Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133794 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sissy Kartini Aminda
"Prevalensi penduila Iripertensi relatif tinggi di negara Amerika Serikat dan Indonesia,
sedangkan presentase hipertensi esensial bukisar 89-95,3% dari penderita Iripertensi. Penyebab
Iripertensi esensial belum diketalrui secara pasti, tetapi salah satu hipotesa menyatakan bahwa
ada hubungannya dengan peningkatan resistensi insulin. Sllnggulrp"n demikian penelitian yang
dilakukan pada ras/etnik tertentu mengemukakan balrwa hipertensi eunsial tidak buhubungan
dengan peningkatan resistensi insulin.
Untuk itu telah dilakukan sualu studi "cross sectiollal" yang bertujuan untuk melilzat
apakah ada .hubungan antara hipertensi esensial dengan peningkalan resistensi insulin. Resislensi
insulin 'yang meningkal diukur secara tidak langsung dari peningkatan kadar inslllin' 'dalam
balas lertenill. Responden ludiri alas kelompok kasus dan kontrol dengan ciri-ciri sbb : lak-laki,
, usia 25-.:/5 lahun, loluansi giukosa nonnal, non obes dan memenuhi krileria ekskluasi. Responden
dari RSJHK, Puskesmas Jakarta Selalan dan Pusal. responden yang hipertensi sebagai
kelompok kasus sedangkan kelompok konlrol mempunyai lekanan darah dalam balas nom/a/'
."Iasing-masing kelompok ludiri dari 50 responden.
Didapalkan kadar insulin kelompok kasus bubeda bennakna dengan konlrol (/2 .50 ±
4.42 uUlI vs 8.93 ± 1.02 uUlI). demikian pilla kadar TG (/51.60 ± 75.44 mg/dl vs 110 .. 28 ±
17,58 mg/dl). Sedangkan umur kedlla kelompok kurang lebih sama (38.2 ± 5.8 lahun dan 37.8
± 5.7 tahun).
Analisa univarial secara I-test an/ara kasus da/l kontrollulzadap variabel Ins, Kol. TG.
LDL. HDL. U"IT dan RPp, pada kaslls menunjllkkan kemaknaan hanya pada Ins dan TG.
Sedangkan pada konlrol tidak menunjukkan kemaknaan tuhadap semua variabel.
Analisa regresi anlara kadar insulin dengan TDS maupun TDD pada ke/ompok kasus
menunjukkan kore/an yang positif (r = 0.72, P < 0.05 dan r = 0,45. P < 0.05). demikian pula
antara insulin dengan kadar TG (r = 0,54, P < 0,05). Telapi tidak didapalkan korelas dengan
kadar Kol, LDL, HDL. demikian pula dengan IMT dan RPP. Analisa regresi anlara kadar lrigliserida
dengan TDS maupun TDD menunjukan korelasi yang posiliJ (r = 0,45, P < 0,05 dan r =
0,33. p < 0,05) .
. Sedangkan pada kontrol semua lidak menllnjukkall korelasi.'
Analisa univarial secara Kai-Kuadrat terl,adap kelompok Hiperinsulinemia dan Normoinsuli,!
emia luhadap IMT < 25 dan ~ 25. didapatkan p > 0.05. demikian pula terlladap
RPP < 0,85 dan ~ 0,85 didapatkan p > 0.05.Analisa multivariat lerhadap pengaruh kadar
illsulin mauplln TG alas perubahan lekanan darah pada ke/ompok kasus didapatkan persamaan :
TDR = 125 + 2,74 Ins - 0,0154 TG. DariJonnula ini yang menunjukkan kemaknaan adalalr Ins
dengan p < 0.05.
Dapal disimpulkan bahwa ludapat hubungan anlara kadar insulin dengan lekanan
darah maupun dengan kadar trigliserida. Dapat disimpulkan pula balrwa kadar insulin benar
secara bermakna meningkatkan lekanan darah rata-rala."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willbert Nielson
"Latar Belakang: Prevalensi Stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh WHO. Stunting menyebabkan defisit pertumbuhan fisik anak untuk usianya, serta defisit kinerja kognitif dan akademik jangka pendek maupun jangka Panjang. Telah dilaporkan adanya hubungan antara kondisi stunting dengan penurunan kadar IGF-1, serta hubungan antara kadar IGF-1 dengan perkembangan kognitif. Pengukuran kadar IGF-1 yang dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan lazim dilakukan pada IGF-1 darah. Diketahui bahwa saliva mengandung biomarker yang terkandung di dalam darah, termasuk IGF-1, dalam kuantitas yang jauh lebih rendah. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kemampuan kognitif dan status gizi stunting pada anak-anak usia 6-8 tahun. Metode: Sampel saliva merupakan sediaan biologis tersimpan dari penelitian tahun 2019 pada populasi siswa/i sekolah dasar (SD) kelas 1-2 Kecamatan Nangapanda, Ende, Nusa Tenggara Timur yang telah dikelompokan berdasarkan status gizi stunting dan normal. Sampel saliva diuji menggunakan Bradford assay untuk melihat jumlah total proteinnya, setelah itu sampel diuji menggunakan ELISA kit human IGF-1 untuk melihat kadar IGF-1. Perkembangan kognitif dinilai berdasarkan skor Raven’s Colored Progressive Matrices. Analisis data menggunakan SPSS. Hasil: Dalam penelitian ini, total protein saliva anak normal 824,47 mg/ml dan pada anak stunting 879,45 mg/ml. Kadar IGF-1 saliva anak normal 7,50 ng/ml dan pada anak stunting 5,64 ng/ml. tidak berbeda bermakna. Proporsi IGF-1 terhadap total protein anak normal 1,04×10-2 dan pada anak stunting 8,96×10-3. Tidak ada perbedaan signifikan proposi kadar IGF-1 saliva antara anak normal dan stunting (p>0,05), dan antara skor perkembangan kognitif anak normal 4,53 dan pada anak stunting 3,04. Korelasi antara variabel adalah sebagai berikut: korelasi positif sangat lemah antar kadar IGF-1 dengan status gizi (r=0,147), korelasi positif sangat lemah antar skor perkembangan kognitif dengan status gizi (r=0,192), tidak ada korelasi antar kadar IGF-1 dengan skor perkembangan kognitif (r=-0,034). Kesimpulan: Pada anak stunting usia 6-8 tahun yang kadar IGF-1 saliva dan perkembangan kognitifnya tidak berbeda bermakna dengan anak normal, masih terlihat bahwa kondisi stunting berhubungan dengan penurunan kognitif, dan bahwa penurunan kadar IGF-1 saliva dapat mengindikasikan kondisi stunting tetapi tidak berhubungan dengan penurunan perkembangan kognitifnya.

Background: The prevalence of Stunting in Indonesia is still higher than what had been determined by WHO. In addition to a deficit in a child's stature for their age, stunting has also been associated with short- and long-term deficit in cognitive and academic performance. It had been reported that there were corelations between stunting with decreased IGF-1 level and cognitive impairment. The measurement of IGF-1 level in these studies were taken from blood. Saliva contains significantly lower concentration of biomarkers that are present in blood. Objective: Analyzing the relationship between salivary IGF-1 levels with cognitive abilities and nutritional status in stunted children aged 6-8 years. Method: Saliva were taken from stored biological specimen derived from a research in 2019 at students grades 1-2 elementary schools in Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara, and then grouped based on stunting and normal nutritional status. Saliva samples were tested using the Bradford assay to measure the total amount of protein, the levels of IGF-1 were tested using the human IGF-1 ELISA. The cognitive development scores were measured using Raven Colored Progressive Matrices. The data were analyzed using SPSS. Result: In this study, total protein in normal children 824,47 mg/ml and in stunted children 879,45 mg/ml. Salivary IGF-1 levels in normal children 7,50 ng/ml and in stunted children 5,64 ng/ml. Proportion Salivary IGF-1 to total protein in normal children 1,04×10-2 and in stunted children 8,96×10-3. There was no significant difference between normal and stunted children. Cognitive development scores in normal children 4,53 and in stunted children 3,04. The correlations between variables were as follows: very weak positive correlation between IGF-1 levels and nutritional status (r=0.147), very weak positive correlation between cognitive development scores and nutritional status (r = 0.192), no correlation between IGF-1 levels and cognitive development scores (r = - 0.034). Conclusion: In stunted children aged 6-8 years whose salivary IGF-1 levels and cognitive development score were not significantly different from normal children, there was still an indication that stunting was associated with cognitive decline, and that a decrease in salivary IGF-1 levels could develop stunting conditions but was not associated with decline in cognitive development."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donnie Lumban Gaol
"

Latar Belakang: Salah satu faktor utama yang terlibat dalam gangguan mineral tulang dan muskuloskeletal pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) adalah Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Peningkatan kadar FGF-23 terjadi pada awal PGK dan semakin meningkat pada PGK tahap akhir terutama yang menjalani dialisis. FGF-23 mendapat perhatian khusus karena perannya terhadap otot skeletal pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis belum diketahui secara pasti. 

Tujuan: Mengetahui korelasi antara kekuatan genggam tangan(KGT) dengan kadar FGF-23 pada pasien yang menjalani hemodialisis kronis.

Metode: Penelitianinimerupakanstudipotong lintang. Penelitian ini dilaksanakan di unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM Jakarta, pada 74 pasien dialisis 2 kali seminggu. Pengukuran FGF dengan pemeriksaan intactFibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) dan menilai KGT dengan dinamometer hidraulik tangan merek Jamar. Pemilihansubjekdilakukansecaraconsecutivesamplingsampaijumlah subyekyangdiperlukanterpenuhi.

Hasil: Subjek pada penelitian ini sebanyak 74 subjek dengan kadar pemeriksaan iFGF-23 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, (3276 [ min-maks; 41-6613]pg/ml dan1585 pg/ml, [min-maks; 21-4820])dan nilai KGT pasien laki-laki adalah 25 kg (min-maks; 11-48) dan perempuan adalah 20 kg (min-maks; 8-26). Setelah dilakukan penyesuaian dengan indeks komorbid charlson modifikasidan indeks massa tubuh, maka tidak didapatkan korelasi antara FGF-23 dengan KGT pada subjek laki-laki (r=-0.053, p=0.7) akan tetapi terdapat korelasi negatif bermakna pada subjek perempuan (r=-0.4, p=0.02). 

Kesimpulan: Kadar iFGF-23 memiliki korelasi negatif bermakna dengan KGT pada perempuan dan hal tersebut tidak ditemukan pada subjek penelitian laki-laki.


Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) face with muscle atrophy, low muscle strength, and low physical activity. One of the main factors involved in bone mineral and skeletal muscle dysfunction in patients with chronic kidney disease (CKD) is Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Despite FGF-23 associated left ventricular hypertrophy, there are no prior studies assessing whether FGF-23 level is associated with skeletal muscle strength in hemodialysis patient. 

Objective: To determine the correlation between hand-grip strength (HGS) and FGF-23 levels in patients undergoing twice-weekly hemodialysis patients.

Patient and Method: This is a cross-sectional study, which was conducted on 74 twice-weekly hemodialysis patient at the Hemodialysis Unit at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Before dialysis session, intact Fibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) were measured in singlicate from plasma samples and han-grip strength that measured by Jamar hydraulic hand dynamometer. Subject selection was done by consecutive sampling until the required number of subjects was fulfilled. 

Results: There were 74 subjects recruited in this study, which included 7 (18.9%) male and 3 (8.1%) female subject had body mass index (BMI) < 18.5 kg/m2. Level of iFGF23 were significantly higher in males than in females (3276 pg/ml [ min-max, 41-6613] and 1585 pg/ml, [min-max 21-4820], respectively). According to the Asian Working Group for Sarcopenia, the HGS value of male patients was lower than in females (25 kg [min-max; 11-48], (20 kg [min-max; 8-26], respectively). After adjusting to Modified Charlson Comorbidity index (mCCI) and BMI, we found a significant correlation iFGF-23 and HGS in the female subject (r = -0.4, p = 0.02 and no correlation between iFGF-23 and HGS in male subject (r = -0,053, p = 0.7). 

 

Conclusion: In twice-weekly hemodialysis patients, iFGF-23 has a significant correlation with HGS in women and this was not found in male subject.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Busroch Bayu Kartiko
"Latar Belakang: Ameloblastoma merupakan tumor yang berasal dari jaringan epitel odontogenik pembentuk gigi. Umumnya ameloblastoma jinak, tapi bersifat agresif secara lokal dengan tingkat rekurensi yang tinggi. MMP-2 merupakan salah satu yang paling berkaitan dengan invasi ameloblastoma. Matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) merupakan enzim proteolitik yang diproduksi dalam sel-sel di seluruh tubuh dan menjadi bagian dari matriks ekstraselular, yang merupakan rangkaian rumit protein dan molekul lain yang terbentuk diruang antara sel-sel. Tujuan: Mengetahui sifat invasi lokal ameloblastoma dari sisi molekular.
Metode Penelitian: 30 sampel ameloblastoma terdiri dari 8 sampel tipe pleksiform, 5 sampel tipe folikuler, dan 17 sampel tipe campuran. Sampel dipulas secara immunohistokimia dengan antibodi MMP-2.
Hasil: Terdapat perbedaan ekpresi MMP-2 dari sel epitel pada berbagai tipe ameloblastoma. Terdapat perbedaan ekspresi MMP-2 dari sel fibroblast pada berbagai macam tipe ameloblastoma. Tipe campuran memiliki tingkat invasif yang paling tinggi dari ketiga tipe ameloblastoma dan memiliki sifat yang lebih infiltratif.
Kesimpulan :Terdapat perbedaan ekspresi immunohistokimia matriks metalloproteinase (MMP-2) terhadap sel epitel dan fibroblast ameloblastoma tipe folikular, pleksiform, dan campuran.

Background : Ameloblastoma is a tumor which originate from odontogenic epithelial tissue. Mostly ameloblastoma is benign, but can be locally aggressive with high recurrence level. MMP- 2 is one that connected with ameloblastoma invasion. Matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) is proteolitic enzim that produce in body cells and become part of extracellular matrix. Objective: Understanding ameloblastoma local invasion from molecular side. Methods: 30 samples plexiform type ameloblastoma (n = 8), 5 samples folicullar type, and 17 samples mixed type. Samples are smeared by antibody MMP-2 immunochemistry. Results: There are differences in MMP-2 expression from any kind ameloblastoma epithelial cells. There are differences in MMP- 2 expression from any kind ameloblastoma fibroblast cells. Mixed type has highest invasion level from another three types of ameloblastoma and more infiltrative. Conclusion: There are immunochemistry Matriks Metalloproteinase (MMP-2) differences at epitel cell and fibroblast of folicullar, plexiform, and mixed type of ameloblastomas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Dwi Intan Cahyani
"Gen Epidermal Growth Factor Receptor Varian III (EGFRvIII) merupakan mutan dari gen EGFR yang terbentuk akibat mutasi delesi ekson 2 sampai 7. Gen EGFRvIII mengkode ekspresi protein EGFRvIII yang hanya diekspresikan pada sel kanker, sehingga protein ini berpotensi untuk digunakan sebagai molekul target dalam terapi kanker yang ditargetkan. dengan antibodi monoklonal. Fragmen anti-EGFRvIII untai tunggal (scFv) adalah antibodi monoklonal yang secara khusus mengenali epitop unik EGFRvIII. Antibodi ini perlu diuji aktivitasnya dengan protein EGFRvIII. Protein EGFRvIII dapat diproduksi dengan menggunakan plasmid pPICZα-EGFRvIII-bfp. pPICZα-EGFRvIII-bfp adalah plasmid rekombinan dengan promotor AOX1 yang tidak dapat digunakan, yang dirancang untuk diubah menjadi P. pastoris sehingga protein EGFRvIII dapat diekspresikan secara ekstraseluler. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan klon P. pastoris transforman yang mengandung gen EGFRvIII dan dapat mengekspresikan protein EGFRvIII. Metode transformasi yang digunakan adalah elektroporasi. Seleksi P. pastoris transforman dilakukan dengan antibiotik zeosin. Gen target pada transforman diverifikasi menggunakan PCR koloni. Ekspresi protein target dilakukan dengan menggunakan teknik induksi metanol. Ekspresi protein dilihat di bawah mikroskop fluoresensi dan dianalisis dengan SDS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan klon P. pastoris transforman yang mengandung gen EGFRvIII-bfp (750 bp) berhasil diperoleh, dengan efisiensi transformasi plasmid 0,003 x 103 cfu/μg. Protein EGFRvIII berhasil diekspresikan berdasarkan pendaran biru protein BFP, tetapi diduga mengalami glikosilasi dan masih menyatu dengan sinyal sekresi karena ukuran protein SDS-PAGE (sekitar ~ 66,2 kDa dan ~ 116 kDa) lebih besar dari ukuran target (~ 41,9 kDa).

Epidermal Growth Factor Receptor Variant III (EGFRvIII) gene is a mutant of the EGFR gene which is formed as a result of deletion mutations of exons 2 to 7. The EGFRvIII gene encodes the expression of the EGFRvIII protein which is only expressed in cancer cells, so that this protein has the potential to be used as a target molecule in cancer therapy. targeted. with monoclonal antibodies. The single-stranded anti-EGFRvIII (scFv) fragment is a monoclonal antibody that specifically recognizes the unique epitope of EGFRvIII. These antibodies need to be tested for their activity with the EGFRvIII protein. The EGFRvIII protein can be produced using the plasmid pPICZα-EGFRvIII-bfp. pPICZα-EGFRvIII-bfp is a recombinant plasmid with the unusable AOX1 promoter designed to be converted into P. pastoris so that the EGFRvIII protein can be expressed extracellularly. This study aims to obtain clones of P. pastoris transforman that contain the EGFRvIII gene and can express the EGFRvIII protein. The transformation method used is electroporation. P. pastoris transforman selection was carried out with zeosin antibiotics. The target genes in the transformants were verified using colony PCR. The target protein expression was carried out using methanol induction technique. Protein expression was viewed under a fluorescence microscope and analyzed by SDS-PAGE. The results showed that P. pastoris transforman clones containing the EGFRvIII-bfp (750 bp) gene were successfully obtained, with a plasmid transformation efficiency of 0.003 x 103 cfu/μg. EGFRvIII protein was successfully expressed based on the blue luminescence of BFP protein, but it was suspected to undergo glycosylation and still fuse with the secretion signal because the size of the SDS-PAGE protein (approximately ~ 66.2 kDa and ~ 116 kDa) was larger than the target size (~ 41.9 kDa) ."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Asdar
"Pendahuluan: Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs) sangat efektif terhadap Kanker
Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dengan mutasi Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR). Gefitinib dan Erlotinib adalah generasi pertama
EGFR-TKI untuk pengobatan KPKBSK dengan mutasi EGFR. Obat-obat ini telah
tersedia melalui asuransi kesehatan di Indonesia untuk pasien Adenokarsinoma
paru dengan mutasi EGFR. Data mengenai efikasi dan toksisitas EGFR-TKI saat
ini belum tersedia di Indonesia.
Metode: Kami melakukan analisis observasional kohort retrospektif pada pasien
Adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan, Jakarta
Indonesia dari Januari 2015 sampai dengan Desember 2017. Kami meninjau
rekam medis 331 pasien dengan diagnosis Adenokarsinoma paru dengan mutasi
EGFR stage lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI generasi pertama. Sebanyak
192 subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mendapatkan Gefitinib (n=132) dan Erlotinib (n=60). Median
progression free survival (PFS) sebanding antara Gefitinib dan Erlotinib (9,0 dan
7,0 bulan, interval kepercayaan 95% [IK] 0,57-1,07, p=0,126). Median Overall
survival (OS) dan angka tahan hidup 1 tahun masing-masing kelompok adalah
44,5 vs 39,5 bulan (95% IK 0,35-1,29, p=0,670) dan 92% berbanding 92%
(p=0,228). Terdapat toksisitas termasuk diare, paronikia, skin rash dan stomatitis
yang diamati tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada toksisitas derajat 3
atau 4 antara kedua kelompok (p=0,713).
Kesimpulan: Kedua EGFR-TKIs generasi pertama sebanding dalam PFS dan OS,
meskipun Gefitinib terlihat lebih tinggi, tetapi secara statistik tidak bermakna dan
keduanya memiliki toksisitas yang sebanding dan dapat ditoleransi.

Introductions: Tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are effective against non-small
cell lung cancer (NSCLC) with epidermal growth factor receptor (EGFR)
mutation. Gefitinib and erlotinib are the first-generation EGFR-TKIs
recommended as first-line treatments for NSCLC with EGFR mutations and are
available through Universal Health Coverage in Indonesia for lung
adenocarcinoma patients with EGFR mutations. However, the efficacy and safety
data of EGFR-TKIs are unavailable in Indonesia.
Methods: We did a retrospective cohort analysis of the patients of lung
adenocarcinoma with EGFR mutations treated in Persahabatan Hospital Jakarta,
Indonesia, between January 2015 and December 2017. We reviewed the records
of 331 patients with advanced stage lung adenocarcinoma with EGFR mutation
treated with the first-generation EGFR-TKIs. The subjects were 192 patients who
met the inclusion criteria.
Results: Subjects were receiving gefitinib (n=132) and erlotinib (n=60). Median
progression-free survival (PFS) was comparable between gefitinib and erlotinib
(9.0 vs 7.0 months, 95% confidence interval [CI] 0.57-1.07, p=0.126). The
median overall survival (OS) and 1-year survival were 44.5 vs 39.5 months
(95%CI 0.35-1.29, p=0.228; and 92% vs 92%, p=0.228, respectively). Reported
toxicities were diarrhea, paronychia, rash, and stomatitis but not of significant
difference between grade 3 or 4 toxicities (p=0.713).
Conclusions: The PFS and OS of the first-generation EGFR-TKIs were
comparable, although gefitinib PFS and OS was shown to be better, but without
significance. Both gefitinib and erlotinib had comparable and tolerable adverse
effects"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Aulia
"Latar Belakang. Epidermal Growth Factor Receptor mengatur beberapa proses selular penting. Overekspresi EGFR merupakan penanda negatif prognosis pada glioma.
Metode. Tujuh belas pasien astrositoma dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengevaluasi overekspresi EGFR. Seluruh pasien dievaluasi Karnofsky Performance Score 1 tahun pasca operasi.
Hasil. Sembilan pasien high-grade glioma, 67 memiliki overekspresi EGFR yang positif dan hanya 1 pasien yang hidup dengan KPS 70. Empat pasien low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif, memiliki KPS 0.
Kesimpulan. Low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif memiliki KPS yang rendah pada 1 tahun pasca operasi.

Background. Epidermal Growth Factor Receptor regulate several important cellular process. EGFR overexpression is one of negative prognostic marker in glioma.
Method. Seventeen patients with astrocytoma were performed immunohistochemistry to evaluate EGFR overexpression. All of this patient evaluate for Karnofsky Performance Score at 1 year after surgery.
Hasil. Nine patients with high grade glioma, 67 have positive EGFR overexpression, and only 1 patient still alive with KPS 70. Four patient in low grade glioma with positive EGFR overexpression have KPS 0.
Conclusion. Low grade glioma with positive EGFR overexpression have a poor KPS at 1 year after surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astried Leonyza
"Epidermal Growth Factor (EGF) merupakan polipeptida yang mendorong terjadinya proses pertumbuhan, proliferasi, dan diferensiasi sel, juga digunakan sebagai kosmetik anti-aging. Akan tetapi, EGF memiliki ukuran molekul yang besar sehingga dapat menyulitkan penetrasinya ke kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan mengkarakterisasi transfersom rhEGF dalam sediaan emulgel dan mempelajari profil penetrasinya ke kulit. Pada penelitian ini dilakukan optimasi formula transfersom dengan perbandingan antara fosfolipid dan surfaktan yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa formula TF3 dengan perbandingan 80:20 merupakan formula dengan karakteristik terbaik, sehingga formula ini digunakan untuk mengenkapsulasi rhEGF. Transfersom rhEGF dibuat sebanyak tiga formula, dengan konsentrasi rhEGF yang berbeda-beda. Karakteristik terbaik dimiliki oleh formula TF-EGF1 dengan konsentrasi rhEGF 0,025%, yaitu bentuk vesikel sferis, Zaverage 128,1 ± 0,66 nm, indeks deformabilitas 1,254 ± 0,02, indeks polidispersitas 0,109 ± 0,004, potensial zeta -43,1 ± 1,07 mV, dan efisiensi penjerapan 97,77 ± 0,06%. Ketiga formula diformulasikan ke dalam sediaan emulgel (ETF1 - ETF3) dan diuji penetrasi in vitro dengan emulgel rhEGF non-transfersom (ENTF) sebagai pembanding. Hasil menunjukkan bahwa formula ETF1 menunjukkan peningkatan fluks terbesar, yaitu 5,56 kali dibandingkan formula ENTF. Oleh karena itu, emulgel transfersom rhEGF memiliki potensi untuk digunakan sebagai kosmetik anti-aging.

Epidermal Growth Factor (EGF) is a polypeptide that promotes the process of growth, proliferation, and cell differentiation, also used as an anti-aging cosmetics. However, EGF has a large molecular size that can make it difficult to penetrate the skin. This study aims to create and characterize rhEGF transfersom in emulgel preparations and study its penetration profile into the skin. In this study, optimization of transferom formulation was carried out with several ratios between phospholipid and surfactants. The results show that the TF3 formula with a ratio of 80:20 was the formula with the best characteristics, so it was used to encapsulate rhEGF. rhEGF transfersomes were made in three formulas, with different rhEGF concentrations. The best characteristics were obtained by the formula TF-EGF1 with 0.025% rhEGF concentration, which had spherical vesicle, Zaverage of 128.1 ± 0.66 nm, deformability index of 1.254 ± 0.02, polydispersity index of 0.109 ± 0.004, zeta potential of  -43.1 ± 1.07 mV, and encapsulation efficiency of 97.77 ± 0.06%. The three formulas were formulated into emulgel preparations (ETF1 - ETF3) and tested in vitro with non-transferom rhEGF emulgel (ENTF) as a comparison. The results showed that the ETF1 formula showed the largest increase in flux, which was 5.56 times compared to the ENTF formula. Therefore, rhEGF transfersomal emulgel has the potential to be used as an anti-aging cosmetic."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T52909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Elhidsi
"Latar Belakang : Mutasi pada gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) berhubungan dengan karsinogenesis Adenokarsinoma paru terutama pada usia muda yang tidak terpajan cukup lama oleh rokok sebagai karsinogen. Penelitian ini untuk mengetahui profil mutasi gen EGFR dan angka tahan hidup pasien adenokarsinoma paru usia muda.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif dan prospektif pada Adenokarsinoma paru usia muda yakni usia <45 tahun dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Data diambil dari catatan medis rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta 2012-2013 dan dilakukan observasi progresivitas dan kematian selama 2 tahun pasca tegak diagnosis.
Hasil: Total pasien Adenokarsinoma paru adalah 218 orang terdiri dari 65 orang usia muda dan 153 orang usia tua. Karakteristik Adenokasrsinoma paru usia muda adalah perempuan (58,3%), bukan perokok (66,7%), stage lanjut (98,5%), status tampilan WHO ≤2, metastasis ke luar rongga toraks (43,1%). Proporsi mutasi EGFR positif pada usia muda lebih tinggi dibandingkan usia tua (70,8%vs51%; p=0,007). Mutasi gen EGFR usia muda terdiri dari 36,9% delesi ekson 19; 30,8% mutasi ekson 21 L858R; 3,1% mutasi ekson 21 L861Q dan 29,2% wild type. Masa tengah tahan hidup Adenokarsinoma paru usia muda dengan EGFR positif yang diberikan EGFR tyrosine kinase inhibitor adalah 652 hari (590-713 hari, IK 95%) dengan angka tahan hidup 1 tahun adalah 87,5% dan masa bebas penyakit adalah 345 hari (IK 95%, 323-366 hari). Delesi ekson 19 memberikan masa bebas penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan mutasi ekson 21 (RR 2,361; IK 95% 1,126-4,952; p=0,023). Masa tengah tahan hidup Adenokarsinoma paru usia muda dengan mutasi EGFR wild type yang mendapat kemo/kemoradioterapi adalah 515 hari (IK 95%, 487-542) dengan angka tahan hidup 1 tahun adalah 70,7% dan masa bebas penyakit adalah 202 hari (IK 95%, 137-266 hari).
Kesimpulan: Profil mutasi gen EGFR pada Adenokarsinoma paru usia muda sangat penting dalam pemilihan terapi lini pertama sehingga dapat meningkatkan angka tahan hidup.

Introduction: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) mutation is associated with Lung Adebocarcinoma carcinogenesis particularly in young patients which don?t have long exposure to smoke as carcinogen. This study investigate Profile of Epidermal Growth Factor Receptor Mutation and Survival in Young Patients with lung Adenocarcinoma.
Method: Retrospective and prospective observational cohort study in lung Adenocarcinoma <45 years old compare with olders. Data are taken from medical record Persahabatan hospital Jakarta 2012-2013 and we observed for progressivity and mortality in 2 years since diagnosis.
Results: A total 218 lung Adenocarcinoma consists of 65 young patients and 153 olders. Young lung Adenocarcinomas are female (58,3%), nonsmokers (66,7%), advanced stage (98,5%), performance status WHO ≤2, extrathoracic metastatics (43,1%). EGFR mutation in youngers are higher than olders (70,8%vs51%; p=0,007). Mutation in young patients consists are 36,9% exon 19 deletion; 30,8% exon 21 L858R mutation; 3,1% exon 21 L861Q mutation and 29,2% wild type. Overall survival (OS) young patients with EGFR mutation positive treated with EGFR tyrosine kinase inhibitor are 652 days (95% CI, 590-713 days), 1 year survival is 87,5% and progression free survival (PFS) are 345 days (95% CI, 323-366 days). Exon 19 deletion give higher PFS than exon 21 (RR 2,361; IK 95% 1,126-4,952; p=0,023). Overall survival young patients with EGFR wild type treated with conventional chemotherapy are 515 days (487-542 days, 95%), 1 year survival is 70,7% and their PFS are 202 days (137-266 days, 95% CI).
Conclusion: EGFR mutation profile in young lung Adenocarcinoma is important to choose first line therapy so that can increase their survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salshabilla Nur Susilawati
"Epidermal Growth Factor (EGF) adalah polipeptida yang memegang peranan penting dalam penyembuhan luka. Namun, EGF memiliki keterbatasan apabila diaplikasikan secara topikal yaitu tingkat permeasinya rendah sehingga vesikel lipid transfersom dipilih untuk membawa EGF karena memiliki karakteristik deformabilitas tinggi. Melalui
simulasi dinamika molekuler akan didapatkan visualisasi pembentukan vesikel transfersom. Penelitian dilakukan untuk menemukan metode simulasi dinamika molekuler yang dapat menghasilkan berkas output sehingga visualisasi akhir vesikel lipid transfersom untuk protein EGF dapat diperoleh. Simulasi dilakukan dengan menggunakan program Amber. Sebelum simulasi dilakukan, protein EGF dan bahanbahan vesikel perlu dipersiapkan untuk menghasilkan berkas parameter dan topologi. Berkas-berkas ini digunakan selama proses simulasi dinamika molekuler yang diawali dengan tahap minimisasi, pemanasan pertama, pemanasan kedua, ekuilibrasi, dan diakhiri dengan tahap produksi. Hasil simulasi divisualisasikan dengan menggunakan Visual Molecular Dynamics (VMD). Selain itu juga, analisis dilakukan terhadap hasil simulasi diperoleh kestabilan simulasi terjadi pada saat 100 20 ns hingga 130 ns sehingga simulasi dapat dihentikan. Visualisasi yang didapatkan dari hasil simulasi ini tidak
menunjukan keberadaan protein EGF di dalam vesikel lipid tetapi hanya menempel di bagian luar vesikel lipid. Oleh karena itu, untuk penelitian berikutnya simulasi dinamika
molekuler transfersom dapat dilakukan dengan ukuran kotak virtual yang lebih besar serta penambahan komponen pelarut (air) pada saat pengemasan kotak virtual.

Epidermal Growth Factor (EGF) is a polypeptide that has an important role in the process of wound healing. However, EGF has a limitation if it is applied topically since it has a low permeation level so that lipid vesicle transfersome has been chosen to transport EGF since it has high level of deformability. Through molecular dynamics simulation the researcher will get visualization of transfersome formation process. The research is conducted to find the method for molecular dynamic simulation that can produce an output archive so that it can visualize the final lipid vesicle transfersome for protein EGF to be achieved. This simulation is done using the Amber programme. Before the simulation is conducted, the protein EGF and the ingredients for the vesicle are needed to be prepared for the parameter and the topology archives. The archives will be used throughout the molecular dynamic simulation process, which will be started with the minimization stage, the first Heating, the second Heating, equilibration, and end with the
production stage. The result of the simulation will be visualized using Visual Molecular Dynamics (VMD). Furthermore, this analysis is brought towards the result that achieves the stabilization of the simulation that happens on 100 20 ns until 130 ns, meaning that the simulation can be stopped. The achieved visualization from the simulation does not show the protein EGF to be inside of the lipid vesicle, and it only adheres to the outer layer of the lipid vesicle. Therefore, for the next research, molecular dynamic simulation for transfersome can be done using a bigger virtual box and an addition to the solvent matter (water) when the packaging of the virtual box occurs.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>