Ditemukan 163813 dokumen yang sesuai dengan query
Anggita Azzahra
"Pelindungan data pribadi (PDP) merupakan salah satu bentuk dari pemenuhan hak atas privasi. Maka dari itu, PDP harus dipastikan pemenuhannya dalam seluruh sektor di Indonesia, termasuk sektor pasar modal. Sektor pasar modal memainkan peran penting dalam kemajuan perekonomian Indonesia. Maka dari itu, segala kegiatan yang mendukung penyelenggaraan pasar modal, termasuk kegiatan CDD dan EDD, harus dipastikan efektivitasnya. Pada akhir tahun 2023, OJK meresmikan LAPMN melalui penerbitan POJK No. 15 Tahun 2023 sebagai infrastruktur pengadministrasian data CDD dan EDD secara tersentralisasi. Sentralisasi data melalui LAPMN memang dapat meningkatkan keefektivitasan pemanfaatan ruang siber dan menyederhanakan proses CDD dan EDD. Akan tetapi, kegiatan ini juga semakin memperbesar potensi terjadinya pelanggaraan PDP. Oleh karena itu, penyelenggaraan LAPMN harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip PDP. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji penerapan PDP dalam penyelenggaraan LAPMN di pasar modal Indonesia. Rumusan masalah yang diangkat penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan hasil penelitian menyarankan diperlukannya pengesahan peraturan pelaksana pelindungan data pribadi yang memuat beberapa ketentuan tambahan tertentu, serta rekomendasi penambahan ketentuan terkait PDP dalam penyelenggaraan LAPMN di Indonesia.
Personal data protection (PDP) is one form of fulfillment of the right to privacy. Therefore, PDP must be ensured in all sectors in Indonesia, including the capital market sector. The capital market sector plays an important role in the acceleration of the Indonesian economy. Therefore, all activities that support the implementation of the capital market, including CDD and EDD activities, must be ensured for their effectiveness. At the end of 2023, OJK inaugurated LAPMN through the issuance of POJK No. 15 of 2023 as an infrastructure for centralized administration of CDD and EDD data. Centralizing data through LAPMN can indeed increase the effectiveness of cyberspace utilization and simplify the CDD and EDD process. However, it also increases the potential for PDP violations. Therefore, the implementation of LAPMN must be in accordance with PDP principles. This study aims to examine the application of PDP in the implementation of LAPMN in the Indonesian capital market. The research is conducted qualitatively, and the results of the research suggest the need for the ratification of implementing regulations for the protection of personal data which contain certain additional provisions, as well as recommendations for the addition of provisions related to PDP in the implementation of LAPMN in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Eleonore Shalomita Hana
"Dalam era teknologi yang berkembang pesat, risiko pelanggaran privasi meningkat secara signifikan. Penggunaan luas teknologi informasi dan pengumpulan data pribadi menghadirkan ancaman terhadap individu dan organisasi. Perkembangan teknologi, terutama Artificial Intelligence (AI), memberikan tantangan baru dalam menjaga privasi karena banyaknya data pribadi yang terkumpul dan berpotensi disalahgunakan. Perangkat smart home berbasis Internet of Things (IoT) semakin populer, dengan perkiraan pemilik ekosistem smart home di Indonesia mencapai 14.4 juta pada 2026. Namun, peningkatan penggunaan perangkat ini juga berhubungan dengan lonjakan kasus pelanggaran data sebesar 200% dalam lima tahun terakhir. Setiap individu memiliki hak atas perlindungan privasi, tetapi terdapat kebingungan mengenai pertanggungjawaban atas pelanggaran data. Hal ini terkait dengan prinsip household exemption dalam regulasi, yang mengesampingkan pemrosesan data pribadi untuk aktivitas rumah tangga. Skripsi ini akan mengkaji pertanggungjawaban pengendali data pribadi, terutama oleh produsen dan pemilik rumah sebagai joint controller, terkait kebocoran data dari perangkat smart home berbasis IoT dengan mempertimbangkan prinsip household exemption. Penelitian ini akan membandingkan regulasi perlindungan data pribadi di Indonesia dan Uni Eropa serta menggunakan pendekatan yuridis normatif dan studi komparatif. Melalui pembelajaran dari Uni Eropa, regulator, pengendali data pribadi, dan lembaga otoritas perlindungan data di Indonesia dapat mengambil langkah untuk memperkuat perlindungan data pribadi, termasuk klarifikasi tentang pertanggungjawaban pengendali data bersama di masa depan.
In a tech-driven era, rising risks primarily include privacy breaches for individuals and organizations due to extensive technology use and personal data collection. Swift technological advancements pose new challenges in safeguarding privacy, with vast amounts of personal data susceptible to misuse by unauthorized entities. Artificial Intelligence (AI) stands as a swiftly evolving technology impacting various aspects of human life, notably in home settings. The market already features diverse Internet of Things (IoT)-based smart home devices, expected to reach 14.4 million owners in Indonesia by 2026, encompassing popular gadgets like smart lighting, security, and thermostats. However, these advancements correlate with a 200% surge in data breach incidents over the past five years. Every individual deserves personal protection, yet confusion persists regarding liability for data breaches. Regulations like the Personal Data Protection Act and the General Data Protection Regulation exclude household data processing from their scope, termed the household exemption principle. This thesis will explore the responsibility of data controllers, particularly producers and homeowners as joint controllers, when personal data leaks from IoT-based smart home devices while considering the household exemption principle. It will compare Indonesian data protection regulations with the European Union's standards and employ normative juridical approaches and comparative studies. Learning from the EU's practices, future steps by regulators, data controllers, and protection authorities can enhance Indonesia's data protection landscape, particularly in clarifying joint data controller responsibilities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ade Ichsan Rusdy
"Pada Oktober 2022 lalu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi diundangkan. Indonesia akhirnya memiliki pengaturan pelindungan data pribadi komprehensif. Salah satu ketentuan yang termuat dalam undang-undang ini adalah pengecualian terhadap kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara. Namun, pengaturan pengecualian dalam ketentuan tersebut tidak spesifik batasannya. Adanya ketentuan pengecualian tersebut dan kegiatan pemrosesan data yang dilakukan oleh sektor publik yang berkaitan dengan ketentuan pengecualian tersebut menimbulkan kebutuhan untuk meneliti pengaturan tersebut dan membandingkannya dengan negara yang memiliki pengaturan pelindungan data pribadi komprehensif, dalam hal ini Inggris. Skripsi ini mencoba untuk menjawab dua pokok permasalahan. Pertama, bagaimana perbandingan pengaturan pengecualian pemrosesan data pribadi untuk kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara di Indonesia dan Inggris? Kedua, bagaimana pengaturan pelindungan data pribadi Indonesia dan Inggris menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan pemrosesan untuk kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara yang mendapatkan pengecualian? Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perbandingan hukum melalui bahan-bahan hukum yang didapatkan melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pada kedua rezim pengaturan dalam mengatur pengecualian untuk kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara terhadap pengertian kepentingan umum itu sendiri dan terhadap batasan dan kriteria yang perlu dipenuhi untuk dikecualikan dari ketentuan pelindungan data pribadi. Selain itu, perbedaan pengaturan tersebut menunjukkan adanya perbedaan pendekatan dalam menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan pemrosesan sebagaimana rezim pengaturan Inggris mengedepankan pemenuhan prinsip keperluan dan keseimbangan sebagai prinsip yang harus dipenuhi dalam membatasi hak individu atas privasi dan pelindungan data pribadi. Pengaturan Indonesia perlu memiliki sarana pelindungan (safeguard) serupa pada ketentuan pengecualian supaya dapat tetap melindungi hak individu, sementara memungkinkan pemrosesan tetap dilakukan dan dikecualikan dengan batasannya melalui peraturan pemerintah pelaksana atau peraturan dan pedoman lembaga penyelenggara pelindungan data pribadi. Penelitian lebih lanjut diperlukan mengingat keterbatasan sumber terkait pembahasan rancangan undang-undang dan adanya upaya pemerintah untuk menetapkan peraturan pemerintah pelaksana Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.
In October 2022, Law Number 27 of 2022 on Personal Data Protection was enacted. Indonesia thus finally has a comprehensive personal data protection law. One of the provisions in this law is the exemption in the public interest of administration of the state. However, the exemption rule in the provision is not clearly defined. The existence of the exemption provision and the data processing activities carried out by the public sector associated with the exemption raises the need to analyze the provision and compare it with other legal regime that has a comprehensive personal data protection law, in this case the UK. This bachelor’s thesis attempts to answer two main questions. Firstly, how exemption rules for the public interest of administration of the state in Indonesia compare with the UK? Secondly, how do the Indonesian and UK personal data protection laws balance individual interest and public interest? To answer these questions, the study uses normative legal research method with comparative legal approach using legal research materials acquired through literature review. The study finds that there are differences between the two legal regimes in setting out exemption in the public interest of administration of the state regarding the definition of the public interest itself and to the limitations and criteria that need to be met in order to be exempted from personal data protection provisions. Furthermore, the differences also show a different approach in balancing individual interests and processing interests as the UK legal regime maintains compliance with necessity and proportionality principles in limiting individual rights to privacy and personal data protection. The Indonesian data protection regime needs to have similar safeguards in its exemption provisions to ensure the highest protection of individual rights while still allowing processing to be carried out and exempted with certain limitations either through the implementing government regulation or through sets of regulations and guidelines issued by the data protection authority. Further research is needed considering the limited sources related to the discussion of the bill in parliament and the government’s upcoming implementing government regulation of the Personal Data Protection Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Maula Yusuf Ibrahim
"Transfer data pribadi merupakan salah satu bentuk dari pemrosesan data pribadi berupa perpindahan, pengiriman, atau penggandaan data pribadi. Terdapat tantangan dalam pelaksanaan transfer ini berkenaan dengan ketiadaan standar global mengenai pelindungan data pribadi yang menyebabkan adanya ketimpangan hukum. Akibatnya, berbagai negara menerapkan berbagai syarat agar sebuah data dapat ditransfer ke luar negeri, satunya adalah dengan prinsip kesetaraan. Prinsip ini menyatakan bahwa data hanya bisa ditransfer ke negara yang dianggap memiliki perlindungan data pribadi yang setara. Penelitian ini membahas apa yang dimaksud dengan kesetaraan dan bagaimana melakukan penilaiannya dan syarat-syarat transfer lain selain prinsip kesetaraan serta tantangan penerapannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kualitatif dan studi komparasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketiadaan standar global menyebabkan berbagai negara memiliki instrumen perlindungan data pribadi yang berbeda-beda. Kondisi ini menyebabkan kemungkinan ketimpangan hukum antar dua negara yang melaksanakan transfer data, termasuk dalam menerapkan prinsip kesetaraan. Untuk mengatasi hal ini, baik Indonesia maupun Uni Eropa memberikan sejumlah syarat transfer selain prinsip kesetaraan.. Dalam menjaga data pribadi Indonesia ditengah keberagaman instrumen hukum data pribadi yang dimiliki berbagai negara ini, Indonesia dapat menerapkan sanksi administratif berupa penghapusan data pribadi yang penegakannya dapat dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Data Pribadi atau Jaksa Pengacara Negara.
Personal data transfer is a form of personal data processing that involves the movement, transmission, or duplication of personal data. There are challenges in carrying out such transfers due to the absence of global standards for personal data protection, which results in legal disparities. Consequently, various countries impose different requirements for transferring data abroad, one of which is the principle of adequacy. This principle states that data can only be transferred to countries that are deemed to have equivalent personal data protection. This research discusses what is meant by adequacy and how it is assessed, as well as other transfer requirements besides the adequacy principle and the challenges in its implementation. The research employs doctrinal legal research methods with a qualitative approach and comparative studies. The findings of the research indicate that the lack of global standards has led to different personal data protection instruments across countries. This situation creates the potential for legal disparities between two countries involved in data transfers, including the application of the adequacy principle. To address this, both Indonesia and the European Union provide a number of transfer conditions beyond the adequacy principle. To safeguard personal data in Indonesia amid the diversity of personal data protection instruments held by various countries, Indonesia could implement administrative sanctions, such as the deletion of personal data, which could be enforced by the Personal Data Protection Authority or the Attorney General's Office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gabriela Sekarputri Suroyo
"Perkembangan teknologi mendorong adanya transformasi menuju era digital. Indonesia, sama seperti negara-negara lain di dunia turut bergantung pada pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi dewasa ini sudah dilakukan baik untuk penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pendidikan hingga kegiatan pengolahan data sehari-hari. Kegiatan tersebut kemudian mengakibatkan berbagai aspek kehidupan manusia mulai memanfaatkan sistem teknologi informasi. Isu mengenai pentingnya memberikan perlindungan terhadap data pribadi bagi pengguna internet kian menguat. Salah satu penyebabnya adalah semakin maraknya kasus-kasus yang melibatkan kebocoran data pribadi seseorang. Pemikiran mengenai pentingnya melakukan pelindungan data pribadi berkaitan erat dengan kebebasan seseorang untuk menentukan dengan siapa mereka ingin membagikan informasi berupa data pribadinya. Guna menjawab tantangan tersebut, pemerintah kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi. Undang-Undang tersebut secara garis besar mengatur tentang kegiatan pemrosesan data pribadi serta hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Salah satu produk hukum yang melibatkan kegiatan pemrosesan data pribadi adalah Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM merupakan suatu surat yang wajib dimiliki oleh seseorang agar dapat mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan raya. Sayangnya, saat ini belum terdapat peraturan yang secara komprehensif mengatur mengenai kegiatan pemrosesan data pribadi dalam penerbitan SIM. Penelitian ini mengidentifikasi mengenai batasan-batasan yang selayaknya diterapkan dalam kegiatan pemrosesan data pribadi pada penerbitan SIM. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan batasan-batasan tersebut akan membantu dalam menerapkan prinsip pengumpulan data pribadi yang dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan transparan sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.
Technological developments encourage transformation towards the digital era. Indonesia, just like other countries in the world, also depends on the use of information technology. The use of technology today has been carried out both for carrying out government activities, education and daily data processing activities. These activities then resulted in various aspects of human life starting to utilize information technology systems. The issue of the importance of providing protection for personal data for internet users is increasing. One of the reasons is the increasing number of cases involving leaks of someone's personal data. The idea regarding the importance of protecting personal data is closely related to a person's freedom to determine with whom they want to share information in the form of their personal data. In order to answer this challenge, the government then promulgated Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection. The law broadly regulates personal data processing activities as well as the rights and obligations of the parties involved in them. One of the legal products that involves personal data processing activities is a driving license (SIM). A driver's license is a document that a person must have in order to operate a motorized vehicle on the road. Unfortunately, currently there are no regulations that comprehensively regulate personal data processing activities in issuing driving licenses. This research identifies the limitations that should be applied in personal data processing activities during the issuance of a driver's license. The aspects that need to be considered in determining these limitations will help in implementing the principles of personal data collection which is limited and specific, legally valid and transparent as contained in the Personal Data Protection Law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anita Apsari Maharani
"Praktik dark pattern sering ditemui dalam layanan yang diberikan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Dark pattern merujuk pada suatu tampilan antara muka pengguna yang mengarahkan atau memanipulasi penggunanya untuk membuat pilihan yang menguntungkan penyedia layanan. Dikaitkan dengan pelindungan data pribadi konsumen, praktik dark pattern dapat memanipulasi konsumen untuk memberikan lebih banyak data daripada yang dibutuhkan tujuan pemrosesan, menghalangi konsumen untuk mendapatkan haknya, serta tidak memberikan informasi yang cukup untuk konsumen memilih pilihan privasi yang tepat, dan lain-lain. Saat ini belum terdapat aturan yang jelas dan ekplisit yang mengatur terkait praktik dark pattern. Penelitian ini dilakukan melalui metode yuridis normatif dengan bahan hukum utamanya pada ketentuan terkait penyelenggaraan sistem elektronik seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008, ketentuan pelindungan data pribadi seperti Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, ketentuan pelindungan konsumen seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan ketentuan sektor jasa keuangan seperti Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa praktik dark pattern melanggar ketentuan prinsip pemrosesan data pribadi dan dasar pemrosesan data pribadi "persetujuan yang sah dan eksplisit". Terhadap persetujuan yang diperoleh dengan praktik dark pattern, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian "suatu sebab yang halal" sehingga batal demi hukum. Selain itu, terdapat sanksi perdata, administratif, dan pidana terhadap pelaku usaha jasa keuangan yang melakukan praktik dark pattern dalam layanannya.
Dark pattern practices are often found in services provided by Financial Services Business Actors. Dark pattern refers to a user interface that directs or manipulates users to make choices that benefit the service provider. In relation to the protection of consumers' personal data, dark pattern practices can manipulate consumers to provide more data than needed for processing purposes, prevent consumers from obtaining their rights, and do not provide sufficient information for consumers to choose the right privacy choices, and others. Currently, there are no clear and explicit rules governing dark pattern practices. This research is conducted through the normative juridical method with legal materials mainly on provisions related to the implementation of electronic systems such as Law No. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions which was last amended by Law No. 1 of 2024 concerning the second amendment to Law No. 11 of 2008, provisions on personal data protection such as Law No. 27 of 2022 concerning Personal Data Protection, provisions on consumer protection such as Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, and provisions on the financial services sector such as Law No. 4 of 2023 concerning Strengthening and Development of the Financial Sector. The results of this study state that the practice of dark patterns violates the provisions of the principles of personal data processing and the basis for processing personal data "valid and explicit consent". For consent obtained through dark pattern practices, the agreement does not meet the validity requirement of a "lawful" agreement and is therefore null and void. In addition, there are civil, administrative, and criminal sanctions against financial service business actors who practice dark patterns in their services. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sherina Sya'bania
"Pelindungan data pribadi bertujuan mencegah pencurian dan penyalahgunaan data untuk transaksi ilegal. Berangkat dari perumusan masalah tersebut, undang-undang pelindungan data pribadi dibutuhkan sebagai solusi agar tidak terjadi permasalahan tersebut. Namun, dalam pembentukannya, undang-undang pelindungan data pribadi memiliki beberapa permasalahan. Salah satu isu utamanya adalah perbedaan pendapat antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) mengenai kedudukan lembaga pengawas data pribadi. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP dianggap sangat penting sehingga diperebutkan dan mengakibatkan pembentukan UU PDP memakan waktu tiga tahun. Penelitian ini berlandaskan pada teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh Islamy (2000) yang memiliki empat langkah dalam proses pembentukan kebijakan publik, yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Penelitian ini berargumen bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP merupakan lembaga yang sangat penting dan dianggap sebagai motor penggerak dari undang-undang ini dan menjadi sebuah alternatif dalam kebijakan, sehingga kedudukannya pun diperebutkan oleh berbagai lembaga. Penelitian ini menemukan bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas ini memang diperebutkan oleh kedua lembaga yaitu pemerintah dan DPR karena alasan-alasan tertentu, DPR menginginkan kedudukan lembaga tersebut berdiri secara independen karena untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, perlu adanya pengawasan terhadap pengendali data, tidak hanya terbatas pada lembaga privat, tetapi juga melibatkan lembaga publik. Sementara, pemerintah menginginkan lembaga tersebut berdiri dibawah kementerian karena alasan efisiensi dan efektivitas. Kesimpulan yang didapat adalah melihat pentingnya lembaga otoritas pengawas sehingga diperdebatkan kedudukannya oleh para aktor tersebut membuat kedudukan lembaga otoritas pengawas diserahkan atau diamanatkan ke Presiden dengan mengacu pada praktik di negara lain yang memiliki lembaga sejenis dan tertulis di Bab IX Pasal 58 bahwa lembaga pengawas tersebut akan ditetapkan oleh Presiden dan akan bertanggung jawab oleh Presiden.
Personal data protection aims to prevent data theft and misuse for illegal transactions. Departing from the formulation of the problem, the personal data protection law is needed as a solution to prevent these problems from occurring. However, in its formation, the personal data protection law has several problems. One of the main issues is the difference of opinion between the executive (government) and legislative (DPR) regarding the position of the personal data supervisory institution. This research focuses on identifying and analyzing why the position of the PDP supervisory authority is considered so important that it was contested and resulted in the formation of the PDP Law taking three years. This research is based on the theory of public policy proposed by Islamy (2000) which has four steps in the process of public policy formation, namely problem formulation, policy agenda, policy alternatives, and policy determination. This research argues that the position of the PDP supervisory authority is a very important institution and is considered as the driving force of this law and an alternative in policy, so its position is contested by various institutions. This research found that the position of the supervisory authority was indeed contested by both the government and the DPR for certain reasons, the DPR wanted the institution to stand independently because to prevent conflicts of interest, it was necessary to supervise data controllers, not only limited to private institutions, but also involving public institutions. Meanwhile, the government wants the institution to stand under a ministry for reasons of efficiency and effectiveness. The conclusion is that seeing the importance of the supervisory authority institution so that its position is debated by these actors, the position of the supervisory authority institution is submitted or mandated to the President by referring to the practices in other countries that have similar institutions and written in Chapter IX Article 58 that the supervisory institution will be determined by the President and will be responsible by the President."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Cynthia Ayu Windani
"Pemenuhan hak masyarakat dalam bidang pelindungan data pribadi dapat diukur dengan efektif atau tidaknya penerapan regulasi pelindungan data pribadi (PDP) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan perspektif sosiologi hukum di mana analisis terhadap efektivitas menggunakan tujuh parameter efektivitas hukum oleh William M. Evan. Analisis kemudian diklaster berdasarkan konsep evaluasi regulasi dalam studi analisis kebijakan dan regulasi, di mana tiga pondasi evaluasi regulasi oleh Coglianese menjadi konsep pelengkap. Untuk melihat apakah regulasi pelindungan data pribadi telah dibuat sesuai dengan fenomena empiris, peneliti juga melakukan rekapitulasi kasus kebocoran data pribadi yang dianalisis dengan konsep lifestyle-routine activity theory (LRAT) untuk melihat peningkatan risiko kebocoran data pribadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sosiohistoris pembentukan regulasi PDP belum sesuai dengan tujuan utama untuk melindungi data pribadi masyarakat, di mana kedaulatan data masyarakat bukan menjadi tujuan utama. Berdasarkan efektivitas hukum, penempatan sanksi-sanksi dalam peraturan perundang-undangan belum cukup optimal karena masih mempertimbangkan kepentingan sektoral. Kesimpulan dari penelitian ini agar pemerintah mempertimbangkan adanya sanksi yang lebih memaksa bagi korporasi untuk mencegah kapitalisasi data pribadi yang dapat mendorong adanya kegagalan pelindungan data pribadi dan segera merilis pedoman tata kelola pelindungan data pribadi agar penerapan UU PDP menjadi keharusan kepatuhan organisasi.
The fulfillment of human rights in personal data protection can be measured by whether or not implementing personal data protection regulations (PDP) is effective in Indonesia. This research uses a sociology of law perspective where analysis of effectiveness uses seven parameters of the effectiveness of law by William M. Evan. The analysis is then clustered based on the concept of regulatory evaluation in policy and regulatory analysis studies, where Coglianese's three foundations of regulatory evaluation become complementary concepts. To see whether personal data protection regulations have been made by empirical phenomena, researchers also recapitulated cases of personal data leakage which were analyzed using the lifestyle-routine activity theory (LRAT) concept to see the increased risk of personal data leakage. The research results show that sociohistorically the formation of PDP regulations has not been following the main aim of protecting citizens' personal data, where sovereignty of their data is not the main goal. Based on the effectiveness of the law, the placement of sanctions in statutory regulations is not optimal because it still considers sectoral interests. This research concludes that the government applies more compelling sanctions for big corporations to prevent the capitalization of personal data which can lead to failures in personal data protection. The government must also immediately release personal data protection governance guidelines so that the PDP regulation implementation becomes mandatory for organizational compliance requirement."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Putu Adrien Premadhitya Merada
"Kecerdasan artifisial merupakan teknologi yang multiguna untuk membantu pekerjaan manusia, tak terkecuali bagi mereka yang berkiprah di dunia perfilman. Sebelumnya telah ada teknologi komputer untuk memanipulasi gambar seperti computergenerated imageries (CGI) pada proses pembuatan film khususnya dengan genre aksi, fantasi, horor, ataupun film-film yang mengangkat kisah pahlawan sehingga melahirkan istilah sinema sintetis. Kecerdasan artifisial hadir sebagai teknologi termutakhir yang tidak hanya dapat memanipulasi gambar tetapi juga suara dan video dengan mempelajari pola dan struktur dari sekumpulan data untuk menciptakan karakter, latar belakang, dan efek visual lainnya. Kecerdasan artifisial memanfaatkan tidak terkecuali data biometrik aktor khususnya untuk tujuan penciptaan karakter yang menandakan bahwa data pribadi aktor memerlukan pelindungan hukum selain pelindungan terhadap kekayaan intelektualnya. SAG-AFTRA Strike yang terjadi pada tahun 2023 di Amerika Serikat menjadi salah satu tonggak bahwa pelaku industri perfilman khususnya aktor memiliki kekhawatiran tersendiri atas penggunaan kecerdasan artifisial yang belum memiliki regulasi spesifik sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Tulisan ini menganalisis pemanfaatan kecerdasan artifisial pada industri perfilman di Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sekaligus peraturan terkait, termasuk pertanggungjawaban apabila terjadi pelanggaran. Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 (UU PDP) dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 (SE 9/2023) sebagai dasar perlindungan bagi aktor Indonesia terhadap pemanfaatan kecerdasan artifisial. Meskipun demikian, pengaturan hukum yang ada di Indonesia belum selengkap peraturan yang berlaku di Uni Eropa dan Amerika Serikat mengenai tata cara perlakuan atau penanganan terhadap data biometrik dan masih bergantung kepada kontrak. Penelitian ini dilakukan dengan metode kajian literatur dan wawancara bersama tokoh-tokoh industri perfilman Indonesia.
Artificial intelligence (AI) is a versatile technology aimed to help humans conduct their work, including those who works in the film industry. There were also other computer technologies prior to AI used to manipulate images such as computergenerated imageries (CGI) to aid filmmaking especially for action, fantasy, horror genres, or movies about superheroes which produced the term synthetic cinema. AI serves as an advanced technology which can also manipulate sounds and videos by studying patterns and structures of a set of data to generate characters, backgrounds, and other visual effects. AI utilizes different sets of data such as biometric data of actors to create a character, showing that actor’s personal data requires legal protection aside from their intellectual property rights. The SAG-AFTRA Strike which happened in America in 2023 was a signal that people in the film industry, especially actors, have their own concerns regarding the usage of AI which have yet to be regulated through a specific regulation, posing legal uncertainty. This research analyzes the usage of AI in Indonesia, the European Union, and the United States’ film industry, the related regulations, as well as accountability in cases of violations. Indonesia currently have Law Number 27 of 2022 (PDP Law) and Circular Letter of the Ministry of Communication and Informatics Number 9 of 2023 (SE 9/2023) providing basic protection for Indonesian actors against the usage of AI. However, the regulations available in Indonesia is not as comprehensive as the ones available in the European Union and the United States and still relies more on contracts, particularly on how to handle biometric data. This research was conducted through literature studies and interview with Indonesia’s prominent film industry figures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rosalia Valentin Margareta
"
ABSTRAKPerlindungan Data Pribadi telah diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia. Peraturan tersebut melindungi dari pelanggaran data pribadi tidak terkecuali pada layanan ojek daring. Namun saat ini masih terdapat pelanggaran perlindungan data pribadi yang menyebabkan kerugian pelanggan. Di samping itu, isu pentingnya perlindungan data pribadi juga masih sedikit dibahas di Indonesia. Perlu diketahui persepsi perlindungan data pribadi oleh pelanggan digunakan untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap keinginan atau niat pelanggan untuk memberikan data pribadinya pada saat menggunakan aplikasi ojek daring agar penyedia ojek daring dapat mengambil tindakan yang tepat dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi data pelanggan.
Untuk mengetahui pengaruh persepsi pelanggan terhadap perlindungan data pribadi pada ojek daring di Indonesia, dilakukan analisis dengan metode kuantitatif dan menggunakan Partial Least Square-Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Variabel yang digunakan untuk mengetahui pengaruh persepsi pelanggan terhadap perlindungan data pribadi pada ojek daring di Indonesia, terdiri dari privacy violation experiences (pengalaman pelanggaran perlindungan data pribadi), privacy concern (kepedulian perlindungan data pribadi), risk beliefs (potensi kerugian yang dirasakan), trusting beliefs (kepercayaan terhadap penyedia layanan), dan behavioral intention (keinginan memberikan data pribadi). Dari hasil pengolahan data, diketahui bahwa pengalaman pelanggaran data pribadi tidak berpengaruh negatif terhadap kewaspadaan pelanggan dalam perlindungan data pribadi. Kewaspadaan pelanggan dalam perlindungan data pribadi tidak berpengaruh negatif pada tingkat kepercayaan pelanggan dan keinginan memberikan data pribadi. Namun hal tersebut berpengaruh positif pada potensi risiko yang dirasakan. Penelitian ini memberikan rekomendasi penyedia layanan ojek daring untuk mengembangkan inovasi TI perlindungan data yang lebih konkret, memperbaiki kebijakan privasi agar lebih muddah dimengerti, dan memberikan akses kontrol pelanggan."
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library