Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aninda Asshifa
"Kanker darah leukemia dan limfoma merupakan salah satu komorbid dari Coronavirus Disease 2019 (COVID-19 ) yang dapat mengurangi efektivitas vaksin. Perkembangan leukemia dan limfoma dapat dideteksi dengan menggunakan protein citrullinated histone H3 (CIT-H3) yang merupakan hasil sitrulinasi enzim peptidilarginin deiminase 4 (PAD 4) pada neutrofil. Protein CIT-H3 umumnya dapat dijadikan biomarker perkembangan kanker karena kadarnya yang mengalami kenaikan pada subjek leukemia dan limfoma. Kenaikan tersebut juga ditemukan pada subjek COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi kadar CIT-H3 dengan parameter hematologi pada subjek leukemia dan limfoma berupa hemoglobin, leukosit, trombosit, limfosit, neutrofil, serta absolute neutrophil count (ANC). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) untuk memeriksa kadar CIT-H3 dari 40 sampel serum darah subjek leukemia dan limfoma yang telah divaksinasi COVID-19 minimal sebanyak dua kali atau telah mengalami infeksi COVID-19 sebelumnya. Hasilnya didapatkan bahwa kadar CIT-H3 berkorelasi positif dengan parameter ANC (r= 0,04, p= 0,34) pada karakteristik komorbid subkelompok subjek dengan komorbid. Dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar CIT-H3 dan ANC.

Leukemia and lymphoma blood cancer are comorbidities of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) which can reduce the effectiveness of vaccines. Metastases of leukemia and lymphoma can be detected using citrullinated histone H3 (CIT-H3) protein which is the result of citrullination of the peptidylarginine deiminase 4 (PAD 4) enzyme present in neutrophils. The CIT-H3 protein can generally be used as a biomarker for cancer metastases because of the increase in its levels in leukemia and lymphoma subjects. This increase was also found in the subject of COVID-19. This study aimed to determine the correlation of CIT-H3 levels with hematological parameters in leukemia and lymphoma subjects such as hemoglobin, leukocytes, platelets, lymphocytes, neutrophils, and absolute neutrophil count (ANC). The research was carried out using the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method to examine CIT-H3 levels from 40 blood serum samples from leukemia and lymphoma subjects who had been vaccinated against COVID-19 at least twice or had experienced previous COVID-19 infection. The results showed that CIT-H3 levels were positively correlated with ANC parameters in the comorbid characteristics of the subgroup of subjects with comorbidities (r= 0,04, p= 0,34). It can be concluded that there is a positive correlation between CIT-H3 levels and ANC."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tresnawulan Nugrahayu
"Telah dilakukan studi pendahuluan tentang infeksi human T-cell
leukemia virus, type I (HTLV-1) di antara penderita leukemia/limfoma dan individu sehat normal di Jakarta. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
frekuensi infeksi HTLV-1 pada kedua kelompok tersebut. Penelitian dilakukan
dengan teknik aglutinasi pasif untuk mendeteksi antibodi anti-HTLV-1 pada serum 50 penderita leukemiallimfoma dan 39 individu sehat normal. Pada kelompok penderita leukemia/limfoma ditemukan antibodi anti-HTLV-1 pada 2 orang (4%) dari 50 orang yang diteliti, sedangkan pada kelompok individu
sehat normal tidak ditemukan antibodi anti-HTLV-1 (0%) dari 39 orang yang diteliti. Dari uji x! diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna
dalam hasil uji aglutinasi pasif antara kelompok penderita leukemia/limfoma dengan kelompok individu sehat normal (a> 0,01 ). Dua seropositif yang ditemukan pada penelitian ini merupakan kasus sporadik sehingga dapat disimpulkan bahwa Jakarta bukan daerah endemik bagi infeksi HTLV-1."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Widyapuri
"ABSTRAK
Latar Belakang: Glukokortikoid berperan penting dalam pengobatan leukemia limfoblastik akut (LLA), namun dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HHA). Penekanan aksis HHA menyebabkan respons kortisol terhadap stres berkurang sehingga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas LLA pada anak.
Tujuan: Mengetahui fungsi kelenjar adrenal pada anak dengan LLA setelah kemoterapi fase induksi dengan glukokortikoid dosis tinggi.
Metode: Penelitian bersifat before and after dengan menilai fungsi kelenjar adrenal pada pasien LLA baru sebelum kemoterapi fase induksi yang mendapatkan prednison atau deksametason oral selama 6 minggu dan setelah tapering off glukokortikoid selama 1 minggu. Sebanyak 20 subjek dari 4 rumah sakit di Jakarta direkrut dan dianalisis. Penilaian fungsi kelenjar adrenal dilakukan dengan uji stimulasi ACTH dosis standar (250 μg).
Hasil: Dari 20 subjek, terdapat 14 subjek yang mengalami insufisiensi adrenal pasca-kemoterapi fase induksi berdasarkan kriteria peningkatan kortisol pasca-uji <18 μg/dL. Nilai median kadar kortisol pra-uji dan pasca-uji sebelum kemoterapi berturut-turut adalah 14,72 μg/dL (2,01 – 46,1 μg/dL) dan 29,29 μg/dL (21,65 – 55,15 μg/dL), dan kadar kortisol pra-uji dan pasca-uji sesudah kemoterapi berturut-turut adalah 5,87 μg/dL (0,2 – 20,53 μg/dL) dan 10,49 μg/dL (0,33 – 28,69 μg/dL). Gejala klinis tidak berbeda bermakna antara subjek yang mengalami insufisiensi adrenal dengan yang mereka tidak mengalami insufisiensi adrenal.
Simpulan: Sebanyak 14 dari 20 subjek mengalami insufisiensi adrenal setelah mendapatkan glukokortikoid dosis tinggi selama kemoterapi fase induksi walaupun telah tapering off selama 1 minggu. Tidak ada gejala klinis yang spesifik ditemukan berkaitan dengan insufisiensi adrenal.

ABSTRACT
Background: Glucocorticoids play an important role in the treatment of acute lymphoblastic leukemia (ALL), but can cause side effects such as suppression of the hypothalamic-pituitary-adrenal (HHA) axis. Suppression of the HHA axis causes adrenal insufficiency and disturb cortisol response to stress and may be a cause of morbidity and mortality in children ALL.
Objective: To evaluate adrenal function in children with ALL after induction chemotherapy with high dose glucocorticoids.
Methods: Twenty children with ALL were evaluated using standard dose (250 μg) adrenocorticotropin hormone (ACTH) test before and after their treatment with prednisone or dexamethasone for 6 weeks of induction phase followed by 1 week tapering off.
Results: Adrenal insufficiency was found in 14 of 20 subjects after induction phase followed by 1-week tapering off based on cortisol post-stimulation <18 μg/dL. The median of cortisol pre- and post-stimulation before induction phase are 14,72 μg/dL (2,01 – 46,1 μg/dL) and 29,29 μg/dL (21,65 – 55,15 μg/dL), dan cortisol pre- and post-stimulation after induction phase are 5,87 μg/dL (0,2 – 20,53 μg/dL) dan 10,49 μg/dL (0,33 – 28,69 μg/dL). Clinical signs and symptoms did not differ between those who had adrenal insufficiency with those who did not have adrenal insufficiency.
Conclusions: Fourteen out of 20 children with ALL developed adrenal insufficiency after a 6-week induction therapy with glucocorticoids and 1-week tapering off. No specific clinical signs and symptoms were related to adrenal insufficiency."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Rahmitasari
"Latar belakang: Primary mediastinal large B cell lymphoma (PMBCL) adalah limfoma sel B berasal dari sel B medulla timus yang memiliki sifat unik dan agresif. Jaringan tumor PMBCL paling sering didapat berupa jaringan core biopsy. Gambaran histopatologik PMBCL berupa spektrum dengan fenotip dan genetik mirip dengan limfoma Hodgkin klasik terutama subtipe nodular sklerosis. Hal-hal tersebut dapat menimbulkan kesulitan diagnosis sehingga diperlukan pemeriksaan imunohistokimia untuk penegakan diagnosis dan penentuan pengobatan. Beberapa penelitian menemukan MAL merupakan salah satu penanda PMBCL. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan ekspresi MAL pada PMBCL dan limfoma Hodgkin klasik mediastinum.
Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 15 kasus PMBCL dan 15 kasus limfoma Hodgkin klasik mediastinum yang sudah dilakukan pulasan imunohistokimia dari Januari 2011 sampai Mei 2018. Dilakukan pulasan MAL dan penilaian menggunakan perhitungan persentase >10% sel tumor.
Hasil: Ekspresi MAL positif pada  2(13,3%) dari 15 kasus PMBCL dan limfoma Hodgkin klasik mediastinum sebanyak 8(53,3%) kasus dari 15 kasus dengan sensitivitas 20% dan spesifisitas 35%. Pada uji statistik chi-square didapatkan ekspresi MAL antara PMBCL dan limfoma Hodgkin klasik berbeda bermakna dengan nilai  p=0,020.
Kesimpulan: Ditemukan ekspresi MAL antara PMBCL dengan limfoma Hodgkin klasik mediastinum berbeda bermakna.

Background: Primary mediastinal large B-cell lymphoma (PMBCL) is an aggressive and unique large B-cell lymphoma arising in mediastinum of putative thymic B-cell origin. Core biopsy is most commonly diagnostic procedure in PMBCL mass. Morphology of PMBCL has spectrum and similarities in phenotype and genetic with classical Hodgkin lymphoma especially nodular sclerosis variant. Hence specific immunohistochemistry is needed to diagnose PMBCL. Several studies found MAL is one of some markers for PMBCL. The aim of this study is to determine the differences of MAL expression in PMBCL and thymic classical Hodgkin lymphoma.
Material and method: This was a cross-sectional study with 15 cases of PMBCL and 15 cases thymic classical Hodgkin lymphoma that had been performed immunohistochemistry at RSCM from January 2011 to May 2018. All cases stained by MAL antibody and evaluated using percentage > 10% cell tumors.
Result: MAL positive expression can be found in  2 (13,3%) of 15 cases PMBCL and  8 (53,3%) of 15 cases classical Hodgkin lymphoma with 20% sensitivity dan 35% specificity. The chi-square test showed  significant difference between MAL expression in PMBCL and thymic classical Hodgkin lymphoma. (p=0,020).
Conclusion: There was signification difference between MAL expression in PMBCL and thymic classical Hodgkin lymphoma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"We report three rare cases of mucosal-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma. Two cases are of gastric MALT lymphoma and one is a case of transverse colon MALT lymphoma. The two cases of gastric MALT lymphoma were diagnosed by endoscopy which demonstrated an ulcer in the cardia and another in the corpus. The first case is in a 62-year-old male. The patients medical history revealed upper GI tract bleeding with melaena in 1993. At the time no diagnosis was made on endoscopy In August 2000, melaena recurred and endoscopy showed an ulcer in the cardio. Histology showed high-grade gastric MALT lymphoma. Based on Ann Arbor classification, the patient was classified as stage IE gastrointestinal lymphoma. H. pylori was negative. The patient received chemotherapy The second case is in a 53-year-old male. He suffered from gastric lymphoma for 3 years. He complained of annually recurring haematemesis before a definitive diagnosis was finally established. He suffered jiom stage IE low-grade well-differentiated lymphocytic MALT lymphoma. H. pylori was negative. Endoscopic procedure after H. pylori eradication showed ulcer regression though histology still showed low-grade MALT lymphoma and H. pylori as positive. The third case is in a 46-year-old male with a complaint of haematochezia. Colonoscopy showed intususception due to tumor in the transverse colon. Histologic examination showed chronic colitis and granulomatosa. lnvagination due to colon tumor was reported. Histologic examination of the biopsy specimen showed low-grade small cell lymphocyte-plasmocytoid lymphoma. "
Jakarta: The Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2001
IJGH-2-1-Apr 2001-36
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuyu Mulyati
"ABSTRAK
Frekuensi denyut jantung jantan dan betina rata-rata 88 denyut/menit (x̅ = 88 denyut/menit), pada suhu kamar (x̅ = 25,97°C) dan kelembaban udara (x̅ = 62,17%). Berat badan jantan (x̅ = 50,32 gram) dan betina (x̅ = 68,747 gram). Jumlah eritrosit jantan (x̅ = 604.333 sel/mm3 darah) dan betina (x̅ = 571.633 sel/mm darah). Kadar hematokrit jantan (x̅ = 35,77$) dan betina (x̅ = 30,97^). Kadar hemoglobin jantan (x̅ = 15,27 gram/100 ml darah) dan betina (x̅ = 12,95 gram/100 ml darah).
Jumlah leukosit jantan (x̅ = 16.900 sel/mm darah) dan betina (x̅ = 14.283 sel/mm darah). Jumlah trombosit jantan (x̅ = 13 sel/40 lapangan penglihatan) dan betina (x̅ = 14 sel/40 lapangan penglihatan). Jumlah eritroplastid jantan (x̅ = 0,005% dari eritrosit) dan betina (x̅ = 0,028^ dari eritrosit). Limfosit merupakan jenis leukosit yang terbanyak jumlahnya. urutan berikutnya adalah heterofil, monosit, eosinofil dan basofil. Berdasarkan hasil analisis dengan uji korelasi jenjang Spearman pada α= 0,05, tidak terdapat korelasi antara berat badan dengan frekuensi denyut jantung, jumlah eritrosit, nilai hematokrit serta kadar hemoglobin pada B. melanostictus Schneider. Analisis dengan uji Mann-whitney pada α = 0,05, diperoleh frekuensi denyut jantung dan jumlah eritrosit pada B. melanostictus jantan tidak berbeda denqan betina. Sedangkan nilai hematokrit dan kadar hemoglobin jantan berbeda dengan betina."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firly Mariani
"Obat herbal atau jamu banyak digunakan masyarakat sebagai pengobatan alternatif yang bersifat empiris, satu diantaranya adalah untuk pengobatan asam urat. Penggunaan obat herbal untuk pemeliharaan kesehatan perlu didukung dengan pengujian ilmiah untuk menjamin keamanan penggunaannya, yaitu dengan mengamati gejala toksik yang mungkin terjadi pada hewan uji dengan penggunaan dalam jangka waktu yang lama. Pada penelitian ini jamu teh celup asam urat diberikan setiap hari secara oral selama 90 hari untuk mengetahui pengaruh hematologis dan histologis tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Tikus dibagi dalam tiga kelompok dosis uji yaitu berturut-turut 1800, 3600, 7200 mg/kg bb dan satu kelompok kontrol dan masing-masing terdiri atas 10 ekor tikus. Pemeriksaan jumlah sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan kadar hemoglobin dilakukan pada hari ke-0,45, dan 91 sedangkan pembedahan organ paru untuk pemeriksaan histologi dilakukan pada hari ke-91. Penilaian hematologis dapat dilihat dari uji statistik (ANAVA) 1 arah, sedangkan penilaian kondisi paru didasarkan hasil pengamatan secara mikroskopik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian sediaan jamu tidak berpengaruh terhadap hematologi (p > 0,05) dan histologi paru.
Many people in Indonesia using herbal or Traditional medicine as an empirical alternative medication, one of them is for hyperuricemia therapy. The use of herbal medicine for maintaining need support by scientific research to ensure the safety, among others by conducting a toxicity testing to observe whether toxic symptom occurred in a long period usage in experimental animal. In this research a herbal tea for curing hyperuricemia was given orally for 90 days to observe the influence on hematology and lung histology of the male albino rats Sprague Dawley. The experimental rats were divided into three group of dosages viz 1800, 3600, and 7200 mg/kg body weight and one group of control. Each group consisting of 10 mice. The measuring of hemoglobin concentration and enumeration the number of red blood cells, white blood cells, and platelet were carried out on day-0, day-45th, and day-91st, while histology examination of the lung was done on day-91st. The hematological assessment could be seen from One Way ANOVA statistic test, whereas the lung condition assessment based on the result from microscopic observation. The experimental result showed that there was no sign of influence in experimental rats hematology (p>0,05) and lung histology."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Identifikasi petanda permukaan sel yang dikenal sebagai kelompok antigen diferensiasi (clusters of differentiation antigens, CD) dapat digunakan untuk mengklasifikasi dan subklasifikasi leukemia. Walaupun antigen yang sama juga diekspresikan pada permukaan sel normal, fenotip pada permukaan sel ganas pada umumnya diekspresikan secara abnormal dan seringkali diekspresikan asinkron atau dalam kombinasi yang tidak lazim dijumpai pada sel-sel darah atau sumsum tulang normal. Ekspresi antigen secara abnormal ini dihubungkan dengan respons terapeutik yang buruk dan ketahanan hidup yang pendek. Penentuan petanda permukaan sebagai pelengkap pemeriksaan morfologi dan sitokimia dapat meningkatkan kemampuan untuk menentukan karakteristik keganasan hematologi. Dalam makalah ini akan dibahas tinjauan pustaka mengenai makna diagnostik pemeriksaan imunofenotip pada leukemia disertai ilustrasi pengalaman pemeriksaan ini di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Data dari 225 pasien yang telah mengalami pemeriksaan hematologi lengkap termasuk morfologi, sitokimia dan pemeriksaan imunofenotip dikumpulkan antara tahun 1994-2001 dan dianalisis. Berdasarkan pemerikssan morfologi dan sitokimia diagnosis leukemia mielositik akut (AML) dan leukemia limfositik akut (ALL) ditegakkan masing-masing pada 51,1% dan 48,9% pasien. Berdasarkan pemeriksaan imunofenotip AML dijumpai pada 49,0%, sedangkan ALL dapat dikelompokkan dalam 4,9% pre-B ALL, 18,7% B-ALL dan 14,7% T-ALL. Jumlah kasus yang menunjukkan antigen dengan kombinasi tidak lazim atau “cross lineage” dijumpai pada 12,7%. Makna prognostik kasus dengan ekspresi antigen abnormal ini masih harus ditelaah, tetapi sebagian dari kasus tersebut ternyata memberikan respons yang kurang baik terhadap terapi. Pemeriksaan imunofenotip merupakan sarana untuk : 1) membedakan klon leukemik dari klon normal; 2) menentukan jalur perkembangan /asal-usul dan maturasi sel ; 3) mengidentifikasi ekspresi abnormal dari antigen permukaan; 4) mendapatkan informasi lebih banyak yang diperlukan untuk menentukan diagnosis dan prognosis leukemia dibanding metode baku. (Med J Indones 2004; 13: 195-202)

The identification of cell surface markers, defined as clusters of differentiation antigens (CD’s) could be used to classify and sub-classify leukemia. Although the same antigens are expressed on normal cells, the phenotype on malignant cells are aberrantly and frequently asynchronously expressed and may be present in combinations not observed in normal blood or bone marrow. Aberrant expression of surface antigens corresponds with poor therapeutic response and short survival. Additional surface marker analysis complementary to morphologic evaluation and cytochemical staining has greatly improved our ability to characterize hematologic malignancies. A review and illustration on the diagnostic significance of immunophenotyping in leukemia will be presented. Data from 225 patients having complete assessments including morphology, cytochemistry and immunophenotyping in the period of 1994-2001 were collected and analyzed. Based on morphologic evaluation and cytochemistry, the diagnosis of acute myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia were established in 51,1% and 48,9% of cases, respectively. Based on immunophenotyping AML was found in 49,0% of the cases. ALL could be classified into 4,9% pre-B-ALL, 18,7% B-ALL, and 14,7% T-ALL. Cases expressing cross-lineage antigens were found in 12,7%. The prognostic significance of these aberrant expression of antigens for those cases has yet to be established but some of the cases responded poorly to therapy. Immunophenotyping provides the tool to: 1) distinguish normal from clonal populations of leukemic cells; 2) define lineage and reveal the stage of maturation; 3) identify inappropriate expression of lineage associated antigens; 4) provides more informations to establish diagnosis and prognosis compared to standard methods. (Med J Indones 2004; 13: 195-202)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 195-202, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-195
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Purwanto
"Sistim laboratorium untuk analisis kromosom ataupun deteksi fusi gen secara umum masih kurang berkembang di Indonesia. Karena itu, metoda analisis morfologis sumsum tulang perlu dikembangkan dan diaplikasikan untuk diagnostik semaksimal mungkin. Untuk itu, kami melakukan analisis morfologis dari sediaan sumsum tulang delapan (8) kasus leukemia mieloblastik akut (LMA) dengan translokasi (8;21)(q22;q22) untuk menentukan kemungkinan prediksi t(8;21)(q22;q22) atau fusi gen AML-ETO(MTG8) pada LMA. Kesemua kasus merupakan kasus AML-M2. Kami menemukan bahwa ciri khas morfologis yang mengindikasikan adanya t(8;21) dan membedakannya dengan kasus AML-M2 tanpa t(8;21) adalah susbtansi sitoplasma kemerahan pada netrofil (75%), mielosit netrofilik atau metamielosit tanpa granula atau dengan sedikit granula (2,3%), eosinofilia (mielosit dan metamielosit eosinofilik) (>5%), mielosit dengan banyak granula (8.5%), dan blast tipe I dalam persentase rendah (<10%). Ciri khas ini tidak terdapat pada kasus M2 tanpa t(8;21) atau AML1-ETO(MTG8). Adanya mielosit dengan banyak granula yang kami laporkan ini belum pernah dilaporkan sebelumnya. Ciri khas lainnya sangat sesuai dengan yang dilaporkan sebelumnya oleh Nakamura et al. (Med J Indones 2007; 16:84-8).

The laboratory systems for chromosomal analysis or the detection of fusion genes are generally not available in Indonesia. Therefore, bone marrow (BM) morphological analysis should be developed and applied to get an accurate diagnosis. In this study the BM smears of eight (8) cases of acute myeloblastic leukemia (AML) which had already been known to have t(8;21)(q22;q22), were morphologically evaluated in order to find out the characteristics, which might be used to predict t(8;21)(q22;q22) or the presence of AML1-ETO(MTG8) fusion gene. All of the cases belonged to AML-M2. The morphological characteristics, indicative of t(8;21) were pink colored cytoplasm in mature neutrophil (75%), neutrophilic myelocytes or metamyelocytes without granules or with scarce granules (2.3%), eosinophilia (eosinophilic myelocytes and metamyelocytes) (above 5%), myelocytes with abundant granules 8.5%, and low percentage of type I blasts (below 10%). These characteristics were not observed in AML-M2 cases without t(8;21) or AML1-ETO(MTG8). The myelocytes with abundant granules have not been described so far, while other characteristics were in line with the findings of Nakamura et al (Leukemia 1997;11:651-55). (Med J Indones 2007; 16:84-8)."
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-84
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Setiowati
"ini membahas tentang Pengaruh Gangguan Psikososial pada Pasien Leukemia Yang Menjalani Kemoterapi terhadap Ketahanan Hidup Pasien Leukemia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Kanker “Dharmais”. Data didapatkan dari data Rekam Medis dan Observasi penilaian Asuhan Keperawatan pasien Leukemia Acute di RS. Kanker “Dharmais” yang didiagnosa tahun 2007 – 2012, data yang diambil adalah data sejak pertama pasien didiagnosa hingga pengamatan berakhir Mei 2012. Dari 136 pasien didapatkan median lama ketahanan hidup pasien leukimia adalah 25 bulan dengan standar deviasi 22,11 bulan, CI 95% (27,05 - 34,55), yang mengalami gangguan psikososial median lama ketahanan hidup 47 bulan CI 95% (37,57-56,43), umur ≤ 40 tahun median lama ketahanan hidup 53 bulan CI 95% (37,47-68,53), jenis kelamin perempuan 47 bulan CI 95% (27,99-66), Tidak relaps 74 bulan CI 95% (67,36-80,64), Remisi 47 bulan CI 95% (34,06-59,94), jenis leukemia AML 47 bulan CI 95% (35,87-58,13), Kelengkapan pengobatan 53 bulan CI 95% (36,07-69,93) dan asuhan keperawatan kurang baik 56 bulan CI 95% (39,59-72,41). Pada analisa multivariat didapatkan variabel yang berpengaruh terhadap ketahanan hidup adalah jenis kelamin, relaps dan remisi.

This thesis discusses the influence of Psychosocial Disorders in patients of Leukemia Undergoing Chemotherapy for Leukemia Patient Survival Inpatient “Dharmais” Cancer Hospital. Data obtained from Medical Record and Observation of patient assessment nursing care of Acute Leukemia in the hospital which was diagnosed in 2007 - 2012, is data since the first patients were diagnosed up to the observation expires May 2012. Of the 136 patients had a median survival time of patients of Leukemia Acute is 25 months with SD 22,11months, CI 95% (27,05-34,55), psychosocial disorders 48 months CI 95% (37,57-56,43), age ≤ 40 years old CI 95% ((37,47-68,5), no relaps 74 months CI 95% ((67,36-80,64), Remission 47 months CI 95% (34,06-59,94), a type of leukemia AML CI 95% ((35,87-58,13), completeness treatment 53 months CI 95% (36,07-69,93) dan nursing care less well 56 bulan CI 95% (39,59-72,41). On Multivariate analysis found is variables effect on survival gender, relaps, remission.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>