Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aurizza Amanda Puteri
"Indonesia memiliki sejarah perfilman panjang yang dimulai sebelum kemerdekaannya, dengan banyak karya sinematografi dari pita seluloid mengalami kerusakan karena usia. Pada tahun 2012, National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation bekerja sama dengan Sinematek Indonesia untuk merestorasi film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail. Restorasi film tentu melibatkan aspek Hak Cipta, sehingga tulisan ini membahas apakah hasil restorasi Lewat Djam Malam dapat dikategorikan sebagai karya derivatif, serta hak dan kewajiban pelaku restorasi dan Pemegang Hak Cipta dalam praktik restorasi tersebut. Penelitian hukum doktrinal ini menyimpulkan bahwa restorasi film tidak dianggap sebagai karya derivatif berdasarkan doktrin creativity school dan modicum of creativity karena tidak ada perubahan pada materi asli. Dengan demikian, hasil restorasi film Lewat Djam Malam tidak dapat dianggap sebagai karya derivatif. Proses restorasi termasuk kegiatan Penggandaan sesuai Pasal 9 UU Hak Cipta, sehingga memerlukan izin dari Pemegang Hak Cipta. Dalam kasus ini, pelaku restorasi tetap meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta meski sudah tidak berkewajiban karena film Lewat Djam Malam sudah menjadi domain publik. Di sisi lain, Pemegang Hak Cipta atas film Lewat Djam Malam keliru menganggap bahwa pendaftaran Hak Cipta atas film tersebut dapat memperpanjang keberlakuan Hak Ciptanya. Dikarenakan Hak Cipta atas Lewat Djam Malam sudah tidak berlaku, Pemegang Hak Cipta tidak lagi memiliki wewenang untuk memberikan lisensi Hak Cipta kepada pelaku restorasi film. Lisensi yang diberikan merupakan lisensi atas penggunaan kopi fisik dan digital hasil restorasi film, bukan lisensi atas Hak Cipta.

Indonesia has a long history of filmmaking that began before its independence, with many cinematographic works on celluloid film deteriorating over time. In 2012, the National Museum of Singapore and the World Cinema Foundation collaborated with Sinematek Indonesia to restore the film Lewat Djam Malam (1954) by Usmar Ismail. Film restoration involves aspects of Copyright Law, thus this paper discusses whether the restoration of Lewat Djam Malam can be categorized as a derivative work, as well as the rights and obligations of the restorers and Copyright Holders in this practice. This doctrinal legal research concludes that film restoration is not considered a derivative work based creativity school and modicum of creativity doctrines, as it lacks originality or changes to the original material. The restoration process, including duplication activities according to Article 9 of the Copyright Law, requires permission from the Copyright Holder. In this case, the restorers still requested permission from the Copyright Holder even though it was not obligatory because Lewat Djam Malam had entered the public domain. On the other hand, the Copyright Holder of Lewat Djam Malam mistakenly believed that registering the Copyright could extend its validity. Since the Copyright for Lewat Djam Malam has expired, the Copyright Holder no longer has the authority to grant a Copyright license to the film restorers. The license provided is for the use of physical and digital copies of the restored film, not a Copyright license."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelia Puspaseruni Ramadiati
"ABSTRAK
Film tidak hanya menjadi sarana hiburan tetapi juga medium penyampaian pesan,
representasi dan kritik sosial. Film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar
Ismail yang telah melewati proses restorasi merupakan salah satu film Indonesia
yang sarat kritik sosial. Menarik untuk melihat bagaimana generasi muda
memaknai sebuah film dari era yang berbeda kemudian mencoba melihat gagasan
yang terdapat dalam film tersebut dengan konteks saat ini dan dengan pemahaman
yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan menggunakan encoding-decoding
(analisis resepsi) Stuart Hall, dapat diketahui bagaimana generasi muda sebagai
audiens mengonstruksi realitas Indonesia pascarevolusi. Posisi audiens dapat
berupa opposition, dominant dan negotiated. Dalam teori resepsi, faktor
kontekstual mempengaruhi audiens membaca teks media, seperti elemen identitas
khalayak, persepsi, latar belakang sosial, sejarah dan isu politik. Pada penelitian
ini, subjek penelitian tergabung dalam komunitas interpretatif, di mana masingmasing
memaknai teks media secara aktif dan memiliki minat yang sama terhadap
satu konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa audiens sepakat bahwa film
Lewat Djam Malam (LDM) masih relevan dengan kondisi saat ini. Seseorang
yang memiliki pengetahuan sejarah Indonesia yang terbatas, cenderung
mengambil posisi dominan. Ia sepenuhnya menyetujui apa yang disampaikan oleh
encoder. Seseorang yang memiliki pengetahuan sejarah dan politik Indonesia
yang cukup dan secara aktif menggali gagasan dalam sebuah film, memaknai film
LDM secara negotiated. Ada nilai-nilai dalam film LDM yang tidak sejalan
dengan dirinya namun masih dapat menerima gagasan tersebut. Konstruksi
realitas Indonesia pascarevolusi yang digambarkan dalam film LDM adalah
karakter manusia pascarevolusi yang beragam diwakili oleh berbagai karakter
dalam film ini, situasi ekonomi dikonstruksikan dalam kondisi stabil, tidak cocok
dengan situasi Indonesia pascarevolusi sebenarnya. Situasi sosial dan politik
digambarkan melalui pemberlakuan jam malam untuk menjaga keamanan,
perbedaan gaya hidup kelas menengah dan kelas bawah, korupsi, prostitusi, upaya
nasionalisasi perusahaan asing serta beragam kondisi mantan pejuang yang
beradaptasi dengan keadaan Indonesia yang telah merdeka.

ABSTRACT
Movie is not only a medium of entertainment, but it is also a way of delivering
messages, representation, and social criticism. Lewat Djam Malam (1954), written
by Usmar Ismail, is one of Indonesian films which has social criticism. It is
interesting to see how young generations make sense of a movie from different
eras and understand the ideas of the movie with the current context and its
previous knowledge. Applying Stuart Hall?s theory, the encoding-decoding
(reception analysis), we can see how young people construct post-revolution
Indonesia. There are three positions of audiences in this theory: opposition,
dominant, and negotiated. In reception theory, contextual factors influence
audiences read texts on media, such as identity, perception, social background,
history, and political issues. In this research, the subjects were members of
interpretive community, in which each of them actively interpret the texts and
have similar interests to the content. The results showed that audiences agreed
Lewat Djam Malam (LDM) is still relevant to current conditions. Someone who
has limited knowledge of Indonesian history tends to take a dominant position. He
completely agrees to what is conveyed by the encoder. Moreover, a person who
has knowledge of Indonesian history and politics fairly and actively explores the
idea in a movie, interprets this movie as negotiated. There are values in LDM that
is not in line with them, but they still can accept. Reality constructions of postrevolution
Indonesia depicted in this movie are the various characters on LDM,
the economic situation constructed in a stable condition, do not fit the situation of
post-revolution Indonesia. Social and political situations are illustrated by the
curfew to maintain security, differences of lifestyle between middle and lower
classes, corruption, prostitution, nationalization of foreign companies and various
conditions of ex-soldiers adapting in new situation, the independence of
Indonesia."
2013
T35282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grafita Dyah Ayu Kusumastuti
"Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemegang hak cipta karya sinematografi terhadap aksi pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh situs penyedia layanan streaming film gratis di internet. Adapun permasalahan yang dikaji di dalam skripsi ini antara lain adalah bagaimana bentuk pelanggaran hak cipta yang dilakukan pemilik situs penyedia layanan streaming film gratis, perlindungan hukum seperti apa yang dapat diperoleh oleh pemegang hak cipta ditinjau dari UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bentuk pencegahan seperti apa yang dapat dilakukan untuk mencegah pendistibusian konten yang ilegal di internet.

This thesis discusses the legal protections that can be obtained to the copyright owners of cinematographic works towards copyright infringement conducted by online free movie streaming sites. The problems under this study are the legal aspects of distributing films through online streaming sites without a license agreement or authorization from the copyright owners, what kind of legal protection that can be obtained for the copyright owners as stipulated in Copyright Act No. 28, 2014 and what kind of actions that can prevent the distribution of illegal contents on the internet."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Risty
"Penulisan fanfiction atau karya penggemar menimbulkan pertanyaan mengenai status serta perlindungan hukum hak cipta yang diberikan baik kepada pencipta ataupun penulis karya fanfiction tersebut. Hal ini dikarenakan penulisan karya fanfiction tersebut tanpa izin dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta karya asli. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa karya fanfiction merupakan karya turunan yang tidak memiliki izin sehingga tidak mendapatkan perlindungan hak cipta. Bagi pencipta atau pemegang hak cipta, penulisan fanfiction merupakan pelanggaran hak moral dan/atau hak ekonomi mereka sehingga terdapat perlindungan preventif maupun represif yang dapat digunakan terhadap penulisan fanfiction tersebut. Sedangkan penulis fanfiction dapat menggunakan doktrin fair use sebagai perlindungan terhadap gugatan pelanggaran hak cipta yang diajukan kepadanya. Apabila fanfiction telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kesamaan substansial dengan karya aslinya, maka akan menghasilkan karya transformatif yang dilindungi oleh hak cipta. Karena penulisan karya fanfiction pada dasarnya merupakan pelanggaran hak cipta, maka penggemar sebaiknya melihat terlebih dahulu pendapat pencipta atau pemegang hak cipta mengenai penulisan fanfiction dan tidak mengkomersialisasikan fanfiction tersebut untuk mencegah gugatan pelanggaran hak cipta.

The writing of fanfiction raises questions about the legality and copyright protection of either the author or the writer of the fanfiction itself. These questions occurred from the fact that the writing of fanfiction are done without the consent of the author and or copyright holder. The form of method that used to conduct this research is a normative judicial research. This research shows that fanfiction is an unauthorized derivative work, therefore does not hold a copyright protection. For either the author or copyright owner, the writing of fanfiction is a form of moral right and or economic right infringement, and for that there are preventive and repressive protections that can be used to protect their rights. On the other hand, the fair use doctrine can be used by the writer fanfiction as a defense against copyright infringement lawsuit filed by the copyright owner. A fanfiction that has been modified and changed in a way that it does not hold any substantial similarity with the original work falls under the transformative work, hence protected by the copyright law. Since the writing of fanfiction is a copyright infringement, fanfiction writer need to look further at whether or not the author or copyright owner approves of the writing of fanfiction based on their work and not to commercialize their fanfiction to avoid copyright infringement lawsuit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69503
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ayu Savira Prawesty
"Pelanggaran hak cipta karya sinematografi dengan adanya situs streaming ilegal terus meningkat setiap tahunnya. Adanya situs ilegal menyebabkan kerugian bagi Pencipta selaku pihak yang memegang hak ekonomi Ciptaan. Lembaga Manajemen Kolektif dinilai dapat menjadi solusi yang memungkinkan insan perfilman untuk mengawasi pemanfaatan dari karya ciptanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelanggaran hak cipta karya sinematografi dan menganalisis efektivitas apabila dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif Bidang Film. Saat ini di Indonesia belum terdapat Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus ditujukan untuk Ciptaan film, walaupun UU Hak Cipta telah menyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif ditujukan untuk semua Ciptaan yang dilindungi termasuk salah satunya karya sinematografi atau film. Penelitian dilakukan dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia sudah memberikan perlindungan secara pidana, perdata, maupun administratif terkait pelanggaran hak cipta. Namun, masih diperlukan penegakan hukum atas peraturan ini. Di samping itu, adanya Lembaga Manajemen Kolektif perlu ditelaah terlebih dahulu karena masih ada kekosongan hukum yang mengatur mengenainya. Lembaga Manajemen Kolektif di Bidang Film dapat dibentuk apabila terdapat kebutuhan di industri film yang menyatakan lembaga tersebut dapat efektif berjalan bagi Ciptaan film.

Copyright infringement of cinematographic works with illegal streaming sites continues to increase every year. The existence of illegal sites causes losses to the Creator as the holder of the economic rights of creation. The Collective Management Institution is considered to be a solution that allows film people to oversee the utilization of their copyrighted works. This study aims to determine the protection provided by the laws and regulations governing copyright infringement of cinematographic works and analyze the effectiveness if a Film Collective Management Institute is established. Currently, in Indonesia there is no Collective Management Institution specifically aimed at film creations, although the Copyright Act has stated that the Collective Management Institution is intended for all protected creations including one of cinematographic works or films. The research was conducted from literature studies and interviews with relevant parties. The results showed that Indonesian legislation has provided criminal, civil, and administrative protection related to copyright infringement. However, law enforcement of this regulation is still needed. In addition, the existence of a Collective Management Institution needs to be examined first because there is still a legal void governing it. The Collective Management Institution in the Film sector can be established if there is a need in the film industry that states the institution can effectively run for film creations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Kanta Germansa
"Dalam pengaturan pasal 40 huruf m, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai hak cipta yaitu karya sinematografi. Dalam menciptakan suatu karya sinematografi, dapat dilakukan dengan cara proses penggandaan atau reproduksi suatu karya sinematografi yang ada lebih dahulu menjadi karya yang baru berdasarkan film aslinya atau yang terdahulu. Dalam Pasal 1 ayat 12,Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.Suatu karya Sinematografi merupakan suatu karya seni yang menampilkan suatu Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) secara nyata baik secara visual dan audiovisual oleh pihak-pihak yang ahli dibidang sinematografi berdasarkan pengembangan ide dan kreativitas yang bersifat pribadi dan khas/original. Perwujudan ide yang menghasilkan suatu karya Sinematografi secara nyata mendapatkan perlindungan hak cipta sebagaimana diatur pasal 40 huruf m, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam hasil nyata karya sinematografi melekat suatu perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHC 2014. Pencipta dan atau pemegang hak cipta karya Sinematografi tersebut, memiliki hak ekslusive terhadap karya sinematogafi baik itu hak ekonomi, moral, dan hak terkait. Dalam pengaturan perlindungan hak cipta karya Sinematogarfi yang telah diwujudkan secara nyata tersebut, tidak hanya mendapat perlindungan hukum terhadap UUHC 2014 namun juga mendapatkan perlindungan berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional Di Indonesia baru-baru ini telah terjadi suatu masalah yang hangat mengenai dugaan pelanggaran hak cipta karya sinematografi terhadap penggandaan atau reproduksi (film ke film ) serial Korea You Who Came From The Stars menjadi sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang. Terhadap dugaan pelanggaran penggandaan/reproduksi yang dilakukan pihak Production House Sinemart sebagai pemegang Hak Cipta sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang perlu dilakukan analisa dan pembuktian yang akurat terhadap perwujudan Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) secara nyata baik secara visual dan audiovisual yang mengambil ide dan ekspresi ide dari serial KoreaYou Who Came From The Stars.

In Article 40 letter m, Acts No. 28 Year of 2014 about Copyrights on the works that are protected as copyrights, among others is cinematography works. In creating one cinematography work, one of the methods is reproduction of a previous cinematography works that had been around into a new one. In Article 1 verse 12, Reproduction is a process, an act, or a method of reproducing a copy of a work and/or phonogram or more with whatever means or forms, either permanently or temporarily. A work of cinematograph is a work of art that shows a creation in the form of moving images in actual, either visually or with audio conducted by professionals in cinematography based on idea and creativity expansion which are personal and original. The form of ideas that creates a work of cinematography actually gained copyright protection as stated in Article 40 letter m, Acts No. 28 Year of 2014 about Copyrights. In an actual cinematography work, attached protection from the law given by UUHC 2014. The creator or the owner of that Cinematography Copyright, gets the exclusive rights to such work, either economic rights, moral rights, and other rights attached to it. In such actual Cinematography Copyright Protection, it gets not only the law protection from UUHC 2014, but also protection based on International Convention. In Indonesia today, there is an emerging problem regarding allegation on Cinematography Copyright violation in regards to the reproduction (movie to movie ) of Korean series titled You Who Came From The Stars being retitled as Kau Yang Berasal Dari Bintang. To this allegation conducted by Production House Sinemart as the copyright owner of series Kau Yang Berasal Dari Bintang needs to be analyzed and an accurate evidence regarding the actual works on moving images, visually and with audio that grabs the idea and expression featured in Korean series Who Came From The Stars."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Galuh Damar Jati
"Karakter fiksi merupakan salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari suatu karya khususnya karya sinematografi. Suatu karakter fiksi merupakan kerja keras dan jerih payah pencipta dari hasil olah kreativitas dan imajinasinya. Karakter fiktif juga merupakan salah satu unsur utama yang mendukung tema dan konflik dalam suatu narasi. Dalam Undang-Undang Hak Cipta saat ini belum mengatur secara khusus berkaitan dengan perlindungan terhadap suatu karakter fiksi. Perlindungan terhadap suatu karakter fiksi secara umum masih terhadap media dimana tempat karakter tersebut berada. Berbeda dengan Amerika Serikat, perlindungan terhadap karakter fiksi disana telah diakui dengan menerapkan standar-standar seperti Character Delineation Test dan Story Being Told Test, sehingga diperoleh kepastian perlindungan terhadapnya. Lebih lanjut, hal itu akan berpengaruh terhadap penggunaan yang wajar pada suatu karakter fiksi. Penggunaan yang wajar atau fair use merupakan salah satu doktrin sebagai bentuk pembatasan terhadap hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta. Penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi di Indonesia sejatinya merupakan penggunaan yang wajar terhadap suatu karya sinematografi khususnya film. Sebab karakter merupakan bagian utama dari suatu karya film yang membangun cerita dalam mendukung tema dan konflik. Sehingga penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi termasuk di dalam penggunaan yang wajar terhadap suatu karya film. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana perlindungan dan prinsip penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi di dalam ketentuan Undang-Undang Hak Cipta

Fictional characters are one of the integral elements of a work, especially a cinematographic work. A fictional character is the result of the creator's work and effort, as well as his creativity and imagination. Fictional characters are also one of the main elements that support the theme and conflict in a narrative. The current copyright law in Indonesia does not specifically regulate the protection of a fictional character. In general, the protection of a fictional character still on the media where the character is located. In contrast to the United States, the protection of fictional characters has been recognized in that country by using standards such as the character delineation test and the story being told test to ensure certainty of protection against it. Furthermore, it will affect the fair use of a fictional character. Fair use is one of the doctrines that limit the exclusive rights owned by the creator. Fair use of a fictional character in Indonesia is actually a fair use of a cinematographic work, especially a movie. Because characters are the main part of a movie, they build a story for supporting themes and conflicts. Therefore, the fair use of a fictional character is included in the fair use of a film work. By using the normative juridical research method, this paper will analyze how the protection and principle of fair use of a fictional character are addressed in the provisions of the Copyright Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Christoper Sabungan
"Penelitian ini mengeksplorasi dinamika perlindungan hukum terhadap karya cipta film yang dilombakan dalam festival film, dengan fokus utama pada pelanggaran hak moral. Ide dan gagasan kreatif adalah fondasi dasar dalam penciptaan karya, namun ide tidak dapat dilindungi hingga diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang konkret. Hak cipta memberikan perlindungan hukum bagi karya seni dan kesusasteraan melalui Konvensi Bern, yang kemudian diperkuat oleh perjanjian TRIPs dalam lingkup perdagangan internasional. Indonesia, sebagai bagian dari kerangka global ini, telah mengadopsi regulasi yang relevan melalui undang-undang dan ratifikasi konvensi internasional. Proses pembuatan film terdiri dari pra-produksi, produksi, pasca-produksi, dan distribusi, di mana setiap tahap memerlukan perlindungan hak cipta. Namun, tantangan muncul ketika karya film diikutsertakan dalam kompetisi festival film, terutama terkait klausula baku dalam perjanjian yang dapat merugikan peserta, seperti pengalihan hak cipta kepada panitia. Meskipun Konvensi Bern hanya mengatur hak moral yang terdiri dari right of paternity dan right of integrity, ada dua hak lain dalam doktrin hak cipta, yaitu right of divulgate dan right of retraction, yang belum diatur dalam undang-undang di Indonesia. Penelitian ini juga menyoroti masalah hukum yang muncul, khususnya pelanggaran hak moral yang terjadi ketika potongan film digunakan tanpa mencantumkan pemilik aslinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum yang ada, mengevaluasi kecukupan regulasi di Indonesia, dan menawarkan solusi untuk melindungi hak moral pencipta film. Dengan demikian, penelitian ini memberikan tinjauan yuridis yang mendalam mengenai pelanggaran hak moral dalam konteks festival film, yang diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hukum bagi karya cipta digital sinematografi di Indonesia.

This study delves into the legal protection dynamics for film copyrights submitted to film festivals, with a primary focus on moral rights violations. Creative ideas and concepts form the fundamental basis for the creation of works; however, these ideas cannot be protected until they are manifested in concrete expressions. Copyright law provides legal protection for artistic and literary works through the Berne Convention, which is further bolstered by the TRIPs agreement within the international trade framework. As part of this global framework, Indonesia has implemented relevant regulations through domestic laws and the ratification of international conventions. The film production process encompasses pre-production, production, post-production, and distribution, each stage necessitating copyright protection. Nonetheless, challenges arise when films are submitted to festival competitions, particularly concerning standard clauses in agreements that may disadvantage participants, such as the transfer of copyright to the organizers. While the Berne Convention addresses moral rights, including the right of paternity and the right of integrity, it does not encompass other rights in copyright doctrine, such as the right of divulgation and the right of retraction, which remain unregulated under Indonesian law. This study also highlights the legal issues arising from the use of film excerpts without proper attribution to the original creators, constituting a violation of moral rights. The objective of this research is to analyze the current legal protections, assess the adequacy of Indonesian regulations, and propose solutions to safeguard the moral rights of filmmakers. Consequently, this study provides a comprehensive juridical review of moral rights violations within the context of film festivals, aiming to enhance legal protection for digital cinematographic works in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damanik, Alfared
"Tesis ini membahas perlindungan hukum hak cipta atas karya sinematografi dengan tinjauan khusus hak penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD. Dengan pendekatan sosiolegal, dilihat bagaimana bekerjanya hukum di tengah masyarakat serta berinteraksi dengan lingkungan di mana hukum itu diberlakukan. Memakai analisa deskriptif kualitatif yaitu memaparkan dan menggambarkan realita atas permasalahan yang ada di lapangan untuk menunjang hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan penegakan hukum hak cipta atas hak penyewaan karya sinematografi dalam bentuk VCD belum dapat berjalan, disebabkan: perbedaan konsep kepemilikan pelaku usaha penyewaan dengan konsep rezim hak cipta, kurangnya pemahaman masyarakat dan penegak hukum terhadap hak penyewaan, penegak hukum belum serius, dan belum ada peraturan pelaksana dari ketentuan hak penyewaan. Juga bahwa pemegang hak cipta lebih fokus kepada pemberantasan pembajakan VCD.

This thesis to study about legal protection of copy right on cinematografi work with special review on rental right of cinematography in the form of VCD. Using the socio-legal approach, to see how the law works among society and how it interacts on the environment where it prevail. Qualitative descriptive analysis is used to describe and explain the reality of legal problems that has existed to support the result of field research.
The research result show that the copyright law enforcement on rental right of cinematography in the form of VCD hasn?t been being realized yet, caused by: difference of the ownership concept between rental entrepreneurs and the copyright concept, the people's and the law enforcement apparatus?s knowledge about rental right are still weak, the apparatus have not worked seriously to enforce the copyright provision, and the rental right regulation has not been complemented by implementation regulations. Also found that the copyright holders are more focus to eliminate the copyright pirating of VCD.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27792
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Marlin Agustin
"Karya Sinematografi dalam bentuk film impor merupakan bentuk tayangan yang diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sejak sebelum kemerdekaannya. Film impor yang ditayangkan di Indonesia dapat dikonsumsi dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia karena adanya penerjemahan yang dilakukan atas film-film impor tersebut. Terdapat 2 dua metode penerjemahan film yang paling sering dipakai oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia yaitu metode sulih suara dubbing dan metode penerjemahan dalam bentuk teks subtitle.
Film impor yang selama ini diedarkan dan ditayangkan di bioskop untuk konsumsi publik, diterjemahkan menggunakan metode penerjemahan dalam bentuk teks subtitle, namun tidak demikian adanya dengan film impor yang ditayangkan di televisi. Film sebagai salah satu dari serangkaian Ciptaan yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta di Indonesia diakui sebagai sebuah wujud nyata dari sebuah ide yang diekspresikan yang kepada Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya melekat Hak Ekonomi dan Hak Moral.
Dalam tulisan ini penulis akan membedah kedua metode penerjemahan film tersebut dan membongkar satu per satu setiap tahap yang harus dilalui untuk menerjemahkan film menggunakan kedua metode penerjemahan tersebut. Penulis juga akan membahas mengenai penerjemahan film dilihat dari perspektif hak ekonomi dan hak moral. Selanjutnya penulis menganalisis lebih jauh mengenai metode sulih suara dubbing yang selama ini dipakai untuk menerjemahkan film impor yang ditayangkan di televisi dan dampaknya terhadap hak moral Pelaku Kegiatan Perfilman sebagai Pencipta, dikaitkan dengan definisi Ciptaan yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta sendiri. Penulis berharap pada akhirnya film impor yang ditayangkan di televisi Indonesia dapat disuguhkan kepada masyarakat menggunakan metode penerjemahan film yang tetap memastikan Hak Ekonomi Pencipta terlindungi namun tidak menciderai Hak Moral Pencipta.

Cinematographic work in the form of imported film is something that was already introduced to the people of Indonesia even prior to its independence as a nation. Imported film that are aired in Indonesia are able to be consumed and enjoyed by Indonesian people because of film translation methods applied on the films, that allow them to do so. There are 2 two methods of film translating that are most commonly used in many countries across the world including Indonesia itself, which are dubbing and subtitling.
The imported films that have been circulated and showcased in movie theatres for publics consumption, are translated by subtitling them, but it isnt so when it comes to those that are aired on television. Film as one of the forms of creation that are protected under the Copyright Law which recognizes it as an embodiment of an expressed idea. On that creation economic and moral rights are attached.
In this writing, author hopes to be able to dissect both film translating methods in terms of the technicalities and how they affect the moral rights of creator with how the Copyright Law defines the very creation it protects in mind. Author hopes for a future where imported films are able to be consumed by our society using a translating method that is able to make sure that both of creators rights which the economic one and the moral one stay protected, specifically in terms of sound which is one of the most important elements in movie as a form of audiovisual work.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>