Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77649 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachrisal
"Desain Penelitian. Sebuah penelitian kohort retrospektif pada pasien yang telah menjalani operasi fusi tulang belakang yang dilakukan bone graft yang diambil dari posterior ilium. Tujuan. Untuk menilai prevalensi nyeri pada lokasi pengambilan bone graft pada ·operasi tulang belakang Untuk mengetahui faktor resiko nyeri pada pengambilan bone graft dan komplikasinya. Latar Belakang. Fusi menjadi tujuan pada beberapa operasi tulang belakang dan dapat dicapai dengan melakukan instrumentasi dan bone graft. Telah diketahui bahwa salah satu sumber yang baik adalah berasal dari posterior i1iaka. Tempat pengambilan graft ini dapat menyebabkan nyeri. Meskipun akan hilang dalam 3 bulan namun beberpa pasien mengalami nyeri yang lebih lama. Bahkan pada beberapa kasus hal ini merupakan salah satu sumber nyeri pos operasi. Bahan dan Cara : Sampel diambil dari buku registrasi spine Prof Subroto Sapardan, dan di bagi dalam dua kelompok, dimana kelompok satu yang di lakukan graft dan kelompok dua yang tidak dilakukan graft dari iii aka posterior sebagai kontrol. Kemudian dilakukan wawancara, penilaian nyeri dengan skala analok, dan pemeriksaan fisik pada ke dua kelompok. Setiap kelompok dievaluasi adanya nyeri di ilium posterior dalam kurun enam bulan pos operasi. Analisa data menggunakan software SPSS Vl3, uji statistic di set pada a. sama dengan 0,05 dan power 80% dan interval kepercayaan 95%. Basil: Dalam penelitian diperoleh basil untuk kelompok 1 mengalami nyeri 75,6% sementara yang tidak 24,4%, sebaran diagnosis adalah 27,6% pada spondilitis TB, 55% skoliosis, 22% pada degenerative disk. Kami menemukan risiko rasio nyeri pada pengambilan bone graft di ilium posterior sebesar 11,2. Kesimpulan: Kejadian nyeri pada lokasi donor di iliaka posterior dibandingkan dengan yang tidak dilakukan bone graft cukup signifikan. Dari penelitian ini kami sarankan untuk mencari materi alternative lain untuk mempercepat fusi pada operasi tulang belakang."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T58781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Hamdriansyah
"Latar Belakang: Fusi tulang belakang adalah tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada spondilosis lumbal degeneratif. Paradigma fusi tulang belakang sesuai dengan pengalaman dimana nyeri pada diarthrodial joints atau deformitas pada sendi dapat secara sukses diatasi dengan arthrodesis. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa fusi secara melingkar akan meningkatkan rata-rata fusi yang padat, dengan rata-rata fusi 91%-99%. Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa fusi secara melingkar dapat meningkatkan luaran klinik masih kontroversial.
Metode:10 pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif (28-65tahun) dari RSUPN Cipto Mangunkusumo telah dilakukan pembedahan dengan tekhnik PLIF 6 bulan yang lalu, dilakukan penelitian dengan metode crossectional : 6 pria dan 4 wanita, dengan rerata umur 54,1 tahun. Dilakukan pengamatan selisih rerata pada skor ODI ( pre pembedahan dan 6 bulan pasca pembedahan) dan pengamatan fusi dengan ct scan 6 bulan pasca operasi.
Hasil dan diskusi: Dilakukan pengamatan pasca bedah selama 6 bulan. Skor ODI menunjukkan perbaikan luaran klinis pada seluruh pasien. Rerata skor ODI setelah 6 bulan secara bermakna dari 70% ke 20%. Fusi tercapai hanya pada 80% pasien setelah 6 bulan pasca pembedahan.
Kesimpulan:Tekhnik bedah PLIF terbukti meningkatkan luaran klinis dan fungsional pada pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif. Dari skor ODI sebelum pembedahan menurun setelah 6 bulan pasca pembedahan dan fusi tercapai setelah 6 bulan pasca pembedahan dengan PLIF. Terdapat perbedaan bermakna antara selisih rerata ODI skor pre bedah dan pasca bedah pada kelompok dengan fusi dibandingkan dengan kelompok yang tidak fusi.

Introduction: Spinal fusion is the most commonly perfomed surgical treatment for lumbal spondylosis. The paradigm of spinal fusion is based on the experience that painful diarthrodial joints or joint defrormities can be successfully treated by arthrodesis. Several studies have consistently demonstrated that circumferential fusion increase the rate of solid fusion, with fusion rates ranging from 91% to 99%. However, it remains controversial wheter circumferential fusion improves clinical outcome.
Method: Ten adult patients (28-65 years old) from Cipto Mangunkusumo hospital with degenerative lumbal spondylosis after 6 months treated by PLIF, were studied crosssectionaly: 5 men and 5 women with average age of 54,1 years. ODI score ( pre operative and 6 months post operative) and ct scan 6 months post operative were investigated.
Results and Discussion: All cases were followed up for 6 months. ODI score were demonstrated the improvement functional outcome in 90% patients. Mean differrentiated of ODI score after 6 months was decreased significantly from 70% to 20%. Fusion was reached in 80% after 6 months post operatively.
Conclusion: PLIF is proven to be effective to improve clinical and functional outcome in Lumbal spondylosis degenerative. From pre operative ODI score was reduce and fusion was reached after 6 months treated by PLIF. There was significant differrence between mean differrentiated of ODI score pre and 6 months post operative in fusion gorup compared with non fusion group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Witantra Dhamar Hutami
"Pendahuluan
Untuk menentukan apakah diperlukan fusi tulang belakang disamping dekompresi untuk kasus stenosis spinal lumbar (SSL) akan bergantung kepada stabilitas segmen tulang belakang yang terkena. Stabilitas tulang belakang didefinisikan sebagai kemampuan tulang belakang untuk mempertahankan kemampuan geraknya dengan serta mencegah terjadinya nyeri, defisit neurologis, dan angulasi yang tidak normal. Namun, sampai saat ini, belum ada konsensus yang jelas tentang definisi ketidakstabilan untuk menentukan apakah diperlukan fusi pada kasus SSL. Dalam penelitian ini, kami mengembangkan sistem penilaian baru, yang disebut dengan Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), untuk membantu menentukan adanya ketidakstabilan pada tulang belakang dan mengevaluasi kebutuhan fusi pada LSS.
Metodologi Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, tahap pertama adalah tinjauan sistematis untuk menemukan prediktor ketidakstabilan tulang belakang pada SSL, tahap kedua adalah pengembangan sistem penilaian untuk ketidakstabilan tulang belakang - Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) melalui pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, dan tahap ketiga adalah studi validitas dan reliabilitas sistem penilaian yang baru dikembangkan. Tinjauan sistematis dilakukan dengan menggunakan pedoman dari Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi dilakukan oleh ahli bedah tulang belakang berpengalaman di Indonesia yang telah terpilih, tahap ini dilakukan dua kali untuk menilai apakah ada perbedaan antara putaran pertama dan kedua. Tahap kedua akan menghasilkan ISSI yang baru. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan di rumah sakit institusional kami, yang melibatkan ahli bedah Ortopedi dan Ahli Radiologi yang bersertifikasi dan dibandingkan dengan penilaian radiologis dari White & Panjabi.
Hasil
Sebanyak 54 studi dimasukkan dalam tinjauan sistematis, dan prediktor ketidakstabilan pada stenosis tulang belakang dibagi menjadi klinis (adanya nyeri punggung sebagai gejala primer atau sekunder), radiografi polos statis (adanya vacuum phenomenon, kolaps diskus intervertebralis, sklerosis subkondral, dan traction spur), radiografi polos dinamik (translasi dan angulasi dinamik), dan temuan pencitraan resonansi magnetik/ (magnetic resonance imaging, MRI) yang terdiri dari efusi sendi faset, degenerasi otot multifidus, degenerasi endplate, dan degenerasi diskus. Melalui pendapat para ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, penilaian ISSI dikembangkan dan terdiri dari komponen klinis (nyeri punggung), komponen radiografi dinamik (translasi horizontal dan angulasi), dan komponen MRI (efusi sendi faset), masing- masing komponen tersebut akan diberi nilai, dan total nilai adalah 0 hingga 14. Penilaian akhir akan mengklasifikasikan pasien ke dalam tiga kelompok: kelompok stabil (nilai 0 hingga 4) di mana fusi tidak diperlukan, kelompok berpotensi tidak stabil (nilai 5 hingga 8) di mana keputusan fusi didasarkan pada penilaian klinis dokter bedah, dan kelompok tidak stabil (nilai 9 hingga 14) di mana fusi diperlukan. Tahap akhir penelitian menyimpulkan bahwa ISSI ini memiliki validitas dan reliabilitas yang baik.
Diskusi dan Kesimpulan
ISSI yang baru dikembangkan adalah sistem penilaian ketidakstabilan tulang belakang pada kasus SLL degeneratif yang sahih (valid) dan dapat diandalkan (reliabel), yang dapat membantu mengidentifikasi adanya ketidakstabilan pada SSL degenratif. ISSI diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk memutuskan apakah fusi tulang belakang diperlukan.

Introduction
Whether spinal fusion is performed in addition to a decompression for lumbar spinal stenosis (LSS) depends on the stability of the involved spinal segments. Spinal stability is defined as the ability of the spine to maintain its degree of motion while simultaneously preventing pain, neurologic deficits, and abnormal angulation. However, until currently, there is no clear consensus regarding the definition of instability to perform fusion in the cases of LSS. We developed a new scoring system, the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), to identify spinal instability and to evaluate the need of spinal fusion in LSS.
Materials and Methods
This study consisted of three stages, the first stage was the systematic review to find predictors of spinal instability in LSS, the second stage was the development of scoring system for spinal instability – the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) through expert opinion and modified Delphi technique, and the third stage was validity and reliability studies of the new developed scoring system. The systematic review was performed through Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta- Analyses (PRISMA) guideline. Expert opinion and modified Delphi technique were performed by experience spine surgeons in Indonesia who had been elected, this stage was performed twice to assess whether there was difference between first and second rounds. The second stage would yield the new developing ISSI. Validity and reliability testing were performed in our institutional hospitals, which included the board-certified Orthopaedic surgeon and Radiologist and was compared with the radiological checklist from White & Panjabi.
Results
A total of 54 studies were included in the systematic reviews, and the predictors of instability in spinal stenosis were divided into clinical (presence of back pain as primary or secondary symptoms), static plain radiograph (presence of vacuum phenomenon, intervertebral disk collapse, subchondral sclerosis, and traction spurs), dynamic plain radiograph (horizontal translation and angulation), and magnetic resonance imaging/ MRI findings (facet joint effusion, fatty degeneration of multifidus, endplate degeneration, and disk degeneration). Through expert opinion and modified Delphi technique, ISSI score was developed and consisted of the clinical component (back pain), dynamic radiograph component (horizontal translation and angulation), and MRI component (facet joint effusion), each of the component would be scored, and the total scoring would be from 0 to 14. The final scoring would classify patients into three groups: stable group (score of 0 to 4) in which the fusion is not needed, potentially unstable group (score of 5 to 8) in which the decision of fusion is based on surgeon’s clinical judgment, and unstable group (score of 9 to 14) in which the fusion is needed. Final stage of study concluded that this ISSI had good reliability and validity
Discussion and Conclusion
The new developed ISSI was a valid and reliable scoring system that could help to identify the presence of instability in LSS and the need of fusion. This ISSI can be used as a guideline to decide whether spinal fusion would be needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Loviana Roza
"Latar Belakang: Prevalensi nyeri pascabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2017 menunjukkan intensitas nyeri sedang (57,4%) dan nyeri berat (20,4%). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor prediktor nyeri pascabedah sedang dan berat, menganalisis hubungan, dan mengembangkan model prediksi nyeri pascabedah sedang dan berat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 135 pasien yang menjalani pembedahan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. Setiap faktor prediktor dianalisis menggunakan analisis bivariat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Sistem skor prediksi dirangkum dari hasil analisis multivariat.
Hasil: Risiko kejadian (RR) untuk setiap faktor prediktor yang diidentifikasi berdasarkan analisis bivariat adalah: tingkat kecemasan prabedah (RR: 3,32, 95% CI: 1,28 – 8,56), durasi pembedahan lebih dari 90 menit (RR: 7,23, 95% CI: 1,85 – 28,29), jenis pembedahan mayor (RR: 2,69, 95% CI: 1,58 – 4,57), konsumsi opioid intraoperatif (RR: 2,67, 95% CI: 1,68 – 4,25), dan jenis anestesi (RR: 2,37, 95% CI: 1,06 – 5,33). Analisis multivariat menunjukkan bahwa prediktor signifikan untuk nyeri pascabedah sedang hingga berat adalah tingkat kecemasan prabedah (p = 0,085, RR: 2,23, 95% CI: 0,87 – 5,54), durasi pembedahan (p = 0,056, RR: 3,92, 95% CI: 0,96 – 15,96), jenis pembedahan mayor (p = 0,061, RR: 1,63, 95% CI: 0,97 – 2,72), dan konsumsi opioid intraoperatif (p = 0,011, RR: 1,78, 95% CI: 1,14 – 2,78). Kesimpulan: Faktor prediktor nyeri pascabedah pada penelitian ini adalah tingkat kecemasan prabedah, jenis pembedahan, durasi pembedahan, dan konsumsi opioid intraoperatif. Persamaan regresi disusun berdasarkan empat faktor prediktor tersebut.

Background: The prevalence of postoperative pain at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in 2017 showed moderate pain intensity (57.4%) and severe pain (20.4%). This study aims to determine predictors of moderate and severe postoperative pain, analyze relationships, and develop a prediction model for moderate and severe postoperative pain. Methods: This study used a prospective cohort design on 135 patients undergoing surgery at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo who met the inclusion criteria. Each predictor factor was analyzed using bivariate analysis followed by multivariate analysis using logistic regression. The prediction score system was summarized from the results of the multivariate analysis. Results: The risk ratio (RR) for each predictor identified from bivariate analysis were: preoperative anxiety level (RR: 3.32, 95% CI: 1.28 – 8.56), surgery duration over 90 minutes (RR: 7.23, 95% CI: 1.85 – 28.29), major surgery (RR: 2.69, 95% CI: 1.58 – 4.57), intraoperative opioid consumption (RR: 2.67, 95% CI: 1.68 – 4.25), and type of anesthesia (RR: 2.37, 95% CI: 1.06 – 5.33). Multivariate analysis showed that significant predictors for moderate to severe postoperative pain were preoperative anxiety level (p = 0.085, RR: 2.23, 95% CI: 0.87 – 5.54), surgery duration (p = 0.056, RR: 3.92, 95% CI: 0.96 – 15.96), major surgery (p = 0.061, RR: 1.63, 95% CI: 0.97 – 2.72), and intraoperative opioid consumption (p = 0.011, RR: 1.78, 95% CI: 1.14 – 2.78). Conclusion: Predictors of postoperative pain in this study are preoperative anxiety level, type of surgery, surgery duration, and intraoperative opioid consumption. The regression equation is based on these four predictor factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
"Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga
asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi
umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi
umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks
okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda
dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral
dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II.
Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo.
Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva,
traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual
Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok
intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4,
dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit.
Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5%
sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah
pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik,
namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi
subtenon memberi hasil yang lebih baik.

Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia,
arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent
this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub-
Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and
postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15
patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American
Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to
receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart
rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result:
The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction
and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and
in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in
ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain
scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We
conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power
75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general
anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first
hour after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Santi Susanti R.
"Posterior Sagittal Anorectoplasty (PSARP) merupakan salah satu prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada pasien anak dengan malformasi anorectal. Seringkali nyeri menjadi salah satu manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat insisi pembedahan. Masalah keperawatan nyeri akut pada umumnya terjadi pada anak pasca operasi PSARP. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir nyeri yang dirasakan adalah dengan melakukan manajemen nyeri non farmakologis. Pemberian intervensi manajemen non farmakologis dengan metode skin-to-skin dapat menurunkan nyeri yang dirasakan pada pasien bayi dibawah 1 tahun.
Hasil intervensi yang diberikan pada pasien kelolaan utama paska pembedahan PSARP dengan nyeri akut mampu menurunkan rasa nyeri yang dirasakan FLACC scale 7/10 menjadi 0/10. Pemberian terapi non farmakologis perlu diikuti dengan terapi farmakologis untuk meningkatkan efektifitas intervensi yang dilakukan. Penggunaan terapi non farmakologis dengan metode skin-to-skin disarankan untuk mengurangi nyeri pada anak pasca pembedahan PSARP.

The Posterior Sagittal Anorectoplasty (PSARP) is one of the most frequent surgical procedures in child patients with anorectal malformations. Often pain is one of the clinical manifestations caused by surgical incisions. The problem of acute pain treatment in general occurs in children postoperative PSARP. One way to minimize the pain that is felt is to do non-pharmacological pain management. Administration of non-pharmacological management with skin-to-skin method can reduce the pain felt inbayis under 1 year.
The results of the intervention given to the primary management patients after the PSARP surgery with acute pain are able to lower the pain felt by FLACC scale 7/10 to 0/10. The provision of non-pharmacological therapy should be followed by pharmacological therapy to improve the effectiveness of the intervention. The use of non-pharmacological therapy with skin-to-skin methods is advised to reduce pain in children postoperative PSARP.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Didan Tarmansyah
"Nyeri pasca pembedahan masih menjadi masalah utama diseluruh dunia, nyeri ini menimbulkan ketidaknyamanan pasien, memperlambat penyembuhan, memperpanjang waktu perawatan dan menimbulkan komplikasi lainnya. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang nyeri dan penatalaksanaanya terhadap sikap perawat dalam menurunkan nyeri pada pasien pasca pembedahan di ruang perawatan RSUP Perasahabatan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik Korelatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil 102 orang dengan Simple Random Sampling.
Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis Spearman. Hasil penelitian ini Terdapat Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Nyeri dan Penatalaksanaaanya terhadap Sikap Perawat dalam Menurunkan Nyeri pada Pasien Pasca Pembedahan di RSUP Persahabatan Jakarta dengan nilai P=0,003 ?=0,05. Disarankan perawat untuk tetap meningkatkan pengetahuan dan sikapnya dalam penatalaksanaan nyeri pada pasien pasca pembedahan sehingga dapat menjaga kualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit.

Pain post operative is still recognized as a main problem in the world. The pain generally leads to a state of discomfort feeling, delay healing, prolonge length of stay. This study examined the correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan. The design of this study using correlational descriptive with cross sectional approach. This participants of this study consisted of 102 nurses with simple random sampling method.
The result of Spearman analysis indicates that there is a correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan Jakarta, with p value 0,003 0,05. Recomendation for nurses is to keep improving knowledge and atttude regarding pain and its management towards patients post operative in order to improve the quality of health care service in hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68861
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Marfungatun Mudrikah
"ABSTRAK
Apendisitis merupakan salah satu kondisi bedah paling umum yang menyerang anak-anak dan orang dewasa. Insiden kejadian apendisitis menjadi fenomena yang perlu segera ditangani. Salah satu penatalaksanaan dari kasus apendisitis adalah appendiktomi. Masalah utama yang muncul pada pasien post appendiktomi adalah nyeri akut karena adanya luka operasi. Manajemen nyeri pasca operasi pada pasien anak diperlukan peran penting perawat dalam melakukan penilaian dan manajemen nyeri pasca operasi. Karya ilimiah ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan nyeri post appendiktomi dengan penerapan teknik effleurage. Hasil penerapan teknik effleurage yang dilakukan pada klien dengan post appendiktomi dapat meningkatkan rasa nyaman dan mengurangi nyeri yang dirasakan oleh klien. Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan menjadi salah satu evidence yang dikembangkan bagi penyedia pelayanan kesehatan mengenai penerapan teknik effleurage pada pasien anak dengan nyeri post appendiktomi.

ABSTRACT
Appendicitis is one of the most common surgical conditions that occur in children and adults. The incidence of appendicitis is the phenomenon that needs to be addressed immediately. One of the management of appendix is appendectomy. The main problem that arises in the patients postoperative appendectomy is acute pain due to surgical injuries. Postoperative pain management in child patients is required the important role of nurses in conducting assessment and management of postoperative pain. This scientific work aims to analyze nursing care in patients with pain postoperative appendectomy using application of effleurage technique. The results of the application of effleurage techniques performed on the client with post appendectomy can increase the sense of comfort and reduce the pain felt by the client. This scientific work is expected to increase knowledge and become one of the evidence developed for healthcare providers regarding the application of effleurage techniques in child patients with pain postoperative appendectomy.
"
2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nismara Datyani
"Latar Belakang Nyeri merupakan salah satu gejala yang paling banyak dirasakan pasien sesudah menjalani operasi. Sebanyak lebih dari 80% pasien melaporkan nyeri akut pascabedah. Nyeri akut pascabedah dipengaruhi oleh banyak faktor preoperatif seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, tingkat pendidikan, jenis analgesia, nyeri prabedah, dan jenis pembedahan. Maka dari itu, peneliti ingin menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi derajat nyeri akut pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode Penelitian kohort retrospektif dilakukan dengan mengambil rekam medis pada bulan 15 Juni—14 Juli 2022. Didapatkan sejumlah 137 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis dianalisis dengan uji Chi-square untuk melihat hubungannya. Hasil Faktor preoperatif yaitu jenis analgesia dan nyeri prabedah bermakna signifikan secara statistik terhadap derajat nyeri akut 24 jam pascabedah (p<0,05). Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan bermakna yang signifikan terhadap derajat nyeri akut 24 jam pasacabedah (p>0,05). Kesimpulan Faktor preoperatif seperti jenis analgesia dan nyeri prabedah mampu memengaruhi derajat nyeri akut 24 jam pascabedah elektif pada pasien dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction Pain is one of most common symptoms experienced by patients after undergoing surgery. More than 80% of patients report acute postoperative pain. Acute postoperative pain if influenced by many preoperative factors, such as age, gender, comorbidities, education level, type of analgesia, preoperative pain, and types of surgery. Therefore in this study, researcher wants to investigate the factors that influence the degree of acute postoperative pain after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkosomo. Methods A retrospective cohort study was conducted by taking medical records from 15 June to 14 July 2022. A total of 137 samples that met the inclusion and exclusion criterias were obtained. Medical records data was analyzed using the Chi-square test to see the relationship between factors and acute postoperative pain. Results Preopetaive factors, such as the type of analgesia and preoperative pain, were statistically significant on the degree of acute pain 24 hourse after surgery (p<0,05). Other factors such as age, gender, comorbidities, and education level do not have a significant relationship to the degree of acute pain 24 hours after surgery (p>0,05). Conclusion Preoperative factors such as the type of analgesia and preoperative pain can influence the degree of acute pain 24 hours after elective surgery in adult patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>