Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117874 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siringoringo, Christoper Sabungan
"Penelitian ini mengeksplorasi dinamika perlindungan hukum terhadap karya cipta film yang dilombakan dalam festival film, dengan fokus utama pada pelanggaran hak moral. Ide dan gagasan kreatif adalah fondasi dasar dalam penciptaan karya, namun ide tidak dapat dilindungi hingga diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang konkret. Hak cipta memberikan perlindungan hukum bagi karya seni dan kesusasteraan melalui Konvensi Bern, yang kemudian diperkuat oleh perjanjian TRIPs dalam lingkup perdagangan internasional. Indonesia, sebagai bagian dari kerangka global ini, telah mengadopsi regulasi yang relevan melalui undang-undang dan ratifikasi konvensi internasional. Proses pembuatan film terdiri dari pra-produksi, produksi, pasca-produksi, dan distribusi, di mana setiap tahap memerlukan perlindungan hak cipta. Namun, tantangan muncul ketika karya film diikutsertakan dalam kompetisi festival film, terutama terkait klausula baku dalam perjanjian yang dapat merugikan peserta, seperti pengalihan hak cipta kepada panitia. Meskipun Konvensi Bern hanya mengatur hak moral yang terdiri dari right of paternity dan right of integrity, ada dua hak lain dalam doktrin hak cipta, yaitu right of divulgate dan right of retraction, yang belum diatur dalam undang-undang di Indonesia. Penelitian ini juga menyoroti masalah hukum yang muncul, khususnya pelanggaran hak moral yang terjadi ketika potongan film digunakan tanpa mencantumkan pemilik aslinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum yang ada, mengevaluasi kecukupan regulasi di Indonesia, dan menawarkan solusi untuk melindungi hak moral pencipta film. Dengan demikian, penelitian ini memberikan tinjauan yuridis yang mendalam mengenai pelanggaran hak moral dalam konteks festival film, yang diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hukum bagi karya cipta digital sinematografi di Indonesia.

This study delves into the legal protection dynamics for film copyrights submitted to film festivals, with a primary focus on moral rights violations. Creative ideas and concepts form the fundamental basis for the creation of works; however, these ideas cannot be protected until they are manifested in concrete expressions. Copyright law provides legal protection for artistic and literary works through the Berne Convention, which is further bolstered by the TRIPs agreement within the international trade framework. As part of this global framework, Indonesia has implemented relevant regulations through domestic laws and the ratification of international conventions. The film production process encompasses pre-production, production, post-production, and distribution, each stage necessitating copyright protection. Nonetheless, challenges arise when films are submitted to festival competitions, particularly concerning standard clauses in agreements that may disadvantage participants, such as the transfer of copyright to the organizers. While the Berne Convention addresses moral rights, including the right of paternity and the right of integrity, it does not encompass other rights in copyright doctrine, such as the right of divulgation and the right of retraction, which remain unregulated under Indonesian law. This study also highlights the legal issues arising from the use of film excerpts without proper attribution to the original creators, constituting a violation of moral rights. The objective of this research is to analyze the current legal protections, assess the adequacy of Indonesian regulations, and propose solutions to safeguard the moral rights of filmmakers. Consequently, this study provides a comprehensive juridical review of moral rights violations within the context of film festivals, aiming to enhance legal protection for digital cinematographic works in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grafita Dyah Ayu Kusumastuti
"Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemegang hak cipta karya sinematografi terhadap aksi pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh situs penyedia layanan streaming film gratis di internet. Adapun permasalahan yang dikaji di dalam skripsi ini antara lain adalah bagaimana bentuk pelanggaran hak cipta yang dilakukan pemilik situs penyedia layanan streaming film gratis, perlindungan hukum seperti apa yang dapat diperoleh oleh pemegang hak cipta ditinjau dari UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bentuk pencegahan seperti apa yang dapat dilakukan untuk mencegah pendistibusian konten yang ilegal di internet.

This thesis discusses the legal protections that can be obtained to the copyright owners of cinematographic works towards copyright infringement conducted by online free movie streaming sites. The problems under this study are the legal aspects of distributing films through online streaming sites without a license agreement or authorization from the copyright owners, what kind of legal protection that can be obtained for the copyright owners as stipulated in Copyright Act No. 28, 2014 and what kind of actions that can prevent the distribution of illegal contents on the internet."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ayu Savira Prawesty
"Pelanggaran hak cipta karya sinematografi dengan adanya situs streaming ilegal terus meningkat setiap tahunnya. Adanya situs ilegal menyebabkan kerugian bagi Pencipta selaku pihak yang memegang hak ekonomi Ciptaan. Lembaga Manajemen Kolektif dinilai dapat menjadi solusi yang memungkinkan insan perfilman untuk mengawasi pemanfaatan dari karya ciptanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelanggaran hak cipta karya sinematografi dan menganalisis efektivitas apabila dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif Bidang Film. Saat ini di Indonesia belum terdapat Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus ditujukan untuk Ciptaan film, walaupun UU Hak Cipta telah menyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif ditujukan untuk semua Ciptaan yang dilindungi termasuk salah satunya karya sinematografi atau film. Penelitian dilakukan dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia sudah memberikan perlindungan secara pidana, perdata, maupun administratif terkait pelanggaran hak cipta. Namun, masih diperlukan penegakan hukum atas peraturan ini. Di samping itu, adanya Lembaga Manajemen Kolektif perlu ditelaah terlebih dahulu karena masih ada kekosongan hukum yang mengatur mengenainya. Lembaga Manajemen Kolektif di Bidang Film dapat dibentuk apabila terdapat kebutuhan di industri film yang menyatakan lembaga tersebut dapat efektif berjalan bagi Ciptaan film.

Copyright infringement of cinematographic works with illegal streaming sites continues to increase every year. The existence of illegal sites causes losses to the Creator as the holder of the economic rights of creation. The Collective Management Institution is considered to be a solution that allows film people to oversee the utilization of their copyrighted works. This study aims to determine the protection provided by the laws and regulations governing copyright infringement of cinematographic works and analyze the effectiveness if a Film Collective Management Institute is established. Currently, in Indonesia there is no Collective Management Institution specifically aimed at film creations, although the Copyright Act has stated that the Collective Management Institution is intended for all protected creations including one of cinematographic works or films. The research was conducted from literature studies and interviews with relevant parties. The results showed that Indonesian legislation has provided criminal, civil, and administrative protection related to copyright infringement. However, law enforcement of this regulation is still needed. In addition, the existence of a Collective Management Institution needs to be examined first because there is still a legal void governing it. The Collective Management Institution in the Film sector can be established if there is a need in the film industry that states the institution can effectively run for film creations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdithia Mahadirja
"Kajian ini membahas tentang pengaturan dan penerapan hak moral, terutama di film. Hak moral adalah doktrin yang diakui dalam undang-undang tentang hak cipta di mana seorang penulis memiliki hak yang di luar hak ekonominya. Tapi karena tidak adanya standar minimal yang harus diterapkan oleh negara-negara anggota Dunia Organisasi Perdagangan, dalam penerapannya doktrin ini menimbulkan masalah terutama untuk karya turunan seperti film yang tidak bisa disamakan dengan sastra atau karya seni pada umumnya. Di Penelitian ini membahas tentang bagaimana mengidentifikasi hak moral dalam produksi film yang baik untuk film itu sendiri dan untuk karya lain yang merupakan bagian dari film. Selanjutnya dibahas pula tentang hak-hak moral yang dimiliki oleh produsen, sutradara, aktor/aktris, penulis naskah, sutradara musik dan kru film. Diskusi Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual dan a komparatif karena perbedaan konsep hak moral yang ada di negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk mengidentifikasi hak moral dari film itu sendiri dan bagian-bagiannya harus diketahui terlebih dahulu, apakah sudah diakui atau belum sebagai penciptaan. Selain itu, juga dapat dilihat bahwa pihak-pihak dalam produksi film dapat hak moral mereka dilindungi jika pekerjaan mereka adalah bagian dari film telah diterbitkan sebelumnya.

This study discusses the regulation and application of moral rights, especially in films. Moral rights are doctrines recognized in copyright laws in which an author has rights that are beyond his economic rights. However, because there is no minimum standard that must be applied by member countries of the World Trade Organization, in its application this doctrine creates problems, especially for derivative works such as films that cannot be equated with literature or works of art in general. This study discusses how to identify moral rights in good film production for the film itself and for other works that are part of the film. Furthermore, it is also discussed about the moral rights of producers, directors, actors/actresses, scriptwriters, music directors and film crews. Discussion This is done using a conceptual and a comparative approach because of the different concepts of moral rights that exist in the member countries of the World Trade Organization. In the analysis of this research, it can be seen that in order to identify the moral rights of the film itself and its parts, it must be known first, whether it has been recognized or not. creation. In addition, it can also be seen that the parties in film production can have their moral rights protected if their work is part of the film previously published.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Kanta Germansa
"Dalam pengaturan pasal 40 huruf m, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai hak cipta yaitu karya sinematografi. Dalam menciptakan suatu karya sinematografi, dapat dilakukan dengan cara proses penggandaan atau reproduksi suatu karya sinematografi yang ada lebih dahulu menjadi karya yang baru berdasarkan film aslinya atau yang terdahulu. Dalam Pasal 1 ayat 12,Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.Suatu karya Sinematografi merupakan suatu karya seni yang menampilkan suatu Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) secara nyata baik secara visual dan audiovisual oleh pihak-pihak yang ahli dibidang sinematografi berdasarkan pengembangan ide dan kreativitas yang bersifat pribadi dan khas/original. Perwujudan ide yang menghasilkan suatu karya Sinematografi secara nyata mendapatkan perlindungan hak cipta sebagaimana diatur pasal 40 huruf m, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam hasil nyata karya sinematografi melekat suatu perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHC 2014. Pencipta dan atau pemegang hak cipta karya Sinematografi tersebut, memiliki hak ekslusive terhadap karya sinematogafi baik itu hak ekonomi, moral, dan hak terkait. Dalam pengaturan perlindungan hak cipta karya Sinematogarfi yang telah diwujudkan secara nyata tersebut, tidak hanya mendapat perlindungan hukum terhadap UUHC 2014 namun juga mendapatkan perlindungan berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional Di Indonesia baru-baru ini telah terjadi suatu masalah yang hangat mengenai dugaan pelanggaran hak cipta karya sinematografi terhadap penggandaan atau reproduksi (film ke film ) serial Korea You Who Came From The Stars menjadi sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang. Terhadap dugaan pelanggaran penggandaan/reproduksi yang dilakukan pihak Production House Sinemart sebagai pemegang Hak Cipta sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang perlu dilakukan analisa dan pembuktian yang akurat terhadap perwujudan Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) secara nyata baik secara visual dan audiovisual yang mengambil ide dan ekspresi ide dari serial KoreaYou Who Came From The Stars.

In Article 40 letter m, Acts No. 28 Year of 2014 about Copyrights on the works that are protected as copyrights, among others is cinematography works. In creating one cinematography work, one of the methods is reproduction of a previous cinematography works that had been around into a new one. In Article 1 verse 12, Reproduction is a process, an act, or a method of reproducing a copy of a work and/or phonogram or more with whatever means or forms, either permanently or temporarily. A work of cinematograph is a work of art that shows a creation in the form of moving images in actual, either visually or with audio conducted by professionals in cinematography based on idea and creativity expansion which are personal and original. The form of ideas that creates a work of cinematography actually gained copyright protection as stated in Article 40 letter m, Acts No. 28 Year of 2014 about Copyrights. In an actual cinematography work, attached protection from the law given by UUHC 2014. The creator or the owner of that Cinematography Copyright, gets the exclusive rights to such work, either economic rights, moral rights, and other rights attached to it. In such actual Cinematography Copyright Protection, it gets not only the law protection from UUHC 2014, but also protection based on International Convention. In Indonesia today, there is an emerging problem regarding allegation on Cinematography Copyright violation in regards to the reproduction (movie to movie ) of Korean series titled You Who Came From The Stars being retitled as Kau Yang Berasal Dari Bintang. To this allegation conducted by Production House Sinemart as the copyright owner of series Kau Yang Berasal Dari Bintang needs to be analyzed and an accurate evidence regarding the actual works on moving images, visually and with audio that grabs the idea and expression featured in Korean series Who Came From The Stars."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurizza Amanda Puteri
"Indonesia memiliki sejarah perfilman panjang yang dimulai sebelum kemerdekaannya, dengan banyak karya sinematografi dari pita seluloid mengalami kerusakan karena usia. Pada tahun 2012, National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation bekerja sama dengan Sinematek Indonesia untuk merestorasi film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail. Restorasi film tentu melibatkan aspek Hak Cipta, sehingga tulisan ini membahas apakah hasil restorasi Lewat Djam Malam dapat dikategorikan sebagai karya derivatif, serta hak dan kewajiban pelaku restorasi dan Pemegang Hak Cipta dalam praktik restorasi tersebut. Penelitian hukum doktrinal ini menyimpulkan bahwa restorasi film tidak dianggap sebagai karya derivatif berdasarkan doktrin creativity school dan modicum of creativity karena tidak ada perubahan pada materi asli. Dengan demikian, hasil restorasi film Lewat Djam Malam tidak dapat dianggap sebagai karya derivatif. Proses restorasi termasuk kegiatan Penggandaan sesuai Pasal 9 UU Hak Cipta, sehingga memerlukan izin dari Pemegang Hak Cipta. Dalam kasus ini, pelaku restorasi tetap meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta meski sudah tidak berkewajiban karena film Lewat Djam Malam sudah menjadi domain publik. Di sisi lain, Pemegang Hak Cipta atas film Lewat Djam Malam keliru menganggap bahwa pendaftaran Hak Cipta atas film tersebut dapat memperpanjang keberlakuan Hak Ciptanya. Dikarenakan Hak Cipta atas Lewat Djam Malam sudah tidak berlaku, Pemegang Hak Cipta tidak lagi memiliki wewenang untuk memberikan lisensi Hak Cipta kepada pelaku restorasi film. Lisensi yang diberikan merupakan lisensi atas penggunaan kopi fisik dan digital hasil restorasi film, bukan lisensi atas Hak Cipta.

Indonesia has a long history of filmmaking that began before its independence, with many cinematographic works on celluloid film deteriorating over time. In 2012, the National Museum of Singapore and the World Cinema Foundation collaborated with Sinematek Indonesia to restore the film Lewat Djam Malam (1954) by Usmar Ismail. Film restoration involves aspects of Copyright Law, thus this paper discusses whether the restoration of Lewat Djam Malam can be categorized as a derivative work, as well as the rights and obligations of the restorers and Copyright Holders in this practice. This doctrinal legal research concludes that film restoration is not considered a derivative work based creativity school and modicum of creativity doctrines, as it lacks originality or changes to the original material. The restoration process, including duplication activities according to Article 9 of the Copyright Law, requires permission from the Copyright Holder. In this case, the restorers still requested permission from the Copyright Holder even though it was not obligatory because Lewat Djam Malam had entered the public domain. On the other hand, the Copyright Holder of Lewat Djam Malam mistakenly believed that registering the Copyright could extend its validity. Since the Copyright for Lewat Djam Malam has expired, the Copyright Holder no longer has the authority to grant a Copyright license to the film restorers. The license provided is for the use of physical and digital copies of the restored film, not a Copyright license."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Galuh Damar Jati
"Karakter fiksi merupakan salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari suatu karya khususnya karya sinematografi. Suatu karakter fiksi merupakan kerja keras dan jerih payah pencipta dari hasil olah kreativitas dan imajinasinya. Karakter fiktif juga merupakan salah satu unsur utama yang mendukung tema dan konflik dalam suatu narasi. Dalam Undang-Undang Hak Cipta saat ini belum mengatur secara khusus berkaitan dengan perlindungan terhadap suatu karakter fiksi. Perlindungan terhadap suatu karakter fiksi secara umum masih terhadap media dimana tempat karakter tersebut berada. Berbeda dengan Amerika Serikat, perlindungan terhadap karakter fiksi disana telah diakui dengan menerapkan standar-standar seperti Character Delineation Test dan Story Being Told Test, sehingga diperoleh kepastian perlindungan terhadapnya. Lebih lanjut, hal itu akan berpengaruh terhadap penggunaan yang wajar pada suatu karakter fiksi. Penggunaan yang wajar atau fair use merupakan salah satu doktrin sebagai bentuk pembatasan terhadap hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta. Penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi di Indonesia sejatinya merupakan penggunaan yang wajar terhadap suatu karya sinematografi khususnya film. Sebab karakter merupakan bagian utama dari suatu karya film yang membangun cerita dalam mendukung tema dan konflik. Sehingga penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi termasuk di dalam penggunaan yang wajar terhadap suatu karya film. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana perlindungan dan prinsip penggunaan yang wajar terhadap suatu karakter fiksi di dalam ketentuan Undang-Undang Hak Cipta

Fictional characters are one of the integral elements of a work, especially a cinematographic work. A fictional character is the result of the creator's work and effort, as well as his creativity and imagination. Fictional characters are also one of the main elements that support the theme and conflict in a narrative. The current copyright law in Indonesia does not specifically regulate the protection of a fictional character. In general, the protection of a fictional character still on the media where the character is located. In contrast to the United States, the protection of fictional characters has been recognized in that country by using standards such as the character delineation test and the story being told test to ensure certainty of protection against it. Furthermore, it will affect the fair use of a fictional character. Fair use is one of the doctrines that limit the exclusive rights owned by the creator. Fair use of a fictional character in Indonesia is actually a fair use of a cinematographic work, especially a movie. Because characters are the main part of a movie, they build a story for supporting themes and conflicts. Therefore, the fair use of a fictional character is included in the fair use of a film work. By using the normative juridical research method, this paper will analyze how the protection and principle of fair use of a fictional character are addressed in the provisions of the Copyright Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Nurhayati
"Salah satu sisi HKI yang tidak dapat dielakkan terutama dewasa ini adalah semakin erat pengaruh HKI dalam perdagangan internasional. HKI menjadi semakin penting mengingat perannya yang begitu besar bagi kehidupan industri dan perdagangan intemasional. Dalam kebijakan HKI nasional, Indonesia telah turut serta dalam komunitas global, dengan telah meratifikasi Persetujuan WTO (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994, dengan demildan Indonesia terikat dengan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh WTO, termasuk kesepakatan TRIPS (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights). Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur pula mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai hak cipta yaitu karya sinematografi.
Karya sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images). Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan. Perlindungan selain terhadap sinematografi dan karya cipta yang dilindungi sebagaimana diatur dalam undang-undang, perlindungan juga dapat diberikan terhadap semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Sehingga tanpa kita sadari karya cipta yang dihasilkan oleh seseorang dengan intelektualnya menciptakan sesuatu, secara cepat telah terjadi peniruan atas karya ciptanya.
Permasalahan yang menjadi pembahasan sejauhmana Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur perlindungan hak cipta atas karya film sinematografi dan upaya-upaya apa yang dapat ditempuh oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran, dalam melindungi karya sinematografi dan hambatan-hambatan apakah yang di had api oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran dalam melindungi karya sinematografi.
Karya cipta atas sinematografi merupakan salah satu obyek perlindungan hak cipta, dan rekaman atas filmnya dilindungi oleh hak yang berkaitan hak eksklusif. Langkah yang ditempuh oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran berupa preemtif, preventif dan represif. Hambatan-hambatan yang dihadapi berupa Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya perlindungan hak cipta, kurangnya koordinasi nasional dari para penegak hukum, kurangnya tenaga dan keahlian teknis di lapangan, serta kurangnya sarana pendukung operasional di kalangan penegak hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Hariani
"Penegakan hukum Hak atas Kekayaan Intelektual ("HKI")di negara-negara berkembang, bukan hanya mengalami ketertinggalan dari sudut peraturan perundang-undangan. Ketertinggalan yang lebih jauh adalah pemahaman terhadap prinsip perlindungan HKI. Ketertinggalan dimaksud terjadi karena terdapat permasalahan utama bahwa di negara-negara berkembang asumsi yang mengatasnamakan kepentingan publik di semua bidang masih amatlah kental. Ini mengakibatkan bahwa ketentuan-ketentuan HKI yang ada dalam peraturan perundang-undangan menjadi berbenturan dengan pemahaman seperti itu yang masih melekat dalam peraturan perundangundangan lain.
Hal demikianlah yang terjadi pada karya cipta sinematografi yang dilindungi oleh Hak Cipta. Perlindungan hak cipta yang terdiri dani hak ekonomi dan hak moral bagi pencipta yang menciptakan karya Sinematografi adalah terlahir dengan sendirinya. Namun ternyata perlindungan tersebut secara riil tidak dapat diberikan karena berbenturan dengan peraturan perundangundangan di bidang perfilman khususnya yang mewajibkan setiap karya film harus disensor dengan mengatasnamakan kepentingan kebudayaan.
Dasar-dasar perlindungan Hak Cipta telah dikesampingkan dalam hal sensor film terhadap sebuah karya cipta sinematografi. Henturan ketentuan sensor film dengan prinsip perlindungan hak cipta yang utama merupakan benturan dengan hak moral yang melarang adanya perubahan dalam bentuk apapun terhadap ciptaan; sedangkan penolakan secara utuh sebuah karya sinematografi oleh Lembaga Sensor film telah mengakibatkan matinya hak-hak ekonomi pencipta."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R Nurhayati
"ABSTRAK
Salah satu sisi HKI yang tidak dapat dielakkan terutama dewasa ini adalah
semakin erat pengaruh HKI dalam perdagangan internasional. HKI menjadi
semakin penting mengingat perannya yang begitu besar bagi kehidupan industri
dan perdagangan internasional. Dalam kebijakan HKI nasional, Indonesia telah
turut serta dalam komunitas global, dengan telah meratifikasi Persetujuan WTO
(Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui Undang-Undang
No.7 Tahun 1994, dengan demikian Indonesia terikat dengan aturan-aturan yang
dikeluarkan oleh WTO, termasuk kesepakatan TRIPs (Trade Related Aspect o f
Intellectual Property Rights). Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta mengatur pula mengenai ciptaan yang diberikan perlindungan sebagai
hak cipta yaitu karya sinematografi. Karya sinematografi merupakan media
komunikasi massa gambar gerak (moving images). Karya serupa itu dibuat oleh
perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan. Perlindungan selain
terhadap sinematografi dan karya cipta yang dilindungi sebagaimana diatur dalam
undang-undang, perlindungan juga dapat diberikan terhadap semua ciptaan yang
tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang
nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Sehingga tanpa kita
sadari karya cipta yang dihasilkan oleh seseorang dengan intelektualnya
menciptakan sesuatu, secara cepat telah terjadi peniruan atas karya ciptanya.
Permasalahan yang menjadi pembahasan sejauhmana Undang-undang
No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur perlindungan hak cipta atas karya
film sinematografi dan upaya-upaya apa yang dapat ditempuh oleh pencipta atau
pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran, dalam melindungi karya
sinematografi dan hambatan-hambatan apakah yang di hadapi oleh pencipta atau
pemegang hak cipta dan lembaga penyiaran dalam melindungi karya
sinematografi.
Karya cipta atas sinematografi merupakan salah satu obyek perlindungan
hak cipta, dan rekaman atas filmnya dilindungi oleh hak yang berkaitan hak
eksklusif. Langkah yang ditempuh oleh pencipta atau pemegang hak cipta dan
lembaga penyiaran berupa preemtif, preventif dan represif. Hambatan-hambatan
yang dihadapi berupa Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
arti pentingnya perlindungan hak cipta, kurangnya koordinasi nasional dari para
penegak hukum, kurangnya tenaga dan keahlian teknis di lapangan, serta
kurangnya sarana pendukung operasional di kalangan penegak hukum."
2005
T36655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>