Ditemukan 44070 dokumen yang sesuai dengan query
Dhimas Widyananda
"Munculnya kebijakan sertifikasi pusat perbelanjaan berbasis Kekayaan Intelektual (KI) oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) merupakan salah satu alasan utama dilakukannya penelitian ini. Secara sederhana, Hak kekayaan intelektual (HKI) dapat dimaknai sebagai suatu hak yang diberikan kepada individu atau organisasi atas ciptaan mereka. Hak ini memberi pemiliknya hak eksklusif untuk menggunakan, memproduksi, dan menjual ciptaan mereka untuk jangka waktu tertentu, serta melindungi ciptaan mereka dari penggunaan atau peniruan tanpa izin. Banyaknya pelanggaran atas KI, terutama Hak Cipta dan Merek, menunjukkan terdapat suatu urgensi yang harus disikapi secara tegas. Berdasarkan data, pelanggaran atas hak cipta dan merek sangat marak terjadi di pusat perbelanjaan. Dampak dari pelanggaran tersebut memberikan kerugian secara ekonomi, baik untuk pemegang hak eksklusif maupun negara. Adanya kebijakan sertifikasi yang diusung oleh DJKI tentu menjadi suatu terobosan yang sangat baik. DJKI tentu memiliki peran yang sangat krusial dalam proses penerapan kebijakan ini, baik dalam tahapan proses sertifikasi maupun pengawasan. Adapun Manfaat dari eksistensi kebijakan ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memberantas pelanggaran-pelanggaran HKI yang ada. Akan tetapi pada realitas penerapannya, masih banyak ditemukan pusat perbelanjaan yang memperjualbelikan barang yang melanggar ketentuan Hak Kekayaan Intelektual. Dalam proses penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum secara doktrinal, yaitu metode penelitian dengan mengacu pada analisis teori hukum dan doktrin hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih diperlukan suatu tindakan yang lebih represif untuk memberantas permasalahan hukum kekayaan intelektual. DKJI diharapkan dapat membentuk tim satuan khusus yang bekerja sama dengan instansi pain untuk menegakkan kebijakan ini secara masif.
The introduction of the shopping center certification policy based on Intellectual Property (IP) by the Directorate General of Intellectual Property (DGIP) is one of the primary reasons for conducting this research. Intellectual Property Rights (IPR) can be simply understood as rights granted to individuals or organizations over their creations. These rights give owners exclusive rights to use, produce, and sell their creations for a specific period, as well as protect them from unauthorized use or imitation. The prevalence of IP violations, especially in Copyrights and Trademarks, indicates a pressing urgency that must be addressed firmly. According to data, violations of copyright and trademark rights are rampant in shopping centers. The economic impact of these violations results in losses for both the exclusive rights holders and the nation. The implementation of the certification policy proposed by DGIP represents a significant breakthrough. DGIP plays a crucial role in the implementation of this policy, both in the certification process and in supervision. The benefits of this policy aim to provide legal certainty and eradicate existing IPR violations. However, in reality, many shopping centers are found to trade goods that violate Intellectual Property Rights regulations. In the research process, a doctrinal legal research method was utilized, which involves analyzing legal theories and legal doctrines. The research findings indicate that more stringent measures are still needed to address intellectual property law issues. DGIP is expected to establish a specialized unit in collaboration with relevant agencies to enforce this policy comprehensively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Tasyafa Aleysa Taufik
"Pesatnya perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia berbanding lurus dengan kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif untuk mendapatkan pembiayaan untuk menyokong keberlangsungan usahanya. Mendapatkan akses terhadap kredit perbankan merupakan hal yang penting agar dapat mencapai optimalisasi potensi dari pengembangan ekonomi kreatif melalui skema agunan berbasis kekayaan intelektual melalui jaminan fidusia. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasi kebutuhan ini melalui lahirnya UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif serta peraturan pelaksanaannya pada PP No. 24 Tahun 2022. Agar skema tersebut dapat terlaksana secara efektif pada saat PP No. 24 Tahun 2022 berlaku pada Juli 2023, masih diperlukannya kejelasan terkait dengan penilaian agunan kekayaan intelektual, ketersediaan pasar sekunder, serta ketersediaan pihak penilai. Berangkat dari latar belakang tersebut, dilakukannya penelitian dengan rumusan masalah terkait dengan bagaimana pengaturan pemberian kredit bank bagi pelaku ekonomi kreatif serta bagaimana perlindungan hukum bagi bank terhadap pemberian kredit yang menggunakan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan fidusia. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui aturan serta analisis terkait dengan perlindungan hukum bagi bank yang memberikan kredit dengan jaminan atau agunan kekayaan intelektual. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara. Berdasarkan penelitian ini, masih dibutuhkan adanya pengaturan serta regulasi terkait diterimanya agunan dalam bentuk kekayaan intelektual. Sehingga, pembentukan peraturan dari lembaga pengawas sektor keuangan sebagai serta peraturan pendukung dari dunia perbankan harus segera diakselerasi penyusunannya agar dapat menjadikan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual terkhusus melalui pemberian kredit di Indonesia dapat terlaksana.
The demand for funding by creative economy promoter to finance their ongoing operations is strongly correlated with the rapid growth of the creative industry in Indonesia. Having access to credit banking is crucial to maximizing the creative economy's potential for growth through a fiduciary guarantee-based scheme for intellectual property-based collateral. With the introduction of Law No. 24 Year 2019 concerning the Creative Economy and its implementing rules in Government Regulation No. 24 of 2022, the Indonesian government has met this demand. Government Regulation No. 24 of 2022 must still be fully implemented by July 2023 in order for the system to function as intended in terms of intellectual property judgment, secondary market accessibility, and appraiser accessibility. In order for the scheme to be implemented effectively at the time of Government Regulation No. 24 of 2022 comes into effect in July 2023, it is still fully required related to intellectual property judgment, secondary market availability, and the availability of appraisers. Departing from this background, research was conducted with the formulation of issues, which is in terms of what is the regulation that regulates bank lending to creative economy promoter and how to provide legal protection for banks against granting credit that uses intellectual property as an object of fiduciary guarantees. The objective of this research is to comprehend the rules and analysis related to legal protection for banks that provide credit with guarantees or intellectual property guarantees. With the aid of interviews and secondary data, this study was done as juridical-normative research. According to this research, protocols and rules governing the acceptance of collateral in the form of intellectual property are still necessary. In order for Indonesia to be able to finance intellectual property, particularly through the provision of credit, it is necessary to hasten the creation of laws from agencies responsible for the financial sector as well as supporting regulations from the banking industry."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rizki Iman Faiz Pratama
"Merek merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual yang penggunaannya umum ditemukan di bidang perdagangan dan berbagai industri lainnya. Sebagai salah satu cabang dari cakupan kekayaan intelektual, merek mendapatkan hak perlindungan hukum. Pasal 20 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan bahwa merek tidak dapat didaftar jika mengandung nama umum dan/atau lambang umum, namun pada praktiknya terdapat beberapa kasus penggunaan nama umum untuk digunakan sebagai merek. Disisi lain DJKI sebagai otoritas yang berwenang atas pendaftaran merek juga menyetujui merek yang mengandung unsur nama dan/atau lambang umum yang diajukan oleh pemohon merek. Salah satu kasus yang cukup terkenal dan muncul menjadi pemberitaan adalah sengketa kasus merek Open Mic Indonesia antara Perkumpulan Stand Up Indonesia dengan Ramon Pratomo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan doktrin
generic term/istilah umum terhadap peraturan perundang-undangan terkait merek di Indonesia dan istilah umum terhadap merek Open Mic Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang mana penelitian ini memperoleh data dari bahan hukum primer antara lain asas-asas hukum, filsafat hukum, norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan didukung oleh bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel, makalah, penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah penelitian dan juga bahan hukum tersier berupa kamus, dan ensiklopedi.
Brand or trademark is one type of intellectual property rights whose use is commonly found in trade and various other industries. As one of the branches of intellectual property coverage, brands get legal protection rights. Article 20 letter f of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications explains that a mark cannot be registered if it contains a common name and/or common emblem, but in practice there are several cases of using a common name to be used as a mark. On the other hand, DJKI as the competent authority for trademark registration also approves marks containing elements of common names and/or symbols submitted by trademark applicants. One case that is quite famous and appears in the news is the dispute over the Open Mic Indonesia brand case between the Indonesian Stand Up Association and Ramon Pratomo. This study aims to determine the application of generic term doctrine to laws and regulations related to brands in Indonesia and general terms to the Open Mic Indonesia brand. This research is a normative legal research where this research obtains data from primary legal materials including legal principles, legal philosophy, legal norms, contained in laws and regulations supported by secondary legal materials in the form of books, journals, articles, papers, previous research related to research problems and also tertiary legal materials in the form of dictionaries, and encyclopedias."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rajulur Rakhman
"
ABSTRAKSetelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Negara Indonesia akhirnya mempunyai dasar hukum tentang pelindungan merek Suara. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang lebih mendalam terkait aturan tentang pelindungan merek suara di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan berdasarkan kepada penelitian yuridis normatif. Dari permasalahan yang ada, kesimpulannya antara lain suara dapat dijadikan sebagai merek, tanda suara memiliki kelebihan-kelebihan khusus dan masih terdapatnya kekurangan dalam aturan yang berlaku saat ini terkait dengan pelindungan merek suara di Indonesia. Penelitian menyarankan agar segera dibuat pedoman standar teknis dari merek suara.
ABSTRACTFollowing the enactment of the Regulation Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications, the Republic of Indonesia finally has a legal basis on the protection of sound mark. Therefore, more in depth research on the regulation is needed. The research method is based on normative juridical research. From the existing problems, the conclusions are sound can be used as a trademark, sound marks as a trademark have special advantages among others and there are still deficiencies in the current rules related to the protection of sound marks in the Republic of Indonesia. Research suggests that a technical standard guidance of the sound marks to be created immediately."
2018
T49744
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sinaga, David
"Masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia tidak hanya menyangkut tentang pemahaman masyarakat yang belum memadai, namun juga penegakan hukum yang dirasa masih lemah. Pelanggaran HaKI seperti pembajakan, pemalsuan, peniruan, pengakuan terhadap beragam hasil karya cipta milik orang lain atau institusi lain sering diidentinkkan dengan perilaku kriminal karena adanya kerugian secara ekonomi, padahal pelanggaranpelanggaran tersebut hanyalah sebagian saja dari fenomena HaKI yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan. Skripsi ini membahas mengenai penerapan aspek hukum oleh penyidik Polri dalam penanganan kasus tindak pidana di bidang merek, dan skripsi ini mengambil suatu studi kasus yaitu kasus Merek Bell 999 dan Prima Bell. Tindak pidana yang dibahas dalam skripsi ini merupakan tindak pidana tanpa hak menggunakan Merek Bell 999 dan Prima Bell 999 yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik Bambang Santoso dengan merek Bell + lukisan dan Super Bell + lukisan untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dengan tersangka : HAJI HERRY DJUWASA, yang dimana telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 91 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Penulisan Skripsi ini menyarankan kepada Pimpinan Polri, hendaknya melakukan kebijakan dalam memberikan petunjuk yang jelas kepada setiap penyidik Polri dalam menerima laporan polisi terutama yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang merek, agar tidak bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara RI, sehingga proses penyidikan tindak pidana merek dapat berjalan sesuai dengan ketentuan.
Problem of Intellectual Property Rights in Indonesia is not only connected with the lack of people?s understanding, but also the law enforcement. Breaking the rules of Intellectual Property Rights like piracy, counterfeit products, copying and claiming of other people?s or organization?s Property Rights usually identify as a crime because of the financial loss. On the other hand those crimes are only few of Intellectual Property Rights Phenomenon that become a current topic. This Undergraduate Thesis examines about The Law Implementation By POLRI Investigator in Trademark Crime Case Handling capturing the case study : Bell 999 and Prima Bell. The suspect, HAJI HERRY DJUWASA was using the same brand without right - Bell 999 and Prima Bell 999 - while the original brand is Bell + lukisan and Super Bell + lukisan owned by Bambang Santoso. The suspect was breaking the Regulation of Article 91 Law of Republic of Indonesia Number 15 Year 2001 Regarding Marks. This Undergraduate Thesis suggests that The Chief of POLRI to make specific regulation for POLRI Investigator to handle Trademark Crime. Therefore the investigator won't face the wrong way to handle the Trademark Crime having the reality that the Regulation of KAPOLRI Number 12 Year 2009 is not alligned with the Trademarks Regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S271
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Rachmadi Usman
Bandung : Alumni, 2003
346.048 RAC h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Fokusmedia, 2006
346.048 KIT
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Dewi Sawitri
"Sepeti halnya. pencipta lainnya, seorang desainer pakaian seharusnya memperoleh perlindungan terhadap karyakaryanya. Perlindungan terhadap Hak atas kekayaan intelektual dari desainer inilah yang sering diabai kan. Hal inilah yapg akan diperlihatkan penulis dalam kenyataannya. Dan dalam melakukan penelitian ini, digunakan metode penelitian kepustakaan, dengan disertai dengan wawancara dengan para narasumber. Seperti kita ketahui, apabila seorang desainer bekerja pada suatu perusahaan, maka hubungan antara desainer dengan perusahaan tersebut adalah hubungan kerja. Dan menurut pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) No. 12/1997, apabila terjadi hubungan kerja, maka hak tetap pada pencipta, kecuali bila diperjanjikan lain. Dan pada penjelasan asal 3 undang-undang yang sama, dijelaskan bahwa perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis. Sehi ngga, apabila pengalihan hak tidak dibuat dalam suatu perjanjian tetulis, maka, segala hak tetap pada pencipta. Namun dalam kenyataannya, desainer dianggap sebagai pegawai biasa dan seluruh hak atas seluruh ciptaannya dipegang oleh perusahaan tempat dia bekerja, padahal tidak dibuat suatu perjanjian tertulis mengenai pengalihan hak. Disinilah diasumsikan terjadi suatu penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandigheden) yang dilakuakan oleh perusahaan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20616
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Lintang Jantera
"Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Hak Kekayaan Intelektual sebagai suatu kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia dapat digunakan sebagai objek jaminan pembayaran utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual di Indonesia. Berbeda dengan Hak Cipta, Merek sebagai salah satu hak kekayaan intelektual yang dapat dijadikan suatu jaminan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan mana pun, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah praktiknya penjaminan suatu Merek dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank. Dalam Penelitian ini, Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji isu tersebut adalah yuridis normatif dengan menelaah dan dan menganalisis bahan pustaka, dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan substansi penelitian dan empiris dengan melakukan penelitian lapangan melalui wawancara dengan beberapa lembaga keuangan nonbank. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini digunakan sebagai pengetahuan konsep dan acuan referensi atas penjaminan suatu Merek sebagai objek jaminan pembayaran utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank di Indonesia. Dalam implementasinya Merek sebagai benda bergerak tidak berwujud secara teori telah dapat dijadikan objek jaminan dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank dengan Jaminan Fidusia. Namun pada praktiknya, skema pembiayaan tersebut masih belum dapat diterapkan dikarenakan belum adanya acuan untuk menilai suatu Merek yang akan dijaminkan serta pula karena belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur secara terperinci terkait objek jaminan kekayaan intelektual. Sehingga jika diterapkan, dapat berpotensi menimbulkan resiko kerugian kepada lembaga keuangan nonbank terkait.
With the issuance of Government Regulation Number 24 of 2022 concerning implementing regulations of Law Number 24 of 2019 concerning the Creative Economy, Intellectual Property Rights as a property arising or born due to human intellectual abilities can be used as collateral for debt repayment in intellectual property-based financing schemes in Indonesia. In contrast to Copyrights, Marks as one of the intellectual property rights that can be used as collateral have not been regulated in any laws and regulations, particularly Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. The subject matter of the discussion in this study is how the practice of guaranteeing a Mark in an intellectual property-based financing scheme at a non-bank financial institution. In this study, the research method used to examine these issues is normative juridical by examining and analyzing literature, documents and laws and regulations related to the substance of the research and empirical by conducting field research through interviews with several non-bank financial institutions. The results obtained from this study are used as conceptual knowledge and references for guaranteeing a Mark as an object of collateral for debt repayment in intellectual property-based financing schemes at non-bank financial institutions in Indonesia. The conclusion of this research is that in its implementation, marks as intangible movable objects can theoretically be used as collateral objects in intellectual property-based financing schemes in non-bank financial institutions with Fiduciary Guarantees. However, in practice, this financing scheme cannot yet be implemented due to the absence of a reference for assessing a Mark to be pledged as collateral and also because there are no implementing regulations that regulate in detail regarding the object of intellectual property guarantees. So that if implemented, it could potentially pose a risk of loss to the related non-bank financial institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rahayu Hartini
Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, 2017
346.078 RAH h
Buku Teks Universitas Indonesia Library