Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110927 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rima Diah Pramudyawati
"Badan Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO) memenangkan Uni Eropa (UE) dalam sengketa DS592: Indonesia-Measures Relating to Raw Materials. Sebagai tanggapan terhadap keputusan ini, Indonesia mengajukan banding ke Badan Banding WTO. Namun, karena Badan Banding tidak berfungsi, banding tersebut berujung pada situasi 'appeal into the void'. Untuk mengatasi kekosongan ini, UE mengadopsi Regulation (EU) No. 2021/167, yang mengizinkan UE untuk menerapkan sanksi perdagangan terhadap negara lain meskipun laporan Panel belum final. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan melakukan analisis mendalam terhadap Regulation (EU) 2021/167, Section 301 Amerika Serikat, dan Law 14.353/2022 Brasil. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji strategi antisipasi yang dapat diambil oleh Indonesia ketika UE memberlakukan sanksi perdagangan berdasarkan Regulation (EU) No. 2021/167. Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki hak untuk mengajukan sengketa perdagangan melalui mekanisme DSB di WTO, terlepas dari kondisi Badan Banding yang tidak berfungsi. Selain itu, pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan untuk merumuskan peraturan yang memungkinkan tindakan retaliasi guna melindungi kepentingan perdagangan dan ekonomi nasional, sambil tetap mematuhi aturan WTO.

The World Trade Organization (WTO) Dispute Settlement Body won over the European Union (EU) in the DS592: Indonesia-Measures Relating to Raw Materials dispute. In response to this decision, Indonesia appealed to the WTO Appellate Body. However, because the Appellate Body was not functioning, the appeal ended up in an 'appeal into the void' situation. To address this gap, the EU adopted Regulation (EU) no. 2021/167, which allows the EU to apply trade sanctions against other countries even though the Panel's report is not final. This research uses normative juridical methods, by conducting an in-depth analysis of Regulation (EU) 2021/167, Section 301 of the United States, and Law 14.353/2022 of Brazil. This research aims to examine the anticipatory strategies that Indonesia can take when the EU imposes trade sanctions based on Regulation (EU) No. 2021/167. The conclusion of this research confirms that as a sovereign country, Indonesia has the right to submit trade disputes through the DSB mechanism at the WTO, regardless of the condition of the Appellate Body which is not functioning. In addition, the Indonesian government could consider formulating regulations that allow retaliation actions to protect national trade and economic interests, while still complying with WTO rules."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azam Hawari
"ABSTRACT
Dalam hukum World Trade Organization (WTO), persoalan lingkungan hidup diatur pada Pasal XX (b) dan (g) GATT 1994, beserta dua peraturan khususnya yakni, The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). Sehubungan dengan ini, pada tahun 2018 Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive (RED) II terkait kebijakan pelarangan penggunaan minyak kelapa sawit untuk kebutuhan biofuels pada 2030, yang dilakukan secara bertahap dari tahun 2021. Dasar pelarangan ini adalah untuk melindungi lahan dengan stok karbon tinggi yang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Oleh karena itu, skripsi ini melakukan analisis kesesuaian kebijakan larangan impor atas dasar lingkungan hidup ini terhadap pengaturan dalam WTO. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan melakukan studi kepustakaan terhadap teks RED II dengan kebijakan tata kelola sawit Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan sumber hukum WTO. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan pelarangan impor Uni Eropa tidak masuk dalam ruang lingkup ruang lingkup SPS Agreement ataupun TBT Agreement.  Kebijakan ini merupakan bentuk hambatan kuantitatif yang melanggar GATT 1994 karena tidak memenuhi persyaratan Pasal XX (g) GATT 1994. Kebijakan ekstrateritorial Uni Eropa ini juga tidak dapat dibenarkan karena tidak memenuhi ketentuan chapeau.

ABSTRACT
Under World Trade Organization (WTO) law, Article XX (b) and (g) GATT 1994, and its two specialized agreements, The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) provide environmental-trade measure rulings. In this regard, European Union seek to gradually limit palm oil from 2021 and phase out the use for biofuels by 2030 within Renewable Energy Directive (RED) II that was released in 2018. This measure is set to limit biofuels produced from significant expansion of the production area into land with high carbon stock is observed. This research uses normative juridical approach by literature study of RED II legal text and Indonesian palm oil governance within relevant laws and WTO sources of law. The result indicates that the EU measure is is not fell under scope of SPS Agreement as well as TBT Agreement. This environmental-trade measure is found to be inconsistent to GATT substantive rule of quantitative restriction as it fails to fulfill requirements under Article XX (g) GATT 1994. As it does not satisfy chapeau requirements, the European Union extraterritorial measure can not be justified."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayyub Rachmayadi
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S23985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masilihati Nur Hidayati
"Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat pada perjanjian internasional dan putusan-putusan penyelesaian sengketa dagang WTO. Adapun penelitian yang dilakukan adalah doktrinal dengan optik preskriptif yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Analisis yang digunakan adalah analisis dengan pendekatan kualitatif. Yang menjadi permasalahan bagaimanakah pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang dan bagaimanakah seharusnya pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang dan untuk mengetahui pengaturan khusus yang seharusnya mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia.
Kesimpulan hasil penelitian bahwa terdapat ketentuan khusus yang berlaku mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Dispute Settlement Body yang telah disempurnakan dari sistem GATT 1947 dengan disahkannya Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes dan merupakan satu paket ketentuan yang wajib ditaati dan diikuti serta dilaksanakan bagi para anggota WTO dan setiap keputusannya wajib diikuti tanpa terkecuali. Namun demikian, disisi yang lain ditengah berbagai kekurangan yang dimiliki dalam DSU, diharapkan negaranegara berkembang khususnya pihak Indonesia mampu mengambil manfaat sesuai dengan kepentingan nasional. Indonesia sendiri telah mengambil manfaat atas keberadaan sistem ini.
Berdasarkan kasus yang menghadapkan Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa WTO, diharapkan adanya penyempurnaan pengaturan dalam DSU antara lain waktu yang lebih singkat dalam tiap tahapan dalam sistem penyelesaian sengketa WTO, pengaturan pelaksanaan putusan DSB agar lebih efektif, perlunya pengaturan khusus mengenai mekanisme retaliasi dalam DSU, perlunya pengaturan khusus dalam rangka meningkatkan peran WTO Secretariat dalam membantu menyelesaian sengketa yang menghadapkan antara negara maju dan negara berkembang dan perlunya pengaturan khusus dalam meningkatkan fungsi dan peranan DSB pada setiap tahapan proses penyelesaian sengketa (terutama dalam pelaksanaan rekomendasi DSB yang diberikan).

This study applied normative legal research method, i.e. a method which refers to the legal norms as stated in international treaties and resolution of trade dispute settlement under WTO. The study was also conducted using optical prescriptive doctrinal method aiming to obtain suggestions on what to do to overcome certain related issues. Analysis applied in this study is qualitative approach. The main issue here is on how the special arrangement applied on the settlement of dispute system under WTO may be beneficial to developing countries and what is the ideal special arrangement on settlement of dispute system under WTO for Indonesia, and how it may benefit the interest of Indonesia.
Objective of the study is to understand how the settlement mechanism under WTO can be beneficial for developing countries and in particular, what is the ideal special arrangement on settlement of dispute under WTO for Indonesia, and its benefit to the national interest of Indonesia.
The conclusion of the study shows that there are special arrangements on procedures of settlement of dispute applied by the WTO's Dispute Settlement Body as refinement of the GATT 1947 mechanism, with the ratification of the Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes, and this becomes part of requirement packages which must be followed and adhered to by all members of WTO without exception. However, on the other side, with some of identified weakness of DSU, it is expected that developing countries, particularly Indonesia, shall be able to get the benefit of it for our national interest. Indonesia has indeed used the system to support its own interest.
Based on some case studies where Indonesia had to seek settlement in the forum of dispute of WTO, it is expected that there will be refinement of on the DSU mechanism, inter alia, shorter time in each stages of settlement process, arrangement of DSB resolution implementation to make it more effective, special arrangement to prevent retaliation mechanism in DSU, and special arrangement needed to increase the role of WTO Secretariat in the support of dispute settlement case which involve advanced countries versus developing countries and the need to have special arrangement to increase the function and role of DSB on each stages of dispute settlement process (especially in the DSB recommendation to be implemented as provided here).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25966
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kemal Adrianto
"Perdagangan internasional adalah salah satu aspek dari kehidupan dimana masyarakat dapat memiliki akses terhadap barang-barang yang pada umumnya susah untuk dijangkau. Untuk mengatur aspek perdagangan internasional, sebuah organisasi diperlukan untuk kepentingan tersebut. World Trade Organization merupakan organisasi yang memiliki fungsi umum sebagai pengatur perdagangan internasional dalam segala aspeknya seperti Langkah-langkah perdagangan, tarif, dan penyelesaian sengketa. Diantara instrumen-instrumen yang dapat dipakai untuk memfasilitasi perdagangan adalah safeguard measure. Safeguard measures memberikan perlindungan terhadap produk yang diimpor dengan jumlah banyak dan dapat menyebabkan atau akan menyebabkan kerugian serius bagi industri domestik negara pengimpor. Regional trade agreements merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih negara untuk tujuan perdagangan yang dapat memberi keuntungan bagi mereka seperti pengurangan tarif impor untuk negara-negara yang masuk dalam perjanjiannya. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti pengaturan safeguard measure seperti yang tertuang dalam aturan World Trade Organization dan aturan dalam regional trade agreements dengan metode yuridis normatif. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa perbedaan yang muncul dalam perbandingan aturan-aturannya, seperti jangka waktu, proses notifikasi, kenaikan tarif terhadap produk impor dan proses investigasi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa peraturan dalam regional trade agreements berbeda dengan aturan dari World Trade Organization karena mereka saling melengkapi dan anggota regional trade agreements merupakan anggota World Trade Organization juga.

International trade takes part of everyday life to receive products that are normally unavailable. To govern the aspect of international trade, an organization was created for the purpose of it. The World Trade Organization acts as the premier organization in regulating international trade in all its aspects such as trade measures, tariffs, and dispute settlement. Instruments used to facilitate trade are trade remedies with one of them being safeguard measures. Safeguard measures provide protection from imported products that are brought in increased amounts and can or will cause serious injury to a country’s domestic industry. Regional trade agreements are an agreement between two or more countries to partake in a trade agreement that liberalizes tariff for the Parties in the agreement. This thesis will delve to the regulation of safeguard measures in accordance with the World Trade Organization rules as well as the regional trade agreements’ provisions via a judicial normative research method. From the research, there are differences that appear when comparing the provisions, such as difference in duration, notification process, tariff increase to products, and investigation procedures. However, this does not necessarily mean that the regulations under regional trade agreements are different than the World Trade Organization rules as they complement each other, and members of the regional trade agreements are members of the World Trade Organization as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Ditahapsari Priambodo
"Tulisan ini menitikberatkan pada permasalahan dalam penerapan quantitative restrictions yang dirumuskan dalam Pasal XI:1 GATT dalam WTO karena terdapat risiko tidak adanya kepastian hukum akibat terminologi yang digunakan tidak spesifik. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh WTO dan wajib ditaati oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia. Quantitative restrictions secara umum dilarang oleh WTO, terutama jika berbentuk kuota, lisensi, ataupun “other measures” sehingga pembatasan ekspor melalui tindakan ini melanggar Pasal XI:1 GATT. Namun, beberapa justifikasi dapat digunakan untuk mengecualikan penerapan tindakan quantitative restrictions yang dirumuskan dalam Pasal XI:2(a), (b), (c), serta Pasal XX GATT sebagai general exceptions. Permasalahan muncul ketika Dispute Settlement Body di WTO menetapkan beberapa tindakan di luar terminologi Pasal XI:1 GATT sebagai “other measures”. Unsur tidak memiliki standar hukum konkret sehingga sulit menentukan tindakan apa saja yang dapat ditentukan sebagai quantitative restrictions. Pasal pengecualian dalam GATT pun tidak memiliki kekuatan yang signifikan karena unsur yang terlalu sulit bagi responden untuk penuhi akibat parameter yang sangat buram. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya reformasi kebijakan dalam WTO beserta Indonesia terutama dalam peraturan ekspor dan impor sehingga kepastian hukum penerapan tindakan quantitative restrictions dapat dilindungi.

This paper analyzes the quantitative restrictions complexities applied under Article XI:1 GATT at the WTO due to the legal uncertainty risk proneness from the terminologies. This paper employs normative legal research based upon the regulations obliged by the WTO for its members, including Indonesia. Quantitative restrictions are generally prohibited, particularly if implemented through export or import quotas, licenses, and “other measures”. However, several justifications have been set forth to exclude several measures from this provision by utilizing Article XI:1(a), (b), (c), and Article XX GATT as general exceptions. Perplexment arises when the WTO’s Dispute Settlement Body states several measures outside the explicit scope of Article XI:1 GATT as “other measures” with no concrete standards. These occurrences lead to difficulties in determining the ambit of Article XI:1 GATT. Justifications provided by GATT are inadequate as the parameters of each element are hardly structured straightforwardly bringing about respondent’s failures to meet the criteria. Regulatory reformations are direly necessary at the WTO and in Indonesia to ensure the assurance of legal protection for every member enacting quantitative restrictions measures."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathya Asti Ramadina
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan deskriptif tentang komitmen Indonesia dibawah kewajibannya dalam perjanjian internasional, seperti dari Hukum WTO dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang yang baru saja diundangkan, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Penelitian ini menganalisis apakah Perdagangan ketentuan Barang dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sesuai dengan ketentuan dalam Hukum WTO/GATT dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) dan juga apakah Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 memungkinkan Indonesia untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dengan sifat penjelasan-analisis. Secara normatif, penelitian ini akan mengkaji ketentuan Perdagangan Barang dibawah Hukum WTO / GATT dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) serta Undang-Undang No. 7 Tahun 2014.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan penelitian ini akan memberikan gambaran hingga sejauh mana UU No. 7 Tahun 2014 sesuai dengan kewajiban internasional dan hingga sejauh mana dapat perlindungan kepentingan nasional. Indonesia adalah negara besar yang berada ditengah-tengah persiapa pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015, sehingga kepastian hukum di sektor perdagangan penting untuk menjaga kompetisi kegiatan perdagangan yang adil antar negara dan juga memberikan perlindungan pada kepentingan nasional.

This research aims to get the descriptive idea of Indonesia?s commitment under its obligation in international agreements, such as from the WTO Law and ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) as formulated in the recently enacted law, Law No. 7 Year 2014 on Trade.
This research analyzes whether or not the Trade in Goods provisions in Law No. 7 Year 2014 on Trade in conformity with such provisions under the WTO Law/GATT and ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) and also whether or not the Law No. 7 Year 2014 enable Indonesia to protect its national interest.
This research paper will use the juridical-normative approach with the nature of explanatory-analysis. Normatively, this research will examines the provisions of Trade in Goods under the WTO Law/GATT and the ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) also as the Law No. 7 Year 2014.
Based on the research result, it is hoped that this research will provide a description to what length that the Law No. 7 Year 2014 is in conformity with the international obligations and the national interest protection. Indonesia is a big country that is in the midst of preparing for the fully implementation of the ASEAN Economic Community by the end 2015, thus the legal certainty in trade sector is important to keep a fair competitiveness in trade activity between countries as well as providing protection to national interest.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jenny Maria Doan
"ABSTRAK
Era perdagangan bebas membawa negara-negara saling bekerja sama untuk mengambil manfaat liberalisasi yang sebesarnya. Salah satu caranya adalah dengan pembentukan kawasan perdagangan preferensial. Kawasan perdagangan preferensial adalah suatu kawasan yang terdiri dari dua atau lebih negara, dimana mereka saling bersepakat untuk menurunkan ataupun menghapuskan tarif dan hambatan non-tarif di antaranya. Dalam penulisan ini, akan dibahas mengenai pengaturan kawasan perdagangan preferensial di dalam WTO. Terdapat tiga cara pembentukan kawasan perdagangan preferensial menurut WTO, yaitu Pasal XXIV GATT 1947, Pasal V GATS 1994, dan ketentuan enabling clause. Ketiga ketentuan tersebut mengatur mengenai kesatuan pabean, kawasan perdagangan bebas, serta suatu interim agreement. Selanjutnya, juga akan dibahas mengenai perkembangan pembentukan kawasan perdagangan preferensial, khususnya yang dilakukan oleh negara berkembang, dengan mengambil contoh ASEAN. ASEAN saat ini memiliki enam kawasan perdagangan preferensial, yaitu lima kawasan perdagangan bebas (ASEAN Free Trade Area, ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan ASEAN-India Free Trade Area) serta sebuah kemitraan ekonomi dengan Jepang (ASEAN-Japan Closer Economic Partnership). Terakhir, penulisan ini membahas mengenai implikasi keberlakuan perjanjian tersebut bagi Indonesia. Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa pembentukan kawasan perdagangan preferensial tidak selalu meningkatkan perdagangan internal para anggotanya. Dalam kaitannya dengan ASEAN, maka Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar, belum dapat memanfaatkan secara penuh keberadaan kawasan perdagangan preferensial tersebut. Bahkan, Indonesia harus meminimalisir dampak dari pelaksanaan kawasan perdagangan preferensial ASEAN yang justru menimbulkan kesulitan bagi industri dalam negeri.

ABSTRACT
The focus of this study is to examine the legal fondations of Preferential Trade Area. Preferential Trade Area is a group of countries in which they agreed to eliminate or reduce the tariff and non-tariff barriers among them. This study will discuss about the formation of Preferential Trade Areas within the WTO Rules. According to WTO, there are three legal fondations for the formation of Preferential Trade Area. They are Article XXIV of GATT 1947, Article V of GATS 1994, and the Enabling Clause. Those provisions define the Preferential Trade Area by Customs Union, Free Trade Area, and Interim Agrreement leading to the formation of Customs Union or Free Trade Area. Moreover, this study also address the recent development of the formation of Preferential Trade Area in some regions, particularly in South East Asia. Therefore, this study will examine the formation of ASEAN Free Trade Area, a free trade area formed by the Members of ASEAN. Since the economic co-operation of ASEAN also involve another countries, namely China, Republic of Korea, Japan, Australia and New Zealand, and India, this sudy will also examine their formation within the WTO Rules. This study will also discuss the implication of those Preferential Trade Areas in Indonesia. Finally, this study will show that there are a large number on the formation of Preferential Trade Area by developing countries. It also shown in this study that the formation of Preferential Trade Area does not always success to increase the internal trade between the members. In regard to Indonesia, the two Preferential Trade Areas which already in force, AFTA and ACFTA, do not significantly improve the Indonesian trade with ASEAN or China. On the other side, those preferential trade areas tend to cause serious injuries to the domestic industries, and therefore the Government is forced to take certain measures in order to minimal the impacts of those preferential trade areas. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S330
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nori Ayufi
"Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (TFA) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bertujuan untuk mengurangi waktu dan biaya dalam proses perdagangan internasional dengan cara mendorong upaya-upaya yang paling efektif dalam proses ekspor-impor. Kendati demikian, belum ada penelitian sebelumnya yang dilakukan mengenai bagaimana TFA mempengaruhi perdagangan environmental goods. Dengan menggunakan data dari tahun 2017 hingga 2021, penelitian ini menggunakan model random effect panel data untuk mengetahui pengaruh TFA terhadap perdagangan environmental goods di negara-negara berkembang dan terbelakang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa TFA berdampak pada perdagangan environmental goods. Hasil tersebut juga terbukti dengan menggunakan metode instrumental variable, analisis subsampel, dan penggunaan standar error yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena upaya negara-negara tersebut untuk menerapkan TFA tidak berhasil memfasilitasi perdagangan environmental goods, atau tingkat komitmen TFA tidak secara akurat mencerminkan implementasi TFA yang sebenarnya di negara tersebut. Namun demikian, variabel kontrol seperti PDB, populasi, dan tingkat industrialisasi berdampak positif dan signifikan terhadap perdagangan environmental goods

The Trade Facilitation Agreement (TFA) of the World Trade Organisation (WTO) aims to reduce the time and cost of international trade by endorsing the most effective approaches for managing goods during cross-border shipments. Despite this goal, no previous study has been done on how TFA affects the trade of environmental goods. Using data from 2017 to 2021, this study uses a random effect panel data model to examine how the TFA affects trade in environmental goods in developing and least-developed countries (LDCs). The outcome demonstrates that there is no evidence that the TFA impacts trade in environmental goods. The result is robust to alternative estimation methods, subsample analysis, and using different standard errors. This might be because the countries' efforts to implement the TFA may not successfully facilitate trade in environmental goods, or the TFA commitment rate may not accurately reflect the countries' actual TFA implementation. However, control variables like GDP, population, and industrialisation level positively and significantly impact trade in environmental goods."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Ruhut Marhata
"Skripsi ini membahas pengaturan tindakan safeguard dalam ketentuan World Trade Organization (WTO), yaitu Pasal XIX The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Safeguards (SA). Dalam menerapkan tindakan safeguard, harus diperhatikan unsur prosedural dan substantifnya. Dalam unsur prosedural, harus dipenuhi langkah-langkah investigasi, notifikasi, dan konsultasi. Dalam unsur substantif harus diperhatikan kenaikan impor yang menyebabkan kerugian serius atau ancamannya terhadap industri domestik. Selain itu, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam mengenakan tindakan safeguard terhadap negara lain, khususnya terhadap negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang memiliki hak khusus berdasarkan Pasal 9.1 SA yang dapat dikecualikan atas dikenakannya tindakan safeguard, jika memenuhi persyaratan de minimis levels. Selanjutnya, skripsi ini membahas kasus tindakan safeguard di negara-negara berkembang terkait Pasal 9.1 SA, yaitu kasus US - Line Pipe (2002), US - Steel Safeguards (2003), dan Dominican Republic - Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).

This thesis studies the regulations concerning safeguard measure under the provisions of World Trade Organization (WTO), which are Article XIX of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and Agreement on Safeguards (SA). In order to apply safeguard measure, the procedural and substantive elements must be observed. Procedurally, it shall meet the requirements of investigation, notification, and consultation. Substantively, it shall consider the increase of import that causes a serious injury or threat thereof to the domestic industry. Furthermore, there are limits in applying safeguard measure to other countries, especially developing countries.
Developing countries have special rights pursuant to Article 9.1 SA, where they can be excluded from the safeguard measure application, if they fulfill the requirement of de minimis levels. This thesis, additionally, studies some cases of safeguard measure in developing countries pursuant to Article 9.1 SA, which are US - Line Pipe (2002), US - Steel Safeguards (2003), and Dominican Republic - Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>