Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123594 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Adrien Premadhitya Merada
"Kecerdasan artifisial merupakan teknologi yang multiguna untuk membantu pekerjaan manusia, tak terkecuali bagi mereka yang berkiprah di dunia perfilman. Sebelumnya telah ada teknologi komputer untuk memanipulasi gambar seperti computergenerated imageries (CGI) pada proses pembuatan film khususnya dengan genre aksi, fantasi, horor, ataupun film-film yang mengangkat kisah pahlawan sehingga melahirkan istilah sinema sintetis. Kecerdasan artifisial hadir sebagai teknologi termutakhir yang tidak hanya dapat memanipulasi gambar tetapi juga suara dan video dengan mempelajari pola dan struktur dari sekumpulan data untuk menciptakan karakter, latar belakang, dan efek visual lainnya. Kecerdasan artifisial memanfaatkan tidak terkecuali data biometrik aktor khususnya untuk tujuan penciptaan karakter yang menandakan bahwa data pribadi aktor memerlukan pelindungan hukum selain pelindungan terhadap kekayaan intelektualnya. SAG-AFTRA Strike yang terjadi pada tahun 2023 di Amerika Serikat menjadi salah satu tonggak bahwa pelaku industri perfilman khususnya aktor memiliki kekhawatiran tersendiri atas penggunaan kecerdasan artifisial yang belum memiliki regulasi spesifik sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Tulisan ini menganalisis pemanfaatan kecerdasan artifisial pada industri perfilman di Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sekaligus peraturan terkait, termasuk pertanggungjawaban apabila terjadi pelanggaran. Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 (UU PDP) dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 (SE 9/2023) sebagai dasar perlindungan bagi aktor Indonesia terhadap pemanfaatan kecerdasan artifisial. Meskipun demikian, pengaturan hukum yang ada di Indonesia belum selengkap peraturan yang berlaku di Uni Eropa dan Amerika Serikat mengenai tata cara perlakuan atau penanganan terhadap data biometrik dan masih bergantung kepada kontrak. Penelitian ini dilakukan dengan metode kajian literatur dan wawancara bersama tokoh-tokoh industri perfilman Indonesia.

Artificial intelligence (AI) is a versatile technology aimed to help humans conduct their work, including those who works in the film industry. There were also other computer technologies prior to AI used to manipulate images such as computergenerated imageries (CGI) to aid filmmaking especially for action, fantasy, horror genres, or movies about superheroes which produced the term synthetic cinema. AI serves as an advanced technology which can also manipulate sounds and videos by studying patterns and structures of a set of data to generate characters, backgrounds, and other visual effects. AI utilizes different sets of data such as biometric data of actors to create a character, showing that actor’s personal data requires legal protection aside from their intellectual property rights. The SAG-AFTRA Strike which happened in America in 2023 was a signal that people in the film industry, especially actors, have their own concerns regarding the usage of AI which have yet to be regulated through a specific regulation, posing legal uncertainty. This research analyzes the usage of AI in Indonesia, the European Union, and the United States’ film industry, the related regulations, as well as accountability in cases of violations. Indonesia currently have Law Number 27 of 2022 (PDP Law) and Circular Letter of the Ministry of Communication and Informatics Number 9 of 2023 (SE 9/2023) providing basic protection for Indonesian actors against the usage of AI. However, the regulations available in Indonesia is not as comprehensive as the ones available in the European Union and the United States and still relies more on contracts, particularly on how to handle biometric data. This research was conducted through literature studies and interview with Indonesia’s prominent film industry figures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinna Justisiana Natawilwana
"Perkembangan teknologi yang pesat pada era Revolusi Industri 4.0 saat ini telah memunculkan inovasi digital di berbagai sektor usaha, salah satunya usaha perasuransian berbasis teknologi atau Insurtech. Dalam bisnis prosesnya Insurtech menggunakan platform aplikasi atau website yang menggunakan kecerdasan artifisial sebagai sistem elektronik. Penelitian ini berfokus untuk menganalisa pengaturan hukum atas kecerdasan artifisial di Indonesia, juga mengenai aspek perlindungan privasi dan data pribadi terhadap penggunaan kecerdasan artifisial tersebut khususnya dalam sektor Insurtech. Selain dari itu, penelitian ini juga akan menganalisa bentuk-bentuk pertanggungjawaban hukum dalam penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) kecerdasan artifisial tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan berbasis kepustakaan dengan jenis data sekunder untuk dianalisa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kecerdasan artifisial harus memenuhi aspek ethical & trustworthy, serta pada dasarnya kecerdasan artifisial merupakan bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang diatur dalam UUD 1945 beserta berbagai aturan hukum antara lain UU Sisnas IPTEK dan juga UU ITE beserta berbagai turunannya. Lebih lanjut, sebagai suatu inovasi digital, kegiatan usaha Insurtech tidak saja tunduk pada aturan hukum yang berlaku pada sektor jasa keuangan, namun juga kepada ketentuan yang berlaku dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik termasuk dalam hal perlindungan terhadap privasi dan data pribadi dalam sektor Insurtech, meskipun prinsip perlindungan dalam kedua sektor tersebut tidak sepenuhnya harmonis. Sebagai suatu bahan analisa, dikaji Ketentuan Layanan dan Kebijakan Privasi dari Qoala suatu brand yang bergerak dalam usaha Insurtech. Selain itu sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum dalam litbangjirap kecerdasan artifisial dapat merujuk pada perspektif hukum administrasi negara, perdata, maupun juga pidana.

The rapid development of technology in this Industrial Revolution 4.0 era has increased digital innovation in various business sectors, one of them is a technology-based insurance business or Insurtech. The business process of Insurtech utilize an artificial intelligence-based application or website platforms as an electronic system. This research focuses on the analysis of artificial intelligence regulations in Indonesia, as well as on the aspects of privacy and personal data protection towards the use of artificial intelligence, especially in the Insurtech sector. In addition, this research will also analyze the types of legal responsibility within the artificial intelligence’s research, development, assessment, and application (abbreviated as “litbangjirap”). The research use literature-based of normative juridical method with secondary data types analysis. Based on the research results, it is identified that artificial intelligence must fulfill the ethical & trustworthy aspects, and basically the artificial intelligence is part of science and technology which regulated under the 1945 Constitution and other laws and regulations including the National Science and Technology System Law and the Information and Electronic Transaction (locally known as “ITE”) Law together with its derivatives regulations. Further, as a digital innovation, Insurtech's business activities are not only subject to the applicable regulations in the financial services sector but also subject to the prevailing provisions on ITE which includes the protection of privacy and personal data matters, although the principles in both sectors are not fully harmonious. The Terms of Service and Privacy Policy of Qoala, a brand that engaged in Insurtech business, are reviewed as the analysis material. In addition, as a form of legal responsibility in “litbangjirap” of artificial intelligence, it referred to the state administrative, civil and criminal laws perspectives."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Sekarputri Suroyo
"Perkembangan teknologi mendorong adanya transformasi menuju era digital. Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia turut bergantung pada pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi dewasa ini sudah dilakukan baik untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pendidikan hingga kegiatan pengolahan data sehari-hari. Kegiatan tersebut kemudian mengakibatkan berbagai aspek kehidupan manusia mulai memanfaatkan sistem teknologi informasi. Isu mengenai pentingnya memberikan perlindungan terhadap data pribadi bagi pengguna internet kian menguat. Salah satu penyebabnya adalah semakin maraknya kasus-kasus yang melibatkan kebocoran data pribadi seseorang. Pemikiran mengenai pentingnya melakukan pelindungan data pribadi berkaitan erat dengan kebebasan seseorang untuk menentukan dengan siapa mereka ingin membagikan informasi berupa data pribadinya. Guna menjawab tantangan tersebut, pemerintah kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi. Undang-Undang tersebut secara garis besar mengatur tentang kegiatan pemrosesan data pribadi serta hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Salah satu produk hukum yang melibatkan kegiatan pemrosesan data pribadi adalah Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM merupakan suatu surat yang wajib dimiliki oleh seseorang agar dapat mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan raya. Sayangnya, saat ini belum terdapat peraturan yang secara komprehensif mengatur mengenai kegiatan pemrosesan data pribadi dalam penerbitan SIM. Penelitian ini mengidentifikasi mengenai batasan-batasan yang selayaknya diterapkan dalam kegiatan pemrosesan data pribadi pada penerbitan SIM. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan batasan-batasan tersebut akan membantu dalam menerapkan prinsip pengumpulan data pribadi yang dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan transparan sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.

Technological developments encourage transformation towards the digital era. Indonesia, just like other countries in the world, also depends on the use of information technology. The use of technology today has been carried out both for carrying out government activities, education and daily data processing activities. These activities then resulted in various aspects of human life starting to utilize information technology systems. The issue of the importance of providing protection for personal data for internet users is increasing. One of the reasons is the increasing number of cases involving leaks of someone's personal data. The idea regarding the importance of protecting personal data is closely related to a person's freedom to determine with whom they want to share information in the form of their personal data. In order to answer this challenge, the government then promulgated Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection. The law broadly regulates personal data processing activities as well as the rights and obligations of the parties involved in them. One of the legal products that involves personal data processing activities is a driving license (SIM). A driver's license is a document that a person must have in order to operate a motorized vehicle on the road. Unfortunately, currently there are no regulations that comprehensively regulate personal data processing activities in issuing driving licenses. This research identifies the limitations that should be applied in personal data processing activities during the issuance of a driver's license. The aspects that need to be considered in determining these limitations will help in implementing the principles of personal data collection which is limited and specific, legally valid and transparent as contained in the Personal Data Protection Law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raynal Musfiel Vik Rachmat
"Penelitian ini merupakan analisis terhadap implikasi dari risiko terjadinya hukum pelindungan data pribadi oleh entitas yang berada dalam posisi dominan yang terjadi pada kasus Bundeskartellamt melawan Meta. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif. Penelitian ini akan membahas mengenai teori consent dalam rezim pelindungan data pribadi, prinsip pemrosesan data pribadi, dan entitas yang berada dalam posisi dominan sebagai pengendali data pribadi. Pertama-tama, penelitian ini akan menganalisis kebijakan dari pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh Meta. Penelitian atas kebijakan tersebut dilakukan karena pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh Meta telah melanggar prinsip kepatuhan hukum, keadilan, dan transparan, sebab Meta melakukan pemrosesan data pribadi secara otomatis dan telah mengambil data pribadi penggunanya dari luar produk yang dimilikinya melalui cookies. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemrosesan data pribadi yang dilaksanakan oleh Meta tersebut. Di sisi lain, posisi Meta pada pasar media sosial dunia menduduki posisi yang dominan, terutama di Jerman. Dalam menjalankan kebijakan pemrosesan data pribadinya, Meta telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk memaksa penggunanya agar memberikan persetujuan atas kebijakannya. Hal tersebut kemudian memicu perhatian dari Bundeskartellamt, badan anti monopoli Jerman yang menilai bahwa tindakan dari Meta tersebut merupakan bentuk dari penyalahgunaan posisi dominan. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan juga untuk menganalisis implikasi pelanggaran hukum pelindungan data pribadi yang dilakukan oleh entitas yang berada pada posisi dominan.

This research is an analysis of the implication of personal data protection law violations risk by entities in dominant positions, as seen in the Bundeskartellamt versus Meta case. This research will adopt a juridical-normative approach. This research will explain the theory of consent within the framework of personal data protection law, the principle of personal data processing, and the role of dominant entities as data controller. First and foremost, this research will analyze the Meta’s policies regarding personal data processing, prompted by the fact that Meta’s processing of personal data has violated the lawfulness, fairness, and transparency principle due to its automated data processing practices and profiling its user personal data from external sources through cookies. Therefore, this research aims to analyze the implementation of personal data processing policies by Meta. On the other hand, Meta’s dominant position in the global social media market, especially Germany, has led it to exploit its dominance by forcing its user to consent to Meta’s privacy policies. Those activities triggered the attention of Bundeskartellamt, Germany antitrust authority, which deemed Meta’s action as an abuse of its dominant position. Therefore, this research is also aims to analyze the implication of personal data protection law violations committed by dominant positions entity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Azzahra
"Pelindungan data pribadi (PDP) merupakan salah satu bentuk dari pemenuhan hak atas privasi. Maka dari itu, PDP harus dipastikan pemenuhannya dalam seluruh sektor di Indonesia, termasuk sektor pasar modal. Sektor pasar modal memainkan peran penting dalam kemajuan perekonomian Indonesia. Maka dari itu, segala kegiatan yang mendukung penyelenggaraan pasar modal, termasuk kegiatan CDD dan EDD, harus dipastikan efektivitasnya. Pada akhir tahun 2023, OJK meresmikan LAPMN melalui penerbitan POJK No. 15 Tahun 2023 sebagai infrastruktur pengadministrasian data CDD dan EDD secara tersentralisasi. Sentralisasi data melalui LAPMN memang dapat meningkatkan keefektivitasan pemanfaatan ruang siber dan menyederhanakan proses CDD dan EDD. Akan tetapi, kegiatan ini juga semakin memperbesar potensi terjadinya pelanggaraan PDP. Oleh karena itu, penyelenggaraan LAPMN harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip PDP. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji penerapan PDP dalam penyelenggaraan LAPMN di pasar modal Indonesia. Rumusan masalah yang diangkat penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan hasil penelitian menyarankan diperlukannya pengesahan peraturan pelaksana pelindungan data pribadi yang memuat beberapa ketentuan tambahan tertentu, serta rekomendasi penambahan ketentuan terkait PDP dalam penyelenggaraan LAPMN di Indonesia.

Personal data protection (PDP) is one form of fulfillment of the right to privacy. Therefore, PDP must be ensured in all sectors in Indonesia, including the capital market sector. The capital market sector plays an important role in the acceleration of the Indonesian economy. Therefore, all activities that support the implementation of the capital market, including CDD and EDD activities, must be ensured for their effectiveness. At the end of 2023, OJK inaugurated LAPMN through the issuance of POJK No. 15 of 2023 as an infrastructure for centralized administration of CDD and EDD data. Centralizing data through LAPMN can indeed increase the effectiveness of cyberspace utilization and simplify the CDD and EDD process. However, it also increases the potential for PDP violations. Therefore, the implementation of LAPMN must be in accordance with PDP principles. This study aims to examine the application of PDP in the implementation of LAPMN in the Indonesian capital market. The research is conducted qualitatively, and the results of the research suggest the need for the ratification of implementing regulations for the protection of personal data which contain certain additional provisions, as well as recommendations for the addition of provisions related to PDP in the implementation of LAPMN in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherina Sya'bania
"Pelindungan data pribadi bertujuan mencegah pencurian dan penyalahgunaan data untuk transaksi ilegal. Berangkat dari perumusan masalah tersebut, undang-undang pelindungan data pribadi dibutuhkan sebagai solusi agar tidak terjadi permasalahan tersebut. Namun, dalam pembentukannya, undang-undang pelindungan data pribadi memiliki beberapa permasalahan. Salah satu isu utamanya adalah perbedaan pendapat antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) mengenai kedudukan lembaga pengawas data pribadi. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP dianggap sangat penting sehingga diperebutkan dan mengakibatkan pembentukan UU PDP memakan waktu tiga tahun. Penelitian ini berlandaskan pada teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh Islamy (2000) yang memiliki empat langkah dalam proses pembentukan kebijakan publik, yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Penelitian ini berargumen bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP merupakan lembaga yang sangat penting dan dianggap sebagai motor penggerak dari undang-undang ini dan menjadi sebuah alternatif dalam kebijakan, sehingga kedudukannya pun diperebutkan oleh berbagai lembaga. Penelitian ini menemukan bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas ini memang diperebutkan oleh kedua lembaga yaitu pemerintah dan DPR karena alasan-alasan tertentu, DPR menginginkan kedudukan lembaga tersebut berdiri secara independen karena untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, perlu adanya pengawasan terhadap pengendali data, tidak hanya terbatas pada lembaga privat, tetapi juga melibatkan lembaga publik. Sementara, pemerintah menginginkan lembaga tersebut berdiri dibawah kementerian karena alasan efisiensi dan efektivitas. Kesimpulan yang didapat adalah melihat pentingnya lembaga otoritas pengawas sehingga diperdebatkan kedudukannya oleh para aktor tersebut membuat kedudukan lembaga otoritas pengawas diserahkan atau diamanatkan ke Presiden dengan mengacu pada praktik di negara lain yang memiliki lembaga sejenis dan tertulis di Bab IX Pasal 58 bahwa lembaga pengawas tersebut akan ditetapkan oleh Presiden dan akan bertanggung jawab oleh Presiden.

Personal data protection aims to prevent data theft and misuse for illegal transactions. Departing from the formulation of the problem, the personal data protection law is needed as a solution to prevent these problems from occurring. However, in its formation, the personal data protection law has several problems. One of the main issues is the difference of opinion between the executive (government) and legislative (DPR) regarding the position of the personal data supervisory institution. This research focuses on identifying and analyzing why the position of the PDP supervisory authority is considered so important that it was contested and resulted in the formation of the PDP Law taking three years. This research is based on the theory of public policy proposed by Islamy (2000) which has four steps in the process of public policy formation, namely problem formulation, policy agenda, policy alternatives, and policy determination. This research argues that the position of the PDP supervisory authority is a very important institution and is considered as the driving force of this law and an alternative in policy, so its position is contested by various institutions. This research found that the position of the supervisory authority was indeed contested by both the government and the DPR for certain reasons, the DPR wanted the institution to stand independently because to prevent conflicts of interest, it was necessary to supervise data controllers, not only limited to private institutions, but also involving public institutions. Meanwhile, the government wants the institution to stand under a ministry for reasons of efficiency and effectiveness. The conclusion is that seeing the importance of the supervisory authority institution so that its position is debated by these actors, the position of the supervisory authority institution is submitted or mandated to the President by referring to the practices in other countries that have similar institutions and written in Chapter IX Article 58 that the supervisory institution will be determined by the President and will be responsible by the President."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Apsari Maharani
"Praktik dark pattern sering ditemui dalam layanan yang diberikan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Dark pattern merujuk pada suatu tampilan antara muka pengguna yang mengarahkan atau memanipulasi penggunanya untuk membuat pilihan yang menguntungkan penyedia layanan. Dikaitkan dengan pelindungan data pribadi konsumen, praktik dark pattern dapat memanipulasi konsumen untuk memberikan lebih banyak data daripada yang dibutuhkan tujuan pemrosesan, menghalangi konsumen untuk mendapatkan haknya, serta tidak memberikan informasi yang cukup untuk konsumen memilih pilihan privasi yang tepat, dan lain-lain. Saat ini belum terdapat aturan yang jelas dan ekplisit yang mengatur terkait praktik dark pattern. Penelitian ini dilakukan melalui metode yuridis normatif dengan bahan hukum utamanya pada ketentuan terkait penyelenggaraan sistem elektronik seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008, ketentuan pelindungan data pribadi seperti Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, ketentuan pelindungan konsumen seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan ketentuan sektor jasa keuangan seperti Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa praktik dark pattern melanggar ketentuan prinsip pemrosesan data pribadi dan dasar pemrosesan data pribadi "persetujuan yang sah dan eksplisit". Terhadap persetujuan yang diperoleh dengan praktik dark pattern, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian "suatu sebab yang halal" sehingga batal demi hukum. Selain itu, terdapat sanksi perdata, administratif, dan pidana terhadap pelaku usaha jasa keuangan yang melakukan praktik dark pattern dalam layanannya.

Dark pattern practices are often found in services provided by Financial Services Business Actors. Dark pattern refers to a user interface that directs or manipulates users to make choices that benefit the service provider. In relation to the protection of consumers' personal data, dark pattern practices can manipulate consumers to provide more data than needed for processing purposes, prevent consumers from obtaining their rights, and do not provide sufficient information for consumers to choose the right privacy choices, and others. Currently, there are no clear and explicit rules governing dark pattern practices. This research is conducted through the normative juridical method with legal materials mainly on provisions related to the implementation of electronic systems such as Law No. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions which was last amended by Law No. 1 of 2024 concerning the second amendment to Law No. 11 of 2008, provisions on personal data protection such as Law No. 27 of 2022 concerning Personal Data Protection, provisions on consumer protection such as Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, and provisions on the financial services sector such as Law No. 4 of 2023 concerning Strengthening and Development of the Financial Sector. The results of this study state that the practice of dark patterns violates the provisions of the principles of personal data processing and the basis for processing personal data "valid and explicit consent". For consent obtained through dark pattern practices, the agreement does not meet the validity requirement of a "lawful" agreement and is therefore null and void. In addition, there are civil, administrative, and criminal sanctions against financial service business actors who practice dark patterns in their services.  "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Ditiaz
"Sektor perbankan perlu terus mengembangkan layanan terbaik bagi konsumennya untuk tetap relevan dengan perkembangan teknologi. Open banking merupakan suatu inovasi layanan perbankan yang menggunakan open API sebagai penghubung antara penyedia dengan pihak ketiga untuk mengakses data pribadi konsumen. Penyelenggaran open banking erat kaitannya dengan pembukaan akses serta penggunaan data pribadi konsumen. Kehadiran Standar Nasional Open Application Programming Interface Pembayaran (SNAP) menjadi pedoman yang tidak hanya menyelaraskan bagaimana penyelenggaraan open banking dalam sistem pembayaran seharusnya dilakukan, namun juga untuk mendorong pelaku usaha lain untuk turut mengembangkan layanan ini. Skripsi ini menganalisis bagaimana penyelenggaraan open banking khususnya dalam sistem pembayaran serta pelindungan data pribadi konsumen layanan open banking, terlebih setelah diberlakukannya SNAP. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil dari penelitian ini adalah dasar hukum penyelenggaraan open banking di Indonesia merujuk pada Undang-Undang tentang Perbankan dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Implementasi SNAP. Dalam pelindungan data pribadi konsumen open banking, penyelenggara layanan open banking memerlukan persetujuan tertulis dari konsumen untuk tujuan transaksi pembayaran, menjaga data milik konsumen terkait transaksi pembayaran, memenuhi SNAP secara teknis dan tata kelola, menyediakan layanan pengaduan serta alternatif penyelesaian sengketa. Terhadap risiko siber, risiko reputasi, dan risiko operasional mungkin timbul, Skripsi ini menyarankan agar pemerintah dapat segera membentuk lembaga pelindungan data pribadi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa pelindungan data pribadi dan Bank Indonesia dapat berkolaborasi dengan Self-Regulatory Organization untuk mengatur lebih lanjut kerangka hukum keamanan sistem informasi dan ketahanan siber dalam pencegahan dan penanganan insiden siber.

The banking sector has to continue to develop the best services for its consumers to remain relevant to technological developments. Open banking is a banking service innovation that uses open API to link providers and third parties to access consumers' data. Hence, implementing open banking is closely related to opening access and using consumer personal data. The Standard of National Open Application Programming Interface Payment (SNAP) functions as a guideline that not only harmonizes how open banking in the payment system should be carried out but also encourages other business actors to participate in developing this service. This study analyzes how open banking is implemented, especially in payment systems, and the protection of consumers' personal data in open banking services after the implementation of SNAP. This study uses doctrinal research methods. This study found the legal basis for implementing open banking in Indonesia refers to the Law on Banking and Regulations for Members of the Board of Governors regarding SNAP implementation. In protecting open banking consumers' personal data, open banking providers require written consent from consumers for payment transaction purposes, safeguarding consumer data related to payment transactions, complying with SNAP technically and governance, and providing complaint services and alternative dispute resolutions. Regarding cyber risks, reputation risks, and operational risks that may arise, it is suggested that the government immediately establish a personal data protection agency as an alternative solution to protect personal data and for Bank Indonesia to develop the legal framework for the security system information and cyber resilience in preventing and handling cyber incidents in collaboration with a Self-Regulatory Organization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalia Valentin Margareta
"ABSTRAK
Perlindungan Data Pribadi telah diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia. Peraturan tersebut melindungi dari pelanggaran data pribadi tidak terkecuali pada layanan ojek daring. Namun saat ini masih terdapat pelanggaran perlindungan data pribadi yang menyebabkan kerugian pelanggan. Di samping itu, isu pentingnya perlindungan data pribadi juga masih sedikit dibahas di Indonesia. Perlu diketahui persepsi perlindungan data pribadi oleh pelanggan digunakan untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap keinginan atau niat pelanggan untuk memberikan data pribadinya pada saat menggunakan aplikasi ojek daring agar penyedia ojek daring dapat mengambil tindakan yang tepat dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi data pelanggan.
Untuk mengetahui pengaruh persepsi pelanggan terhadap perlindungan data pribadi pada ojek daring di Indonesia, dilakukan analisis dengan metode kuantitatif dan menggunakan Partial Least Square-Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Variabel yang digunakan untuk mengetahui pengaruh persepsi pelanggan terhadap perlindungan data pribadi pada ojek daring di Indonesia, terdiri dari privacy violation experiences (pengalaman pelanggaran perlindungan data pribadi), privacy concern (kepedulian perlindungan data pribadi), risk beliefs (potensi kerugian yang dirasakan), trusting beliefs (kepercayaan terhadap penyedia layanan), dan behavioral intention (keinginan memberikan data pribadi). Dari hasil pengolahan data, diketahui bahwa pengalaman pelanggaran data pribadi tidak berpengaruh negatif terhadap kewaspadaan pelanggan dalam perlindungan data pribadi. Kewaspadaan pelanggan dalam perlindungan data pribadi tidak berpengaruh negatif pada tingkat kepercayaan pelanggan dan keinginan memberikan data pribadi. Namun hal tersebut berpengaruh positif pada potensi risiko yang dirasakan. Penelitian ini memberikan rekomendasi penyedia layanan ojek daring untuk mengembangkan inovasi TI perlindungan data yang lebih konkret, memperbaiki kebijakan privasi agar lebih muddah dimengerti, dan memberikan akses kontrol pelanggan."
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Ayu Windani
"Pemenuhan hak masyarakat dalam bidang pelindungan data pribadi dapat diukur dengan efektif atau tidaknya penerapan regulasi pelindungan data pribadi (PDP) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan perspektif sosiologi hukum di mana analisis terhadap efektivitas menggunakan tujuh parameter efektivitas hukum oleh William M. Evan. Analisis kemudian diklaster berdasarkan konsep evaluasi regulasi dalam studi analisis kebijakan dan regulasi, di mana tiga pondasi evaluasi regulasi oleh Coglianese menjadi konsep pelengkap. Untuk melihat apakah regulasi pelindungan data pribadi telah dibuat sesuai dengan fenomena empiris, peneliti juga melakukan rekapitulasi kasus kebocoran data pribadi yang dianalisis dengan konsep lifestyle-routine activity theory (LRAT) untuk melihat peningkatan risiko kebocoran data pribadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sosiohistoris pembentukan regulasi PDP belum sesuai dengan tujuan utama untuk melindungi data pribadi masyarakat, di mana kedaulatan data masyarakat bukan menjadi tujuan utama. Berdasarkan efektivitas hukum, penempatan sanksi-sanksi dalam peraturan perundang-undangan belum cukup optimal karena masih mempertimbangkan kepentingan sektoral. Kesimpulan dari penelitian ini agar pemerintah mempertimbangkan adanya sanksi yang lebih memaksa bagi korporasi untuk mencegah kapitalisasi data pribadi yang dapat mendorong adanya kegagalan pelindungan data pribadi dan segera merilis pedoman tata kelola pelindungan data pribadi agar penerapan UU PDP menjadi keharusan kepatuhan organisasi.

The fulfillment of human rights in personal data protection can be measured by whether or not implementing personal data protection regulations (PDP) is effective in Indonesia. This research uses a sociology of law perspective where analysis of effectiveness uses seven parameters of the effectiveness of law by William M. Evan. The analysis is then clustered based on the concept of regulatory evaluation in policy and regulatory analysis studies, where Coglianese's three foundations of regulatory evaluation become complementary concepts. To see whether personal data protection regulations have been made by empirical phenomena, researchers also recapitulated cases of personal data leakage which were analyzed using the lifestyle-routine activity theory (LRAT) concept to see the increased risk of personal data leakage. The research results show that sociohistorically the formation of PDP regulations has not been following the main aim of protecting citizens' personal data, where sovereignty of their data is not the main goal. Based on the effectiveness of the law, the placement of sanctions in statutory regulations is not optimal because it still considers sectoral interests. This research concludes that the government applies more compelling sanctions for big corporations to prevent the capitalization of personal data which can lead to failures in personal data protection. The government must also immediately release personal data protection governance guidelines so that the PDP regulation implementation becomes mandatory for organizational compliance requirement."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>