Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164554 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfa Yulian Firmansyah
"Artikel ini membahas mengenai pemindahan tahanan politik (Tapol) wanita golongan B di Jakarta ke Kamp Tapol di Plantungan, Kendal. Setelah peristiwa G30S/PKI, banyak dari masyarakat mengalami penangkapan tanpa prosedur yang jelas akibat terlibat sebagai anggota maupun memiliki kedekatan anggota dengan PKI maupun organisasi underbouw PKI sehingga menyebabkan kepadatan di berbagai lembaga pemasyarakatan (Lapas). Kepadatan ini juga terjadi di Jakarta, terutama Lapas Wanita Bukit Duri akibat terus bertambahnya jumlah tahanan tiap tahunnya. Atas dasar tersebut, dikeluarkanlah kebijakan untuk memindahkan tahanan politik Gol. B pada tahun 1969, yaitu dengan memindahkan mereka ke tempat terpencil. Salah satunya memindahkan tahanan politik wanita ke bekas Rumah Sakit Lepra di Plantungan, Kendal. Secara berangsur, pada tahun 1971 bekas rumah sakit ini pun beralih menjadi kamp tahanan politik wanita Eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun simpatisannya hingga tahun 1979. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah dengan tahapan pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Akibat terus bertambahnya jumlah tahanan di Lapas Bukit Duri, Pada tahun 1971 dikeluarkan kebijakan pemindahan tahanan politik perempuan di Jawa ke Kamp Plantungan sebagai sarana mengurangi jumlah penghuni dan meminimalisasi pengeluaran anggaran sekaligus menanamkan nilai-nilai Pancasila.

This Article discusses about transfer of Group B female political prisoners from Jakarta to political prisoner camp in Plantungan, Kendal. After the G30S/PKI incident, many people were arrested without clear procedures as a result of being as members or having close ties with PKI and PKI affiliate organizations causing overcrowding in many prisons. This overcrowding also occurs in Jakarta, especially Bukit Duri women's prisons because of the increasing number of prisoners every year. On this basis, a policy was issued to transfer Group B political prisoners in 1969 by moving them to a remote location. One way is to move female political prisoner to the former Leprosy Hospital in Plantungan, Kendal. Slowly, in 1971 this former hospital was converted into a prisoner camp for women's political prisoners for the ex-PKI and it's affiliated until 1979. The research method for this article is Kuntowijoyo historical research, the stages of this methods are topic selection, heuristrics, verification, interpretation, and historiography. As a results of increased number of prisoners in Bukit Duri prisons, in 1971 a policy issued to transfer female political prisoners in Java to Plantungan as a means of reducing the number of residents in and minimize expenditure while instilling Pancasila values to them."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ania
"Penelitian ini berjudul "Implementasi Aspek Keselamatan Standart Minimum Rules (SMR) Di Lembaga pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis. Dalam Aspek keselamatan terdapat beberapa standar yakni tentang klasifikasi/pemisahan, disiplin, penggunaan kekerasan, penggunaan alat pembatas gerak dan pengaduan. Alasan kenapa penulis memilih aspek tersebut adalah karena keselamatan dan Hak Asasi Manusia berhubungan erat, keselamatan di Lapas merupakan kebutuhan utama baik untuk petugas maupun narapidana. Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan implementasi aspek keselamatan Standart Minimum Rules (SMR) pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang dipengaruhi oleh pertama overkapasitas pada Lapas, dikarenakan meningkatnya jumlah narapidana/tahanan kasus narkoba, sehingga pemisahan kategori narapidana atau klasifikasi pada Lapas overkapasitas terbentur dengan masalah terbatasnya sarana dan prasarana yang terdapat didalam Lapas. Kedua disiplin dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan tergantung pada kepatuhan narapidana tersebut dan pengelolaannya dilakukan oleh pemuka atau tamping bukan oleh petugas. Ketiga Komunikasi keluar ataupun pengaduan yang akan dilakukan narapidana akan disensor terlebih dahulu atau atas seijin Kalapas.
Upaya-upaya yang dilakukan mengatasi hambatan implementasi aspek keselamatan SMR pada Lapas Narkotika Cipinang dengan menambah sarana blok hunian narapidana atau membangun gedung Lapas baru untuk hunian narapidana, dan membuat kebijakan Lapas tentang peraturan disiplin, kebijakan peran dan tanggung jawab masing-masing tamping dan pemuka di semua bidang, kebijakan mengenai mekanisme pengaduan.

The study is titled "Safety Aspect Implementation of the Standard Minimum Rules (SMR) at Class IIA Cipinang Narcotic Correctional Institution". The background of the title selection is based on empirical and theoretical studies. In the safety aspect that there are some standards on the classification / separation, discipline, use of force, the use of a limiting motion and complaint. The reason why the author chose this aspect is due to the safety and human rights are closely linked, safety in prisons is a major requirement for officers and inmates. Location of research done at Classs IIA Cipinang Narcotics Correctional Institution. The research method used in this research is using qualitative approach.
The results shows that safety aspect implementation of the standard minimum rules (SMR) in the Cipinang Narcotics Correctional Institution first affected by overcapacity, due to the increasing number of inmates / detainees drug case, so the separation of category or classification of inmates in Correctional Institution overcapacity collided with the problem of limited means and infrastructure that may be in Correctional Institution. Both discipline and order in the Correctional Institution inmates are dependent on compliance and managed by leaders or tamping not by officers. Third Communication complaints out or to be carried prisoners to be censored or for permission first from Kalapas.
Efforts were made to overcome barriers to the implementation of the safety aspects of SMR at Narcotics Prison Cipinang by adding residential block inmates or means of building new Correctional Institution for housing inmates, and make policy on Correctional Institution disciplinary rules, policies, roles and responsibilities of each tamping and leaders in all areas, the policy on complaints mechanism.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amurwani Dwi Lestariningsih
"Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa yang dialami oleh para tahanan politik wanita di Kamp Pelantungan dan menjelaskan kehidupan para tahananan politik selama di dalam kamp serta hubungannya dengan masyarakat sekitarnya. Setelah peristiwa 30 September 1965. Orang-orang yang beraliran komunis ditangkap dan penjarakan. Beberapa wanita yang ikut dalam organisasi yang berideologi komunis ditahan. Mereka kemudian digolongkan menurut tingkat keterlibatannya. Para tahanan politik wanita dianggap terlibat, akan tetapi tidak mempunyai bukti yang kuat digolongkan sebagai tahanan politik golongan B. Sejak itu kehidupan mereka mulai berubah. Mereka harus menjalani pemeriksaan, serta dipisahkan dari keluarganya. Di tahan dari satu kamp ke kamp yang lainnya. Mereka disiksa baik secara fisik maupun psikologis.
Pada tahun 1971, pemerintah mereedukasi para tapol wanita golongan B di Pelantungan, sebelum mereka dikembalikan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan para tapol wanita di Pelantungan tampaknya tidak jauh berbeda dengan perlakuan yang sarat dengan tindak kekerasan yang berupa penyiksaan mental maupun fisik. Penyiksaan dan pelecehan seksual dialami oleh para tapol wanita. Beberapa orang tapol bahkan mengalami kehamilan. Selama di dalam kamp para tapol direedukasi agar menjadi manusia yang berideologi Pancasila dan meninggalkan ideologi komunis, melalui berbagai kegiatan.
Berkaitan dengan masalah itu beberapa pertanyaan yang muncul kemudian adalah; Mengapa Pelantungan dipilih sebagai tempat rehabilitasi para tapol wanita? Siapa sajakah yang dijadikan tapol wanita? Bagaimanakan aktifitas para tapol wanita selama di kamp? Bagaimana para mantan tapol wanita menjalani kehidupan setelah bebas dari kamp tahanan politik di Pelantungan? Seberapa jauh upaya reedukasi ideology mampu mengubah ideologi tapol?
Untuk menjawab penelitian ini digunakan metode sejarah lisan. Hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam mencari sumber-sumber tertulis yang mengungkapkan tentang kehidupan para tapol selama di Kamp. Pelantungan.
Dari metode ini dapat diperoleh jawaban, bahwa pemilihan Pelantungan sebagai kamp reedukasi para tapol wanita berkaitan dengan status pemilikan tanah, yaitu tanah milik militer sejak masa Hindia Belanda. Disamping tempat yang terisolir jauh dari jangkauan masyarakat luas. Beberapa dari penghuni kamp adalah para tokoh politik wanita dan aktifis organisasi wanita onderbouw PKI, meskipun terdapat kesalahan penangkapan terhadap beberapa gadis muda yang tidak terlibat dalam organisasi yang berideologi komunis. Selama di kamp para tapol menjalani rehabilitasi mental, pendidikan/penerangan agama, kesehatan, hiburan, olah raga, latihan kerja dan kerajinan. Setelah menjalani reedukasi selama di kamp program itu telah berhasil mematikan identitas mematikan identitas diri para tapol wanna. Setelah keluar dari kamp para tapol cenderung menyembunyikan identitas dirinya Mereka kemudian membuat suatu kelompok berupa paguyupan "Pakorba Pelantungan" yang diisi dengan kegiatan arisan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramelan Suprihadi
"Salah satu tahap dalam pebinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan ialah tahap asimilasi dengan tujuan menyiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat. Untuk tujuan itulah maka narapidana memerlukan bekal berupa keterampilan yang akan mereka gunakan untuk mencapai sumber di masyarakat setelah mereka babas, hal ini dilakukan melalui kegiatan kerja. Pada kenyataannya, yang terjadi ialah masih banyaknya narapidana similasi yang tidak terserap dalam kegiatan kerja sehingga mereka mengisi waktunya hanya dengan bergerombol dan berbincang-bincang atau hanya sekedar membersihkan halaman lapas. Untuk menanggulangi hal ini perlu adanya suatu kegiatan kerja yang terencana secara sistematis. Hal inilah yang masih merupakan perrnasalahan di lembaga pemasyarakatan yaitu tidak adanya perencanaan yang baku tentang kegiatan kerja khususnya untuk narapidana asimilasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggambarkan perencanaan kegiatan kerja yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan dan memberikan gambaran mengenai perancanaan yang ideal berdasarkan tahapan sistematis dari sebuah perencanaan kegiatan kerja. Hasil penelitian, menunjukan bahwa perencanaan keg iatan kerja yang dilakukan belum berdasarkan tahapan ideal dari sebuah perencanaan yang mangakomodasi kegiatan dari mulai persiapan hingga evaluasi. Hal ini lah yang mengakibatkan suatu kegiatan kerja dilaksanakan berangkat dari adanya aturan dan pelambagaan yang sudah ada tanpa mempertimbangankan perubahan yang terjadi.

The assimilation is one step of prisoners coaching in correctional institution. it is preparing the prisoners to come back to community. Through the work plan, prisoners get skill to reach the source of earnings if they have freedom and come back to community. In fact, much more the Assimilation prisoners not absorb at work plan. Then they just make a group and chatting or just cleaned the prison. A Systematic work plan need to solve that problem. However, this problem still happened in the prison because no standard assimilation prisoners work plan. To described ideal planning based on systematic of the work plan at coorectional institution, this research was using descriptive research method with approach qualitative. The result of this research has showed that work plan preparing until evaluation in the correctional institution still not based of ideal step. The consequence, without consideration of the change, work plan at the correctional institutions always just based of the roles and institution."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20804
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elviera Agustin
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem kemitraan kegiatan kerja antara Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tangerang dengan PT. Ikezaki Tekindo Tama dalam bidang aerosol dan non aerosol tahun 2004-2006. Untuk membahas hal tersebut, pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan desain deskriptif yaitu menggambarkan kemitraan ditinjau dari teori sistem. Data diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap 10 informan yang terlibat dalam kegiatan kemitraan. Dari analisis terhadap basil wawancara disimpulkan bahwa : 1) Lingkungan kurang mendukung kemitraan, 2) Input kurang sesuai ketentuan, 3) Proses tidak optimal, 4) Output tidak sesuai target, 5) Impact kurang optimal, 6) Feedback, perlu adanya evaluasi terhadap input dan proses. Hasil penelitian menyarankan perk' adanya komitmen kalapas dalam pelaksanaan kemitraan dan model yang dapat dijadikan acuan pelaksanaan kemitraan di lembaga pemasyarakatan.

The purposes of this research is to analysis the partnership system between First Class Tangerang Correctional Institution with PT. Ikezaki Tekindo Tama in the prisoners autonomous program. Related with that case the research use qualitative descriptive interpretive to describe about the partnership that is observed by system theory. The number of informan are ten people consist of stakeholder that involve in the partnership program, aerosol and non aerosol production in 2004-2006. This research is qualitative descriptive interpretive. The data was collected by means of deep interview through 10 informans that involve in the partnership. The following are the research : I) Environment is not support enough, 2) Input is not sufficient to support the partnership, 3) Process is not optimal, 4) Output is not comfort with the target, 5) Impact is not optimal, 6) Feedback that clarify have to evaluate input and process. These research suggest that have to commitment of Chief to support the partnership and provide partnerships model which can help in partnership implementation."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
"Kondisi utama yang ingin dicapai setiap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) adalah aman tertib tanpa gangguan keamanan dan ketertiban. Petugas Kesatuan Pengamanan merupakan SDM penting yang menentukan kondisi keamanan lapas.
Petugas pengamanan memiliki peranan penting dalam pelaksanaan manajemen pengamanan, terrnasuk di dalamnya sistem pengamanan yang diterapkan. Terjadinya pelarian Gunawan Santoso adalah terutama kesalahan dan sistem pengamanan dan petugas pengamanan yang melaksanakan sistem tersebut.
Shery Staruss mengatakan bahwa pengertian lebih luas tentang keamanan dapat diartikan sebagai pencegahan terhadap adanya kerugian dan sebab apapun, baik secara fisik maupun non fisik, berwujud maupun tidak berwujud. Salah satu kerugian yang dihindari di Lapassustik Jakarta adalah peredaran dan pemakaian gelap narkoba di lingkungan keamanan Lapassustik Jakarta dan mencegah terjadinya pelarian. Kondisi ini jelas harus didukung oleh SDM petugas pengamanan. Priyatno Rahardjo mengatakan bahwa terjadinya peningkatan pelarian salah satunya adalah rendahnya kualitas SDM petugas pengamanan , karena kurangnya pemahaman terhadap peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP) dan Prosedur Tetap (protap) pelaksanaan tugas pemasyarakatan.
Petugas pengamanan dalam penyelenggaraan manajemen pengamanan di Lapas Khusus Narkotika Jakarta adalah melaksanakan rangkaian kegiatan pengamanan, mengefektifkan sarana pengamanan untuk terciptanya kondisi lapas aman dan tertib, peranannya dalam terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban, serta kepemimpinan dalam mengefektifkan kerjasama tim petugas pengamanan.
Terjadinya pelarian terpidana mati Gunawan Santoso karena faktor - faktor kelalaian dan ketidakdisiplinan petugas pengamanan dalam melaksanakan tugasnya, kesalahan sistem pengamanan khususnya sitem pengamanan kunci sel Gunawan Santoso, mental petugas pengamanan yang tidak siap sebagai petugas pengamanan Lapassustik, profesionalisme pekerjaan petugas pengamanan yang rendah perilaku petugas yang diskriminatif serta kondisi psikologis Gunawan Santoso sendiri. Penjatuhan pidana hukuman mati seakan sudah menjadi akhir bagi hidupnya, juga didukung rasa tertekan, stres dan depresi.
Kelemahan petugas pengamanan dalam melaksanakan pengamanan maksimum di lapasssutik Jakarta dikarenakan beberapa faktor, yaitu jumlah personil yang tidak seimbang dengan jumlah warga binaan,kurangnya koordinasi dan kerjasama tim serta minimnya pengetahuan dan tekhnik dalam pelaksanaan tugas pengamanan.

Every correctional institution and state detention centers wants to achieve and maintain a condition whereby there is no threat to security and order. Therefore officers of the security detail are the important human resource to determining the security condition of the institution and centers.
The security detail officers have an important role in undertaking security management, including the security system implemented. Flaws in the security system and mistakes of the security officers implementing the system were the major causes which led to the escape of Gunawan Santoso.
Sherry Strauss states that further understanding of security can be defined as to avoid suffering losses and whatever reasons, physical or non physical and whether existing or non existing. One of the losses avoided by the Jakarta Narcotics Detention and Correctional Institution is the distribution and misuse of narcotics as well as escape attempts.. This situation therefore needs the support of security human resource. Priyatno Rahardjo explains that the increase in escapes is due to among them the poor human resource quality in the security detail caused by the lack in understanding of the rules applied in securing security in correctional facilities implementing of the standard operating procedure of correctional duties.
In the Jakarta Narcotics Detention and Correctional Institution, security officers carry out in the process of implementing the security management, conduct a series of security activities including maximization in utilizing security infrastructures to maintain order and security in the facility, roles to play in facing threats to security as well as leadership in effecting cooperation among members of the security details.
Flaws in the security system especially the system for the security of the cell keys, the mentality of the security officers who are not ready to undertake the responsibility as members of the facility security detail, low professional work ethics of the security officers, discrimination acts by the security officers as well as the psychological state of Gunawan Santoso were main factors which led to the escape of this death row inmate. The sentencing of the death sentence led him to believe that it was the end of his life and this was made worse with pressure he felt, stress and depression.
The unbalance ratio of inmates to security detail officers, poor coordination among members of the security details as well as lack of knowledge and technique were the weakening factors faced by the security officers of the of the Jakarta Narcotics Detention and Correctional Institution in their effort to maximize security in the facility.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizanizarli
"Dalam alinea ketiga pembukaan Undang Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, di samping merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Keinginan yang luhur tersebut ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan negara Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Dengan demikian keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan itu, bukan hanya sekedar cita-cita untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, tetapi "berkehidupan yang bebas dalam keteraturan" atau kehidupan bebas dalam suasana tertib hukum.
Hal tersebut di atas, dapat berarti bahwa kemerdekaan seperti yang terungkap dalam Petabukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan juga usaha pembaharuan hukum di Indonesia.
Amanat untuk melakukan pembaharuan hukum itu akan lebih kongkrit bila kita menelaah ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945, antara lain membebankan bangsa Indonesia untuk melakukan pembaharuan terhadap peraturan-peraturan bekas pemerintahan jajahan (Hindia Belanda dan Bala Tentara Jepang) yang terpaksa masih diberlakukan pada periode transisi hukum.
Garis kebijaksanaan umum pembaharuan hukum tersebut secara operasional telah dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993) khususnya mengenai. Wawasan Nusantara (Bab II huruf f) pada butir bidang hukum.
Di dalam Pola Pembangunan Nasional, khususnya mengenai Wawasan Nasional ditegaskan antara lain bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awaludin
"Pemeliharaan ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan ditujukan untuk mengurangi kekerasan, meningkatkan keamanan penghuni dan petugas, dan meningkatkan keberbasilan program pembinaan. Cam terlmik untuk menjaga ketertiban di lapas dituntut adanya kernampuan petugas dalam menggunakan jenisĀ­-jenis kekuasaan terbadap narapidana yang dapat mempengaruhi cara pandang narapidana nntuk mematubi petugas dan peraturan serta tata tertib di dalam lapas. Dengan menggnnakan contoh narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Salemba studi ini menggali mengapa narapidana bekerja sama dengan petugas dan selanjutnya menunjukan kepatuhannya selama berada dalam Lapas. Temuan menunjukkan bnhwa walaupnn tidak terlalu tinggi, kebanyakau narapidana melihat petugas mempunyai kekuasaan hadiah, kekuasaan syah, kekuasaan pemaksa, kekuasaan nhli, dan kekuasaan rujnkan serta memiliki kepatuhan terbadap petugas baik kepatuhan paksaan, kepatuhan kalkulatif, maupun kepatnhau normatif. Akan tetapi pada saat yang sama, sebagian mnepidana melihat mereka akan bekerjasama apabila dilakukan dengan melalui pemaksaan. Penemuan juga menunjukan bnhwa bagaimanapun kekuasaan petugas apabila digunakan secara bersama-sama dapat mempengaruhi kepatuhan narapidana sebesar 51,55%, akan tetapi apabila diuji secara parsial maka masing-masing variabel memiliki pengaruh yang sangat kecil, pengaruhnya terhadap kepatuban untuk kekuasaan hadiah 4,45%, kekuasaan syah 8,82%. kekuasaan pemaksa 0,0036%, kekuasaan nhli 0,36% dan kekuasaan rujukan 5,42%. Selain itu, pemahaman narapidana dan pandangannya terbadap penggunaan jenis-jenis kekuasaan yang dilakukan petugas: memberikan pemahaman mengenai prediksi tinggi rendahnya kepatuban narapidana. Meskipun penelitian memberikan gambaran awal dalam menjelaskan baguimana sikap-sikap narapidana dapat bekerjasama dengan petugas dan dampaknya terbadap perilaku narapidana yang lebih adaftif, penelitian masa depan diperlukan untuk memperbaiki langkah-langknh, menjelajahi distribusi kekuasaan dan kepatuhan di Lapas, dan baguimana jika sikapĀ­ sikap inl diterjemahkan dalam perilaku tertentu.

Maintaining order in correctional institutions aimed at reducing violence, improving occupant safety and workers, and increase the success of coaching programs. The best way to maintain order in prisons sued the ability of officers in using the kinds of powers to the inmates that could affect how inmates view officers to comply with rules and regulations as well as in prison. By using the example of inmates in Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Salemba, study explores why prisoners cooperate with officers and then show its compliance during their slay in prison. Findings indicate that although not very high. most prisoners view officers have reward power legitimate power, coercive power expert power and referent power. and having a compliance to officer. But at the same time, some inmates seeing them would cooperate if done through coercion. Although partial, each bas a small effect. reward power 4,45%, legitimate power 8 82%, power 0.36%, and referent power 5,42% the findings also indicate that somehow the power of officers when used together can affect the compliance of prisoners in the amount of 51,55%. In addition, understanding of inmates and their view to the bases of power usage by officers provide a high predictive understanding of the compliance of prisoners. Although the study provides preliminary description in explaining how the attitudes of inmates to be working with officers and their impact on inmate behavior more adaptability, future research is needed to repair the steps, explore the distribution of power and obedience in prisoned how, if these attitudes translated into specific behavior."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T21043
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aprilia Regita
"Program pengendalian Tuberkulosis (TB) di Lembaga Pemasyarakatan telah dilaksanakan sejak tahun 2004. Namun hingga tahun 2013, prevalensi TB pada tahanan masih lebih besar dibandingkan dengan prevalensi TB pada populasi umum. Selain itu, TB masih menjadi penyebab kematian kedua tertinggi pada tahanan. Komitmen politik pemangku kepentingan menjadi tantangan dalam pelaksanaan program, sehingga perlu diteliti guna mengetahui dimensi yang menghambat pelaksanaan program. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara mendalam pada informan kunci. Hasil penelitian disajikan berdasarkan tiga dimensi komitmen politik, yaitu komitmen verbal (expressed commitment), komitmen institusional (institusional commitment), dan komitmen pengalokasian sumber daya (budgetary commitment). Komitmen politik pemangku kepentingan belum utuh karena komitmen pengalokasian sumber daya khususnya dana belum dipenuhi dengan baik.

Tuberculosis (TB) control program in prison has been established since 2004. But until 2013, prevalence of TB in prison is still greater than the prevalence of TB in general population. Moreover, TB is the second cause of death in prison. The crucial challenge is less of political commitment of stakeholders. Therefore, this research aims to analyse the dimension of political commitment that inhibit tuberculosis control program. In-depth interview conducted to gather information from key person. The result is presented in three dimensional of political commitment which are expressed commitment, institusional commitment, and budgetary commitment. The result shows that budgetary commitment need to be improved."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruspriyatno
"Kebijakan teknis yang ditempuh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam pembinaan kemandirian dirasakan belum dapat menyentuh seluruh warga binaan pemasyarakatan. Kondisi Over kapasitas disamping mengundang kerawanan-kerawanan gangguan keamanan dan ketertiban juga menyiratkan potensi tenaga kerja yang perlu dikelola agar dapat berdaya guna dan berhasil guna. Tak mudah menemukan program kegiatan kelja yang dapat menampung tenaga keJja yang banyak, tidak memerlukan keahlian khusus, waktu panen yang sebentar, proses produksinya menggunakan pera!atan yang banyak terdapat di pasar, kegiatan tersehut dapat menjadi bekal ketrampilan yang berguna pada saat yang bersangkatan bebas nantinya. Salah satu kegiatan kelja yang termasuk dalam ketentuan tersebut adalab budidaya ikan Ie!e. Proses produkslnya memerlukan banyak tenaga kerja terut:ama pada saat memanen, pengangkutan ke pemesan, pembuatan kolarn, pembersihan kolam. Menggunakan peralatan yang sederhana dalarn produksinya, waklu panen sekitar tiga bulanan, keahlian khusus yang rumit nyaris tidak ada, masih memilikl peluang pasar yang menjanjikan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan kemandirian warga binaan. Bagairn.ana prospek budidaya tersebut ditinjau dari kepentingan pihak Lapas dan faktor-faktor apa sajakah yang meqjadi pendorong dan penghambat tercapainya keberhasilan program tersebut Proses produksi yang dilaksanakan dengan penerapan teori-teori manajemen berbeda dengan hanya aktifitas pemeliharaan semata. Pengetahuan teknis dan non teknis mendapat porsi yang seimbang agar dapat mencapai basil yang optimal.

Technical policies pursued in the guidance of the Directorate General of Corrections of independence was thought not to be touched all citizens of the built correctional. Over capacity in addition to inviting the condition of insecurity-insecurity and order also implies the potential for labor that needs to be managed in order to be efficient and effective manner. Not easy to find work activity programs that can accommodate a lot of labor, requires on special skills, harvesting time is short, the production process using equipment that is widely available in the market, these activities can be a useful skill when the relevant free will. One of the work activities included in these provisions is the cultivation of catfish. Production process requires many workers, especially during harvesting, transportation to the buyer, making ponds, cleaning of ponds. Using simple tools in their production, harvest time about three months, the special expertise of complex almost non-existent, still has a promising market opportunities.This research aimed to identify the extent of catfish aquaculture activities can motivate people supervised independence. Haw are reviewed prospects for the cultivation of the interests of the prison and what are the factors driving and inhibiting the achievement of the success of the program. The production process is carried out by application of different management theories with only maintenance activities only. Technical and non technical knowledge gets a balanced portion in order to achieve optimal results. The research approach is an understanding of managerial and behavioral research methods use while the interviews and direct observation."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T21030
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>