Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72893 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johannis Ferdi Mallo
"Tes fosfatase asam adalah suatu tes penyaring untuk mendeteksi adanya cairan
atau bercak mani. Pemeriksaan ini didasarkan atas pendeteksian aktifitas enzimatik enzim
fosfatase asam yang berasal dari cairan kelenjar prostat, yang merupakan salah satu
komponen dari cairan mani. Pada persetubuhan, cairan mani akan dideposit didalam
vagina dan akan bercampur dengan cairan vagina. Percampuran tersebut diduga akan
mempengaruhi aktifitas enzim FA jika dibandingkan dengan cairan mani sebelum
pencampuran tersebut. Selain itu, dengan berlalunya waktu aktifitas enzim akan terus
menurun sampai akhirnya akan sama seperti cairan vagina tanpa percampuran dengan
cairan mani. Pada penelitian ini ingin diteliti perbandingan antara aktifitas FA dalam
cairan/bercak mani dengan aktifitas FA pada cairan vagina dari berbagai interval waktu
pasca persetubuhan.
Pada penelitian ini didapatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Aktifitas FA pada cairan mani dengan pengenceran 1:64 menunjukkan aktifitas yang
sama dengan cairan vagina 37 sampai 48 jam pasca persetubuhan, dengan waktu
reaksi 29 detik.
Aktifitas FA pada cairan mani dengan pengenceran 1:66 sampai 1:34 menunjukkan
aktifitas yang sama dengan cairan vagina 49 sampai 72 jam pasca persetubuhan,
dengan waktu reaksi 30 sampai 60 detik.
Aktifitas FA pada cairan mani dengan pengenceran 1:136 sampai 1:296 menunjukkan
aktifitas yang sama dengan cairan vagina 73 sampai 108 jam pasca persetubuhan,
sama dengan cairan vagina tanpa persetubuhan, dengan waktu reaksi 62 sampai 134
detik.
Aktifitas FA pada cairan vagna yang menjadi negatif pada 50 % sampel (reaksi lebih
dari 30 detik) ditemukan pada bahan yang diambil 40 sampai 60 jam setelah
persetubuhan.
Reaksi FA paling singkat dijumpai cairan vagina tanpa persetubuhan pada minggu
ketiga setelah menstruasi.
Didapatkan adanya hubungan regresi yang amat lewat antara waktu reaksi awal tes
FA dengan interval pasca persetubuhan dengan persamaan regresi:
T awal = 0,0002192 T pc - 2,428 (R = 0,805, SE = 18,12)
(waktu dalam detik)
7. Didapatkan adanya hubungan regresi yang amat lewat antara waktu reaksi maksimal tes FA dengan interval pasca persetubuhan dengan persamaan regresi: T maksimal = 0,0004286 T pc - 3,261 (R = 0,8355, SE = 31,67) (waktu dalam detik)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T58985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Tariszata Amani
"Pengenceran bertingkat dilakukan terhadap sampel semen. Pengenceran dilakukan dengan mencampurkan semen dengan dH2O dengan persentase 100%, 10%; 1%; 0,1% 0,01%; dan 0,001%. Setiap tingkat pengenceran diteteskan ke kertas saring dan cotton swab sebanyak 10 µl untuk dijadikan noda semen. Uji Acid Phosphatase (AP) dilakukan di setiap tingkat pengenceran. Hasil positif terakhir uji AP didapatkan pada konsentrasi sampel noda semen 0,1%. Ekstraksi DNA sampel node semen dengan variasi konsentrasi 0,001--10% dilakukan dengan metode ekstraksi chelex 20%. Hasil ekstraksi DNA sampel noda semen dikuanntifikasi dengan RT-PCR. Kuantifikasi DNA menggunakan Quantifiler Human DNA Quantification kit. Konsentrasi minimum noda semen didapatkan dengan menghitung hasil kuantifikasi DNA menggunakan pendekatan regresi linear. Konsentrasi minimum noda semen untuk menghasilkan 1 ng DNA bernilai 38%.

The influence of semen stain concentrations on DNA quantities observed at 5 dilution rate. Semen was diluted on dH2O to obtain 100%, 10%, 1%, 0.1%, 0.01%, and 0.001% semen concentrations. 10 µl of semen solutions were then drops on top of whatman paper and cotton swab to attain semen stains sample. Acid phosphatase screening test show positive result can be observed up to 0.1% semen concentrations. DNA extraction on semen stain samples performed by chelex 20% methods. Extracted DNA were then quantified by RT-PCR. The quantification processes do by utilizing Quantifiler Human DNA Quantification kit. Minimum concentrations of semen stains needed to attain optimum DNA quantities analyzed by calculating the linear fit regression of semen concentrations vs. DNA quantities curve. The result shows minimum semen stain concentration to produce 1 ng/µl DNA was 38%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S59649
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Maidarmi Handayani
"Pendekatan sistem imun pada pejamu M. tuberculosismerupakan salah satu pilihan dalam pengembangan terapi tuberkulosis, terutama pada kasus tuberkulosis (TB)  resisten obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan fungsi makrofag pada penderita TB resisten obat dibandingkan dengan kontak erat yang terinfeksi laten dan sehat. Sel Monosit Darah Tepi (SMDT) diisolasi dan dikultur selama 7 hari. Fagositosis dinyatakan jika terdapat minimal satu sel darah merah domba tampak melekat pada membran makrofag. Kemampuan lisosom diperiksa dengan uji aktivitas enzim fosfatase asam. Enam pasien TB-RO dan 18 kasus kontak erat (8 TB laten;10 sehat) di RS Universitas Indonesia direkrut sebagai subjek penelitian. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas fagositosis kelompok infeksi laten lebih tinggi dibandingkan kelompok sehat dan TB RO (one-way ANOVA, p<0,05). Aktivitas enzim fosfatase asam lebih tinggi pada kelompok TB RO. Perbedaan fungsi makrofag ini diharapkan dapat menjadi referensi selanjutnya dalam terapi TB RO ataupun terapi pencegahan. 

The immune system approach to the host of M. tuberculosis is an option in developing tuberculosis therapy, especially in drug-resistant tuberculosis (DR-TB) cases. This study aimed to analyze the differences in macrophage function in drug-resistant TB patients compared to close contacts who were latently infected and healthy. Peripheral Blood Mononuclear Cell (PMBC) was isolated and cultured for seven days. Phagocytosis is expressed when at least one sheep red blood cell appears attached to the macrophage membrane. The ability of lysosomes was examined by testing the activity of the acid phosphatase enzymes. Six DR-TB patients and 18 close contact cases (8 LTBI; 10 healthy) at Universitas Indonesia Hospital were recruited as research subjects. The results showed that the phagocytosis activity of the latent infection group was higher than that of the healthy and TB RO groups (one-way ANOVA, p<0.05). Acid phosphatase activity was higher in the DR-TB group. The difference in macrophage function is expected to be a further reference in DR-TB treatment or preventive therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Firman Wahyudi
"Latar belakang. Spermatozoa harus mempunyai motilitas yang baik agar dapat tercapainya fertilisasi alami. Gangguan pada kelenjar assesori pria merupakan salah satu penyebab astenozoospermia, namun pemeriksaan pada kelenjar assesori pria jarang dilakukan. Kadar asam sitrat dalam plasma seminalis paling besar bila dibandingkan hasil sekresi kelenjar assesori lainnya, hal ini mendasari peneliti untuk melakukan penelitian terhadap asam sitrat dan produk utama yang dihasilkan kelenjar prostat lainnya yaitu fosfatase asam. Asam sitrat diduga berperan dalam proses viskositas, pH semen sehingga dapat mempengaruhi motilitas sperma, fosfatase asam diduga mempengaruhi pula motilitas sperma serta turut berperan dalam menjaga keseimbangan pH semen.
Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 57 sampel seminal plasma. Didapatkan 30 sampel seminal plasma kelompok motilitas normal dan 27 sampel seminal plasma kelompok astenozoospermia. Pemeriksaan pada analisa semen standar didapatkan viskositas, pH , volume, motilitas dan konsentrasi spermatozoa. Pemeriksaan kadar asam sitrat pada plasma seminalis dengan metode Flint, dan pemeriksaan aktivitas fosfatase asam pada seminal plasma menggunakan metode spektrofotometri.
Hasil. Hasil perbandingan volume semen, konsentrasi sperma dan kadar asam sitrat pada sampel plasma seminalis dengan astenozoospermia lebih rendah dibandingkan sampel plasma seminalis dengan motilitas normal, sebaliknya hasil pebandingan viskositas dan aktivitas fosfatase asam pada sampel plasma seminalis dengan astenozoospermia lebih tinggi dibandingkan sampel plasma seminalis dengan motilitas normal. Hasil pemeriksaan pH pada kedua kelompok sampel menunjukkan kecenderungan karakteristik yang sama pada kedua kategori. Hasil perbandingan nilai rerata kadar asam sitrat pada semua kategori konsentrasi sperma menunjukkan kadar lebih rendah pada sampel plasma seminalis dengan astenozoospermia dibandingkan dengan kelompok motilitas normal, sebaliknya pada hasil perbandingan nilai rerata aktivitas fosfatase asam pada semua kategori konsentrasi sperma menunjukkan kadar lebih tinggi pada sampel plasma seminalis dengan astenozoospermia dibandingkan dengan kelompok motilitas normal.
Kesimpulan. Kadar asam sitrat, volume dan konsentrasi dalam plasma seminalis pada sampel astenozoospermia lebih rendah dibandingkan sampel dengan motilitas normal, perbedaan ini signifikan secara statistik. Begitupun pada semua tingkat konsentrasi sperma nilai rerata kadar asam sitrat pada sampel astenozoospermia memiliki kecenderungan lebih rendah dibandingkan sampel dengan motilitas normal, perbedaan ini tidak signifikan secara spesifik. Aktivitas fosfatase asam dan viskositas pada sampel plasma seminalis dengan astenozoospermia lebih tinggi dibandingkan sampel dengan motilitas normal, perbedaan ini signifikan secara statistik, pada semua tingkat konsentrasi sperma aktivitas fosfatase asam pada plasma seminalis dengan astenozoospermia memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan motilitas normal namun perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Penelitian ini menunjukkan kadar asam sitrat dan aktivitas fosfatase asam tidak mempengaruhi spermatogenesis.

Background. Spermatozoa should have good motility in order to achieve a natural fertilization. Assesori male gland disorders are one of the causes astenozoospermia, but examination of the gland assesori rare Citric acid levels in the seminal plasma of the most substantial when compared to the results of other assesori gland secretions, it is the underlying researchers to conduct research on citric acid and primary products other prostate gland that is acid phosphatase. Citric acid is thought to play a role in the process viscosity, pH cement that can affect sperm motility, acid phosphatase is also thought to affect sperm motility as well as play a role in maintaining the pH balance of the semen.
Methodology. This study used a cross-sectional design of the 57 samples of seminal plasma. Obtained 30 samples of seminal plasma of normal motility group and 27 samples of seminal plasma astenozoospermia group. Examination of the standard semen analysis obtained viscosity, pH, volume, motility and concentration of spermatozoa. Examination of citric acid levels in seminal plasma by the method of Flint, and examination of acid phosphatase activity in seminal plasma using spectrophotometric method.
Result. The results of the comparison semen volume, sperm concentration and citric acid levels in seminal plasma samples with astenozoospermia lower than the seminal plasma samples with normal motility, otherwise Comparing the results of viscosity and acid phosphatase activity in seminal plasma samples with astenozoospermia higher than the seminal plasma samples with normal motility. PH probe results in both sample groups showed a trend similar characteristics in both categories. The results of comparison of the average levels of citric acid in all categories sperm concentration showed lower levels in seminal plasma samples with astenozoospermia compared with normal motility, whereas the mean value of the comparison results of acid phosphatase activity in all categories sperm concentration showed higher levels in seminal plasma samples with astenozoospermia compared with normal motility.
Conclusion. Citric acid content, volume and concentration in seminal plasma on astenozoospermia sample was lower than samples with normal motility, this difference was statistically significant. Likewise at all levels of sperm concentration of citric acid levels mean value in astenozoospermia samples have a lower propensity than samples with normal motility, this difference was not significant specifics. Acid phosphatase activity and viscosity in the seminal plasma samples with astenozoospermia higher than samples with normal motility, these differences are statistically significant, at all levels of sperm concentration of acid phosphatase activity in seminal plasma with astenozoospermia have a higher tendency than normal motility, but this difference was not statistically significant. This study showed levels of citric acid and acid phosphatase activity does not affect spermatogenesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek in vitro kalium iodida (KI) pada produksi fosfatase asam dengan mengkarakterisasikan secara lengkap strain S.schenckii yang diisolasi dari seorang pasien dengan sporotrichosis kulit. Enzim fosfatase asam diukur selama 3 fase pertumbuhan S. schenckii, dengan dan tanpa KI yang ditambahkan pada medium kultur dengan 3 konsentrasi berbeda. Pada kontrol dan bahan uji dengan konsentrasi KI yang berbeda, tidak dijumpai efek samping KI pada produksi fosfatase asam, pada fase awal dan “mid-log” pertumbuhan jamur. Sedangkan pada fase eksponensial dari bahan uji tampak penurunan produksi enzim yang bermakna secara statistik dengan kadar KI 0,8% dan 3,2%. Aktivitas yang rendah pada kadar KI 0,8% dan 3,2% menunjukkan bahwa KI mempunyai efek hambatan pertumbuhan S.schenkii dan menyebabkan penurunan aktivitas enzim. (Med J Indones 2003; 12: 65-8)

The present study was undertaken to find out the in-vitro effect of potassium iodide (KI) on the production of acid phosphatase by fully characterized strain of S.schenckii isolated from a patient of Cutaneous Sporotrichosis. The enzyme acid phosphatase was estimated during the 3 phases of growth of S.schenckii, without and with three concentrations of KI incorporated in the culture medium. In the control and in the test proper, with various concentrations of KI, no adverse effect of KI was observed on the production of acid phosphatase in early and mid log phase of fungal growth. Whereas in the exponential phase in test proper, there was a statistical significant decrease in the enzyme production with 0.8% and 3.2% of KI. The low activity at 0.8% and 3.2% KI indicates that KI has inhibitory effect on the growth of S.schenckii and has led to decrease in the activity of the enzyme. (Med J Indones 2003; 12: 65-8)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 65-68, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-65
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Kus Untari
"ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui potensi hepatoprotektif madu PS terhadap kadar alkali fosfatase (ALP) mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Dua puluh empat ekor mencit jantan dibagi ke dalam 4 kelompok hewan uji, yaitu kelompok kontrol normal (KK1) yang diberikan akuades dan minyak kelapa; kelompok kontrol perlakuan (KK2) yang diberikan akuades dan CCl4; serta 2 kelompok perlakuan (KP1 dan KP2) yang diberikan madu PS 10% dan 20% selama 14 hari berturut-turut, kemudian CCl4 2 jam setelah pemberian madu terakhir. Darah diambil 24 jam setelah injeksi CCl4. Kadar ALP diukur dengan metode kolorimetri. Hasil uji anova satu arah (P<0,05) menunjukkan adanya pengaruh nyata pemberian madu PS terhadap kadar ALP semua hewan uji. Dibandingkan kadar ALP KK2, kadar ALP KP1 lebih rendah 30,5% dan KP2 lebih rendah 52,9%. Namun, uji LSD (P<0,05) menunjukkan hanya kadar ALP KP2 yang tidak berbeda nyata dengan KK1. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa potensi hepatoprotektif madu PS 20% lebih besar dibandingkan madu PS 10%.


ABSTRACT

The study has been conducted to know the hepatoprotective potency of PS honey administration on male-DDY mice’s alkaline phosphatase level of blood plasma. Twenty four male mice were divided into four groups, namely normal control group (KK1) which was administered with aquadest and coconut oil; treatment control group (KK2) which was administered with aquadest and CCl4; and two treatment groups which was administered with PS honey 10% (KP1) and 20% (KP2) within 14 consecutive days and three groups (KK2, KP1,and KP2) were injected with CCl4 on the 14th day. Alkaline phosphatase was measured based on colorimetry method. One-way anova test (P<0,05) showed that alkaline phosphatase levels were significantly different. Compared with KK2, the alkaline phosphatase levels of KP1 and KP2 were 30,5% and 52,9% lesser than KK2, consecutively. However, LSD test (P<0,05) showed that only alkaline phosphatase level of KP2 was not significantly different. In conclusion, dose 20% of PS honey is more potential on hepatoprotective than those of 10%.

"
Universitas Indonesia, 2014
S57083
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifa Radhina
"Penyakit hati merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya radikal bebas. Radikal bebas dapat menyerang membran sel hati (hepatosit), menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan berujung pada kerusakan pada hepatosit. Kerusakan hati dapat dilihat dari meningkatnya kadar enzim alkali fosfatase pada serum. Pemberian infusa daun bertujuan untuk mengobati kerusakan hati, karena daun sukun memiliki kandungan flavonoid yang diduga berperan sebagai antioksidan. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat potensi kuratif infusa daun sukun untuk mengobati kerusakan hati. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan galur Sprague Dawley yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yakni KK1, KK2, KP1, KP2, dan KP3. Tikus diinduksi dengan karbon tetraklorida (CCl4) dosis 280 mg/kg BB, kemudian diberikan infusa daun sukun untuk KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut dengan dosis 2,7; 5,4; dan 10,8 g/kg BB sebanyak 4 kali dengan selang waktu 12 jam. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi penurunan kadar ALP serum pada tikus KP1, KP2, dan KP3 secara berturut-turut sebesar 20,66%, 26,45%, dan 33,89% jika dibandingkan dengan kadar ALP serum tikus yang diinduksi CCl4 (KK2). Dosis 10,8 g/kg BB merupakan dosis yang memberikan penurunan kadar ALP yang paling mendekati kadar normal.

Liver disease is one disease that can be caused by several things, one of which is free radicals. Free radicals can attack the cell membrane of the hepatocytes, causing lipid peroxidation and result in damage to the hepatocytes. Liver damage can be seen from the elevated alkaline phosphatase levels in serum. Administration of breadfruit leaves infusion aims to treat liver damage, as breadfruit leaf contains flavonoids which allegedly acted as an antioxidant. Research carried out is to look at the ability of breadfruit leaves infusion to treat liver damage. Tested animals were Sprague Dawley strain male rats divided into five groups namely KK1, KK2, KP1, KP2 and KP3. Rats induced by carbon tetrachloride (CCl4) dose of 280 mg/kg, then given the breadfruit leaves infusion for KP1, KP2 and KP3 respectively at a dose of 2.7; 5.4; and 10.8 g kg 4 times with an interval of 12 hours. Based on the results of the study, decreased of serum ALP levels in KP1, KP2 and KP3 rats amounted to 20.66%, 26.45%, and 33.89% when compared to CCl4 induced rats (KK2). Dose of 10.8 g/kg is the dose that gives the most reduction in ALP levels approaching normal levels.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ajeng Permata Dewi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bahwa ekstrak etanol rimpang temu mangga dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar ALP serum darah tikus yang diinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan galur Sprague-Dawley sebanyak 30 ekor yang dibagi dalam 6 kelompok perlakuan yaitu KK1, KK2, KP1, KP2, KP3 dan KP4. Tikus KK1 merupakan kelompok kontrol yang diinduksi akuades sedangkan kelompok KK2, KP1, KP2, KP3 dan KP4 merupakan kelompok yang diinduksi CCl4 dosis 1 ml/kg BB. Kemudian, kelompok KP1, KP2, KP3 dan KP4 diberikan ekstrak etanol rimpang temu mangga dosis 10 mg/kg BB, 20 mg/kg BB, 40 mg/kg BB dan 80 mg/kg BB sebanyak 4 kali dengan selang waktu 12 jam. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi penurunan kadar ALP serum pada kelompok tikus KP1, KP2, KP3 dan KP4 secara berturut-turut sebesar 37,60%, 39,18%, 35,7% dan 33,75% jika dibandingkan dengan kadar ALP serum tikus yang diinduksi CCl4 (KK2). Dosis 20 mg/kg BB merupakan dosis yang paling optimal karena berdasarkan hasil uji LSD kelompok tersebut tidak memiliki perbedaan dengan KK1 atau dengan kata lain kadar ALP kelompok tersebut sudah mencapai kadar normal.

The research aimed to find out that ethanol extract of mango ginger rhizome could affect the decrease of rat serum alkaline phosphatase (ALP) level that was induced by carbon tetrachloride (CCl4). Tested animals were 30 individuals of male Sprague-Dawley rats that were divided into six groups, namely KK1, KK2, KP1, KP2, KP3 and KP4. KK1 was a control group that was induced by aquades while KK2, KP1, KP2, KP3 and KP4 were groups that were induced by CCl4 dose of 1 ml/kg BW. Then, KP1, KP2, KP3 and KP4 were given the ethanol extract of mango ginger rhizome dose of 10 mg/kg BW, 20 mg/kg BW, 40 mg/kg BW and 80 mg/kg BW orally and administrated for 4 times with an interval of 12 hours. Based on the result, the decrease of rat serum Alkaline Phosphatase (ALP) level in KP1, KP2, KP3 and KP4 amounted to 37,48%, 39,17%, 36,79% and 36,09% compared to serum ALP level that was induced by CCl4 (KK2). Dose of 20 mg/kg BW is the most optimal dose since based on LSD test, this group has no difference with KK1 or in other words, ALP level of this group has reached normal level.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S64344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Utari
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan akurasi tes IVA dalam mendeteksi lesi derajat tinggi kanker serviks.
Metode: Dua puluh lima subjek dilakukan pemeriksaan IVA, dimana didapatkan hasil IVA positif dan dinilai lima kriteria berdasarkan kecepatan muncul lesi, intensitas warna putih yang kuat, ketebalan lesi berbentuk plak, batas lesi yang tegas dan tepi lesi yang meninggi. Kemudian dilakukan biopsi pada lesi putih yang dihasilkan dan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Hasil histopatologi dikelompokkan menjadi lesi derajat tinggi dan non lesi derajat tinggi.
Hasil: Penelitian ini diikuti oleh 25 wanita dengan hasil IVA positif Didapatkan NPP untuk kriteria kecepatan muncul lesi ≤60 detik, ketebalan lesi berbentuk plak, intensitas warna putih yang kuat, batas lesi yang tegas dan tepi lesi yang meninggi, adalah masing-masing sebesar 0,36; 0,33; 0,18; 0,2 dan 0,09. Apabila dua kriteria IVA positif dengan NPP tertinggi, yaitu kecepatan muncul lesi dan ketebalan lesi bentuk plak digabungkan, akan meningkatkan NPP menjadi 0,40.
Kesimpulan: Di antara lima kriteria IVA positif yang diuji pada penelitian ini, yang mempunyai nilai prediksi positif paling baik dalam mendeteksi lesi derajat tinggi adalah kriteria kecepatan munculnya lesi dan ketebalan lesi berbentuk plak.

Objective: To know the factors that can increase the accuracy of VIA tests in detecting high grade lesions.
Study design: Twenty-five subjects were performed VIA test with positive results, assessed further by five criterias based on speed of the lesion appear, strong white intensity of the lesions, thick lesions with plaque-shaped, firm-bordered lesions, and rised-edged lesions. Then punch biopsy and histopathology examination were conducted. Histopathology results grouped into high grade lesions and non-high grade lesions.
Results: This research followed by 25 woman with VIA positive results. Obtained PPV for five criterias: speed of lesions appear less than 60 seconds, strong white intensity of the lesions, the thickness of lesions with plaque-shaped, firm-bordered lesions, and rised-edged lesions were respectively 0.36; 0.33; 0.18; 0.2 and 0.09. If 2 criterias with best PPV, speed of lesions appear less than 60 seconds and the thickness of lesions with plaque-shaped, were combined, it will improve PPV to 0.40.
Conclusion: Among five criterias of VIA positive tested in the research, 2 criterias with best predictive values in detecting high grade lesions are speed of lesions appear less than 60 seconds and thick lesions with plaque-shaped.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Suci Yunita
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) disebabkan penyempitan arteri koronaria jantung, terdapat hipotesis mengenai infeksi periodontal yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya PJK. Alkaline phosphatase (ALP) sebagai penanda inflamasi akan meningkat pada aterosklerosis dan penyakit periodontal.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar ALP dalam saliva pada penderita PJK dan non PJK dengan status periodontal.
Metode: Saliva dari 104 subjek diambil sebanyak 1 ml, kadar ALP dianalisis menggunakan Abbott architect ci4100.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ALP dalam saliva antara penderita PJK dan non PJK.
Kesimpulan: ALP dalam saliva pada penderita PJK lebih tinggi daripada non PJK dan tidak ada hubungan ALP dengan status periodontal.

Background: Coronary heart disease (CHD) is a disease that causes narrowing of the coronary arteries. Currently, there is a hypothesis regarding periodontal infection that increase risk for heart disease. Alkaline phosphatase (ALP) as a marker of inflammation will increase in atherosclerosis and periodontal disease.
Objective: To analyze the relationship between the levels of alkaline phosphatase in saliva with periodontal status in patients with CHD and non CHD.
Methods: saliva of 104 subjects were taken, each 1 ml, and levels of Alkaline Phosphatase was analyzed using Abbott ci4100 architect.
Results: No significant difference of Alkaline Phosphatase levels in saliva between CHD patients and non CHD.
Conclusion: The level of ALP in saliva was higher in patients with CHD and no association between ALP level and periodontal status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>