Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181413 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tania Daniela
"Dalam beberapa tahun terakhir, perawatan yang ditawarkan oleh klinik estetika seperti injeksi DNA salmon semakin populer. Bahan DNA salmon diklaim memiliki fungsi anti-aging dengan membuat kulit lebih kencang dan mengatasi hiperpigmentasi di kulit. Dokter dalam hal ini berperan penting sebagai pihak pemberi layanan di klinik estetika. Injeksi DNA salmon yang merupakan pelayanan estetika medis awamnya dinilai hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Sebab, dokter spesialis dermatologi dan venereologi menempuh pendidikan spesialis tambahan. Kurikulum pendidikannya juga mencakup metode seperti subsisi, elevasi, microneedling yang biasa digunakan dalam estetika medis. Meskipun begitu, dokter umum juga dapat menangani permasalahan kulit. Ketika menempuh pendidikan dokter, dokter umum juga diwajibkan menguasai kurikulum kulit. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tidak terdapat batasan bagi dokter umum dalam konteks pelayanan injeksi DNA salmon. Sedangkan bagi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, terdapat Standar Kompetensi Dokter Dermatologi dan Venereologi Indonesia dengan area kompetensi yang lebih rinci yang berpengaruh ke kewenangan dokter spesialis dermatologi dan venereologi sebagai pemilik sertifikat kompetensi spesialis. Dalam peraturan perundang- undangan belum diatur secara jelas mengenai batasan kewenangan antara dokter umum dan dokter spesialis dalam pelayanan estetika medis. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan membahas mengenai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter dalam pelayanan injeksi DNA salmon. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kewenangan dokter umum dan spesialis masih bersinggungan ketika dihadapkan pada pelayanan estetika medis seperti injeksi DNA salmon. Batasan kompetensi dan kewenangan dokter dalam pelayanan estetika medis yang buram ini dapat dihindari dengan diaturnya mengenai estetika medis secara khusus.

In recent years, treatments offered by aesthetic clinics such as salmon DNA injections have become increasingly popular. The salmon DNA ingredient is claimed to have an anti-aging function by making the skin firmer and overcoming hyperpigmentation in the skin. The doctor in this case plays an important role as the service provider at the aesthetic clinic. Salmon DNA injection, which is a lay medical aesthetic service, is considered to only be performed by dermatologists. This is because dermatologists undergo additional specialist education. The education curriculum also includes methods such as subsection, elevation, microneedling which are commonly used in medical aesthetics. However, general practitioners can also treat skin problems. During their medical education, general practitioners are also required to master the skin curriculum. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, there are no restrictions for general practitioners in the context of salmon DNA injection services. As for dermatologists, there are Indonesian Dermatology and Venereology Physician Competency Standards with more detailed competency areas that affect the authority of dermatology and venereology specialists as owners of specialist competency certificates. The legislation has not clearly regulated the limits of authority between general practitioners and specialists in medical aesthetic services. By using the normative juridical research method, this research will discuss the competence and authority of doctors in salmon DNA injection services. From this research, it is found that the authority of general practitioners and dermatologists still intersect when faced with medical aesthetic services such as salmon DNA injection. The blurred boundaries of competence and authority of doctors in medical aesthetics services can be avoided by regulating medical aesthetics specifically."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Putri
"Dalam penelitian ini dikembangkan kolagen dan hidroksiapatit untuk rekayasa jaringan tulang dari limbah pengolahan ikan. Kolagen diekstraksi dari kulit salmon norway (Salmon salar) meggunakan metode Acid Soluble Collagen (ASC) sementara hidroksiapatit disintesis dari tulang ikan tuna dengan menggunakan metode kalsinasi pada suhu 600°C dan 800°C. Material dievaluasi untuk sifat fisika-kimia, kolagen dievaluasi dengan fourier transform infrared spectroscopy(FTIR), differential scanning calorimetry (DSC), dan scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX). Kolagen hasil ekstraksi memiliki morfologi dalam bentuk lembaran dengan yield 0,8%. Persentase karbon yang didapatkan dari kolagen yang diekstraksi adalah 47% dan termasuk dalam kelas standar, sementara persentase karbon/nitrogen yaitu 2,63% yang sedikit lebih rendah dari standar. Hidroksiapatit yang telah disintesis dievaluasi dengan fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX), dan X-ray diffraction (XRD). Hidroksiapatit yang diperoleh setelah proses kalsinasi menunjukkan struktur yang serupa yaitu kristal bubuk. HAp yang dikalsinasi pada suhu 600°C dan 800°C tidak memiliki pita sesempit HAp standar, namun lebih sempit daripada HAp yang dikalsinasi pada suhu 600°C. Rasio atom Ca/P HAp 600°C dan 800°C yaitu 2,15 dan 2,01 secara berurutan. Penelitian menunjukkan bahwa kolagen dari kulit salmon dan hidroksiapatit dari tulang tuna memiliki kualitas baik dan aplikasi luas dalam rekayasa jaringan tulang.

In this research, collagen and hydroxyapatite were developed for bone tissue engineering from fish processing waste. Collagen was extracted from the skin of Norwegian salmon (Salmon salar) using the Acid Soluble Collagen (ASC) method, while hydroxyapatite was synthesized from tuna bones using the calcination method at 600°C and 800°C. Materials were evaluated for physico-chemical properties, collagen was evaluated by fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), differential scanning calorimetry (DSC), and scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX). The synthesized hydroxyapatite was evaluated by fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX), and X-ray diffraction (XRD). Extracted collagen have a sheet looking morphology with yield of 0.8%. The percentage of carbon obtained from extracted collagen is 47%, while the percentage of carbon/nitrogen is 2.63% which is slightly lower than the standard. The hydroxyapatite obtained after the calcination process shows a similar structure which is powder crystals. HAp calcined at 600°C and 800°C did not have a band as narrow as standard HAp, although HAp calcined at 800°C had narrower bands than HAp calcined at 600°C. The atomic ratios of Ca/P HAp at 600°C and 800°C are 2.15 and 2.01 respectively. The research findings indicate that collagen from salmon skin and hydroxyapatite from tuna bones are expected to have broad applications in bone tissue engineering."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dania Rizky Nabilla Gumilar
"Dalam konteks pemberian layanan kesehatan, kekurangan tenaga medis, terutama dokter, di daerah terpencil dan kurang terlayani telah mengharuskan pendelegasian tanggung jawab medis tertentu kepada perawat. Praktik ini, meskipun penting untuk menyediakan perawatan kesehatan yang tepat waktu dan efektif, menimbulkan pertanyaan hukum yang rumit mengenai ruang lingkup wewenang, kewajiban, dan kerangka hukum keseluruhan perawat yang mengatur tindakan mereka. Penelitian ini membangun kembali konstruksi hukum Hukum Administrasi Negara dan Hukum Kesehatan mengenai pelimpahan wewenang tindakan medis, khususnya dalam konteks di daerah terpencil. Penelitian ini mengadopsi pendekatan doktrinal, memanfaatkan doktrin dan prinsip hukum dari Hukum Kesehatan untuk menganalisis konsep pelimpahan wewenang dokter kepada perawat di daerah terpencil. Doktrin hukum utama, seperti doktrin life-saving oleh van der Mijn dan prolonged arms doctrine oleh HJJ. Leenen, akan menjadi dasar untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelimpahan wewenang tindakan medis tersebut. Dengan mengeksplorasi konstruksi hukum seputar pelimpahan wewenang dokter kepada perawat, penelitian ini memberikan kerangka hukum untuk dapat dijadikan dasar penyusunan kebijakan hukum bagi perawat yang bertugas di daerah terpencil. Konstruksi hukum yang mengatur pelaksanaan pelimpahan wewenang dokter kepada perawat di daerah terpencil mempunyai peran penting dalam memastikan pemberian layanan kesehatan yang efektif. Penelitian ini berfokus dengan studi perawat di Puskesmas Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Faktor keterbatasan yang dihadapi oleh perawat di Kecamatan Seko menjadi bahan analisis utama untuk dapat menemukan konstruksi hukum yang sesuai dengan kondisi pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Hasil penelitian ini menunjukkan diperlukannya rekonstruksi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Kesehatan terhadap implementasi pelimpahan wewenang tindakan medik dokter kepada perawat atas adanya faktor keterbatasan di daerah terpencil untuk menunjukkan adanya kebutuhan perluasan peran Perawat dalam kondisi tertentu yang bertujuan untuk penyelamatan nyawa.

In the context of healthcare provision, the scarcity of medical personnel, particularly doctors, in remote and underserved areas has necessitated the delegation of specific medical responsibilities to nurses. This practice, vital for delivering timely and effective healthcare, raises intricate legal inquiries concerning the scope of authority, duties, and overarching legal framework regulating the actions of nurses. This research reconstructs the legal constructs of Administrative Law and Health Law regarding the delegation of medical authority, specifically within remote regions. Employing a doctrinal approach, it leverages legal doctrines and principles from Health Law to analyze the concept of delegating doctors' authority to nurses in remote areas. Key legal doctrines, such as the life-saving doctrine by van der Mijn and the prolonged arms doctrine by HJJ. Leenen, serve as foundations to establish a comprehensive understanding of the delegation of medical authority. By exploring the legal constructs surrounding the delegation of doctors' authority to nurses, this research provides a legal framework to serve as the basis for formulating legal policies for nurses operating in remote areas. The legal constructs governing the implementation of delegating doctors' authority to nurses in remote areas play a crucial role in ensuring the provision of effective healthcare. This research focuses on studying nurses at the Seko Sub-district Health Center in North Luwu Regency, South Sulawesi. The limiting factors faced by nurses in Seko Sub-district serve as the primary analytical material to discern legal constructs suitable for the healthcare conditions in remote areas. The findings of this study underscore the necessity for a reconstruction of Administrative Law and Health Law concerning the implementation of delegating doctors' medical authority to nurses due to limiting factors in remote areas, demonstrating the need for expanding the role of nurses in specific circumstances aimed at preserving lives."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Widi Ramadanang
"Self-Medication atau swamedikasi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan yang saat ini banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan Dunia. Self-Medication atau swamedikasi sendiri merupakan kegiatan pengobatan diri sendiri yang didasarkan pada pengetahuan individu yang diperoleh dari berbagai sumber tanpa adanya konsultasi dengan dokter. Self-Medication atau swamedikasi diawali dengan self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri yang berdasarkan pada sumber non tenaga medis atau tidak berdasarkan pada diagnosis yang dilakukan oleh dokter. Setelah melakukan self-diagnose dan sudah mengetahui perkiraan penyakit yang dialami, selanjutnya pelaku self-Medication atau swamedikasi akan membeli obat untuk penyakit tersebut di toko obat ataupun apotek. Apoteker memiliki peran penting dalam melayani Self-Medication atau swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat di apotek. Dalam pelayanan Self-Medication atau swamedikasi di apotek, apoteker harus terlebih dahulu mengetahui penyakit apa yang diderita oleh pelaku swamedikasi. hal tersebut dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada pelaku swamedikasi di apotek. Proses untuk mengetahui penyakit yang diderita tersebut terlihat seperti diagnosis yang dilakukan oleh dokter dan merupakan wewenang dari dokter. Dalam peraturan perundang-undangan belum disebutkan secara jelas mengenai wewenang apoteker dalam melakukan wawancara kepada pelaku swamedikasi yang bertujuan untuk mengetahui penyakit yang dialami oleh pelaku swamedikasi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini akan membahas mengenai wewenang apoteker untuk memberikan obat dan diagnosis kepada pasien atau pelaku swamedikasi di apotek dilihat dari peraturan perundang-undangan hukum kesehatan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa wewenang apoteker dalam hal melakukan wawancara untuk menentukan penyakit yang dialami oleh pelaku swamedikasi diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan namun terbatas pada penyakit-penyakit ringan yang dapat diobati dengan obat golongan bebas dan bebas terbatas.

Self-medication is a prevalent practice in Indonesia and worldwide, where individuals diagnose and treat themselves based on their own knowledge without consulting to a doctor. This process begins with self-diagnosis, using non-medical sources rather than a doctor's diagnosis. After self-diagnosing, individuals proceed to purchase medicines for their perceived ailment from pharmacies. Pharmacists play a crucial role in facilitating self-medication by providing assistance to customers in pharmacies. They engage in interviews with individuals to determine their medical condition, resembling a doctor's diagnosis, although the legal framework does not clearly define the authority of pharmacists in conducting these interviews. Through normative juridical research, this study aims to explore the authority of pharmacists to provide medications and diagnoses to self-medication actors in pharmacies within the context of health law legislation. The findings reveal that pharmacists are permitted by the legislation to conduct interviews to identify the illnesses experienced by self-medication actors. However, this authority is limited to minor ailments that can be treated with over-the-counter and limited over-the-counter drugs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djati Kerami
"Beberapa tahun terakhir ini, Support Vector Machine (SVM) telah populer digunakan sebagai model machine learning. Hal ini terutama karena SVM dapat dianalisis secara teoritis, dan secara bersamaan dianggap memberikan kinerja yang lebih baik daripada model machine learning yang biasa digunakan sebelumnya. Pada makalah ini dibahas pendekatan matematis model SVM dalam memecahkan masalah pengenalan pola. Selanjutnya dibahas pula penggunaan model tersebut berupa kajian awal penentuan jenis splice site pada suatu barisan DNA terutama dari segi kemampuan generalisasi atau tingkat keakuratannya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan generalisasi SVM sangat baik yaitu sekitar 95.4 %.

Study on Generalization Capability of Support Vector Machine in Splice Site Type Recognition of DNA Sequence. Recently, support vector machine has become a popular model as machine learning. A particular advantage of SVM over other machine learning is that it can be analyzed theoretically and at same time can achieve a good performance when applied to real problems. This paper will describe analytically the using of SVM to solve pattern recognition problem with a preliminary case study in determining the type of splice site on the DNA sequence, particularity on the generalization capability. The result obtained show that SVM has a good generalization capability of around 95.4 %."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli Muljono
"ABSTRAK
Salah satu cara untuk mengekstraksi DNA Brugia malayi adalah menggunakan kit yang lebih sederhana dan lebih cepat dibandingkan dengan teknik ekstraksi fenol,
Pada 15 ekor cacing dewasa B.malayi hasil pembiakan dalam gerbil dilakukan ekstraksi DNA dengan menggunakan kit dan metode ekstraksi fenol yang lebih rumit. Pada teknik ekstraksi dengan kit ternyata tidak diperoleh DNA, sedangkan pada ekstraksi fenol diperoleh DNA sejumlah 100 µg/ml yang terlihat sebagai pita 322 bp pada elektroforesis.
Disimpulkan bahwa teknik ekstraksi fenol lebih bailk hasilnya dibandingkan dengan kit karena pemakaian fenol yang lebih sering sehingga lebih banyak DNA yang dapat terekstraksi.

ABSTRACT
Comparison Of DNA Extraction Result from Brugia malayi by using Kit and by using Phenol Extraction Method
One of several ways to extract the Brugia malayi DNA is to use a kit which is more simple and take a shorter time compared to the phenol extraction technique.
DNA extraction by using kit and by using phenol extraction method were done on 15 adult worms of B. malayi which had been cultured in gerbil.
No DNA was extracted by using the kit; whereas 100 µg/ml DNA was obtained by using phenol extraction method. The DNA was seen as a 322 bp band on electrophoresis.
It was concluded that the phenol extraction method result was superior to the result of extraction by using kit, because by using phenol more frequently more DNA would be extracted.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotunisa
"Kemajuan pada bidang bioteknologi saat ini telah banyak memanfaatkan protein dan peptida sebagai agen terapeutik untuk berbagai macam penyakit. Salah satu protein peptida terapeutik yaitu kalsitonin salmon yang digunakan untuk mengobati hiperkalsemia pada penderita hiperparatiroid. Namun, dalam penghantarannya kalsitonin salmon masih memiliki kekurangan, seperti mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan saat diberikan secara peroral dan ketidaknyamanan saat menggunakan kalsitonin injeksi maupun intranasal. Penghantaran transdermal menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghantarkan kalsitonin salmon secara efektif. Pada penghantaran transdermal, kalsitonin salmon memiliki hambatan penetrasi seperti bobot molekul yang besar dan sifatnya yang hidrofilik, sehingga diperlukan formula yang tepat untuk menghantarkan kalsitonin salmon melalui rute transdermal seperti memformulasikannya dalam pembawa Nanostructured Lipid Carrier (NLC). Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan sediaan transdermal kalsitonin dalam pembawa NLC yang dapat meningkatkan penetrasi kalsitonin dan memenuhi persyaratan stabilitas. Enam formula NLC (F1-F6) dibuat dengan metode emulsi ganda dengan penguapan. Formula dikarakterisasi pada ukuran partikel, indeks polidispersitas, zeta potensial, efisiensi penjerapan, dan morfologi partikel. Kemudian, NLC kalsitonin salmon diformulasikan dalam pembawa emulgel. Emulgel NLC kalsitonin salmon dilakukan uji penetrasi in vitro dan studi stabilitas. Hasil penelitian ini menunjukan formula NLC rasio 75:25 lipid padat dan lipid cair dengan konsentrasi kalsitonin salmon 0,04% (F3) merupakan formula optimal, dengan karakteristik ukuran partikel 135,6 nm, indeks polidispersitas 0,1, potensial zeta 34,7 mV, efisiensi penjerapan 99,6%, dan morfologi menunjukkan vesikel berbentuk speris. Berdasarkan hasil uji penetrasi, emulgel NLC kalsitonin menghasilkan peningkatan lima kali lipat dibandingkan dengan emulgel kalsitonin non-NLC. Selain itu, studi stabilitas menggambarkan kadar kalsitonin setelah enam bulan masing-masing 46,09-68,59% dan 43,45-60,59% pada kondisi penyimpanan 5º±3ºC dan 25º±2ºC dengan kelembaban relatif 60%±5%.

Currently advances in biotechnology has been using proteins and peptides as therapeutic agents. One of therapeutics protein peptide is salmon calcitonin that is used to treat hypercalcemia in hyperparathyroid. However, calcitonin still has limitations in its delivery, such as being easily degraded by digestive enzymes when using perorally, and causing discomfort when using injectable or intranasal. Transdermal delivery is one of the alternative methods that can effectively deliver salmon calcitonin. In transdermal delivery, salmon calcitonin has obstacles to penetration such as hydrophilic and large molecular weight, thus an appropriate formula is needed to deliver through the transdermal route such as formulating in a Nanostructured Lipid Carrier (NLC) carrier system. The aim of this study was to produce calcitonin transdermal in NLC system that can increase the penetration and met the stability requirements. Six formulas of calcitonin NLC were prepared by the double emulsion-evaporation method, then all formulas were characterized in terms of particle size, polydispersity index, zeta potential, entrapment efficiency, and morphology. Salmon Calcitonin NLC were then formulated into NLC-based emulgel. Further, in vitro penetration and stability of NLC calcitonin emulgel studies were conducted. The result showed that formula NLC using 75:25 ratio of solid lipid to liquid lipid with 0.04% drug concentration (F3) was optimal, with a particle size of 135.6 nm, an polydispersity index 0.1, the zeta potential of -34.7 mV, entrapment efficiency of 99.6%, and spherical vesicle morphology. According to the percutaneous penetration study, the NLC salmon calcitonin emulgel resulted in a fivefold enhancement compared to the non-NLC salmon calcitonin emulgel. Moreover, the stability study illustrated salmon calcitonin levels after six months were 46.09-60.95% and 43.45-68.59% at storage conditions of 5º±3ºC and 25º±2ºC with relative humidity 60%±5%, respectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"A rapid and simple to amplify genomic DNA sequences nanking mini-Tn5 transposon insertion was developed....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rifdah Ufairotul Widaad
"Profesi perawat maternitas dan bidan memiliki beberapa persamaan terkait kewenangan asuhan pelayanan kesehatan oleh perawat maternitas dan bidan dalam penyelenggaraan proses persalinan di suatu rumah sakit. Kondisi demikian dijumpai di RSUD Banyumas. Dalam skripsi ini permasalahan utama yang diangkat adalah bagaimana perbandingan kompetensi dan kewenangan perawat maternitas dan bidan serta pengaturannya di suatu rumah sakit yang dalam hal ini adalah Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas (RSUD Banyumas). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian bersifat deskriptif. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pengaturan terkait kompetensi dan kewenangan perawat maternitas ada pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dan Lampiran I Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit Khusus sementara untuk bidan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Selain itu, rumah sakit (RSUD Banyumas) bertanggung jawab dalam pengaturan terkait kewenangan klinis (clinical previlege) antara perawat maternitas dan bidan yang dianalisis berdasarkan proses kredensial dan rekredensial. Kementerian Kesehatan, RSUD Banyumas, IBI, dan PPNI seharusnya mengadakan sosialisasi terkait pengaturan kompetensi dan kewenangan perawat maternitas dan bidan di suatu rumah sakit.

Maternity nurses and midwives profession have some similarities related to the authority of maternity nurses and midwives in the delivery of health care services escpecially maternity services in a hospital. This condition was found in Banyumas General Hospital. 
The main problem in this study is about comparison of competencies and authority of maternity nurses and midwives that are analyzed based on health law and studies at the Banyumas Regional General Hospital.
This study is a normative legal study with a descriptive type of study.
The conclusion of this study is the regulation about competencies and authority of maternity nurses are regulated in Act No. 38 of 2014 about Nursing and Attachment I of the Minister of Health Regulation No. 10 of 2015 about Standard Nursing Services in Special Hospitals while for midwives regulated in Act No. 4 of 2019 about Midwifery and Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia No. 28 of 2017 about Permits and Implementation of Practices. 
In addition, hospitals (Banyumas General Hospital) have responsibilities related to clinical previlege between maternity nurses and midwives which is analyzed based on the credential and recrendential process.
The Ministry of Health, Banyumas General Hospital, IBI, and PPNI should have a socialization related to the competence and authority of maternity nurses and midwives in a hospital.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Sherli Apriyana
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perluasan kewenangan Bidan terkait masalah persalinan. Pokok permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab seorang Bidan berdasarkan perbuatan melawan hukum apabila terjadi suatu perbuatan yang dikarenakan adanya penyimpangan perluasan kewenangan Bidan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridisnormatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Dapat disimpulkan bahwa bentuk pertanggungjawaban dari seorang Bidan dapat dilihat dari tanggungjawab Bidan yang dilanggar, kemudian Bidan karena kesalahannya dapat dimintakan ganti kerugian.

ABSTRACT
This undergraduate thesis discusses about expansion of Midwives authority on issues related to childbirth. The subject matter in this research is how the responsibility of a midwife based on an unlawful act in case of an act that is due to the irregularities expansion of the Midwives authority. This research is a juridical-normative by using descriptive-analytical method. It can be concluded that the form of responsibility from a midwife can be viewed from the responsibility were violated, and then because of the mistake, the midwife may apply for compensation.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>