Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163088 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riyadh Muaffa Himkal
"Film merupakan salah satu media yang dapat digunakan sebagai gambaran dari realita sosial yang terjadi. Tidak jarang film menampilkan berbagai permasalahan sosial dan moral yang masih kerap terjadi di Indonesia. Salah satu nya yaitu film pendek Anak Lanang yang di dalamnya mengandung berbagai nilai-nilai budi pekerti. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan studi pustaka. Kerangka teori yang digunakan yaitu semiotika model Roland Barthes, guna mendapatkan makna dari tanda-tanda mengenai nilai-nilai budi pekerti. Tujuan penelitian ini yaitu untuk merumuskan nilai-nilai budi pekerti yang ditampilkan dalam film pendek Anak Lanang serta bagaimana hubungan antara nilai-nilai budi pekerti dengan keselarasan hidup. Hasil penelitian ini dapat dirumuskan bahwa terdapat tiga nilai budi pekerti dalam film Anak Lanang menurut Uswatun Hasanah yakni yang berorientasi pada diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekitar. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan menanamkan jiwa yang berbudi pekerti luhur mampu menciptakan keselarasan hidup sesuai dengan kaidah etika Jawa yaitu prinsip rukun dan hormat.

Film is one of the media that can be used as an illustration of the social reality that occurs. It is not uncommon for movies to show various social and moral problems that still often occur in Indonesia. One of them is the short film Anak Lanang which contains various ethical values. This research uses descriptive qualitative methods with data collection techniques in the form of observation and literature study. The theoretical framework used is the Roland Barthes semiotics model, in order to get the meaning of signs regarding ethical values. The purpose of this research is to formulate the ethical values displayed in the short film Anak Lanang and how the relationship between ethical values and life harmony. The results of this study can be formulated that there are three ethical values in the film Anak Lanang according to Uswatun Hasanah, namely those oriented to oneself, fellow humans, and the surrounding nature. This research can be concluded that by instilling a virtuous soul, it can create harmony of life in accordance with Javanese ethical rules, namely the principles of harmony and respect.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rayhan Addawa
"Penelitian ini membahas religi Jawa pada representasi sosial masyarakat Jawa dalam film pendek Nyumbang karya dari Montase Production yang disutradarai oleh Rahma Nurlinda Sari (2016). Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi pesan yang terdapat pada film Nyumbang, (2) menganalisis nilai religi Jawa dalam film Nyumbang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan objektif. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri (Hasanudin dalam Abidin, 2010:75). Data penelitian menggunakan studi kepustakaan serta transkripsi teks dari film Nyumbang. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori analisis isi teks kualitatif dengan teori representasi, serta diperkuat dengan teori prososial dan dikaitkan dengan beberapa proposisi Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa film Nyumbang diciptakan sebagai bentuk pengingat bahwa sejatinya proposisi Jawa yang terdapat di dalam keseharian masyarakat Jawa adalah sebagai pedoman hidup yang harus dipegang dalam hidup sehari-hari. Film pendek Nyumbang turut berperan dalam menjaga serta mengingatkan tradisi atau budaya dari para leluhur kepada masyarakat Jawa khususnya.

This study discusses Javanese religion on the social representation of Javanese society in the short film Nyumbang by Montase Production directed by Rahma Nurlinda Sari (2016). This study aims to (1) identify the message contained in the film Nyumbang, (2) analyze the value of Javanese religion in the film Nyumbang. This study uses a descriptive qualitative method with an objective approach. An objective approach is an approach that prioritizes the investigation of literary works based on the reality of the literary text itself (Hasanudin in Abidin, 2010: 75). The research data use literature study and text transcription from the film Nyumbang. The analysis in this study uses qualitative text content analysis theory with representation theory, and is strengthened by prosocial theory, and is associated with several Javanese propositions. The results showed that the film Nyumbang was created as a form of a reminder that the true Javanese proposition contained in the daily life of the Javanese people is a way of life that must be adhered to in everyday life. The short film Nyumbang plays a role in maintaining and reminding the traditions or culture of the ancestors to the Javanese people in particular.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
P.M. Laksono
"Pemahaman mengenai struktur masyarakat Jawa dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang pengaruh terobosan unsur-unsur sosial budaya Barat terhadap Jawa. Berkenaan dengan hal ini, maka abad XIX merupakan periode yang sangat penting diperhatikan. Sebab pada masa ini berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat Jawa yang digerakkan oleh penumpangan kekuasaan langsung kolonial Belanda di Jawa.
Untuk menjelaskan masalah di atas dari segi perekonomian, J.H. Boeke (1910) mengajukan konsep dualisme ekonomi. Konsep ini telah membawanya sampai pada suatu anggapan bahwa penetrasi kolonial terhadap Jawa sebagai suatu ekspansi yang statis. Artinya di Jawa secara barsarnaan ada ekonomi Timur (Jawa) yang tetap tidak berkembang dan ekonomi Barat (Belanda) Kapitalistik yang berkembang tanpa menyerap yang pertama. Dalam hal ini Jawa menanggapi ekspansi ekonomi Barat dengan ledakan penduduk sambil mempertahankan nafkah per kepalanya, sehingga ekonomi Jawa dikatakan statis.
Konsep Boeke itu banyak mendapat serangan justeru pada dasar metodenya. Karena ia telah melihat pertemuan antara Jawa dan Belanda dengan dua tolok ukur yang berbeda, yang pertama dengan standar hubungan sosial dan yang kedua dengan standar ekonomi kapitalistik, sehingga disimpulkan bahwa Jawa dilandasi mentalitas homososial dan Belanda dilandasi homoeconomicus. Dengan demikian ia telah menyatakan bahwa ekonomi Belanda berbeda dengan ekonomi Jawa menurut alat analisa yang berbeda."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1984
T17540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ediningsih S.
"Sejak masa lampau sampai sekarang rumah mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, karena rumah merupakan kebutuhan dasar di samping makan dan pakaian, atau yang disebut dengan istilah kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Bagi kebanyakan keluarga rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi mempunyai nilai yang lebih tinggi lagi, yakni/sebagai investasi, untuk dijual kembali atau disewakan (Feather 1982 : 131 - 139 ).
Menurut Llyod Warner ( 1949 ), pada suatu kelompok sosial, rumah juga menjadi tolok ukur bagi tinggi rendahnya status seseorang ( De F1eur, dkk., 1971 ; 218 ).
Pada masyarakat Jawa misalnya, rumah sebagai lambang martabat dan mantapnya kedudukan seseorang tercermin dalam ungkapan curigo (senjata), turunggo (kuda, dalam arti kendaraan ) wismo ( rumah ), wanito ( istri ), kukilo (burung sebagai alat rekreasi). Kelima hal tersebut merupakan jangkauan hidup seorang kepala rumah tangga dalam mempersiapkan masa depan keluarganya. ( Ronald, 1986 ; 167 ).
Selain itu, bagi orang Jawa, rumah merupakan harta warisan yang paling utama di antara harta warisan lain seperti tanah pertanian, pohon buah-buahan, binatang peliharaan, perhiasan benda pusaka dan tanah jabatan beserta jabatan yang dapat diwariskan (Koentjaraningrat, 1984 ; 162 )
Itu semua karena rumah mempunyai nilai yang lebih mantap dan bersifat universal. Mantap, karena rumah di samping tanah adalah kebutuhan pokok yang harus diupayakan sedapat-dapatnya.
Dalam pada itu, pada saat ini di kota-kota besar kebutuhan akan fasilitas perumahan semakin meningkat, sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat. Laju pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat bukan hanya disebabkan oleh pertambahan internal, melainkan lebih disebabkan oleh pertumbuhan eksternal, khususnya urbanisasi. Berkaitan dengan mobilitas penduduk ke kota, Djoko Marsudi dalam papernya "Masalah fisik dalam pemugaran / perbaikan perumahan"(1980), menyatakan bahwa meskipun penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di Indonesia masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan kota besar di negara lain, dengan pertambahan penduduk kota antara tahun 1961-1971 mencapai 44% dibanding pertambahan penduduk secara keseluruhan 22%. Untuk kota Semarang ± 2,2,5% pertahun, sedang kota Surabaya sama dengan kota Jakarta sebesar 4,5 7. pertahun (Frick, 1986:23)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T1612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati Marwoto Johan
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Feraldy Naufal
"Manunggaling kawula Gusti adalah sebuah konsep di masyarakat Jawa yang seringkali dikaitkan dengan Syekh Siti Jenar, bahwa sejatinya manusia adalah jelmaan dari zat Tuhan (Derani, 2014: 5). Hal ini digambarkan melalui ungkapan menyatunya kawula (manusia) dengan Gusti (Tuhan). Sugih Tanpa bandha adalah pemikiran dari Raden Mas Panji Sosrokartono, yang kemudian dipopulerkan dan dilagukan oleh Sudjiwo Tejo. Penulisan ini akan terfokus pada penjelasan konsep manunggaling kawula Gusti yang terdapat dalam lirik lagu tersebut. Sehubungan dengan itu, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana manunggaling kawula Gusti digambarkan dalam lirik lagu Sugih Tanpa Bandha yang dipopulerkan oleh Sudjiwo Tejo. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan mendeskripsikan makna setiap unsur dalam lirik lagu dan menyajikan data apa adanya. Adapun kerangka teoritis yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu filsafat moral (etika) Jawa dari Franz Magnis Suseno. Berdasarkan pembahasan penelitian ini, ditemukan bahwa syair lagu Sugih Tanpa Bandha memiliki keterkaitan dengan tahapan-tahapan untuk mencapai keadaan manunggaling kawula Gusti. Temuan yang dihasilkan penelitian ini setiap bait berkaitan dengan tahapan-tahapan mistik Jawa, yaitu sembah raga, sembah kalbu, sembah jiwa, sembah rasa yang pada hakikatnya menuju pada manunggaling kawula Gusti.

Manunggaling kawula Gusti is a concept of Javanese society commonly associated with Syekh Siti Jenar, which explains that human is actually a manifestation of God’s essence (Derani, 2014: 5). This is being metaphored as a unification of kawula (human) and Gusti (God). Sugih Tanpa Bandha was an idea formulated by Raden Mas Panji Sosrokartono, which then popularized and musicalized by Sudjiwo Tejo. This research will explain the concept of manunggaling kawula Gusti which reflected through the lyrics of Sugih Tanpa Bandha. With this in mind, the question that can be formulated is how manunggaling kawula Gusti is being represented in the lyrics of Sugih Tanpa Bandha? This research uses the method of qualitative description, by describing the meaning of Sugih Tanpa Bandha’s lyrics and presents the data as it is. The theoretical frameworks used in this research is moral philosophy; Javanese ethics by Franz Magnis Suseno. Based on the discussion from this research, it’s concluded that the lyrics of Sugih Tanpa Bandha is related to the steps required to achieve the state of manunggaling kawula Gusti. Each stanzas represent the steps that exist in Javanese mysticism, which includes sembah raga, sembah kalbu, sembah jiwa, sembah rasa. All of which will direct ourselves to the state of manunggaling kawula Gusti."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Razan Fadhlilah
"Penelitian ini adalah penelitian yang mencoba mengkaji hubungan antara relief alat musik berdawai pada masa Jawa Kuno (VIII-XV Masehi) dengan sikap dan cara pakai yang diambil dari kitab Natyasastra dan Berbagai buku Ikonografi sebagai sumber tertulis mengenai seni pertunjukan melalui pendekatan Behavioral Archaeology. Dalam penelitian ini, digunakan metode Arkeologi untuk memahami sikap dan cara pakai alat musik berdawai serta implikasinya terhadap praktik sosial dan nilai-nilai masyarakat pada masa itu. Pendekatan Behavioral Archaeology digunakan sebagai kerangka teoretis untuk memahami bagaimana hubungan alat musik berdawai dengan cara pakai menjadi bagian integral dari aktivitas manusia pada masa Jawa Kuno. Teori ini memungkinkan kita untuk melihat alat musik berdawai sebagai cerminan perilaku atau cara pakai masyarakat pada zaman itu. Penelitian ini akan melibatkan analisis relief-relief candi yang menggambarkan penggunaan alat musik berdawai pada masa Jawa Kuno. Data akan dikumpulkan melalui perekaman verbal dan piktorial, dan analisis kontekstual untuk memahami bagaimana alat musik berdawai digunakan dalam berbagai posisi seperti duduk, berdiri, maupun penggambaran terbang yang terdapat pada relief.

This research is an attempt to study the relationship between the relief of stringed musical instruments in ancient Java (VIII-XV AD) with attitudes and uses taken from the books of Natyasastra and various books of Iconography as written sources on the art of performance through the approach of Behavioral Archaeology. In this study, archaeological methods were used to understand the attitudes and ways of using musical instruments as well as their implications for social practices and values of society at the time. Behavioral Archaeology is used as a theoretical framework to understand how the relationship between musical instruments and their use became an integral part of human activity in ancient Java. This theory allows us to see the musical instrument as a reflection of the behavior or the way society used it at that time. This research will involve a relief-relief analysis of the temple that describes the use of musical instruments in ancient Java. The data will be collected through verbal and pictorial recordings, and contextual analysis to understand how the instrument is used in various positions such as sitting, standing, and flying depictions on the relief."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Mumfangati
"ABSTRACT
Serat Wulang Pandhita Tekawardi merupakan salah satu karya sastra Jawa yang berisi piwulang atau ajaran. Piwulang atau ajaran tersebut pada dasarnya berupa nilai-nilai luhur hasil pemikiran nenek moyang pada masa lampau. Kehidupan masa lampau tercermin dalam karya sastra kuna, khusunya Serat Wulang Pandhita Tekawardi. Naskah ini sesuai dengan judulnya berisi piwulang atau ajaran, teridiri dari dua bagian: bagian pertama adalah ajaran atau piwulang yang diberikan oleh Pendeta Purwaduksina kepada isterinya: bagian kedua berisi ajaran pendeta Tekawardi yang berada di Gunung Malinggeretna kepada para muridnya. Permasalah dalam kajian ini adalah apa saja kandungan nilai budaya dalam Serat Wulang Pandhita Tekawardi. Selain itu akan dilihat relevansinya dalam kehidupan masyarakat sekarang. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap nilai-nilai budaya dalam Serat Wulang Pandhita Tekawardi. Pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif analisis. Hasil kajian menujukan bahwa Serat Wulang Pandhita Tekawardi berisi nilai-nilai yang masih dapat dimanfaatkan dan diterapkan dalam kehidupan masa sekarang. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai religius, nilai kesetiaan, nilai moral, nilai etika, dan nilai didaktis. Oleh karena itu, mempelajari, mengungkapkan, dan melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam teks tersebut merupakan tindakan yang tepat. Hal ini dimaksudkann agar nilai-nilai luhur tersebut tidak lenyap begitu saja bahkan mampu menjadi ciri jati diri bangsa Indonesia pada umumnya, masyarakat Jawa pada khususnya."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2017
959 PATRA 18:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahsan
"Karya sastra lirik lagu berisi tentang kenyataan sosial beserta cara menghadapinya. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana strategi menghadapi kehidupan sosial era peralihan Orde Lama ke Orde Baru yang direpresentasikan di dalam lirik lagu APN karya Koes Plus. Penelitian ini bertujuan sebagai alternatif rujukan untuk memahami kondisi masyarakat di era peralihan Orde Lama ke era Orde Baru beserta cara menghadapinya. Objek penelitian ini adalah karya sastra berupa lirik lagu Aja Padha Nelangsa karya Koes Plus yang diterbitkan pada tahun 1974 dalam album pop Jawa Vol.1. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Analisis data dilakukan dengan cara menerjemahkan secara harfiah teks lirik lagu Aja Padha Nelangsa dengan berpedoman pada kamus Bausastra Jawa. Kemudian, hasil terjemahan tersebut dianalisis mendasarkan pada konteks kehidupan sosial yang terjadi pada era peralihan Orde Lama ke Orde Baru menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mimetik menurut Meyer Howard Abrams. Penelitian ini mendapatkan temuan pesan moral berupa strategi bagaimana sebaiknya dalam menghadapi jaman rêkasa atau kehidupan serba sulit yang dialami masyarakat pada masa tersebut. Kondisi serba sulit tersebut seyogyanya dijalani dengan sikap nrima ing pandum sesuai nilai ajaran budaya Jawa agar hati senantiasa tenteram serta menumbuhkan kesadaran pada Tuhan. Dengan begitu, hasil kerja yang demikian akan menghasilkan hidup mulia (berkecukupan).

Song lyrics are a form of literary work that depict social realities within society. This research Literary works of song lyrics contain social realities and how to deal with them. The formulation of the research problem is how to deal with social life strategies during the transition from the Old Order to the New Order as represented in the lyrics of the APN song by Koes Plus. This research aims to serve as an alternative reference for understanding the conditions of society in the era from the transition from the Old Order to the New Order era and how to deal with it. The object of this research is a literary work in the form of the lyrics of the song Aja Padha Nelangsa by Koes Plus which was published in 1974 in the Javanese pop album Vol.1. The method used in this research is a descriptive qualitative method. Data analysis was carried out by literally translating the lyric text of the song Aja Padha Nelangsa, guided by the Javanese Bausastra dictionary. Then, the results of the translation were analyzed based on the context of social life that occurred during the transition from the Old Order to the New Order using a literary sociology approach, namely mimetic, according to Meyer Howard Abrams. This research found moral messages in the form of strategies on how best to face the era of hardship or the difficult life experienced by society at that time. These difficult conditions should be endured with a nrima ing pandum attitude in accordance with the values ​​of Javanese cultural teachings so that the heart remains at peace and awareness of God grows. That way, the results of such work will produce a noble (sufficient) life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khoirnafiya
"Disertasi ini membahas tentang gerakan kebangkitan kembali (revival) Penghayat-Kejawen yang dalam arti luas juga merupakan gerakan kepercayaan, adat, dan tradisi. Keberadaan gerakan ini menunjukkan adanya dinamika gerakan kembali kepada Kepercayaan, adat, dan tradisi di tengah-tengah gencarnya gerakan keagamaan yang berbasis trans-nasional yang cenderung kosmopolitan. Bingkai gerakan kebangkitan mengartikulasikan ajaran, praktik ritual keseharian, aksi resistensi (perlawanan), serta aksi-aksi lain yang dikonstruksi dan digunakan dalam gerakan kebangkitan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memotret kekompleksan kondisi dan akvitas Penghayat-Kejawen dalam penelitian. Kerja lapangan (fieldwork) dalam penelitian ini dilakukan dengan etnografi multisitus, mengikut gerak dari Penghayat. Teknik pengumpulan data pada penelitian adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam, dan analisis konten terhadap media sosial yang dipergunakan Penghayat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada artikulasi faktor pendorong munculnya gerakan kebangkitan Penghayat-Kejawen. Gerakan kebangkitan itu didorong oleh berbagai determinan (penentu), yaitu landskap, sejarah, dan nilai-nilai Kejawen yang saling terkait. Nilai-nilai Kejawen menjadi penting ketika dipandang sebagai ideologi dari aktivis yang mendorong aksi gerakan. Dalam teori gerakan sosial, konstruksi nilai-nilai tersebut adalah bingkai budaya yang menunjukkan bahwa perjuangan Penghayat-Kejawen adalah perjuangan budaya (simbolik/identitas/nilai) melampaui perjuangan kelas yang dilakukan oleh aktor (aktivis) Penghayat dalam merespon kesempatan politik dan mengkonstruksi sumber daya. Hasilnya pada era sekarang, Penghayat-Kejawen melakukan caracara mobilisasi “baru”, yaitu artikulasi cara-cara/strategi dengan memadukan cara-cara tradisional (ritual) dan modern (kelembagaan dan media internet/media sosial) dalam berbagai bentuk bukan serta opoisisi (resistensi), tetapi pemosisian dengan kolaborasi, negosiasi, dan lobi. Jika asumsi bahwa Penghayat-Kejawen bersifat mistis dan ekslusif (tertutup), penelitian ini justru menunjukkan bahwa mereka menjalin interaksi dengan berbagai pihak yang menjadi aliansi (sekutu), yaitu berkolaborasi dengan orang atau kelompok lain yang berada di pemerintahan (negara) dan lembaga swadaya masyarakat. Interaksi tersebut menentukan eleman gerakan Penghayat-Kejawen dan menciptakan bentuk gerakan revivalisme/nativisime “baru” yang dilakukan oleh Penghayat-Kejawen yang berbeda dengan gerakan Penghayat era kolonialisme.

This dissertation discusses Penghayat-Kejawen and their revival movement, generally defined as a movement of belief, custom and tradition. Its presence indicates a dynamics of returning to belief, custom, and tradition, amid the vigorous movement of trans-national and relatively cosmopolitan religiosity. Its framework articulates teachings, daily ritual practice, resistance, and other actions that are constructed and applied in the revival movement.
This research applies qualitative method to portray Penghayat-Kejawen’s condition complexity and activity. Fieldwork during this research was conducted by means of multi-sited ethnography, by following the movement of Penghayat. Data was collected using participatory observation and in-depth interview, as well as content analysis of social media used by Penghayat.
Research result indicates that the revival of Penghayat-Kejawen is encouraged by articulation factor, with its various determinants, i.e., landscape, history, and related values of Kejawen. The values become crucial when viewed as ideologies of activists encouraging the movement. In the theory of social movement, construction of the values is a cultural framework, indicating that the struggle of PenghayatKejawen is a cultural struggle (related to symbol/identity/value), surpassing class struggle performed by actors (activists) of Penghayat in responding to their political opportunity and reconstructing resources. As a result, Penghayat-Kejawen performed “new” mobilization method, i.e., method/strategy articulation by integrating traditional method (rituals) and modern (institutional method and internet/social media) in various forms, i.e., positioning by means of collaboration, negotiation, and lobby, instead of opposition (resistance). In spite of the assumption that Penghayat-Kejawen is mystical and exclusive, this research reveals that they interact with various alliance parties, by collaborating with other person or groups of people under the goverment (state) and non-governmental organization. The interaction determines the element of Penghayat-Kejawen and creates “new” revivalism/nativism movement which differs from Penghayat during colonialism era.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>