Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwipo Satrio Linuwih
"Arab Saudi merupakan sebuah negara di Timur Tengah yang melakukan berbagai upaya diplomasi seperti, diplomasi politik, ekonomi dan budaya, guna memperkuat pengaruhnya dalam ranah Internasional. Diplomasi esports menjadi instrumen diplomasi terbaru yang dilakukan oleh saudi untuk mendiversifikasi alat diplomasi yang dimiliki. Perkembangan esports di dunia yang berkembang dengan sangat pesat dengan jutaan penikmat dan tersebar di seluruh dunia membuat Saudi yakin atas potensi besar dalam industri ini sebagai alat diplomasi dan soft power. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengetahui secara lebih dalam mengenai diplomasi esports di Arab Saudi dan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori diplomasi dan teori multi track diplomacy. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa esports menjadi alat diplomasi yang efektif bagi Saudi dengan mengadakan berbagai program dan kebijakan yang semakin memperkuat sektor diplomasi dan ekonomi guna memperkuat hubungan internasional dan menyambut Saudi Vision 2030. Pada penelitian ini juga ditemukan upaya diplomasi Arab Saudi menggunakan esports dengan pendekatan soft power melalui 6 dari 9 jalur konsep multi track diplomacy.
Saudi Arabia is a Middle Eastern country that engages in various forms of diplomacy, including political, economic, and cultural diplomacy, to strengthen its influence on the international stage. Esports diplomacy is the latest diplomatic instrument employed by Saudi Arabia to diversify its diplomatic tools. The rapid global growth of esports, with millions of enthusiasts worldwide, has convinced Saudi Arabia of the immense potential of this industry as a diplomatic and soft power tool. This research utilizes qualitative methods to gain a deeper understanding of esports diplomacy in Saudi Arabia. The theories used in this study are diplomacy theory and multi-track diplomacy theory. The findings indicate that esports has become an effective diplomatic tool for Saudi Arabia by implementing various programs and policies that further strengthen the diplomatic and economic sectors, thereby enhancing international relations and aligning with Saudi Vision 2030. The research also reveals that Saudi Arabia's diplomatic efforts using esports leverage soft power through 6 out of 9 tracks of the multi-track diplomacy concept."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Sherly Rahma
"Diplomasi vaksin adalah bagian dari diplomasi kesehatan global mengacu pada penggunaan maupun pengiriman vaksin dengan keterlibatan berbagai macam aktor. Diplomasi vaksin menyasar ancaman paling dasar manusia, yakni kesehatan. Momentum besar diplomasi vaksin ketika COVID-19 menelan korban jiwa daripada yang dilaporkan secara resmi. Merefleksikan peristiwa tersebut, kepemimpinan dan tata kelola kesehatan global menjadi momok yang dipertanyakan dalam penanganan wabah. Tulisan ini menggunakan 27 literatur dengan metode taksonomi yang dibagi dalam empat segmen (1) Konseptualisasi Diplomasi Vaksin, (2) Motivasi Diplomasi Vaksin, (3) Tujuan Diplomasi Vaksin, (4) Tantangan Diplomasi Vaksin. Temuan tulisan ini berupa tiga poin. Pertama, diplomasi vaksin menghasilkan praktik diplomasi konkret berupa pola persaingan dan ketergantungan. Kedua, diplomasi vaksin dipersepsikan sebagai medium pemenuhan kepentingan politik. Ketiga, vaksin sebagai barang primer karena sifatnya yang preventif menjadi medium unik serta efektif di tengah konflik dan kontestasi politik termasuk penggunaanya oleh rising power untuk menantang posisi hegemoni. Saat Covid-19, sifat alamiah vaksin didorong dengan serangkaian fragmentasi antara negara Barat dan Selatan menciptakan diplomasi vaksin yang timpang maupun berdampak pada adanya relasi kuasa antara negara produsen atau pendonor dengan penerima. Penimbunan vaksin Covid-19 marak dilakukan oleh negara Barat maupun produsen kawasan Selatan yang mengikat penerima donor di kawasan Asia, Eropa, dan Afrika dengan intensi politiknya.

Vaccine diplomacy is part of global health diplomacy, referring to the use and delivery of vaccines with the involvement of various actors. Vaccine diplomacy targets the basic human threat, namely health. Momentum of vaccine diplomacy reach when COVID-19 claimed more lives than officially reported, thus leadership and global health governance are questionable in handling the outbreak. This paper uses 27 literatures with a taxonomy method divided into four segments (1) Conceptualization, (2) Motivation, (3) Objectives, (4) Challenges. The findings of this paper are three points. First, vaccine diplomacy produces concrete diplomatic practices in the form of competition and dependency patterns. Second, vaccine diplomacy is perceived as a medium for fulfilling political interests. Third, vaccines as primary goods become unique and effective medium for settling conflict due to their preventive nature, including the usage by rising powers to challenge hegemonic positions. During Covid-19, the nature of vaccines was driven by a series of fragmentation between Western and Southern countries creating unequal vaccine diplomacy and impacting on the power relations between producer or donor countries and recipients. Hoarding of Covid-19 vaccines is rampant by Western countries and Southern producers who bind donor recipients in Asia, Europe and Africa with their political intentions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achi Sari
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan diplomasi publik Amerika Serikat terhadap Indonesia, melalui studi kasus program pertukaran Sebuah Dialog Agama dan Masyarakat Amerika Serikat dan Indonesia (Religion and Society: A Dialogue U.S. and Indonesia). Penelitian ini menggunakan konsep soft power dari Joseph S. Nye untuk menjawab pertanyaan penelitian dan menguji hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu terorisme.
Penelitian ini menemukan bahwa kegiatan diplomasi publik yaitu melalui program pertukaran Sebuah Dialog Agama dan Masyarakat Amerika Serikat dan Indonesia (Religion and Society: A Dialogue U.S. and Indonesia) yang dilaksanakan Amerika Serikat di Indonesia adalah untuk menghambat penyebaran terorisme di Indonesia. Dalam program pertukaran yang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini, terdapat tiga sumber soft power yaitu kebudayaan, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negeri.

This research is exactly purposed to analyze the implementation of America's public diplomacy to Indonesia through Religion and Society: A Dialogue U.S. and Indonesia case study. In doing analysis, Joseph Nye?s soft power concept is comprehensively employed in this research to answer research question and to put the test of hipothesis.
By analyzing America?s public diplomacy in soft power framework, this research proves that this program is purposed to solve the spread of terrorism in Indonesia through three main source of soft power, namely culture, politics value, and foreign policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27868
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zein
"Konflik Israel-Lebanon 2006 adalah serangkaian tindakan militer dan bentrokan terus-menerus di Israel utara dan Lebanon yang melibatkan sayap bersenjata Hizbullah dan Angkatan Pertahanan Israel (Israeli Defence Force atau IDF). Konflik ini berawal ketika Hizbullah menyerang pasukan Israel yang menyusup ke daerah sekitar Alta al Chaab, Lebanon Selatan pada tanggal 12 Juli 2006, dan menawan dua tentara Israel. Namun mereka tetap dapat terus berhubungan dalam keadaan perang dan damai tanpa didasari hubungan diplomatik yang resmi, yang fungsinya sebagai perwakilan suatu negara untuk mengemukakan pendapat, negosiasi, kerjasama bilateral dan lainnya. Perang Israel-Lebanon 2006 merupakan suatu kejadian perang yang membutuhkan proses perdamaian dan diplomasi politik yang sah, serta dapat diselesaikan dengan menggunakan metode dan cara-cara yang terbaik untuk yang resmi seperti Persatuan Bangsa-Bangsa dan organisasi Konferensi Islam mampu mencegah dan menawan agresi militer Israel yang berlangsung selama 34 hari tersebut. Terjadinya perbedaan pendapat tentang perdamian yang dilakukan PBB, dengan dikeluarkannya Resolusi PBB 1701. Tetapi jika tidak ada peran organisasi internasional selaku aktor keamanan bersama tentu perang tidak akan pemah usai. Dimana salah satu tujuan PBB adalah untuk menciptakan perdamaian internasional

Israel-Lebanon conflict in 2006 was the series of military action and continues clash in north Israel and Lebanon which involved armed wing Hizbullah and Israeli Defence Force or IDF. This conflict began when Hizbullah attacked the intruder from Israeli corps who intruded into the area nearby Aita al Chaab, south Lebanon in July 12 2006 and captured two Israeli armies. Nevertheless, they still held relation each other in war and peace condition without having any legal diplomatic relation, which had function as the representative of a country to show its ideas, negotiations, bilateral cooperation and etc. the Israeli-Lebanon War in 2006 was the war which required legally political diplomacy and reconciliation process, and it could be accomplished by using method and the best ways to create the peaceful condition. The process and the present of the international legal institution such as United Nations and Islamic Conference Organization could prevent and held out military aggression from Israel which took a place for 34 days. There were different arguments about the reconciliation by United Nations because of its resolution in 1701, but if there was no role of International Organization as the collective security maker, the war must be never the end. Thus the purpose of United Nation is to create international reconciliation."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roy, Somendra Lal, 1929-
Jakarta: Rajawali, 1991
327.2 Roy d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Odjo Djohari
"ABSTRAK
Pemerintah Indonesia memilih penyelesaian masalah Timor Timur melalui tri patrite Talks, yaitu antara Indonesia, Portugal dan penengah Sekjen PBB sesuai dengan keingianan Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini secara Adil, Menyeluruh dan dapat diterima secara Internasional ('a just comprehensive and internationally acceptable solution) di forum Internasional.
Masalah Timor Timur sejak tahun 1976 merupakan hambatan bagi pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia sehingga untuk mengubah opini internasional Indonesia menerapkan diplomasi yang lebih intensif. Sejak Sidang Majelis Umum PBB ke-37 tahun 1982 yang mengeluarkan resolusi nomor 37/30, maka Prakarsa Sekjen PBB ini melalui penawarannya dalam mencari cara-cara penyelesaian masalah Timor Timur agar diterima kedua belah pihak, akhirnya disetujui pihak Indonesia dan Portugal. Untuk selanjutnya, melalui kedua wakil tetapnya masing-masing pada PBB di New York, mereka melakukan Perundingan bilateral. Namun pada tahap awal perundingannya Indonesia bersedia menempuh cara tersebut dengan syarat bahwa integrasi Timor Timur tidak dapat diungkit-ungkit lagi, karena pihak Indonesia menganggap bahwa dengan deklarasi Balibo dari keempat partainya yaitu partai UDT, Apodeti, Kota, Trabalhista, Timor Timur sudah berintegrasi ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disyahkan dengan Ketetapan MPR RI Nomor VIIMPRI1978. Hal ini menunjukan bahwa baik secara de fakto maupun de jure masalah Timor Timur sudah dianggap tuntas, karena sudah berintegrasi dengan Indonesia.
Upaya penyelesaian masalah Timor Timur ini secara internasional masih terus berlangsung, dan pembicaraan segitiga antara Indonesia dan Portugal dibawah naungan Sekjen PBB terns berjalan dan bulan April 1999 ini memasuki putaran terakhir. Khusus mengenai dialog segitiga ini sebenarnya Menlu Ali Alatas telah menyampaikan usulan status khusus dengan otonomi luas ini sejak tanggal 18 Juni 1998 dan PBB pun menilai bahwa usulan Indonesia ini adalah sebagai perkembangan yang positif yang perlu ditindaklanjuti, dan akhirnya bukan hanya Sekjen PBB tetapi Portugal pun menerima usulan dari Indonesia ini dan bersedia untuk segera melanjutkan dialog segitiga yang pada waktu itu sempat terhenti.
Ada perkembangan yang mencolok dalam diplomasi RI ini yaitu pesatnya proses penyelesaian masalah Timor Timur, yang mengakibatkan tercapainya terobosan yang signifikan dalam perundingan Segitiga antara Menlu RI dan Menlu Portugal dibawah naungan Sekjen PBB ini dalam menyelesaikan masalah Timor Timur yang " Adil, tuntas, menyeluruh dan dapat diterima secara internasional" .Maka dengan demikian jurang yang memisahkan selama dua dasawarsa terakhir menganga lebar antara posisi dasar RI dan Posisi dasar Portugal, kini telah mulai terjembatani, dan suatu penyelesaian akhir masalah Timor Timur yang adil, tuntas, menyeluruh dan dapat diterima secara internasional dapat segera terwujudkan melalui pelaksanaan Dialog Segitiga antara RI, Portugal dan Sekjen PBB.
Hasil dari pesetujuan New York tangal 5 Mei 1999 antara ketiga pihak adalah bahwa Indonesia dan Portugal diberi wewenang untuk menyiapkan kerangka konstitusional otonomi khusus bagi Timor Timur. Sedangkan Sekjen PBB sendiri diberi mandat dan tanggung jawab penuh dalam melaksanakan persetujuan New York di atas.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penulisan Tesis ini adalah Diplomasi yang memfokuskan pada langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam masalah terkait. Kerangka pemikiran berikutnya adalah yang berasal dari konsep Game Theory atau teori Bargaining yang menekankan tawar menawar pada faktor untung rugi yang antara pihak Indonesia dan Portugal dalam merundingkan masalah Timor Timur ini. Kedua pemikiran ini kemudian dipergunakan untuk menjelaskan dan menelaah perrnasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T1324
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Belakangan ini , sejak era reformasi, kita mulai sering mendengar istilah "diplomasi publik" sebagai salah satu strategi kebijakan luar negeri Indonesia...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Munandar A. Saleh
"Tesis ini membahas kegagalan diplomasi Indonesia mencegah internasionalisasi Papua di Inggrisperiode 2008 & 2013. Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif eksplanatif. Sedangkan hasil penelitiannya menyimpulkan diplomasi pemerintah Indonesia lewat kebijakannya terkesan tidak serius untuk menangani isu Papua. Kemudian peran dan pengaruh dari Operasi Papua Merdeka (OPM) semakin meningkat dalam menggalang dukungan di kancah internasional. Olehnya itu, perlu adanya pemetaan kembali masalah Papua secara baik dan pelibatan aktor-aktor lain dalam pelaksanaan diplomasi Indonesia

This Thesis discusses the failure of Indonesian diplomacy to prevent internationalization of Papua in the UK from 2008 and 2013. The method used is qualitative explanative. While the research results conclude diplomacy Indonesia government through its policy does not seem serious to deal with the issue of Papua. Then the role and influence of Operations Free Papua (OPM) is increasing in garnering support in the international arena. By him, the needs for mapping back problems as well Papua and the involvement of others actors in the implementation of Indonesia`s diplomacyInternationalization Papua, Indonesia`s Diplomacy, Operation of Free Papua (OPM)."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jani Mediawati Sasanti
"Tesis ini membahas diplomasi lingkungan AS dalam Konvensi Perubahan Iklim pada periode 1992-2002 yang terbagi atas periode sampai dengan terbentuknya Protokol Kyoto dan paska Protokol Kyoto, dengan memfokuskan pada diplomasi lingkungan yang dijalankan AS pada periode tersebut dan bagaimana AS mengatasi berbagai permasalahan perubahan iklim global. Dalam perkembangannya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi diplomasi lingkungan AS yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Tesis ini memiliki relevansi yang sangat erat dengan ilmu hubungan internasional, mengingat unit yang dianalisa tidak hanya negara (dalam hal ini AS dan negara berkembang), tetapi juga aktor non negara (NGO dan kelompok industri). Selain itu tesis ini juga memperlihatkan tarik menarik kepentingan yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang dalam memandang masalah lingkungan tersebut serta diplomasi AS dalam pembuatan protokol Kyoto sebagai implementasi dari United Nation Framework Convention on Climate Change yang menjadi payung perjanjian perubahan ikiim global. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah diplomasi lingkungan AS sebagai negara besar di dunia terhadap isu lingkungan yang merupakan agenda baru yang mengemuka dalam hubungan internasional setelah berakhirnya Perang Dingin.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan berbagai pemikiran yang ada seperti pemikiran Donald E. Nuechterlein akan dijadikan sebagai rujukan mengenai kepentingan nasional, pemikiran Coloumbis mengenai tujuan dari politik luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri, teori Kegley dan Wittkopf mengenai komponen kebijakan luar negeri, pemikiran Robert L Paarlberg mengenai tipe kebijakan luar negeri AS di bidang lingkungan, pemikiran Diamond dan Donald mengenai multi-track diplomacy, pemikiran Suskind dan Thomas mengenai peran non-state actor, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang dikemukakan, ditemukan bahwa diplomasi lingkungan AS dalam menghadapi perubahan iklim dalam dua babakan periode mengalami perubahan signifikan yaitu dari tips kebijakan committed ke arah convenient. Selain itu ditemukan banyak faktor yang mempengaruhi diplomasi lingkungan AS, namun dapat diidentifikasi bahwa dari kesemua faktor tersebut, terdapat 4 faktor yang paling banyak memberikan pengaruh/tekanan yaitu kepentingan nasional AS, peranan, tekanan dari pihak industri dan isi dari Protokol Kyoto itu sendiri. Keempat faktor tersebut dalam perkembangannya juga mempengaruhi ketidakmauan AS untuk memenuhi komitmennya dalam mengurangi emisi pada tingkat seperti yang telah ditetapkan dalam Protokol Kyoto. Sedangkan peran yang dimainkan AS dalam tiap perundingan perubahan iklim bergerak dari lead country menuju veto country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eza Ivan Amrullah
"Artikel ini membahas dinamika hubungan Indonesia – Korea Utara sepanjang tahun 1960 hingga tahun 1967. Hubungan bilateral tersebut secara perlahan terjalin dengan erat dan bisa dikatakan masa ini merupakan masa keemasan hubungan kedua negara. Hubungan ini terjalin sebagai kesamaan kepentingan Indonesia dengan Korea Utara yang berujung dengan kesamaan pandangan dalam kebijakan luar negerinya dan tidak menyinggung kepentingan masing-masing. Indonesia pada saat itu mencari dukungan terhadap ‘Konfrontasi’ dengan Malaysia, sedangkan Korea Utara mencari dukungan untuk menyatukan Semenanjung Korea secara penuh di bawah kepemimpinannya. Penulis ingin melengkapi penulisan hubungan kedua negara yang berfokus pada tahun 1960 hingga 1967 yang merupakan masa Demokrasi Terpimpin dan diharapkan dapat menjadi terobosan dan pondasi awal dalam menulis hubungan Indonesia – Korea Utara pada penelitian berikutnya. Dalam penelitian yang penulis temukan, dalam kasus Indonesia dan Korea Utara ditemukan bahwa hubungan kedua negara secara perlahan saling memberi dukungan dalam kebijakan luar negerinya, yang pada perjalanannya memiliki kesamaan visi sehingga sangat menarik untuk dikaji faktor pemicu hubungan bilateral kedua negara tersebut. Penelitian artikel ini menggunakan metode sejarah terbagi menjadi empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam artikel ini, sumber yang digunakan berupa arsip, surat kabar, buku, dan jurnal.

This article discusses about Indonesia-North Korea relations from 1960 to 1967. Their bilateral relation are getting closer and this period is the golden age of relations between the two countries. The two countries relation established as a common interest between Indonesia and North Korea which leads to same common view in their foreign policy and does not offend each other's interests. Indonesia at that time sought support for the 'Confrontation' with Malaysia, while North Korea sought support for a full unification within the Korean Peninsula under his leadership. I want to fulfill the article of relations between the two countries that focused on 1960 to 1967 which is the period of Guided Democracy and expected to be a breakthrough and foundation for Indonesia-North Korea relations in the next research. In this research, I found that the relationship between the two countries slowly supported each other in their foreign policy, which along the way had the same vision and fascinating to deep research the factors that triggered the bilateral relations between the two countries. This article research using the historical method is divided into four stages, namely heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. In this article, the sources used are archives, newspapers, books, and journals."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>