Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156094 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Giava Zahrannisa
"Kenaikan temperatur sebesar 4°C sebelum tahun 2060 mengancam bumi menjadi tidak layak huni bagi manusia. Guna mencegah katastrofe tersebut, negara-negara di dunia berupaya membatasi kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1,5°C di atas level pra industri dan mencapai target emisi nol bersih sebelum tahun 2060. Perdagangan karbon menjadi salah satu instrumen yang paling efisien untuk mencapai target iklim tersebut. Sayangnya, integritas perdagangan karbon sangat lemah akibat tingginya angka tindak pidana seperti: penjualan kredit karbon palsu, klaim palsu terkait manfaat finansial dan lingkungan kredit karbon, kejahatan finansial, kejahatan komputer, dan pemalsuan data emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini menganalisis permasalahan tersebut menggunakan metode penelitian doktrinal dan non-doktrinal. Hasil penelitian menjelaskan bahwa hukum pidana Indonesia belum siap untuk mengakomodasi tindakan pemalsuan data emisi GRK. Menggunakan teori kesempatan tindak pidana serta prinsip kesalahan moral dan kerugian, penelitian ini menunjukkan urgensi dan justifikasi kriminalisasi terhadap pemalsuan data emisi GRK. Kriminalisasi tersebut dilakukan terhadap tiga modus berupa: pemalsuan informasi atau dokumen, perusakan alat monitoring emisi, dan penggunaan sampel palsu. Sebagai solusi, penelitian ini memberikan formulasi kombinasi sanksi administratif dan pidana untuk mengkriminalisasi pemalsuan data emisi GRK agar dapat meminimalisasi kesempatan terjadinya tindak pidana sehingga mampu menjaga integritas perdagangan karbon.

The rise of world temperature by 4°C before 2060 would make the world unhabitable for humans. In response, countries worldwide are binded to limit the temperature increase to 1.5°C above pre-industrial levels and achieve net-zero emissions before 2060. Carbon trading stands out as one of the most cost-efficient instruments to meet these climate targets. However, the integrity of carbon trading is compromised due to high rates of criminal activities. These include: the sale of fake carbon credits, false claims regarding financial and environmental benefits of carbon credits, financial crimes, cybercrimes, and falsification of greenhouse gas emission (GHG) data. Using doctrinal and non-doctrinal method, this research argues that falsification of greenhouse gas emission dataremains unregulated by Indonesian criminal law. This research also argue that the criminalization of GHG data falsification is urgent and justified by implementing crime opportunity theory and justification of criminalization theory. As a solution,  this research provides a formulation of a combination of administrative and criminal sanctions to criminalize falsification of GHG emission data in order to minimize the opportunity for criminal acts so as to be able to maintain the integrity of carbon trading."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhityo Adyahardiyanto
"Laporan International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa sekitar 33% dari total emisi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia berasal dari kegiatan di sektor energi. Jumlah yang signifikan ini membuat Indonesia menjadi negara kontributor GRK global terbesar ke-6 (enam) di dunia. Berkaitan dengan fakta tersebut, pemerintah Indonesia sejatinya telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK dalam Paris Agreement, sebagaimana diratifikasi sebagai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention Climate Change. Sebagai salah satu upaya tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan penyusunan kebijakan percepatan pemanfaatan tenaga listrik untuk penggerak kendaraan bermotor dan membangun sistem Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) secara bertahap. Secara lebih lanjut, hal ini diejawantahkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan (Perpres 55/2019). Dalam pendekatan umum, KLBB memang dapat mengatasi permasalahan emisi GRK dari kendaraan BBM. Namun jika dilihat lebih dekat, sejatinya kerangka kebijakan terkait infrastruktur untuk KLBB ini dapat menciptakan katastrofi selanjutnya dalam pengelolaan SDA, energi, serta keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Sebab, energi yang diperoleh SPKLU tersebut diperoleh dari sumber-sumber energi tidak terbarukan. Atas hal tersebut, penulis kembali mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi GRK guna menciptakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan kelestarian lingkungan, khususnya ketahanan iklim, sebagaimana dijanjikan dalam UU 16/2016 terkait target penurunan emisi GRK. Penulis menggunakan penelitian yuridis-normatif dimana penulis melihat kesesuaian antara kebijakan SPKLU dengan berbagai bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Selain itu, utamanya penulis akan mengaitkan kebijakan tersebut dengan prinsip-prinsip kebijakan pengelolaan energi di Indonesia. Dari penelitian ini, Pemerintah Indonesia demikian perlu untuk mengevaluasi kembali penerapan kebijakan infrastruktur SPKLU di Indonesia. Hal ini tidak lain guna mendorong kesuksesan pencapaian target penurunan emisi GRK di Indonesia.

The International Energy Agency (IEA) report indicates that approximately 33% of Indonesia's total Greenhouse Gas (GHG) emissions come from activities in the energy sector. This significant amount makes Indonesia the 6th largest global contributor to GHG emissions. In light of these facts, the Indonesian government has committed to reducing GHG emissions as part of the Paris Agreement, ratified under Law Number 16 of 2016 concerning the Ratification of the Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. As part of these efforts, the Indonesian government has formulated policies to accelerate the use of electric power for motor vehicles and gradually establish Public Electric Vehicle Charging Stations (SPKLU). This commitment is further articulated in Presidential Regulation Number 55 of 2019 on the Acceleration of Battery Electric Vehicle (BEV) Programs for Road Transportation (Presidential Regulation 55/2019). While electric vehicles can address the issue of GHG emissions from conventional fuel vehicles in a general sense, a closer examination reveals that the policy framework regarding the infrastructure for Battery Electric Vehicles (BEVs) could potentially lead to further catastrophes in the management of natural resources, energy, and environmental sustainability in Indonesia. This is because the energy obtained from these charging stations comes from non-renewable sources. In light of this, the author questions the Indonesian government's commitment to achieving GHG emission reduction targets for sustainable development, particularly in terms of climate resilience, as promised in Law 16/2016 regarding GHG emission reduction targets. The author employs a juridical-normative research approach, examining the compatibility of the SPKLU policy with various primary, secondary, and tertiary legal sources. Based on this research, it is imperative for the Indonesian government to reevaluate the implementation of SPKLU infrastructure policies in Indonesia. This is essential to ensure the success of achieving GHG emission reduction targets in the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galang Adhyaksa Pratama
"Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis dan mengkritisi mengenai perdagangan pengaruh dan urgensi kriminalisasinya. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah Salah satu norma yang diatur di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah perdagangan pengaruh atau trading in influence. Indonesia telah meratifikasi konvensi antikorupsi ini, tetapi masih belum diundangkan ke dalam hukum positif. Memperdagangkan pengaruh memiliki korelasi kuat dengan tindak pidana korupsi yang harus melibatkan tiga pihak (trilateral relationships), yakni pihak yang memiliki kepentingan, orang yang memiliki pengaruh atau akses terhadap kekuasaan, dan pejabat atau otoritas publik. Namun, dalam rumusan pasal UNCAC dan konvensi antikorupsi lain masih mengakomodasi bentuk bilateral relationship yang merupakan bentuk dalam tindak pidana suap. Dalam perdagangan pengaruh pejabat tidak perlu memperdagangkan pengaruhnya, cukup dilihat bahwa pejabat tersebut menyalahgunakan kewenangannya. Perdagangan pengaruh sulit untuk dilihat bentuknya dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena menganggap menggunakan pengaruh seseorang adalah hal yang wajar. Hal ini dapat terlihat dari praktik perdagangan pengaruh yang semakin marak terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Dalam praktiknya penuntut umum sering kali menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh, tetapi dalam pembuktiannya tidak semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Berbanding terbalik dengan unsur-unsur dalam Pasal 18 UNCAC yang mengakomodasi perbuatan perdagangan pengaruh. Agar pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan lebih baik dan maksimal pengaturan norma untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh harus menjadi prioritas utama agar segera dibentuk undang-undang atau peraturan mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif di Indonesia.

In this paper, the author will analyze and criticize the trading of influence and the urgency of criminalization. One of the norms regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) is trading in influence. Indonesia has ratified this anti-corruption convention, but it has not yet been enacted into positive law. Trading in influence has a strong correlation with corruption which must involve three parties (trilateral relationships), namely parties with interests, people with influence or access to power, and officials or public authorities. However, the formulation of the UNCAC article and other anti-corruption conventions still accommodates the form of a bilateral relationship which is a form of bribery. In trading the influence of an official, it is not necessary to trade his influence, it is sufficient to see that the official is abusing his authority. Trading in influence is difficult to see in its form and is deeply rooted in Indonesian society because it is considered normal to use someone's influence. This can be seen from the practice of trading in influence which is increasingly prevalent and is carried out by people who have power. In practice, public prosecutors often use Article 11 of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption in conjunction with Article 55 paragraph (1) in conjunction with Article 64 paragraph (1) to ensnare the perpetrators of influence trading, but in proving not all elements in the article are legally and convincingly fulfilled. In contrast to the elements in Article 18 UNCAC which accommodates acts of trading in influence. For the eradication of criminal acts of corruption to run better and optimally, regulation of norms to ensnare influence trading actors must be a top priority so that laws or regulations are immediately formed regarding acts of trading in influence in positive law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Khairunnisa Noesjirwan
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris pengaruh dari kinerja lingkungan yaitu sistem manajemen lingkungan bersertifikasi ISO 14001 dan keikutsertaan PROPER, kesesuaian informasi lingkungan berdasarkan GRI 3 atau 3.1 pada laporan keberlanjutan, ukuran perusahaan, leverage perusahaan dan profitabilitas perusahaan terhadap tingkat pengungkapan emisi gas rumah kaca pada perusahaan di Indonesia. Pengukuran tingkat pengungkapan emisi gas rumah kaca menggunakan indeks yang dikembangkan dari ISO 14064-1 tentang spesifikasi dengan panduan kuantifikasi dan pelaporan dari emisi dan penghapusan gas rumah kaca.
Sampel penelitian terdiri dari 10 perusahaan terdaftar di Bursa Efek yang mengungkapkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2010, 2011 dan 2012. Analisis data dilakukan dengan uji asumsi klasik dan pengujian hipotesis dengan analisis regresi. Program statistik dalam penelitian menggunakan stata. Penelitian ini memberikan hasil bahwa sistem manajemen lingkungan ISO 14001 dan keikutsertaan PROPER berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan emisi gas rumah kaca. Kesesuian informasi lingkungan berdasarkan GRI 3 atau 3.1, ukuran perusahaan, leverage perusahaan dan profitabilitas perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan emisi gas rumah kaca.

The aim of this study is to obtain empirical evidence of the environmental performances influence that are ISO 14001 certified environmental management and PROPER participation, environmental information in accordance with GRI version 3 or 3.1, firm size, companies? leverage and profitability to the level of greenhouse gas emissions disclosure, on companies in Indonesia. Measuring the level of greenhouse gas emissions disclosure using an index that was developed from the ISO 14064-1, which contains specifications with guidance on organization level for quantification and reporting of greenhouse gas emissions and removals.
The total sample consists of 10 firms that disclosed greenhouse gas emissions in 2010, 2011 and 2012. Data analysis was performed using classical assumptions and hypothesis testing using regression analysis. Statistical program used in research is Stata. This study provides proofs ISO 14001 certified Environmental Management System and participation of PROPER had significant effect to the level of greenhouse gas emissions disclosure. Whereas environmental information based on the GRI 3 or 3.1, the size of the company, leverage and profitability of the company has no significant effect on the level of greenhouse gas emissions disclosure.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S58590
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Paramita Bawie
"Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca GRK dibandingkan skenario Business As Usual BAU . Selama 2010-2014, Provinsi Riau adalah emiter terbesar 22,7 dari total emisi GRK Nasional sebesar 7.942,46 juta ton CO2e, sedangkan Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat emisi GRK per luasan wilayah dengan tingkat pertumbuhan tertinggi 145,2 dibandingkan rata-rata pertumbuhan emisi GRK Nasional sebesar 134,7. Dengan menggunakan regresi panel data tingkat provinsi, ditemukan bahwa pemberlakuan Peraturan Daerah mengenai RAD-GRK tidak efektif mengurangi emisi GRK serta hubungan negatif dan signifikan antara rasio gini terhadap emisi GRK sedangkan PDRB per kapita memiliki hubungan positif dan signifikan. Direkomendasikan untuk mengelola penggunaan sumber daya secara efektif untuk setiap satu satuan PDRB per kapita serta meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi GRK nasional.

Indonesia is committed to reduce Greenhouse Gas GHG emissions compared to Business As Usual BAU scenarios. During 2010 2014, Riau was the largest emitter 22.7 of total GHG emissions of 7,942.46 million tons of CO2e , while Central Java had the highest GHG emission rate per area with 145.2 national GHG emissions growth average of 134.7. Using provincial data panel regression, it was found that the enactment of Local Regulation on RAD GRK has not been effective in reducing GHG emission and negative and significant relation between gini ratio to GHG emission while GRDP per capita has positive and significant relation. It is recommended to effectively manage the use of resources for each one per capita GRDP and increase the commitment of Local Government to support the achievement of national GHG emission reduction targets."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49960
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Chandra Adinugraha
"Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian utama telah diberikan pada masalah lingkungan global yang semakin meruncing, khususnya perubahan iklim. Permasalahan ini juga menjadi isu di Indonesia khususnya di Kota Semarang yang menghasilkan sekitar 1.276 ton sampah per hari pada tahun 2019. Emisi GRK dari sektor pengelolaan limbah di Kota Semarang menyumbang 16,67% dari total emisi GRK yang dihasilkan kota Semarang di tahun 2018. Emisi GRK dari pengelolaan sampah dapat berasal dari beberapa tahapan, seperti pengumpulan, transportasi, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis emisi GRK dan tahapan pengelolaan sampah yang bersifat hotspot dari keseluruhan sistem pengelolaan sampah Kota Semarang di tahun 2023, sehingga dapat diberikan rekomendasi untuk mengurangi emisi GRK. Perhitungan emisi GRK dilakukan dengan menggunakan Metode IPCC 2006 Tier 1 dan software Emission Quantification Tool (EQT) versi 2018 yang dikembangkan Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, emisi GRK masing-masing dari tahapan transportasi sampah, komposting, daur ulang sampah, black soldier fly (BSF), sampah tidak terkelola, kebakaran landfill, dan landfilling adalah 13.836,729 ton CO2-eq, 3.650,054 ton CO2-eq, -74.080,228 ton CO2-eq, 31,473 ton CO2-eq, 18,123 ton CO2-eq, 8.482,856 ton CO2-eq dan 357.939,942 ton CO2-eq. Keseluruhan emisi GRK dari sistem pengelolaan sampah Kota Semarang di tahun 2023 adalah 309.878,948 ton CO2-eq, dengan hotspot emisi adalah tahap landfilling. Rekomendasi yang diberikan adalah mengurangi timbulan sampah yang masuk ke TPA Jatibarang dan mengaktifkan kembali fasilitas komposting yang tengah berhenti beroperasi di TPA Jatibarang.

In the last few decades, major attention has been given to increasingly increasing global environmental problems, especially climate change. This problem is also a concern in Indonesia, especially in the city of Semarang, which produces around 1,276 tons of waste per day in 2019. GHG emissions from the waste management sector in Semarang City contributed 16.67% of the total GHG emissions produced by Semarang City in 2018. GHG emissions from waste management can come from several stages, such as collection, transportation, processing, and final disposal of waste. This research aims to analyse GHG emissions and hotspot waste management stages of the entire Semarang City waste management system in 2023, so that recommendations can be provided to reduce GHG emissions. GHG emissions calculations were carried out using the IPCC 2006 Tier 1 Method and the 2018 version of the Emission Quantification Tool (EQT) software developed by the Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Based on research that has been carried out, the respective GHG emissions from waste transportation, composting, waste recycling, black Soldier fly (BSF), unmanaged waste, landfill fire, and landfilling are 13,836.729 tons CO2-eq, 3,650.054 tons CO2-eq, -74,080.228 tons CO2-eq, 31.473 tons CO2-eq, 18.123 tons CO2-eq, 8,482.856 tons CO2-eq and 309.878,948 tons CO2-eq. Overall GHG emissions from the Semarang City waste management system in 2023 are 309,878.948tons CO2-eq, with the emission hotspot being the landfill stage. The recommendation given is to reduce the amount of waste entering the Jatibarang landfill and reactivate the composting facility which is currently no longer operating at the Jatibarang landfill."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septania Putri Widyawardhani
"Potensi emisi GRK yang dihasilkan dari pengolahan air limbah domestik meliputi gas metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan karbon dioksida (CO2). Potensi pemanasan global gas CH4 dan N2O bernilai 28 dan 265 kali lebih besar dibandingkan satu ton CO2 dengan waktu tinggal rata-rata 100 tahun. Penelitian ini berfokus pada pengukuran emisi GRK langsung (scope 1) dari unit IPAL X di Jakarta. Pengukuran gas CH4 dan CO2 yang dilakukan melalui metode headspace dan uji gas chromatography thermal conductivity detector (GC-TCD) pada 7 titik, meliputi unit inlet, unit ekualisasi, 4 tangki MBBR, dan unit outlet mendapatkan laju emisi CO2 sebesar 2,1 x 105 TgCO2e/tahun. Namun, penelitian ini tidak mendapatkan gas CH4 yang dihasilkan dari metode headspace dan uji GC-TCD. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya kadar DO pada air limbah yang menghambat pembentukan CH4. Pengukuran emisi N2O yang dilakukan dengan sensor gas Unisense pada tangki MBBR 1 selama 6 hari berturut-turut mendapatkan laju emisi N2O sebesar 4,16 x 102 TgCO2e/tahun. Peningkatan suhu air limbah dari 30,55—30,98°C pada tangki MBBR dapat menurunkan konsentrasi N2O pada rentang 0,076—0,006 mg N2O-N/L. Faktor emisi CO2 dan N2O dari unit pengolahan biologis MBBR sebesar 2,61% ± 1,47 dan 0,04% ± 0,27 (rata-rata ± SD) secara berturut-turut. Unit MBBR tersebut beroperasi dengan kadar sCOD dan TN sebesar ± 152 mg/L dan 145 mg/L. Penurunan kadar DO dan sistem aerasi secara intermittent pada tangki aerasi merupakan aksi mitigasi utama yang potensial untuk diimplementasikan pada IPAL X di Jakarta dalam menurunkan emisi GRK langsung dari IPAL Domestik.

Potential GHG emissions resulting from domestic wastewater treatment include methane gas (CH4), nitrous oxide (N2O), and carbon dioxide (CO2). The global warming potential of CH4 and N2O gases is 28 and 265 times greater than one ton of CO2 with an average residence time of 100 years. This study focuses on measuring direct GHG emissions (scope 1) from WWTP units X in Jakarta. CH4 and CO2 gas measurements were carried out through the headspace method and gas chromatography thermal conductivity detector (GC-TCD) tests at 7 points, including inlet unit, equalization unit, 4 MBBR tanks, and outlet unit obtained a CO2 emission rate of 2,1 x 105 TgCO2e/year. However, this study did not obtain CH4 gas produced from the headspace method and GC-TCD test. This is influenced by the high level of DO in wastewater which inhibits the formation of CH4. N2O emission measurements carried out with Unisense gas sensors in MBBR 1 tanks for 6 consecutive days obtained an N2O emission rate of 4,16 x 102 TgCO2e/year. An increase in wastewater temperature from 30,55—30,98°C in MBBR tanks can reduce N2O concentrations in the range of 0,076—0,006 mg N2O-N/L. CO2 and N2O emission factors from MBBR biological treatment units are 2,61% ± 1,47 and 0,04% ± 0,27 (average ± SD) respectively. The MBBR unit operated with sCOD and TN levels of ± 152 mg/L and 145 mg/L. Reducing DO levels and intermittent aeration systems in aeration tanks is a potential main mitigation action to be implemented at WWTP X in Jakarta in reducing GHG emissions directly from domestic WWTP."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Jayanti
"ABSTRAK
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi, terutama di tingkat provinsi, terhadap emisi gas rumah kaca. Hal tersebut juga bermaksud untuk menjawab apakah pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan kualitas lingkungan. Penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan memasukkan data tingkat provinsi dari tahun 2004 hingga 2012 dengan memperhitungkan karakteristik regional seperti Indeks GINI dan Pembangunan Manusia. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa tidak semua provinsi memiliki respon yang sama terkait perubahan pertumbuhan ekonomi terhadap emisi gas rumah kaca.

ABSTRACT
The main objective of this study is to examine of how the economic development in Indonesia, especially on province level, influences on greenhouse gas emissions, thereby considering the question of whether or not economic development can coexist with environmental quality. This study is using unbalance panel data regressions with province level data from 2004 to 2012 and includes the regional characteristic such as GINI index and HDI. The result shows that provinces have difference impact on GHG emissions by the changing of economic development."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S57862
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Nandini Prameswari
"Pada tahun 2013, pemerintah menerbitkan regulasi mengenai pengembangan kendaraan bermotor roda empat hemat energi dan harga terjangkau (KBH2). Regulasi tersebut bertujuan untuk mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang ramah lingkungan dan mendukung konservasi energi dari sektor transportasi. KBH2 disebut kendaraan yang ramah lingkungan karena adanya persyaratan konsumsi minimal bahan bakar yang harus dipenuhi. KBH2 termasuk dalam program Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang diimplementasikan untuk mendukung komitmen Indonesia dalam nationally determined contribution (NDC) sebagai akibat ratifikasi Persetujuan Paris. Namun, seringkali penerapan dari suatu regulasi tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, untuk mengetahui, memahami, sekaligus menganalisis penerapan regulasi KBH2 terhadap komitmen Indonesia dalam NDC, dilakukan penelitian secara analisis yuridis mengenai hubungan antara kedua hal tersebut, serta dilakukan wawancara kepada pihak dari Kementerian Perindustrian sebagai pihak yang mengatur mengenai ketentuan pengembangan KBH2. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan regulasi KBH2 belum mendukung komitmen Indonesia dalam NDC dan belum sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Apabila regulasi KBH2 terus diberlakukan, pemerintah harus melakukan beberapa perbaikan yang berkaitan dengan penerapan regulasi tersebut.

In 2013, the government issued a regulation regarding the kendaraan bermotor roda empat hemat energi dan harga terjangkau (KBH2). The regulation aims to encourage the use of motorized vehicles that are environmentally friendly and to support energy conservation from the transportation sector. KBH2 is called an environmentally friendly vehicle due to the minimum fuel consumption requirements that must be met. KBH2 is included in the Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) program which is implemented to support Indonesia's commitment in the nationally determined contribution (NDC) as a result of the ratification of the Paris Agreement. However, often the implementation of a regulation does not work in accordance with the objectives that are intended to be achieved. Therefore, to find out, understand, and analyze the implementation of KBH2 regulation to Indonesia's commitments in the NDC, a juridical analysis of the relationship between the two matters was conducted, and an interview was also conducted with a representation from the Ministry of Industry, who regulates the provisions regarding the development of KBH2. The result showed that the implementation of KBH2 regulation has not supported Indonesia's commitment in the NDC. Thus, if the KBH2 regulation will continue to be implemented, the government must make some improvements relating to the implementation of the regulation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fona Lengkana
"ABSTRAK
Sektor berbasis lahan menjadi andalan utama untuk mereduksi emisi, setidaknya 17 dari target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sebagian besar pendanaan publik dalam negeri untuk perubahan iklim hampir 75 dialokasikan untuk berbagai kegiatan inti di bidang mitigasi. Untuk kegiatan pendukung, sebagian besar dukungan pendanaan ditujukan ke sektor kehutanan sebesar 73 . Pendanaan perubahan iklim merupakan salah satu topik utama yang dibicarakan dan dinegosiasikan di setiap pertemuan perubahan iklim internasional karena merupakan sumber biaya dan investasi untuk dapat mengurangi emisi. Dengan membangun kerangka berpikir penelitian, didapatkan hasil bahwa Pemerintah Indonesia belum cukup mampu untuk dapat memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca untuk kegiatan mitigasi sektor kehutanan, baik pada kondisi unconditional dan juga conditional. Kebijakan yang dapat ditempuh yaitu dengan meningkatkan pendanaan publik perubahan iklim, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

ABSTRACT
Land based sector has become a major force in emission reduction, covering at least 17 of the greenhouse gas emissions reduction target in Indonesia. Most of the domestic public climate finance in Indonesia nearly 75 is allocated for core activities in the areas of mitigation. For support, the majority of the finance intended to support forestry sector amounted to 73 . The climate finance is one of the major topics discussed and negotiated in any international climate change conventions because it is a source of costs and investments to reduce emissions. By building a conceptual framework, the results obtained show that Indonesian government is yet to be quite capable to meet the target to reduce greenhouse gas emissions for forestry mitigation activities, either conditionally or unconditionally. Policies that can be drawn includes increasing public climate finance, both from within the country and abroad."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T47583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>