Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114747 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meryanne Elisabeth S.
"Latar belakang : Etiopatogenesis karsinoma nasofaring (KNF) sampai sekarang masih terus diselidiki. Faktor yang dianggap sebagai penyebab timbulnya KNF antara lain virus Epstein-Barr (VEB), faktor genetik dan faktor lingkungan. Latent Membrane protein 1 (LMP1) sebagai produk protein pada fase laten infeksi VEB diduga mempunyai peranan mulai dari lesi prakanker sampai terjadinya KNF. Penelitian ini mencoba menganalisis ekspresi LMP1 pad a epitellesi prakanker nasofaring dan ekspresi LMP1 KNF. Ruang lingkup dan cara penelitian : telah dilakukan penelitian potong lintang pada 16 kasus lesi prakanker nasofaring dan 16 kasus KNF yang berasal dari pasien yang sama, dari Bagian Patologi Anatomik FK UII RSUPN eM selama 4 tahun (1997-2000) dengan melihat umur, jenis kelamin dan tipe histologik. Selanjutnya dilakukan pulasan imunohistokimia LMP1 pada kedua lesi tersebut dengan metode streptavidin-biotin. Kemudian dinilai intensitas pewarnaan LMP1 baik pad a lesi prakanker maupun pada KNF dan frekuensi epitel yang terpulas pada lesi prakanker dan lesi KNF. Skor didapatkan dari hasil penjumlahan intensitas dan fre!

Background: the etiopathogenesis of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is still under investigation. The Epstein-Barr virus (EBV) infection as well as genetic and environmental factors are suggested to be the etiology of this disease. Latent membrane protein 1 (LMP1) as a protein product of EBV in latent phase, may play an active role in tumorigenesis from precancerous lesion to NPC. In this study the expression LMP1 in nasopharyngeal epithelium of precancerous lesion and in NPC was evaluated. Scope and method of study: a cross sectional study was applied to 16 cases of nasopharyngeal precancerous lesion that progressed to NPC from Department of Anatomic Pathology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. Immunohistochemical staining with LMP1 using streptavidin-biotin method was performed. The intensity and frequency of the immunostaining was evaluated. A score system was used based on frequency and intensity of the staining. Statistical analysis using non-parametric test : Wilcoxon signed rank test, Mann-Whitney and Spearman correlation test were performed. Result and conclusion : the study revealed that LMP1 was positive in 81% of precancerous lesion and in 87% of NPC. The score of LMP1 + was found in 6 cases of precancerous lesion and 6 cases of NPC, while the score of LMP1 ++ was found in 10 cases of precancerous lesion and 10 cases of NPC. This study showed that there was no difference in the intensity of LMP1 in precancerous lesion and in NPC, although the frequency of immunostaining from precancerous lesion to NPC tended to increase. However, statistical . analysis showed no correlation between expression of LMP1 in the epithelium of nasopharyngeal precancerous and NPC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2001
T58976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah keganasan dengan distribusi etnis dan geografis yang khas. KNF memiliki karakteristik yang berbeda dari kanker kepala dan leher lainnya, seperti perilaku pertumbuhan yang cepat, kecenderungan yang tinggi untuk bermetastasis ke kelenjar getah bening (KGB) regional dan organ jauh. E-cadherin memainkan peran penting dalam pemeliharaan adhesiantar sel-sel epitel. Perubahan molekul adhesi sel E-cadherin yang dimediasi oleh sel-sel kanker berkontribusi untuk peningkatan penyebaran sel tumor dan pembentukan metastasis. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ekspresi E-cadherin pada KNF yang telah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis. Metode: Desain penelitian adalah studi kasus-kontrol. Subjek penelitian adalah blok parafindari pasien KNF yang telah menjalani biopsi. Blok dari pasien KNF yang telah bermetastasis dikategorikan sebagai kelompok kasus, sementara yang tidak bermetastasis sebagai kelompok kontrol. Sampel dari keduakelompok diperiksa dengan metode imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi E-cadherin. Hasil:Sampel 48 blok parafin, masing-masing kelompok terdiri dari 24 blok. Terdapat perbedaan yang signifikan ekspresi E-cadherin dengan p<0,001 dan Odds Ratio (OR) 87,4 (95% interval kepercayaan 10,15-2653,26). Terdapat pula hubungan yang signifikan antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan status KGB leher(p<0,001), metastasis jauh (p=0,001), dan stadium penyakit (p=0,001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara ekspresi E-cadherin pada kelompok KNF yang telah bermetastasis dibandingkan kelompok KNF yang belum bermetastasis."
ORLI 45:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Pada penderita Karsinoma Nasofaring (KNF) masih sering ditemukan kekambuhan meskipun sudah mendapat terapi yang lengkap. Penelitian terbaru membuktikan bahwa kekambuhan disebabkan oleh sel punca KNF yang resisten terhadap radioterapi. Mekanisme resistensi sel punca kanker terhadap radioterapi diduga karena hambatan terhadap apoptosis dan atau memicu proliferasi. Hambatan terhadap apoptosis disebabkan oleh penurunan protein p53 (wild type), selain over-ekspresi
Hsp70. Tujuan: Menjelaskan mekanisme resistensi sel punca KNF terhadap radioterapi berdasarkan profil ekspresi protein p53(wild type)dan Hsp70. Metode: Penelitian true experimental dengan menggunakan rancangan randomisasi kelompok kontrol sebelum dan sesudah tes. Kultur sel punca KNF dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing 16 sampel. Pada kelompok perlakuan diberikan paparan radioterapi dengan dosis 1,5 Gy menggunakan pesawat Linac, lalu diinkubasi selama 24 jam. Sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok diperiksa ekspresi p53 (wild type) dan Hsp70. Pemeriksaan menggunakan metode flowcytometry. Hasil: Ekspresi p53 (wild type) antara kelompok perlakuan dan kontrol terdapat
perbedaan yang tidak bermakna dengan p=0,576 (p≥0,05). Ekspresi Hsp70, antara kelompok perlakuan dan kontrol terdapat perbedaan yang tidak bermakna dengan p=0,172 (p≥0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat
perubahan ekspresi p53 (wild type) dan Hsp70 pada sel punca KNF yang resisten terhadap radioterapi."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyanti
"Latar Belakang: Salah satu masalah dalam tatalaksana karsinoma nasofaring (KNF) adalah masih tingginya angka rekurensi pascaterapi. Hingga saat ini, biomarker yang digunakan di klinik untuk mengevaluasi hasil terapi definitif pada KNF adalah melalui CT scan nasofaring. Overekspresi Rad51 berhubungan dengan peningkatan resistensi sel tumor terhadap radiasi dan kemoterapi. Oleh karena rekurensi pascaterapi berhubungan dengan resistensi sel-sel tumornya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai korelasi antara ekspresi Rad51 pada biopsi nasofaring sebelum terapi dengan penyusutan massa tumor pascaterapi yang diukur dengan metode unidimensional.
Bahan dan Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 15 kasus KNF. Ekspresi Rad51 dinilai dari biopsi nasofaring sebelum terapi. Evaluasi hasil terapi dilihat dari penyusutan massa tumor, berdasarkan CT scan nasofaring sebelum dan setelah terapi definitif. Cara yang digunakan untuk mengukur penyusutan massa tumor adalah dengan mengukur diameter terpanjang (unidimensional).
Hasil: Ekspresi dari pewarnaan Rad51 yang dinilai berdasarkan skor-H menunjukkan hubungan bermakna dan korelasi yang kuat dengan penyusutan massa tumor. Diperoleh nilai p = 0,005 dan koefisien korelasi r = - 0,64.
Kesimpulan: Ekspresi Rad51 memiliki korelasi negatif dengan penyusutan massa tumor karsinoma nasofaring.

Background: The remain challenging problem in the management of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is its higher rate of recurrency. Untill now, CT scan is the most common use biomarker to evaluate the treatment response after the definitive therapy. There’s a significance association between Rad51 overexpression and the increasing of resistancy to irradiation and chemotherapy in tumor cells and the resistancy of tumor cells correlates to its recurrency after therapy. Therefore, this study was conducted to evaluate the correlation between Rad51 expression level and the tumor’s shrinkage with unidimensional measurement. Material and
Methods: Fifteen cases of NPC were analyzed by a cross-sectional study. The expression of Rad51 were taken from the pretreatment of nasopharyngeal biopsy. The treatment response was evaluated from the nasopharyngeal CT scan, before and after definitive therapy, using the unidimensional measurement based on the change in sum longest diameter.
Result: The expression of Rad51 immunostaining assessed by the H-score were strongly correlate with the regression of the tumor mass which represent the treatment response. The p value is 0,005 and the correlation’s coefficient is -0,64.
Conclusion: There is significant correlation with negative magnitude between the expression of Rad51 with the shrinkage of tumor mass in nasopharyngeal carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murni Asih
"Latar Belakang: Virus Epstein~Barr (EBV) merupakan virus dsDNA dan termasnk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti karsinoma nasofaring (KNF). Pada penderita KNF, gen EBV yang diekspresikan adalah gen lain, yaitu EBERs, EBNAI, LMP 1, LMPZA, dan LMPZB. Dari kesemua gen tersebuf., LMPI dianggap yang berperan penting dalam proses onkogenesis dan transformasi limfosit B oleh EBV. Dan beberapa Studi epidemiologi, ditemukan adanya Varian khusus pada gen LMP] berupa deiesi 30 pb pada bagian C-terminal. Di Indonesia, hingga saat ini belum diketahui apakah ditemukan delesi 30 pb gen LMPI pada penderita KNF dan bila ditemukan, apakah delesi tersebut berhubungan dengan patogenesis KNF.
Tujuan: Mengetahui apakah ditemukan delesi 30 pb gen LMP] EBV pada penderita KNF di Indonesia, dan bila ditemukan berapa frekuensi delesi 30 pb gen LMPI EBV pada penderita KNF di Indonesia, Serta mengetahui hubungan antara delesi tersebut dengan status patologi KNF.
Metode: Identifikasi delesi 30 pb gen LMPI Vi1'l.lS Epstein-Barr dilakukan dengan metode nested PCR dan hasil PCR divisualisasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 2%. Hasil amplifikasi bempa pita DNA berukuran 162 pb untuk gen LMPI yang tidak mengalarni delesi 30 pb, sedangkan pita DNA berukuran 132 pb untuk gen LMP! yang mengalami delesi 30 pb.
Hasil: Dari 100 sampel penderita KNF yang diidentifikasi, 29 sampel mengalami delesi 30 pb, 71 sampel tidak mengalami delesi 30 pb, dan 21 sampel mengalami coexislence varian.
Kesimpulan: Di Jakarta, varian EBV berupa delesi 30 pb gen LMPI ditemukan dalam frekuensi yang rendah (24%; 29/ 121) bila dibandingkan varian yang tidak mengalami delesi 30 pb (76%; 92/121). Pada penelitian ini juga ditemukan adanya coexisrence Varian gen LMPL Berdasarkan uji Fisl1er's Exact, didapat bahwa nilai p > 0,05, berarti tidak ada hubungan bermakna antara delesi 30 pb gen LMPI dengan status patologi KINF.

Background: Epstein-Barr virus (EBV) is a dsDNA virus, member of Herpes (Herpesviridae) family. EBV infection may be associated with several diseases, one of them is nasopharyngeal carcinoma (NPC). NPC patients expressed EBV latent gene, they are EBERS, EBNA1, LMPI, LMPZA, and LMPZB. LMPI, in particular play important roles in epithelial oncogenesis and B lymphocyte transformation. Several epidemiological studies found specific variant of LMPI gene detectable as 30-bp deletion of C-tenninal region of LMP] gene. There is not any report of 30-bp LMP] gene on NPC patients so far and it is still unclear whether the deletion is associated with NPC pathogenesis.
Purpose: (1) To understand the existence of the deletion of 30-bp LMP1 gene in Indonesia NPC patients. (2) To determine the frequency of 30-bp deletion of LMP1 gene and its association with pathological status.
Method: Identification of 30-bp deletion in LMPI gene was done by nested PCR method. The PCR result was investigated by means of electrophoresis in 2% agarose gel. The results were determined as 162 bp of DNA band of LMPI gene (without 30-bp deletion) and 132 bp of DNA band of LMP1 gene (with 30-bp deletion).
Results: Among 100 identified samples, 29 samples found to have 30-bp deletion, 71 samples doesn?t have 30-bp deletion and 21 samples carry coexistence variants.
Conclusion: In Indonesia, especially in Jakarta, EBV variant of 30-bp deletion of LMP1 gene was found in low frequency (21-l»%; 29/ 121) in comparison with variant without deletion (76%; 92/121). There are variant of LMPI gene mixtures (coexistence with and without deletion). Analysis of data using Fisher°s Exact test (p>0,05) showed that there is not significant relationship between 30~bp deletion of LMPI gene and NPC pathological status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32888
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusharmen
"Penelitian kasus kontrol telah dilakukan terhadap 520 jamaah haji pada 17 kabupaten/ kotamadya di Indonesia, yang Baru kembali dari perjalanan haji dari Arab Saudi tahun 1996. Penelitian bertujuan ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian "carrier" nasofaring Neisseria meningitidis pada jamaah haji. Adapun variabel penelitian, meliputi; karakteristik jamaah haji, seperti; usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asal daerah, status vaksinasi meningitis dan pengetahuan jamaah haji tentang Meningitis meningokokus. Disamping itu, variabel lain yang diteliti, seperti; kepadatan hunian jamaah haji di pondokan kota Madinah dan Makkah, kebiasaan pemakaian masker, pencarian pengobatan, riwayat gejala pilek dan batuk ketika di Arab Saudi. Hasil penelitian menunjukan beberapa variabel faktor risiko berhubungan bermakna secara statistik dengan kejadian "carrier" nasofaring Neisseria meningitidis, yaitu; riwayat gejala batuk/sakit tenggorokan ( OR = 7,05 ); kebiasaan pemakaian masker ( OR = 4,72 ); kepadatan hunian jamaah haji satu kamar di kota Makkah ( OR = 1,40 ); tingkat pengetahuan tentang Meningitis meningokokus ( OR = 2,46). Dari analisis regresi logistik multivariat sebagai variabel dominan adalah riwayat gejala batuk/ sakit tenggorokan. Informasi hasil dari penelitian diharapkan bermanfaat masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji atau berpergian ke negara endemis Meningitis meningokokus, asupan bagi penentu kebijakan dalam peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran kuman penyebab Meningitis meningokokus di Indonesia. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dalam pendekatan studi analitik terhadap faktor risiko yang berhubungan kejadian "carrier" nasofaring Neisseria meningitidis pada jamaah haji Indonesia dan diharapkan dapat sebagai rujukan penelitian lanjutan dengan ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam.

Case control study has been conducted among 52U Indonesian pilgrims, who just returning from Saudi Arabia( 1996 ) in 17 Regencies/ Municipalities in Indonesia. The purposes of the study to get the factors related with the carrier nasopharynx Neisseria meningitidis. The following are the variables used in the study: roommates density in Madinah and Makkah, habits of using masker, health seeking behavior, histories of cough or common cold in Saudi Arabia. In addition, the following variables are included individual characteristics, such as : age, sex, education, job, residence, vaccination status, knowledge on Meningitis meningoccocal. It is shown as the result of the study, some factors are statistically significant related with the carrier nasopharynx Neisseria meningitidis, such as; cough history( OR = 7,05 ); using masker( OR = 4,72 ); average roommates density in Makkah( OR = 1,40 ); the knowledge level on meningitis meningoccal( OR = 2,46 ). Base on the logistics regression multivariate analysis, the dominant factor is cough history. It is concluded that this study is useful for the people who fill like going for hajj mission. Besides it can be used as reference for health authority on meningitis meningoccocal prevention program. It is also suggested that the study might be increased the analytic approach for others studies in the same field especially the factors related with the carrier nasopharynx Neisseria meningitidis among Indonesia pilgrims."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Mayella Vianney
"Latar belakang: Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan tersering di regio kepala leher. Terapi utama KNF adalah radiasi karena sifatnya yang radiosensitif, namun rekurensi lokal dan metastasis banyak terjadi. Cancer stem cell (CSC) diduga sebagai salah satu penyebabnya. Octamer binding transcription factor 4 (OCT4) merupakan salah satu penanda sel punca embrionik yang penting dalam progresi keganasan berbagai organ, termasuk nasofaring. Namun peran OCT4 sebagai prediktor respons terapi KNF masih menjadi perdebatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel berjumlah 41 kasus di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM periode Januari 2014 sampai Desember 2016. Dilakukan pulasan imunohistokimia OCT4 dan penilaian terhadap perbedaan rerata proporsi ekspresi positif kuat dan sedang OCT4 pada kelompok respons dan non-respons.
Hasil: Terdapat 33 kasus (80,5%) dengan jenis kelamin laki-laki dan 8 kasus (19,5%) dengan jenis kelamin perempuan. Berdasarkan data klinik, 13 kasus (31,7%) berada dalam rentang usia 40-49 tahun, gejala terbanyak ditemukan berupa benjolan leher pada 31 kasus (75,6%) dan 18 kasus (43,9%) berada pada stadium IVA. Ditemukan perbedaan bermakna (p = 0,009) antara rerata proporsi ekspresi OCT4 positif kuat dan sedang kelompok respons (61,29%) dibandingkan kelompok non respons (37%).
Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah ditemukan hubungan bermakna antara ekspresi OCT4 dengan respons kemoradiasi KNF tidak berkeratin tidak berdiferensiasi.

Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is the most common head and neck malignancy with high rate of resistance and recurrence. Cancer stem cells (CSC) is considered responsible for cancers relapse and metastasis because of its self-renewal capabilities. Expression of embryonic stem cells marker Octamer binding transcription factor 4 (OCT4) is crucial for progression of various human malignancies, including NPC. But the role of OCT4 as therapy response predictor is controversial.
Method: This study is using cross-sectional method. Sample consist of 41 undifferentiated non keratinizing NPC cases diagnosed in Anatomical Pathology Departement, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 until December 2016. OCT4 immunohistochemistry staining was performed then tumour cells with strongly and moderately positive OCT4 staining were counted. Mean difference between both groups is calculated.
Result: There were 33 male cases (80,5%) of 41 and 8 female cases (19,5%). 13 cases (31,7%) were age 40-49 years old. Neck mass was the most common symptom in 31 cases (75,6%) and 18 cases (43,9) were in stadium IVA. Mean difference of strongly and moderately positive OCT4 expression between responsive (61,29%) and non-responsive (37%) to chemoradiation therapy were statically significant (p=0.009).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monik Ediana Miranda
"Latar Belakang : Karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia berkaitan dengan tingginya angka kemoresistensi dan residif yang tinggi. Salah satu teori yang menjelaskan hal ini adalah terdapatnya sel punca kanker yaitu sel kanker yang memiliki kemampuan self-renewal dan menumbuhkan sendiri sel tumor. Jalur sel punca kanker mengakibatkan adaptasi genetik sehingga tumor menjadi resisten terhadap pengobatan. SOX2 adalah salah satu penanda gen sel punca yang berperan penting pada faktor transkripsi dalam proses self-renewal. Terdapat hubungan antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi.Bahan dan Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 41 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM periode Januari 2014 hingga Desember 2016. Dilakukan pulasan imunohistokimia SOX2.Hasil : Ekspresi SOX2 positif pada 21 dari 41 51 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi. Sebanyak 11 dari 21 kasus diantaranya 52 memperlihatkan respons terapi pasca kemoradiasi yang baik p=0,636 . Dari 41 kasus terdapat 7 kasus residif, 2 kasus diantaranya 28,5 menunjukkan ekspresi SOX2 positif.Kesimpulan : Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi pasca kemoradiasi.
Background Nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated still become main health issue in Indonesia concerning the high rate of chemoresistance and recurrence. One of the theories was the cancer stem cell, tumor cells with self renewal and self duplicating capabilities. The cancer stem cell pathway caused genetic adaptation resulting resistance in therapy. The main function of SOX2 as transcription factor holds key in the self renewal process. SOX2 became one of the markers for cancer stem cells. The SOX2 expressions have associations with response therapy after chemoradiation in nasopharyngeal carcinoma.Materials and Methods This was a cross sectional study with 41 cases of nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated diagnosed from Anatomical Pathology Department of FKUI RSCM during January 2014 until December 2016. All of the cases stained with SOX2 antibody with immunohistochemical methods.Results SOX2 positive expression can be found in 21 from 41 cases 51 . There were 11 out of 21 cases 52 showed well response therapy. From 41 cases there were 7 recurrent cases, 2 of them 28.5 expressing SOX2 positive.Conclusions There were no statistically significant associations between SOX2 expression with response therapy after chemoradiation. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Linggodigdo
"Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit endemis di Indonesia dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu penyebab mortalitas adalah metastasis jauh. VEGF-A terbukti berperan pada kejadian metastasis jauh KNF, namun penelitian yang membahas hubungan langsung keduanya masih terbatas. Selain VEGF, terdapat jalur pensinyalan lain terkait VEGF yang mungkin berperan dalam kejadian metastasis jauh, yaitu jalur pensinyalan Hippo. Protein Yes-Associated Protein (YAP) adalah downstream efektor utama dari jalur pensinyalan ini. Dengan dilakukan pulasan YAP serta dievaluasi hubungan antara YAP dengan VEGF-A diharapkan hasilnya dapat memberikan informasi mengenai potensi biomarker sebagai indikator prognostik kejadian metastasis jauh KNF. Penelitian menggunakan metode analitik observasional dengan uji Chi-square dan korelasi koefisien kontingensi. Terdapat perbedaan ekspresi YAP yang bermakna pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Terdapat perbedaan bermakna ekspresi VEGF-A pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Ekspresi YAP yang tinggi berhubungan dengan peningkatan ekspresi VEGF-A (p=0,001). Terdapat korelasi signifikan antara peningkatan ekspresi YAP dan peningkatan ekspresi VEGF-A dengan kekuatan lemah (C=0,397, p=0,01). Terdapat perbedaan bermakna koekspresi YAP tinggi dan VEGF-A tinggi (double co-high-expression) antara kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Penelitian ini mendukung sifat onkogenik YAP. YAP dan VEGF-A dapat menjadi biomarker potensial untuk memprediksi kejadian metastasis jauh KNF.

Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is an endemic disease in Indonesia with a high mortality rate. Distant metastasis is one of the leading causes of death. Although VEGF-A has been found to play a role in distant NPC metastasis, research on the relationship between the two is still limited. Another VEGF-related pathway, the Hippo pathway, may be involved in distant metastasis. Yes-Associated Protein (YAP) is the main downstream effector of this signaling pathway. It is expected that performing YAP marker and studying the relationship between YAP and VEGF-A, would provide data on the possibility of biomarkers that may be used as a prognostic predictor of the occurrence of distant metastasis in NPC. An observational analytic study was conducted—statistical analysis using SPSS 25.0 with Chi-square and contingency coefficients test. There was a significant difference in YAP expression between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). The expression of VEGF-A differed significantly between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). There was a significant relationship between YAP and VEGF-A (p=0.001) and a weak correlation (C 0.397, p=0.01). There was a significant difference in the double co-high-expression group between the KNF with and without distant metastasis (p<0.001). This study highlights YAP's oncogenic role in NPC, suggesting that YAP and VEGF-A might be potential biomarkers to predict distant metastasis in NPC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imanuddin Rahman
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S29185
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>