat dibandingkan PSA dan PV.
Ketiga indikator non invasif ini berkorelasi satu dengan lainnya. Studi ini menunjukkan bahwa IPP merupakan prediktor yang lebih baik untuk BOO
dibandingkan PSA atau PV.

ABSTRAK
Introduction: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is one of the most common diseases in elderly men. Benign prostatic hyperplasia may lead to prostatic enlargement, bladder outlet obstruction (BOO) and lower urinary tract symptoms (LUTS). But the symptoms and obstruction do not entirely depend on the size of prostate. In contrast, intravesical prostatic protrusion (IPP) has been found to correlate with BOO. This study will define the relationship between intravesical prostatic protrusion (IPP), prostate specific antigen (PSA) and prostate volume (PV) and also determine which one of them is the best predictor of bladder outlet obstruction (BOO) due to benign prostatic enlargement.
Method: A prospective study of 118 male patients examined between Januari 2012 until July 2012 was performed. Male patients aged more than 40 years
presenting with LUTS and suggestive of BPH were selected for the study. They were evaluated with digital rectal examination (DRE), International Prostate Symptoms Score (IPSS), serum total PSA, uroflowmetry, postvoid residual urine measurement, Intravesical Protrusion Prostate (IPP) and Prostate Volume (PV) using transabdominal ultrasound.
Results: PV, IPP and PSA showed parallel correlation. Although all three indices had good correlation in detecting bladder outlet obstruction caused by benign prostate hyperplasia. Statistical analysis included Chi square test and Spearman?s Rank correlation test. Receiver Operator Characteristic (ROC) curves were used to compare the correlation of PSA, PV and IPP with BOO. Mean prostate specific antigen was significantly higher in obstructed patients (8.6 ng/mL; 0.76-130) compared to non-obstructed patients (6.44 ng/mL; 1.0-40.6). Mean prostate
volume was significantly larger in obstructed patients (50.33 mL ± 24.34) compared to non-obstructed patients (45.39 mL ± 23.43). Mean IPP was significantly greater in obstructed patients (7.29 ± 2.78) compared to nonobstructed patients (6.59 ± 2.93). The Spearman rho correlation coefficients were 0.617, 0.721 and 0.797 for PSA, PV and IPP, respectively. Using receiveroperator characteristic curves, the areas under the curve for PSA, PV and IPP were 0.509, 0.562 and 0.602, respectively. The positive predictive values of PV, PSA and IPP were 59.7%, 55.6% and 60.2%, respectively. Using a nominal
regression model, IPP remained the most significant independent index to determine BOO caused by benign prostate hyperplasia. Conclusion: Prostate Specific Antigen, Prostate volume & intravesical prostatic protrusion measured through transabdominal ultrasonography are noninvasive and accessible method that significantly correlates with bladder outlet obstruction in patients with benign prostatic hyperplasia and the correlation of IPP is much more stronger than PSA and PV. All three non-invasive indices correlate with one another. The study showed that IPP is a better predictor for BOO than PSA or PV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supit, Wempy
"Pendahuluan: Saat ini belum ada publikasi tentang hasil radioterapi eksterna (RT) pada kanker prostat lokal atau lokal-lanjut di Indonesia.
Metode: Studi retrospektif ini meneliti 96 pasien dengan kanker prostat lokal atau lokal-lanjut yang mendapat terapi radiasi dari tahun 1995-2009, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais, Indonesia. Jenis / dosis kumulatif radiasi prostat dan pelvis pada 84,4% pasien sebesar <70Gy dengan RT konvensional, dan pada 15,6% pasien diberikan dosis ≥70Gy dengan three dimensional-conformal RT atau intensity modulated RT. Sintasan Overall survival (OS) dan biochemical progression-free survival (BFS) diestimasi dengan Kaplan-Meier. Faktor-faktor prediksi dari OS dan biochemical recurrence dianalisis dengan Multivariate Cox regressions.
Hasil: Median durasi follow-up adalah 61 bulan (rentang, 24-169 bulan). Diantara seluruh kasus kanker prostat, terdapat 3,1% risiko rendah, 26% risiko sedang, dan 70,8% risiko tinggi. Lebih dari separuh pasien (52,1%) memiliki nilai Prostatespecific antigen (PSA) sebelum terapi >20 ng/ml. Angka sintasan 5 tahun pada pasien-pasien dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi, secara berurutan adalah: OS, 100%, 94,7%, 67,9% (P=0,297); dan BFS, 100%, 94,1%, 57,1% (P=0,016). Pada kelompok risiko tinggi, didapatkan OS 5 tahun 88,3% pada pasien yang mendapatkan terapi adjuvan hormonal androgen deprivation therapy (HT), dibandingkan dengan 53% pada pasien yang mendapat terapi radiasi saja, P =0,08. Faktor prediksi yang signifikan pada OS meliputi kelompok risiko tinggi (hazard ratio [HR], 9,35; confidence interval [CI] 95%, 1,52-57,6; P=0,016), terapi adjuvan (HR, 0,175; 95% CI, 0,05-0,58; P=0,005), deteksi dengan transurethral resection of the prostate (TUR-P) (HR, 6,81; 95% CI, 2,28-20,33; P=0,001), dan nilai PSA sebelum terapi (HR, 1,003; 95% CI, 1,00-1,005; P=0,039). Satu-satunya faktor prediksi biochemical failure adalah PSA sebelum terapi (P=0,04), dengan odds ratio 4,52 (95% CI, 1,61-12,65) untuk PSA > 20 ng/ml.
Kesimpulan: RT merupakan modalitas yang efektif untuk terapi kanker prostat lokal atau lokal-lanjut di Indonesia, dengan hasil dan faktor prediksi yang konsisten dengan publikasi di tempat lain. Faktor prediksi dari hasil yang lebih buruk meliputi kelompok risiko tinggi, PSA sebelum terapi yang lebih tinggi, temuan insidental pada TUR-P, dan tidak diberikannya terapi adjuvan HT. Terapi adjuvan hormonal secara signifikan meningkatkan sintasan pada pasien dengan risiko tingggi.

Introduction: Presently there is no published data on the outcomes of localized or locally-advanced prostate cancer (PCa) treated by external-beam radiotherapy (RT) in Indonesia.
Methods: This study retrospectively analyzed 96 patients with localized or locally-advanced PCa treated by RT from year 1995 to 2009, at the national referral hospital and the national cancer hospital of Indonesia. Cumulative prostate and pelvic radiation dose/ type was <70 Gy conventional RT in 84.4% patients, and ≥70 Gy Three dimensional-conformal or intensity modulated RT in 15.6% patients. Overall survival (OS) and biochemical progression-free survival (BFS) were estimated by Kaplan-Meier. Predictors of OS and biochemical recurrence were analyzed by multivariate Cox regressions.
Results: The median follow-up was 61 months (range, 24 to 169 months). There were 3.1% low-risk, 26% intermediate-risk, and 70.8% high-risk cases. More than half of the patients (52.1%) had pretreatment prostate specific antigen (PSA) >20 ng/mL. The 5-year survival outcome of low-risk, intermediate-risk, and high-risk patients were: OS, 100%, 94.7%, and 67.9% (P=0.297); and BFS, 100%, 94.1%, and 57.1% (P=0.016), respectively. In the high-risk group, the 5-year OS was 88.3% in patients who received adjuvant hormonal androgen deprivation therapy (HT), compared to 53% in RT only, P=0.08. Significant predictors of OS include high-risk group (hazard Ratio [HR], 9.35; 95% confidence interval [CI], 1.52 to 57.6; P=0.016), adjuvant therapy (HR, 0.175; 95% CI, 0.05 to 0.58; P=0.005), detection by transurethral resection of the prostate (TUR-P) (HR, 6.81; 95% CI, 2.28 to 20.33; P=0.001), and pretreatment PSA (HR, 1.003; 95% CI, 1.00 to 1.005; P=0.039). The sole predictor of biochemical failure was pretreatment PSA (P=0.04), with odds ratio of 4.52 (95% CI, 1.61 to 12.65) for PSA >20 ng/mL.
Conclusions: RT is an effective treatment modality for localized or locally advanced PCa in Indonesian patients, with outcomes and predictors consistent to that reported elsewhere. Predictors of poorer outcomes include high-risk group, higher pretreatment PSA, incidental detection by TUR-P, and lack of adjuvant HT. Adjuvant hormonal therapy significantly improve the survival of high risk patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>