Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202601 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Belinda Cathleen
"Hak dan Kewajiban Suami Istri merupakan bagian dari Hukum Keluarga yang mengatur apa-apa saja yang menjadi baik hak maupun kewajiban masing-masing suami atau istri dalam sebuah perkawinan menurut Hukum Perdata. Secara khusus, pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam UU Perkawinan di Indonesia dan Code Civil di Prancis. Perbedaan-perbedaan yang ada antara hak dan kewajiban perdata suami dan istri di Indonesia dan Prancis memunculkan pertanyaan mengenai tingkat kesetaraan antara hak dan kewajiban suami istri di tiap-tiap negara dan implementasinya. Dalam skripsi ini, penulis menemukan bahwa meskipun dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri di Indonesia dan Prancis terdapat beberapa kesamaan dari segi substansi, namun tedapat juga perbedaan-perbedaan fundamental yang terletak pada pembedaan hak dan kewajiban pasangan dalam perkawinan berdasarkan jenis kelamin di Indonesia. Pengaturan di Indonesia secara prinsip menempatkan suami pada posisi yang lebih tinggi dalam keluarga dengan titel “kepala keluarga” melalui Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan. Kewajiban perdata suami dan istri dalam perkawinan juga masih sarat dengan bias stereotip gender, dengan menyematkan kewajiban yang “maskulin” yakni melindungi dan mencari nafkah kepada suami dan kewajiban yang “feminin” yakni mengurus rumah tangga kepada istri berdasarkan Pasal 34 UU Perkawinan. Sementara itu, hak dan kewajiban perdata suami dan istri dalam perkawinan di Prancis sudah mencapai kesetaraan yang sempurna di mata hukum dengan ketiadaannya pembedaan antara hak dan kewajiban perdata suami dan istri berdasarkan jenis kelamin. Kewajiban untuk saling membantu dalam bentuk devoir d’assistance, kewajiban untuk berkontribusi terhadap biaya rumah tangga (charge de marriage), dan Kewajiban suami dan isteri untuk memberi makan, merawat dan membesarkan anak-anak mereka (l’obligation des père et mère de nourrir, entretenir et élever leurs enfants) sama sekali seimbang antara kedua pasangan tanpa memperhatikan jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan hukum mengenai hak dan suami istri di Prancis lebih setara ketika dibandingkan dengan hak dan kewajiban suami istri di Indonesia.

The Rights and Obligations of Husband and Wife is a section of Family Law that regulates what are the rights and obligations of each husband or wife in a marriage according to Civil Law. In particular, the regulation of the rights and obligations of husband and wife is regulated in the Marriage Law in Indonesia and the Code Civil in France. The existing differences between the civil rights and obligations of husband and wife in Indonesia and France lead to questions regarding the level of equality between the rights and obligations of husband and wife in each country. In this thesis, the author finds that although there are some substantive similarities in the regulation of the rights and obligations of husband and wife in Indonesia and France, there are also fundamental differences that lie in the distinction of the rights and obligations of spouses in marriage based on gender in Indonesia. The Indonesian regulation in principle places the husband in a higher position in the family with the title "head of the family" through Article 31 paragraph (3) of the Marriage Law. The civil obligations of husbands and wives in marriage are also still laden with gender stereotyping bias, by assigning the "masculine" obligation of protecting and earning a living to the husband and the "feminine" obligation of taking care of the household to the wife based on Article 34 of the Marriage Law. Meanwhile, the civil rights and obligations of husband and wife in marriage in France have achieved perfect equality in the eyes of the law with no distinction between the rights and civil obligations of husband and wife based on gender. The civil rights and obligations of husbands and wives in French marriage law have achieved perfect equality in the eyes of the law with no distinction between the rights and obligations of husbands and wives based on gender. The obligation to help each other in the form of devoir d'assistance, the obligation to contribute towards household expenses (charge de marriage), and the obligation of husband and wife to feed, care for and raise their children (l'obligation des père et mère de nourrir, entretenir et élever leurs enfants) are completely equal between the two spouses without regard to gender. This shows that the legal arrangements regarding the rights and obligations of husband and wife in France are more equal when compared to the rights and obligations of husband and wife in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amini, Ibrahim
Bogor: Cahaya , 2004
306.8 IBR nt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zuraida G. Soepoetro
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983
S2211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan A. Trisna
"Lima pasang suami-istri bertemu selama duabelas kali dalam kelompok kecil untuk meningkatkan penyesuaian antar suami-istri. Hasil evaluasi mereka setelah enam kali pertemuan dan wawancara sebulan setelah pertemuan berakhir menunjukkan adanya peningkatan dalam penyesuaian antara suami-istri. Tes kertas dan pinsil tidak menunjukkan hal ini.
Telah didapatkan bahwa salah satu penyebab timbulnya banyak masalah psikologis yang dialami seseorang ialah persepsinya yang salah atau beliefnya yang salah terhadap persepsinya (Ellis, 1973). Belief yang menimbulkan penyesuaian buruk orang itu dengan lingkungannya disebut belief negatif.
Belief negatif ini dapat dibentuk orang tersebut oleh atribusi yang dilakukan orang-orang penting terhadapnya pada masa dininya (Laing, 1971), injunction (larangan bertingkah laku bebas) yang diberikan orang tuanya dan nasihat-nasihat yang membentuk naskah hidupnya (Steiner, 1974). Di samping pembentukan masa lampau, belief negatif juga bisa dibentuk pada masa kini, misalkan karena diajarkan padanya oleh orang panutannya, oleh bacaan dan tontonannya.
Suatu belief dapat menjadi negatif karena isinya (contentnya), karena intensitasnya, karena dimiliki yang tertentu (yang mungkin bukan merupakan belief negatif bila dimiliki orang lain), dan karena diterapkan pada suatu situasi atau konteks tertentu. Belief seperti ini akan menimbulkan konflik dalam hubungan interpersonal orang tersebut dengan orang lain di sekitarnya, terutama dengan pasangan hidupnya.
Program dalam penelitian ini mempunyai tujuan agar suami-istri dalam pernikahan mempunyai penyesuaian yang baik. Tujuan ini hendak dicapai melalui suatu perlakuan dalam kelompok kecil. Perlakuan itu mengarah pada empat langkah, yaitu: (1) Kesadaran, para peserta dalam program ini menjadi sadar akan adanya belief negatif yang mereka miliki dan yang menyebabkan buruknya penyesuaian dengan pasangannya; (2) Keputusan, setelah timbul kesadaran, mereka dibimbing untuk mengambil keputusan mengubah belief negatif yang mereka miliki; (3) Tekad, peserta menjabarkan secara konkrit keputusan untuk berubah itu dalam sebuah kalimat singkat dan jelas tentang tingkah laku yang akan mereka lakukan; (4) Tingkah laku, peserta melaksanakan tekad yang telah mereka buat sendiri. Diharapkan setelah melaksanakan langkah-langkah ini timbul kebiasaan baru yang meningkatkan penyesuaian mereka dengan pasangan mereka.
Adapun hipotesa yang akan diteliti adalah:
Terdapat peningkatan penyesuaian antar suami-istri peserta kelompok kecil yang mencoba menghilangkan belief negatif yang lazim ada pada suami-istri dalam pernikahan.
Untuk penelitian ini digunakan QUASI-EXPERIMENTAL DESIGN. Bentuk disainnya ialah Single Group Pretest-Postest Design. Variabel independennya ialah perlakuan dalam kelompok, variabel perantara ialah perubahan belief negatif, dan variabel dependennya ialah penyesuaian suami-istri.
Instrumen yang dipakai ada dua, yaitu (1) wawancara yang diberikan pada para peserta sebulan setelah program selesai dan (2) tiga buah tes kertas dan pinsil, yaitu modifikasi dari Dyadic Adjustment Scale dan Kansas Marital Satisfaction Scale, serta Semantic Differential.
Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepada para anggota Gereja Bethel Indonesia Jl. Cimahi 23, cabang Cengkareng, ditawarkan program ini yang dilaksanakan dalam 12 kali pertemuan, seminggu sekali selama dua jam tiap kali pertemuan. Ada lima pasang suami-istri yang berminat mengikuti program ini.
b. Kesepuluh peserta menerima tes awal (tes kertas dan pinsil).
c. Tiap pertemuan mempunyai topik tersendiri sebagai berikut:
1. Belief negatif I
2. Belief negatif II
3. Mengerti dan Mengekspresikan Kasih
4. Komitmen Keberhasilan Pernikahan
5. Pembentukan Kepribadian Anak
6. Penyesuaian Dalam Pernikahan
7. Komunikasi dalam Pernikahan
8. Menyelesaikan Konflik
9. Mengambil Keputusan dalam Masalah
10. Hirarki Dalam Keluarga
11. Seks Dalam Pernikahan
12. Keluarga yang Kokoh
d. Pada tiap pertemuan ada latihan pengendapan seperti diskusi dan studi kasus, tanya jawab, sharing (berbagi pengalaman), role play, dan refleksi diri.e. Ada pula pekerjaan rumah mingguan yang perlu dilakukan tiap peserta yang disebut janji mingguan. Pekerjaan rumah ini dipilih sendiri oleh peserta.f. Setelah enam kali pertemuan, para peserta mengisi lembaran Evaluasi Pernikahan Tengah Program.
g. Sebulan setelah perlakuan berakhir, tiap pasang suami-istri diwawancarai. Mereka juga mendapatkan tes akhir (tes kertas dan pinsil).
h. Dari instrumen yang dipakai dilihat apakah perlakuan dalam kelompok kecil ini mendukung hipotesa penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendukung hipotesa walaupun dengan beberapa catatan. Dukungan terhadap hipotesa nyata dari wawancara dan data Evaluasi Pernikahan Tengah Program. Hasil tes kertas dan pinsil ternyata tidak mendukung hipotesa penelitian. Ada beberapa dugaan hasil tes ini: (1)faktor social approval, (2)pengisian tes awal yang kurang realistis, dan (3)peningkatan tolok ukur untuk menilai kwalitas pernikahan setelah mengikuti program."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari
"Di Indonesia, terutama di Jakarta tampaknya perselingkuhan telah menjadi gaya hidup dalam masyarakat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti halnya Jakarta, tetapi juga di kota-kota kecil atau di daerah (h;tp://www.e-psikologi.comkeIuarg/seling5uh.htm) Data yang diproleh menunjukkan dari
sejumlah praktek konsultasi perkawinan (Marriage Counseling) yang ada di Jakarta
membuktikan bahwa sebahagian besar penyebab terjadinya krisis dalam perkawinan adalah dikarenakan masalah perselingkuhan (Hawari, 2002).
Akibat dari perselingkuhan suami, maka istri akan mengalami perasaan sakit hati dan kecewa Oleh karena itu untuk dapat mengatasi perasaan tersebut dan
mengembalikan hubungan seperti sebelumnya, maka diperlukan adanya perilaku mwmaatkan pada istri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana gambaran forgiveness pada istri sebagai upaya untuk mengembalikan keutuhan rumah tangga akibat perselingkuhan suami dan faktor apa saja yang menyebabkaan istri memanfaatkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Responden penelitian 2 orang, responden
pertama adalah N dan reaponden kedua adalah A yang memiliki pengalaman suami berselingkuh dan subjek hingga sekarang masih bertahan dalam perkawinannya.
Hasil studi menunjukkan bahwa lamanya berpacaran dan saling mengenal
tidak memiliki pengaruh tehadap keinginan pasangan untuk berselingkuh Subjek pertama, yaitu N menilai menilai perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan dikarenakan adanya kekurangan dalam dirinya dalam melayani pasangan (kegiatan seksual). Namun, N menyadari bahwa pasangan berselingkuh bukan hanya dikarenakan kekurangan dalam dirinya, tetapi hal tersebut telah menjadi sifat suami
yang kelika berpacaran telah memiliki banyak kekasih. Sebaliknya., subjek kedua,
yaitu A menilai pasangan berselingkuh dikarenakan terpengaruh oleh teman-teman kantornya. Jenis perselingkuhan yang dilakukan oleh masing-masing pasangan subjek
juga berbeda-beda. Pada subjek N, pasangan berselingkuh iebih dengan satu orang, yaitu dengan keponakan N dan dengan teman satu profesi. Perselingkuhan yang
dilakukan suami berlangsung bertahun-tahun, bahkan sepanjang perkawinan, dimana perselingkuhan jenis ini dapat digolongkan dalam Long-term Ajair. Sedangkan suami A berselingkuh dengan wanita yang bekerja sebagai pegawai magang dikantorya. Perselingkuhan yang dilakukan oleh suami A dikarenakan adanya suasana
yang mendukung dan belum adanya keterikatan emosional dan komitmen apa pun terhadap partner seksualnya, sehingga perselingkuhan jenis ini dapat digolongkan dalam Flings.
Kedua subjek belum dapat memaatkan sepenuhnya psrseiingkuhan yang
dilakukan oleh pasangannya. Perilaku memaafkan hanya terlihat dari tindakan subjek sehari-hari yang masih melayani kebutuhan suami, sepeni masih menyiapkan sarapan
dan masih melakukan hubungan seksual. Namun, perilaku memaaikan belum dapat dihayati dan dirasakan sepenuhnya dalam diri subjek. Hal ini dikarenakan adanya
rumination about Iransgression, yaitu kocenderungan Subjek untuk terus menerus mengingat kejadian perselingkuhan suami, sehingga menghalangi dirinya untuk memaafkan. Oleh karena itu, perilaku memaafkan subjek terhadap perselingkuhan
suami tergolong dalam dimensi Holiow Forgiveness, yaitu subjek dapat
mengekspresikan secara konkret pemanfatan melalui perilaku, namun sebenamya ia belum dapat merasakan dan menghayati adanya pemaafan dalam dirinya.
Kedua subjek masih bertahan dalam perkawinan dikarenakan oleh alasan
pribadi, yaitu anak. Walaupun pada subjek A, sclain karcna alasan pribadi, ia masih berlahan dalam perkawinan dikarenakan oleh alasan Enansial, yaitu ketergantungan secara ekonomi terhadap suami dan meuganggap perselingkuhan bukan merupakan
alasan untuk bercerai. A menganggap apabila ia bcrccrai dari suaminya belum tcntu ia akan mendapatkan suami yang lebih baik dafi suaminya sekarang"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Arras Shafara
"[Di era modern ini, terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya semakin terbuk. Saat ini banyak perempuan yang memperhatikan tingkat pendidikannya demi memiliki karier yang baik di dalam dunia pekerjaan. Peningkatan karier perempuan diiringi juga dengan peningkatan penghasilan membuat perempuan memiliki peran lebih dalam memenuhi kebutuhan ekonomi di dalam keluarga. Fenomena tersebut kemudian memunculkan istilah alpha wife. Skripsi ini memberikan gambaran mengenai dinamika relasi suami istri dan pengambilan keputusan pada keluarga alpha wife. Di Indonesia, alpha wife tidak hanya memiliki penghasilan lebih besar dari suami, hal tersebut juga mempengaruhi relasi kekuasaan di dalam keluarga. Namun, hubungan di antara keduanya masih tetap dipengaruhi oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

In this modern era, opening up opportunities for women to develop themselves increasingly exposed. Today women are paying attention to level of education in order to have a good career in the world of work. Career advancement of women followed by an increase in income makes women have a larger role to fulfill the economic needs of the family. The phenomenon then led to the term alpha wife. This thesis provides an overview of the dynamics of husband and wife’s relationship and decision making in alpha wife family. In Indonesia, alpha wife not only who earns more than her husband but it also affects the power relations within family. However, the relationship between husband and wife still influenced by the values and norms in society.
, In this modern era, opening up opportunities for women to develop themselves increasingly exposed. Today women are paying attention to level of education in order to have a good career in the world of work. Career advancement of women followed by an increase in income makes women have a larger role to fulfill the economic needs of the family. The phenomenon then led to the term alpha wife. This thesis provides an overview of the dynamics of husband and wife’s relationship and decision making in alpha wife family. In Indonesia, alpha wife not only who earns more than her husband but it also affects the power relations within family. However, the relationship between husband and wife still influenced by the values and norms in society.
]
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2014
S61293
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shepriyani Miftajanna
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang dialektika pada pasangan suami-istri yang menjalani keputusan childfree serta memperoleh pemahaman akan pola komunikasi pasangan suami-istri dalam menjalani keputusan childfree dan upaya mengelola dialektika yang dilakukan pasangan dalam hubungan pernikahan itu sendiri. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi dengan informan penelitian yang terdiri dari dua pasangan suami-istri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan childfree mengalami variasi dialektika dalam analisis internal dan eksternal. Pasangan pertama (P dan R) menghadapi dialektika keterpisahan dan kebersamaan (autonomy-connection), dengan P ingin hidup tanpa anak sementara R ingin memiliki anak. Pasangan kedua (W dan I) menghadapi dialektika kepastian dan ketidakpastian (certainty-uncertainty), dengan W meragukan komitmen childfree mereka karena I menyukai anak kecil. Dalam dialektika eksternal, pasangan childfree menghadapi ketegangan pengungkapan dan penyembunyian (revelation-concealment). Secara umum, pasangan cenderung tidak ingin secara terbuka mengungkapkan pilihan mereka karena adanya stigma negatif masyarakat terhadap childfree. Pada intinya teori dialektika relasional menawarkan diskusi rasional di antara pasangan ketika menghadapi ketegangan terkait menjalani keputusan childfree dari pengaruh secara internal dan eksternal. Diskusi rasional yang dilakukan pasangan adalah dengan mengelola kontradiksi-kontradiksi yang ada secara seimbang. Pengelolaan dialektika internal cenderung menggunakan strategi seleksi dan integrasi berupa reframing, sementara dialektika keterbukaan dan ketertutupan (openness-closedness) menggunakan strategi segmentasi dan diskualifikasi dalam masalah finansial. Dalam dialektika eksternal, pasangan menggunakan strategi netralisasi dan alterasi siklik yang sesuai dengan kategori dialektika yang dihadapi. Upaya kompromi dan pergantian menjadi ciri khas pasangan dalam mengungkapkan dan menyembunyikan (revelation-concealment) keputusan childfree kepada lingkungan sosial.

This study aims to gain knowledge about dialectics in married couples who undergo childfree decisions and understand the communication patterns of married couples in undergoing childfree decisions and efforts to manage dialectics carried out by couples in the marriage relationship itself. The research method for this study is qualitative with a case study approach. Research data were obtained through in-depth interviews and observations with research informants consisting of two married couples. The results of this study indicate that childfree couples experience dialectical variations in internal and external analysis. The first couple (P and R) face a dialectic of autonomy-connection, with P wanting to live without children while R wanting to have children. The second couple (W and I) face a dialectic of certainty and uncertainty, with W doubting their childfree commitment because I likes small children. In the external dialectic, childfree couples face the tension of revelation-concealment. In general, couples tend not to want to openly express their choices because of the negative social stigma against childfree. In essence, the theory of relational dialectics offers a rational discussion between partners when facing tensions related to making decisions child-free from internal and external influences. The rational discussion conducted by the pair is to manage the contradictions that exist in a balanced way. Management of internal dialectics tends to use selection and integration strategies as reframing, while openness-closedness uses segmentation and disqualification strategies in financial matters. In the external dialectic, the couple uses neutralization and cyclic alteration strategies that are appropriate to the dialectical category they are facing. Attempts to compromise and change are characteristic of couples in revelation-concealment childfree decisions to the social environment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho Tantry
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang akibat hukum dan kedudukan suami istri yang telah
bercerai, kemudian satu sama lain melakukan perkawinan ulang berdasarkan Pasal
232a KUHPerdata. Pasal 232a KUHPerdata mengatur bahwa, apabila suami dan
istri yang telah dicerai, satu sama lain melakukan perkawinan ulang, maka demi
hukum hiduplah kembali segala akibat perkawinan seolah-olah tak pernah ada
perceraian, namun hal itu tidak boleh mengurangi akan terus berlakunya
perbuatan-perbuatan perdata terhadap pihak ketiga yang telah dilakukan kiranya
dalam tenggang antara perceraian dan perkawinan ulang. Kemudian cara
menghitung pembagian harta peninggalan suami/istri (pewaris) dalam perkawinan
ulang. Serta akibat hukum terhadap harta benda perkawinan dalam perkawinan
ulang.

ABSTRACT
This thesis study about the legal consequences and status of divorced spouses,
who remarried to each other based on Indonesian Civil Code Verse 232a.
Indonesian Civil Code Verse 232a states that, if the divorced spouses, who
remaried to each other, then by virtue of the law all results of the marriage will be
revived as if there had been no divorce, but such cannot withstand the validity of
the civil actions on the third party that has been performed between the period of
the divorce and the remarry. Furthermore, it also encompasses the method of
calculating the division of material possessions as well as calculating the
inheritance from the remarried husband/wife (heir). Moreover, the legal
consequences towards marital material possessions in remarriage"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina M. Indrawati
"Adanya kesesuaian peran suami isteri dalam perkawinan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan perkawinan. Secara uiaum, kepuasah perkawinan lebih bergantung pada kesesuaian antara harapan suami terhadap perilaku isterinya dibandingkan dengan kesesuaian antara harapan isteri terhadap perilaku suaminya. Hal ini disebabkan oleh pengertian budaya yang mengatakan bahwa wanita lebih toleran dan memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih tinggi daripada pria. Namun, pengertian ini kemungkinan tidak berlaku lagi seiring dengan adanya perubahan-perubahan peran wanita.
Fenomena isteri yang bekerja diduga akan membawa dampak bagi aspirasi dan harapan mereka, termasuk harapan terhadap peran suami isteri dalam kehidupan perkawinan yang dijalaninya. Penelitian ini hendak melihat apakah ada perbedaan harapan terhadap peran suami, perbedaan kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami, serta perbedaan kepuasan perkawinan antara isteri yang bekerja dan isteri yang tidak bekerja. Selain itu, hendak ditelaah bagaimanakah pengaruh kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami terhadap kepuasan perkawinan pada isteri yang bekerja dan isteri yang tidak bekerja. Subyek dari penelitian ini adalah 38 isteri yang bekerja dan 33 isteri yang tidak bekerja dengan usia perkawinan maksimal 2 tahun, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, dengan pengambilan sampel secara accidental sampling.
Dari penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan perkawinan dengan kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami pada kelompok isteri. Masing-masing aspek kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami ternyata juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan perkawinan. Aspek-aspek tersebut adalah aspek pengurus rumah tangga, pencari nafkah, hubungan seksual, hubungan kekerabatan, pelaksanaan rekreasi, diikungan emosional, pengambilan keputusan, hubungan interpersonal, komunikasi, dan partisipasi dalam bidang keagamaan.
Dari penelitian ini diketahui pula bahwa status pekerjaan, yaitu bekerja dan tidak bekerja, tidak berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan, kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami, serta harapan terhadap peran suami. Hasil lain dari penelitian ini adalah bila ditinjau dari aspek-aspek kesesuaian antara harapan dan perilaku peran suami, aspek dukungan emosional merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar bagi kepuasan perkawinem, baik pada isteri yang bekerja maupxin isteri yang tidak bekerja. Meski demikian, isteri yang bekerja juga beranggapan bahwa aspek pencari nafkah adalah juga faktor yang paling tinggi memberikan pengaruh terhadap kepuasan perkawinan dibandingkan aspek-aspek lainnya.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya metode kuesioner ditunjang dengan wawancara untuk mendapat hasil yang lebih kaya dan mendalam. Selain itu, disarankan pula untixk diadakan penelitian pada kelompok usia perkawinan dari beberapa tahapan daur kehidupan berkeluarga, serta melibatkan keloiapok isteri dengan posisi manajerial di pekerjaannya atau yang memiliki penghasilan lebih tinggi daripada suaminya- Untuk melengkapi hasil penelitian ini, dapat pula dilakukan penelitian mengenai pengaruh kesesuaian antara harapan dan perilaku peran isteri terhadap kelompok suami yang memiliki isteri yang bekerja dan kelompok suami yang memiliki isteri yang tidak bekerja."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baby Ingrid
"Seiring dengan perkembangan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan, kini wanita maupun pria memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri. Wanita yang bekerja di luar rumah menjadi sorotan masyarakat ketika ia memutuskan untuk tetap bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Pandangan tradisional masyarakat menuntut wanita untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ada berbagai alasan mengapa seorang istri memutuskan untuk bekerja. Selain untuk memperoleh penghasilan (ekonomis) juga adanya kebutuhan untuk memperluas wawasan intelektual dan interaksi sosial (non-ekonomis).
Keputusan istri untuk bekerja mendatangkan konsekuensi pada tiga aspek dalam lingkungannya, yaitu pada hubungan perkawinan, pada anak serta pada dirinya sendiri. Penelitian-penelitian yang dilakukan selama ini cenderung berfokus pada konsekuensi negatif tanpa lebih dalam melihat pandangan obyektif, dari pihak istri dan suami. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui gambaran yang lebih mendalam mengenai persepsi kedua pihak terhadap tujuan dan konsekuensi istri yang bekerja penuh waktu. Adapun yang dimaksud persepsi adalah interpretasi secara selektif oleh individu untuk memberi arti pada Iingkungannya Dengan demikian permasalahan dalam penelitian ini ialah : Bagaimanakah persepsi suami dan istri terhadap istri yang bekerja sebagai karyawati penuh waktu ?
Penelitian ini menggunakan pengumpul data berupa kuesioner dan wawancara sebagai pelengkap. Subyek penelitian ialah pasangan suami-istri yang bekerja penuh waktu sudah mempunyai anak, berpendidikan minimal SLTA. Istri berusia 22-45 tahun dan bekerja di instansi swasta.
Hasil yang diperoleh dari 57 pasang suami-istri menunjukkan bahwa istri dan suami mempersepsi adanya tujuan ekonomis dan non-ekonomis dari bekerja. Adapun terhadap konsekuensi, suami mernpersepsi konsekuensi yang positif dari istri yang bekerja sedangkan istri mempersepsi adanya konsekuensi yang positif dan sekaligus negatif pada hubungan perkawinan, anak dan diri istri yang bersangkutan. Hasil tambahan menyatakan bahwa semakin positif persepsi suami terhadap konsekuensi istri bekerja semakin negatif persepsi istri, sebaliknya semakin positif persepsi istri semakin negatif persepsi suami. Hasil wawancara mendukung hasil di atas dan memberi data tambahan bahwa pasangan suami istri cenderung rnenjalankan peran tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa istri bekerja untuk tujuan ekonomis dan non-ekonomis, dimana hal ini dipersepsi sama pentingnya oleh suami maupun istri. Berkaitan dengan konsekuensi istri bekerja, ternyata persepsi suami Iebih positif dibandingkan dengan persepsi istri bekerja yang bersangkutan. Sebagai tambahan, hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pasangan suami-istri mempersepsikan peran masing-masing dalam rumah tangga yang masih cenderung tradisional."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>