Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40441 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Setiawan
"Penelitian tugas akhir ini bertujuan untuk mengintegrasikan konsep action dari filsafat politik yang digagaskan oleh seorang filsuf asal Jerman bernama Hannah Arendt dengan teori keadilan prosedural. Tujuan dari penulisan tugas akhir ini yaitu guna menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keadilan prosedural. Latar belakang tulisan ini berangkat dari ketertarikan penulis untuk mempertanyakan kembali hakikat dari implementasi keadilan prosedural. Konsep yang relevan dalam perspektif filsafat politik Hannah Arendt membantu pembaca untuk memahami lebih dalam keberadaan dari teori keadilan prosedural. Analisis filosofis terhadap konsep Action Arendt dapat menawarkan perspektif baru untuk memperkuat otonomi individu. Penguatan prinsip keadilan prosedural menggunakan teori filsafat Hannah Arendt memungkinkan pembentukan sistem politik yang lebih harmonis, yang mampu mengakomodasi kebutuhan akan partisipasi aktif dan tanggung jawab dalam prosedur keadilan yang adil. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengeksplorasi bagaimana kedua domain tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi dalam menciptakan struktur politik yang adil dan dinamis.

This article aims to integrate the concept of action from the political philosophy argued by a German philosopher named Hannah Arendt with the theory of procedural justice. The purpose of writing this final assignment is to create a more comprehensive understanding of procedural justice. The background of this writing starts from the author's interest in re-questioning the authenticity of the implementation of procedural justice. A relevant concept is present in the theory of procedural justice in order to understand more in-depth relevance of the Theory of Procedural Justice, through the perspective of Hannah Arendt's political philosophy. A philosophical analysis of the concept of Action Arendt can offer a new perspective to strengthen the autonomy of the individual. The research uses qualitative research methods to explore how the two domains are interrelated and interact in creating a just and dynamic political structure."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahdityo Jati Endarji
"ABSTRAK
Melalui kerangka pikir Chantal Mouffe dalam teori politiknya, yang
mengonsepkan kondisi masyarakat sebagai bentuk pluralisme yang tidak dapat
terhubung satu sama lain ke dalam sebuah kesepakatan dan kesamaan, pluralisme
radikal, berkonsekuensi pada tidak mungkin tercapainya sebuah bentuk ruang
publik Hannah Arendt yang bersifat asosiatif mampu mengakomodir suatu tujuan
kolektif.

ABSTRACT
Through Chantal Mouffe framework in her political theory, which conceptualized
the condition of society as pluralism form that can not be connected to each other
into an unanimity and similarity, radical pluralism. As a consequence, Hannah
Arendt’s concept of public realm form which are associative and able to
accomodate a collective goal is impossible."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55949
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramitha Wardhani
"Skripsi ini membahas enlarged thought sebagai etika politik dalam pemikiran Hannah Arendt sebagai antisipasi dari kejahatan yang banal. Hancurnya ruang publik dan absennya pikiran membuat politik menjadi tidak politis. Politik merupakan aktivitas di ruang publik yang sifatnya terbuka, dapat dilihat, dirasa, dan didiskusikan bersama-sama dengan yang lain. Sedangkan pikiran adalah suatu aktivitas yang terjadi dalam momen solitude, yaitu momen yang terjadi ketika individu menarik diri dari dunia bersama dan kembali berinteraksi dengan dirinya sendiri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui cara berpikir yang politis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyektifitas manusia sementara harus dilepaskan untuk dapat melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga setiap putusan politik yang diambil selalu melibatkan posisi orang lain.

The focus of this study is the concept of “enlarged thought” as a political ethic based on Hannah Arendt’s thought which I regarded as an anticipation of the banality of evil. The collapsing of public sphere and the absence of "thought" turn politic into an inauthentic form. Politic is an open activity which can be seen, felt, and discussed together within the society. "Thought" is a solitude one. That is, the moment when an individual taking himself out of the public and trying to interact with himself. This writing is a kind of qualitative research which aimed to give some knowledge on political way of thinking. The result showed that one's subjectivity should be abandoned in order to see a problem from some different points of view. Therefore, every political decision is taken by the consideration of the other's position."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S54972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Politic is not a simple word. Aristotle identifies it with human togetherness. In line with this identification, Hannah Arendt suggests that politics is not a kind of dominating actions, but the way in which the human beings promote freedom of actions in the public sectur. The essence of politics, then is communication. In this line of thought, power can be understood as one' ability to act/behave with and within others / in togetherness with others on base of a given mandate."
300 RJES 14:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rieke Diah Pitaloka I.P.
""Penelitian ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan bagaimana berbagai tindakan kekerasan berawal dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Kedua hat tersebut terjadi akibat para pelaku terkondisikan menganggap kekerasan, termasuk kejahatan, sebagai hal yang bisa, wajar, atau lumrah. Hannah Arendt menyebut sikap tersebut sebagai banality of evil (banalitas kejahatan). Manusia yang menjadi pelaku banalitas kejahatan tidak memiliki kesadaran dan mengalami ketumpulan nurani. la hanya bersandar pada otoritas di luar dirinya. Ia tidak pemall,.melakukan pengujian dalam dirinya, pengujian antara Aku dan Diriku, tidak berani bertatapan dengan ""kediriannya"". Hal ini yang menyebabkan manusia yang bersangkutan tak lagi mampu membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang bik dengan yang jahat, yang indah dengan yang buruk. Selanjutnya ia akan menganggap kekerasan dan kejahatan sebagai hal yang biasa. Tanpa paksaan ia akan terlibat banalitas kejahatan. Sikap banal bukan sesuatu yang otonom, namun memiliki keterkaitan dengan modernitas, kekuasaan, dan kekerasan negara. Fenomena banalitas kejahatan menunjukkan adanya interaksi antara aktor (pelaku) dan sistem. Sistem yang tidak menerapkan aksi komunikatif dalam kekuasaan membuat pikiran masyarakat menjadi dangkal. Sementara itu, dalam diri aktor juga ada disposisi yang membuat sistem dapat diberlakukan. Dengan demikian, banlaitas kejahatan lahir karena di satu pihak system politik yang berjalan mengkondisikan masyarakat untuk mengadaptasi kekerasan. Di lain pihak pada masyarakat sudah ada disposisi terhadap kekerasan, dalam dua bentuk masyarakat yang muncul akibat modernitas, yaitu masyarakat apatis yang apolitis dan masyarakat pragmatis yang cenderung enggan memikul tanggung jawab sebagai warga negara.""
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T37534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The rediscovery of Arendt's 1929 disertation, Der Liebesbegriff bei augustin, forces a modification of the standard of interpretation of arendt's relationship both to the Cristian philosophic tradition and to Martin Heidegger...."
300 RJES 14:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Damara Aldio Pradhana
"ABSTRAK
Man of action merupakan sebuah tahapan yang dinamis. Dinamika eksistensial vita activa yang terdiri dari animal laborans, homo faber dan man of action menentukan status eksistensial dari seorang subjek. Relasi subjek dengan kelompok tertentu selalu memiliki konsekuensi eksistensial tersebut. Konsekuensi eksistensial tersebut menuntut faktor-faktor lainnya seperti pluralitas, kebanalan dan kebebasan. Di dalam relasi subjek dengan kelompok tertentu, subjek dapat menjadi man of action dan tidak menjadi man of action. Dengan kata lain struktur dinamika eksistensial yang terjelaskan dalam film Imperium bukanlah sebuah tahapan akhir yang bersifat hierarkis, akan tetapi merupakan kondisi transmisi yang membutuhkan momentum.

ABSTRACT
Man of action becomes a dynamic stage. The existential dynamics of the vita activa consisting of animal laborans, homo faber and man of action determine the existential status of a subject. The subject 39 s relation to a particular group always has that existential rigidity. The existential consequences are other factors such as plurality, banality and freedom. In a subject relation with a particular group, the subject can be a man of action and not be a man of action. In other words the structure of the existential dynamics described in the Imperium film which is a hierarchical final stage, but is a displacement condition that requires momentum."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Skripsi ini berusaha memaparkan pada pembaca mengenai salah satu tema dalam sekian banyak buah pikiran Hannah Arendt. Berada dalam proses yang bertujuan untuk memahami pemikiran Hannah Arendt, menjadikan penulis sadar bahwa kebernasan pemikiran perempuan ini tidak tegak diatas satu argumen tunggal, tidaklah terbentang tanpa lipatan, linear, walaupun berwujud naratif yang mesra dan penuh kasih. Namun dibalik kerumitan tersebut, paling tidak ada hal yang dapat penulis cerna, yaitu kekritisannya terhadap realitas alam politik serta kepedulian optimistiknya akan masa depan manusia. Lebih lanjut dapat ditelaah upaya Hannah Arendt (yang dibentengi oleh keyakinannya) untuk menyingkapkan mekanisme tersembunyi dalam sejarah yang menjadikan alam politik (serta keseluruhan peradaban modern) kehilangan nilai-nilai khasnya, sehingga tidak dapat dipahami dan menjadi tidak berguna bagi kehidupan manusia, disamping tentunya sederet malapetaka kemanusian yang telah tercatat. Dalam bukunya The Human Condition, perempuan ini menarnpilkan sebuah refleksi berkenaan dengan alam politik, dunia publik, dan beberapa kekuatan yang menghancurkan kehidupan manusia modern (yang terkandung dalam nilai modemitas itu sendiri). Ia menyelami menentang arus pelupaan dan mengangkat apa yang dikatakannya sebagai nilai-nilai yang pemah hilang, seperti keniscayaan natality dan keagungan dari action. Tetap yang menjadi agenda utamanya adalah mengedepankan kebebasan sebagai kebutuhan kemanusiaan manusia, dalam kerangka politik sebagai sarana untuk mewujudkan kebebasan dalam keseharian, dan sekaligus menjaganya dari ancaman kehancuran yang terkandung dalam praktek-praktek anti-politik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S16085
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryotomo Wiryasono
"Demokrasi deliberatif menawarkan sebuah atmosfir ideal bagi persekutuan hidup manusia dalam suatu tatanan negara. Komunikasi dalam proses pengambilan keputusan merupakan fitur utama yang ditawarkan oleh demokrasi deliberatif. Pertanyaannya kemudian, apakah ia benar benar bisa berfungsi secara ideal? Nyatanya, ada mekanisme hegemoni yang membuat proses dialogis dalam demokrasi deliberatif menjadi semu. Hegemoni ini disuntikkan dengan cara menyelebungi kepentingan partikular dengan nilai universal. Skripsi ini menelusuri kecurigaan tersebut, dengan contoh-contoh praktik demokrasi di Indonesia sebagai penjelas argumentasi teroretis yang ada.

Deliberative democracy offers an ideal atmosphere for fellowship of human life in a state order. Communication in the decision-making process is the main feature offered by the deliberative democracy. The question then is whether its really could function ideal? In fact, there is a hegemony mechanism that makes the dialogical process in deliberative democracy becomes apparent. This hegemony is injected in a manner enveloped particular interest with universal values. This thesis explore these suspicions, with examples of democratic practice in Indonesia as an concrete explanation for the theoretical argument."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S59482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Assuming that violence can be found in many our life, this article proposes the logic of violence in the story of Job. It shows us how Job suffers in his life. His surffefing was absurd in his eyes. He didn't understand why be should suffer...."
300 RJES 14:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>