Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 228087 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marpaung, Imanuel Arinatio
"Pencucian uang merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang berasal dari kejahatan, oleh sebab itu perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam tesis ini, penulis membahas mengenai dua konsep penanganan tindak pidana pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini. Di awal pembahasan, Penulis menjelaskan tentang kedua konsep tersebut beserta dengan pengaturannya menurut hukum positif di Indonesia. Selain itu Penulis juga menjelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan dari penerapan masing-masing konsep tersebut dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sudut pandang dan penerapan pada di lapangan oleh aparat penegak hukum (Jaksa, Advokat, dan Hakim) terkait penerapan kedua konsep tersebut. Selanjutnya, Penulis juga menggunakan Putusan Pengadilan untuk melihat bagaimana salah satu konsep tersebut diterapkan dan mencari kemungkinan timbulnya permasalahan dengan diberlakukannya kedua konsep tersebut. Kesimpulan pada penelitian ini, pertama, konsep follow up crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan, sedangkan konsep independent crime menyebutkan bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Adapun kedua konsep tersebut mendapatkan pengaturan dalam UU PP-TPPU. Kedua, konsep tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Diadopsinya kedua konsep tersebut dalam UU PP-TPPU perbedaan sudut pandang antar penegak hukum dan adanya diversifikasi di lapangan yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, dalam putusan yang digunakan, terhadap penanganan pencucian uang seperti yang ada pada putusan berpotensi menimbulkan masalah ketika harta dari pencucian uang berasal dari suatu tindak pidana yang bukan lingkup dari tindak pidana asal dalam UU PP-TPPU.

Money laundering is the act which the proceeds of crime are made to appear legitimate. As such, it is categorized as a criminal offense. In this thesis, the author discusses two concepts for handling money laundering offenses. The author explains these concepts, their advantages and disadvantages, and how they are regulated under Indonesian law. The discussion also includes an analysis of the perspectives and applications in the field by law enforcement officials (prosecutors, advocates, and judges) regarding the implementation of these concepts. Furthermore, the author examines court decisions to see how one of the concepts is applied and to identify potential problems in the application of both concepts. In conclusion, the first concept defines money laundering as a continuing criminal offense, while the second concept treats it as an independent criminal offense. Both are regulated in Law number 8 of 2010. The adoption of these two concepts has led to differing viewpoints among law enforcers and inconsistencies in the field, resulting in legal uncertainty. Additionally, in the court decisions analyzed, the handling of money laundering has the potential to cause problems when the proceeds of money laundering originate from criminal acts that fall outside the scope of the original criminal act as defined in the PP-TPPU Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Rahayu
"Pentingnya kewajiban pelaporan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris berupa studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan: Bagaimana pengenaaan sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Bilamana bank sebagai penyedia jasa keuangan yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dikenakan sanksi pidana karena melakukan tindak pidana pencucian uang? dan Apakah kendala yang dihadapi PPATK untuk menarik bank sebagai penyedia jasa keuangan sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang?
Dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (4) UU TPPU jo Pasal 30 ayat (1) UU TPPU, pengenaan sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan baik berdasarkan hasil pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun oleh PPATK dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang. Selanjutnya, jika terdapat indikasi tindakan pencucian uang, harusnya bank dapat pula dikenakan sanksi pidana oleh penegak hukum.
Namun dalam pelaksanaannya PPATK memiliki beberapa kendala untuk menarik bank sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana Pencucian Uang. Kendala pertama adalah regulasi yang dibuat lebih mementingkan bank taat pada sistem dan prosedur sehingga pengenaan sanksi pidana akan menjadi pilihan terakhir serta masih kurang jelas dan tegasnya aturan pelaksanaan dalam pengenaan sanksi. Kendala kedua adalah belum adanya kesatuan pandangan organisasi yang menegakan hukum mengenai kapan bank terindikasi tindak pidana pencucian uang. Kendala ketiga adalah budaya masyarakat perbankan yang memiliki kepentingan bisnis sedapat mungkin tidak ingin terganggu karena pelaporan kepada PPATK.

The importance of reporting obligation is stated in Law Number 8 Year 2010 concerning the Prevention and Eradication of Money Laundering. The research was conducted by using empirical juridical research method with literature study and interview. The research aims to answer some questions: How does the imposition of administrative sanctions for banks that do not implement the reporting obligations based on The Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering? what If a bank as a financial service provider that does not implement the reporting obligations based on the Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering can be gotten penalties or may be imposed for a criminal offense of money laundering? and what’s the obstacle will faced by PPATK to attract banks as financial service providers as those involved in money laundering?
In the regime of anti-money laundering in Indonesia, under the provisions of Article 25 paragraph (4) in conjunction with Article 30 paragraph (1) based on The Law Number 8 year 2010 Concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering, imposition of administrative sanctions for banks which do not obey on duty reporting based on results of compliance monitoring conducted by Bank of Indonesia in spite of PPATK, in this case Bank of Indonesia as the competent authority. Furthermore, if there are any indications of money laundering, the bank should also be sanctioned by criminal law enforcement.
But in practice, PPATK has some obstacles to attract banks as parties to the crime of Money Laundering. Firstly, the regulation was created more consider important banks to obedient to the systems and procedures, so that the imposition of criminal sanctions would be the last option as well as still less clear and explicit of rules to implementation the sanctions. Secondly, the same view of organization in law enforcement about when the banks do not implement the reporting obligation it can be subjected to criminal sanctions. Thirdly, the bank users do not want the disruption of the bank for reporting to PPATK.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atin Sri Pujiastuti
"Penelitian ini berfokus pada implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilaksanakan oleh Bank X. Disini, penulis mendeskripsikan dan menganalisa kepatuhan penerapan peraturan-peraturan mengenai TPPU yang dilaksanakan oleh Bank X guna mencegah dan memberantas TPPU. Peneliti berusaha mencari tahu hambatan-hambatan yang muncul dalam melaksanakan implementasi Undang-Undang tersebut serta strategi apa saja yang digunakan untuk mengatasi kendala tersebut.
Hasil penelitian menggambarkan adanya kepatuhan penerapan Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan TPPU yang dilaksanakan oleh Bank X. Kepatuhan tersebut meliputi kepatuhan dalam penerapan CDD, Penerapan program pelatihan berkelanjutan mengenai Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU/PPT), Kepatuhan meratifikasi UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, Kepatuhan penerapan Unit Kerja Khusus.
Penulis juga menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh Bank X yakni kendala internal dan kendala eksternal. Kendala Internal yang dihadapi adalah Keterbatasan SDM tersebut terdapat pada Kantor Cabang Bank X dimana tidak memiliki unit kerja khusus tetapi Independent Unit karyawan Bank yang merangkap tugas dan perannya sebagai unit kerja khusus. Padahal, berdasarkan aturan PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum mewajibkan setiap Bank memiliki unit kerja khusus dan memiliki:1) pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau 2) pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT.
Selanjutnya, kendala eksternal yakni terbatasnya tenaga pengawas bank Indonesia., terbatasnya tenaga pengawas PPATK, banyaknya jenis pelapor yang harus diawasi oleh PPATK meliputi 21 jenis Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan 5 jenis Penyedia Barang/Jasa, treatment pengawasan yang disesuaikan dengan kondisi pelapor baik PJK maupun Penyedia Barang/Jasa. Ketiga, Kurangnya cooperative nasabah/calon nasabah dalam memberikan informasi yang benar serta melengkapi sejumlah dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

This research focuses on the implementation of the ACT on the prevention and eradication of the crime of money laundering (TPPU) implemented by the ?X? Bank . here, the author describes and analyzes the compliance of implementing the rules about TPPU implemented by the ?X? Bank in order to prevent and eradicate TPPU. Researchers are trying to figure out the obstacles that appear in the implementation of the ACT and what are the strategies used to overcome these barriers.
Results of the study has described about the existence of compliance in the application of the prevention and eradication ACT (TPPU) implemented by the ?X? Bank. This compliance includes the implementation of CDD, implementation of sustainable training programmes on Anti-money laundering and Terrorism Funding Prevention (APU/PPT), compliance to ratify the ACT of TPPU, compliance of application of special work unit. The author also find some obstacle faced by the ?X? Bank that is internal and external constraints.
The internal constraints that faced is the limited human resource at the branch office of the ?X? Bank which is hasn?t special work unit but independent unit of Bank employee that work doubles at their task and role as a special work unit.
Furthermore, external constraint is the limited supervisory labour of the main Bank og Indonesia (BI), limited supervisory labour of the Central reporting and analysis of financial transactions (PPATK). The excessive number of reporters who must be supervised by the ppatk include 21 kinds of financial Service Providers (PJK) and 5 types of goods/services providers. The last is obstacle from the customer that lack of cooperative in providing true information as well as a willingness in case to complete a number of documents in accordance with the valid regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T39213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Pratomo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia dan menjelaskan hambatanhambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia serta solusi penanggulangan dari faktor-faktor yang menghambat aparat penegak hukum dalam mengungkapkan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan kerahasiaan bank. Karena dari sini dapat diketahui sampai sejauh mana PPATK sebagai lembaga yang berwenang melakukan kinerja serta hambatan dalam menjalani tugasnya.
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif. Penelitian ini bersifat deskriptik-analitik, yaitu memaparkan secara lengkap gambaran tentang tindak pidana money laundering dan penerapannya, hubungannya dilapangan yang ditinjau dengan ketentuan kerahasiaan bank, hambatan-hambatan dan penanggulangannya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap hal tersebut dengan menggunakan teknik analisis data nonstatistik dengan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, dapat diperoleh kesimpulan bahwa dengan adanya ketentuan rahasia bank, kepentingan antara nasabah dan bank dapat terlindungi. Di satu sisi, rahasia bank merupakan hal yang wajib dilakukan oleh bank dengan menggunakan prinsip Know Your Customer (KYC) dan hal ini merupakan prinsip yang sangat mendukung dan hal terpenting bank dalam melakukan kegiatan usaha. Pada sisi yang lain, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga merupakan peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh pihak penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tersangka-terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal ini, kelemahan peraturan mengenai rahasia bank sudah bisa ditanggulangi dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, misalnya dengan adanya kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang istimewa dalam menerobos rahasia bank dan memberkan laporan tentang dugaan rekening berindikasi terhadap pencucian uang. Akan tetapi penerapan di lapangan masih terjadi penafsiran hukum yang berbeda antara pihak bank dengan penyidik, dengan kurangnya data yang diberikan sehingga menimbulkan ambiguitas dan koordinasi yang tidak jelas dilapangan, terutama masalah birokrasi dalam pengungkapan dan penanganan kasus yag dibawa ke pengadilan.
Implikasi penelitian ini di lapangan terutama dalam aspek penegakan hukum bagi pihak penyidik yaitu dengan meminta kepada tersangka atau terdakwa untuk memberikan kuasanya kepada polisi agar dapat menembus ketentuan rahasia bank dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil langkah yang tercepat, dengan mengingat birokrasi yang sangat ketat untuk mengajukan izin pembukaan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Waktu pemberian izin membuka rahasia bank yang diberikan Gubernur Bank Indonesia adalah 14 (empat belas) hari, sementara teknologi yang sangat maju dapat menguntungkan tersangka atau terdakwa untuk memindahkan rekeningnya ke tempat lain hanya dalam hitungan menit. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya informasi atau bukti-bukti yang diperlukan oleh polisi untuk memproses tindak pidana tersebut.

This study aims to determine the application of bank secrecy against money laundering (money laundering) in Indonesia and describes the obstacles that arise in the application of bank secrecy against money laundering (money laundering) in Indonesia as well as mitigation solutions of the factors that hinder enforcement the law in revealing money laundering related to bank secrecy. Because from here it can be seen to what extent INTRAC as an institution that is authorized to exercise performance as well as obstacles in undergoing his job.
This type of research used in this paper the author is the legal research doctrinal / normative. This study is descriptive-analytic, which describes a complete picture of criminal money laundering and its application, its relationship in the field who reviewed with the provisions of bank secrecy, obstacles and overcome them. Types of data used are secondary data. Data collection techniques used, namely through the study of literature, for further analysis on the issue by using data analysis techniques non statistic with a qualitative approach.
Based on the analysis has been done writer, can be obtained the conclusion that the existence of bank secrecy provisions, between the customer and the bank's interests can be protected. On the one hand, bank secrecy is something that must be done by the bank using the principle of Know Your Customer (KYC) and this is a rinciple that is very supportive and most important banks in conducting business. On the other hand, the Act Money Laundering is also the rule of law must be upheld by the investigating authorities in the investigation and the investigation of suspects, accused of money laundering.
In this case, the weakness of bank secrecy regulations can be addressed by the Act Money Laundering, for example, by the authority of the Center for Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) is special in and through secret bank accounts give reports about the alleged indications of laundering money. However, application in the field still occur between different legal interpretation of the bank with the investigator, with the lack of data provided, giving rise to ambiguity and no apparent coordination in the field, especially the problem of bureaucracy in the disclosure and handling of cases brought to court.
The implications of this research in the field, especially in the aspect of law enforcement on the part of investigators that is by asking the give their proxies to the police in order to penetrate the bank secrecy provisions and obtain needed information from the bank concerned. It is intended to take the fastest, with a very tight given the bureaucracy to apply for license for establishment of bank secrecy from the Chairman of Bank Indonesia. When granting permission to open a secret bank that granted the Governor of Bank Indonesia is 14 (fourteen) days, while the highly advanced technology that can benefit the suspect or defendant to move his account to another place in just minutes. This can result in loss of information or evidence required by the police to process the crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28857
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Zahra Aulia
"Skripsi ini membahas terkait konsep tindak pidana lanjutan atau follow up crime pada stand-alone money laundering di Indonesia. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan atau follow up crime berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai follow up crime, penanganan pencucian uang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi tindak pidana asal. Di Indonesia, pembuktian tindak pidana asal harus dilakukan dalam upaya membuktikan bahwa pencucian uang telah terjadi sebagaimana tercantum di dalam undang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XIII/2015. Pembuktian tersebut dapat dilakukan sebelum, bersamaan, maupun setelah pembuktian tindak pidana pencucian uang. Namun, pada praktiknya, terdapat produk hukum berupa putusan yang memutus perkara pencucian uang tanpa adanya pembuktian terhadap tindak pidana asal. Cara penyelesaian dan pembuktian ini disebut dengan stand-alone money laundering dimana tindak pidana asal tidak wajib untuk dilakukan penuntutan maupun pembuktian. Hal ini disebabkan kurangnya alat bukti maupun masalah yurisdiksi. Penanganan pencucian uang dengan cara tersebut tentu saja tidak sesuai dengan pengaturan hukum di Indonesia saat ini, akan tetapi produk hukum hasil penanganan pencucian uang dengan cara tersebut tetap ada. Terdapat dua putusan yang akan dianalisis di dalam peneilitian ini sebagai contoh penanganan pencucian uang secara stand-alone di Indonesia, yaitu Putusan Nomor 57/Pid. Sus/2014/Pn.Slr Dan 14/Pid.Sus/2016/Pn.Pkl. Hadirnya kedua putusan tersebut menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana konsep follow up crime yang dimaksud dan bagaimana hubungan konsep tersebut dengan eksistensi stand-alone money laundering di Indonesia.

This study discusses the concept of follow-up crime on stand-alone money laundering in Indonesia. Money laundering itself is a follow up crime based on Act Number 8 of 2010 on the Prevention and Combating Money Laundering. As a follow up crime, the handling of money laundering cannot be separated from the predicate crime. In Indonesia, proof of a predicate crime must be carried out to prove that money laundering has occurred as stated in the law and Constitutional Court Decision Number 77/PUU-XII/2014 and Number 90/PUU-XIII/2015. This proof can be made before, simultaneously, or after proving money laundering crime. However, in practice, there are legal products in the form of decisions that decide money laundering cases without any evidence of a predicate crime. This method of proof is called stand-alone money laundering, where the predicate crime is not required to be prosecuted or proven. This is due to a lack of evidence and jurisdictional issues. Handling money laundering in this way is not in accordance with current law in Indonesia, but legal products resulting from handling money in this way still exist. There are two decisions that will be analyzed in this research as an example of handling money laundering on a stand-alone basis in Indonesia, namely Decision Number 57/Pid. Sus/2014/Pn.Slr And 14/Pid.Sus/2016/Pn.Pkl. The existence of these two decisions raises questions such as how follow up crime concept truly is and how this concept relates to the existence of stand-alone money laundering in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Onneri Khairoza
"Tesis ini membahas mengenai perampasan harta kekayaan terdakwa tindak pidana pencucian uang yang meninggal dunia di persidangan sebelum putusan dijatuhkan. Ketentuan ini sebagaimana yang diatur dalam 79 Ayat (4) Undang- Undang Nomor : 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Fokus permasalahan yang dibahas adalah mengenai dasar pemikiran perampasan harta kekayaan hasil tindak pidana dalam pasal tersebut, mekanisme perampasannya, serta kaitannya dengan Pasal 77 KUHP mengenai hapusnya kewenangan menuntut pidana karena terdakwa meninggal dunia dan Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocence). Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif).
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa perampasan harta kekayaan dalam Pasal 79 ayat (4) undang-undang di atas adalah dalam rangka memenuhi standar international dalam perampasan hasil tindak pidana. Selain itu juga merupakan bentuk adopsi dan penerapan dari non conviction based (civil forfeiture), dalam rangka mewujudkan keadilan serta memastikan bahwa tidak seorang pun berhak atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pasal 79 ayat (4) tersebut merupakan suatu pelengkap dan terobosan dalam beracara dan tidak bertentangan dengan Pasal 77 KUHP karena dipisahkannya pelaku tindak pidana dengan tindak pidananya. Ketentuan tersebut juga tidak pula bertentangan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah, karena hasil kejahatan tidak lagi dipandang berkaitan dengan pelaku tindak pidananya. Namun dalam pelaksanaanya belum diatur secara terperinci mengenai mekanisme (prosedur) yang harus dijalankan dalam merampas harta kekayaan hasil tindak pidana berdasarkan Pasal 79 ayat (4) tersebut. Tidak adanya mekanisme yang terperinci dalam melakukan perampasan harta kekayaan terdakwa pencucian uang yang meninggal dunia, dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) oleh penegak hukum.

This thesis discusses the confiscation assets in money laundering defendant who died in the trial before the verdict handed down. This provision as provided in Paragraph 79 (4) of Law No. 8 of 2010 Concerning the Prevention and Combating Money Laundering. Focus on the issues discussed is the rationale for the confiscation property crime in the article, the mechanism of confiscation, and its relation to Article 77 of the Criminal Code regarding the authority demanding the abolishment of death penalty for the accused and the presumption of innocence. This study uses a normative juridical research.
From the results of the study concluded that the confiscation property under Article 79, paragraph (4) above legislation is in order to meet international standards in the confiscation proceeds of crime. There was also a form of adoption and application of non-conviction based (civil forfeiture), in order to achieve justice and to ensure that no one has the right to property that is proceeds of crime. Article 79 paragraph (4) it is a complement and a breakthrough in the proceedings and not contrary to Article 77 of the Criminal Code because it separated the criminal with criminal acts. Such provisions are not contrary to the presumption of innocence, because the crime is no longer considered related to the perpetrators of criminal acts. But the implementation has not been regulated in detail the mechanisms that must be executed in the property seized proceeds of crime under Article 79, paragraph (4) is. The absence of a detailed mechanism of confiscation property in the conduct of money laundering defendants who died, the implementation can lead to abuse of power.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30270
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Sulistyowati
"Penelitian ini mengevaluasi konsistensi perencanaan dan penganggaran Program Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di PPATK dikarenakan adanya kecenderungan inkonsistensi pada dokumen perencanaan dan penganggaran tersebut. Tujuan penelitian untuk memberikan rekomendasi bagi PPATK dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat konsistensi perencanaan dan penganggaran PPATK tahun 2011 sebesar 31,06%, artinya tingkat konsistensi masih tergolong rendah. Pemahaman kurang memadai mengenai restrukturisasi program dan kegiatan menjadi masalah pokok inkonsistensi yang terjadi. Hasil penelitian menyarankan PPATK untuk meningkatkan kompetensi pegawai dalam bidang perencanaan dan penganggaran. Sinergisitas para pembuat kebijakan terkait perencanaan dan penganggaran menjadi faktor fundamental dalam mensukseskan pelaksanaan restrukturisasi program dan kegiatan.

This research evaluates the consistency between planning and budgeting on the Prevention and Eradication of The Crime of Money Laundering and Terrorism Financing Program in Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) because there is a tendency of inconsistency between planning and budgeting documents. The research main objective is to give recommendation to INTRAC on how to improve their knowledges and skills on how to make a good planning and budgeting documents. This research is using qualitative descriptive method. The result showed that the level of consistency between planning and budgeting in 2011 is 31.06%, it means still relatively low. The lack of understanding the restructuring programs and activites concepts was believed to be the main concern about inconsistency.The policy makers combined effort and collaboration is the fundamental key to accomplish a successful implementation of restructuring programs and activities."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T38638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hanafi
"Permasalahan dalam penelitian ini mencakup pengaturan kewajiban pelaporan advokat kepada PPATK terhadap klien dengan indikasi transaksi keuangan mencurigakan, kedudukan advokat dalam posisinya sebagai pelapor sekaligus menjaga kerahasiaan klien, serta bagaimana seharusnya pengaturan pelaporan advokat terhadap PPATK. Peneletian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan melihat norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Advokat, dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil penelitian tesis ini yaitu pengaturan kewajiban advokat kepada PPATK diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2010 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021. Profesi advokat tidak ditegaskan dalam Undang-Undang TPPU, melainkan pada Peraturan Pemerintah. Sementara itu, kedudukan advokat dari segi etika harus mengesampingkan kode etik advokat dalam perkara TPPU. Dari segi peraturan perundang-undangan, kedudukan advokat dapat melakukan pelaporan terhadap kliennya dengan didasari keyakinan kuat bahwa aset milik kliennya diperoleh dengan cara ilegal. Seharusnya, dalam pengaturan kewajiban pelaporan advokat dalam perkara TPPU dicantumkan dalam aturan setingkat undang-undang serta juga ditegaskan pengecualian atau pengkhususan atas kode etik profesinya sehingga menjadi jelas batas-batasnya.

The problems in this study include the regulation of the obligation to report advocates to PPATK against clients with indications of suspicious financial transactions, the position of advocates in their position as reporters while maintaining client confidentiality, and how should the arrangement of reporting advocates to PPATK. This research uses the juridical-normative method by looking at the legal norms contained in the legislation, especially the Law on Advocates, and the Law on the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. The result of this thesis research is that the regulation of the obligation of advocates to PPATK is regulated in Law Number 18 of 2010 in conjunction with Government Regulation Number 61 of 2021. The profession of advocate is not defined in the Money Laundering Law, but in a Government Regulation. Meanwhile, the position of an advocate in terms of ethics must override the code of ethics for advocates in Money Laundering cases. In terms of laws and regulations, the position of an advocate can report to his client based on a strong belief that his client's assets were obtained illegally. Supposedly, in the regulation of the obligation to report advocates in money laundering offenses cases, it should be included in the rules at the level of the law and also emphasized the exceptions or specializations of the professional code of ethics so that the boundaries are clear."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betha Nur Avicennia Sularso
"Notaris rentan dimanfaatkan pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menggunakan perjanjian legal dan menyalahgunakan ketentuan kerahasiaan jabatan Notaris. Hal ini yang melatarbelakangi pembentukan PP No. 43/2015 yang menetapkan Notaris sebagai salah satu Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terdapat perbedaan pandangan tentang keabsahan pemberlakuan PP No. 43/2015 terkait dengan hierarki PP No. 43/2015 yang berada di bawah Undang-Undang Jabatan Notaris dan Perubahannya. Namun konsep kerahasiaan jabatan saat ini tidak lagi bersifat mutlak. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai Pihak Pelapor dan perlindungan hukum bagi Notaris akibat dibebankan tanggung jawab sebagai Pihak Pelapor. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian secara deskriptif analitis dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa tanggung jawab Notaris sebagai Pihak Pelapor meliputi penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa, Melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK, dan menyimpan dokumen terkait laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut. Bagi Notaris yang melakukan tanggung jawabnya sebagai Pihak Pelapor tanpa adanya unsur penyalahgunaan wewenang maka dijamin secara hukum kerahasiaan identitas dan perlindungan untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.

Notary public is very vulnerable for being utilized by money laundering crime's perpetrators by using legal agreements and abusing confidentiality provisions of the position of notary public. This aspect became the main reason of the establishment of GR No. 43 2015 establishing the Notary as Reporting Party in Counter measure and Eradication of the Criminal Act of Money Laundering. There is a difference in perspective of the validity of the enactment of the Government Regulation No. 43 2015 related to the hierarchy of GR No. 43 2015, which is under the Notary Public Law and its changes. However, the current concept of confidentiality term is no longer absolute in nature. This study aimed to find out the responsibility of the Notary Public as Reporting party and the legal protection for the notary public due to a charged responsibility as Reporting party. This research is a juridical normative with descriptive analytic design and qualitative analysis method. This research result noted that the responsibility of the Notary as a Reporting Party consists of implementing the principles of Due Dilligence, reporting Suspicious Financial Transactions to the PPATK, and storing related documents of Suspicious Financial Transactions reports. For a Notary who does his her responsibility as a reporting party in the absence of the element of abuse of authority, then legally guaranteed the confidentiality of the identity and legal protection of not to be prosecuted either in civil or criminal court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Dwi Sartika
"ABSTRAK
Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyelundupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyelundupan orang (people smuggling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking). Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan kejahatan transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak. Penelitian tentang Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang terdiri atas 2 (dua) masalah, yaitu: Bagaimanakah praktek kejahatan perdagangan anak?, bagaimanakah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan anak sebagai predicate crime dalam UUTPPU? Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai praktek kejahatan perdagangan anak, penanggulangan kejahatan perdagangan anak, dan bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) sebagai salah satu kebijakan dalam bidang hukum pidana untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan perdagangan orang termasuk terhadap anak di bawah umur. Dalam pencegahan pencucian uang, inisiatif pemerintah terlihat dari telah diundangkannya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terbaru yaitu UU No.8 Tahun 2010. Peneliti menyarankan agar Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur kriteria khusus tentang kejahatan perdagangan anak di bawah umur yang dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga pencucian uang tidak dipratekkan.

ABSTRACT
Agreement of abolition of child commerce as global issue, in line with agreement scope vanish the terrorism, gunrunning (arm smuggling), dark circulation of narcotic and psikotropika, money wash (money laundry), people smuggling (people smuggling) and people commerce is inclusive of child (child trafficking). Indonesia have ratified and invite the protocol of United Nations for the abolition of the badness transnational. In this time in the process of ratify the protocol of United Nations to vanish and prevent the people commerce is inclusive of child. Research about Badness of Child Commerce As Predicate Crime In Law of Doing An Injustice of Money Laundring consisted of by 2 (two) problem, that is : What will be practice of underage child commerce badness?, what will be regulated of badness of child commerce? and, what will be renewal form punish about child commerce as predicate crime of Law of To Doing An Injustice of Money Laundring? Nature of this research is analytical descriptive, that is to describe, depicting, analyzing and explaining analytically those opened problems. Research have the character of descriptive analyze is a research trying to depict the fact and data of concerning practice of badness of child commerce, regulated of badness of child commerce, and renewal form punish about child commerce. Result of research indicate that the republic government of Indonesia release the Decision of Number President 88 Year 2002 about Plan of Action of National of Abolition of Commerce of Woman and Child (RAN P3A) as one of policy in the field of criminal law to prevent and overcome the badness of people commerce is inclusive of to underage child. In the prevention of money laundering, the government initiatives is the enactment of Law Money Laundering crime No. 8 year 2010. Researcher suggest that Law of To Doing An Injustice of Money Laundring arrange the special criterion about underage child commerce badness which can be qualified as collision to human right so that money wash do not practiced."
Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>