Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218764 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Haekal Prastomo
"Introduction
The emerging of chronic kidney disease (CKD) as one of the dominant causes for death and suffering over the past two decades has been concerning. Additionally, increase oxidative stress in urban area and its association with other chronic diseases raising a notion of increase in chronic disease in area with low socio-economic status, namely, urban kampung. Due to that, this research was carried out to find the association between plasma MDA and factors related to decrease renal function in adult urban kampung population.
Method
This is cross-sectional research that used secondary data from participant with age ranging from 30-60 years and living in four area in Jakarta-Tangerang. Participants’ MDA level was measured as an indicator for oxidative stress. Kidney markers including eGFR, urea, and creatinine were also measured.
Results
From 153 participants, high level of oxidative stress was not found and all within normal capacity (0.1−2.9 µmol/L). Overall kidney function using eGFR showed 58.8% normal condition and function and 41.2% with decreased kidney function. Only 1.3% had increased creatinine levels (>1.3 mg/dL), while 51% of participants had increased urea level (>20 mg/dL).
Conclusion
No association between high plasma MDA and decreased kidney marker was found in adult participant of urban kampung area in Jakarta-Tangerang.

Latar Belakang
Meningkatnya angka penyakit ginjal kronik sebagai salah satu penyebab kematian dan penderitaan pasien sangat menghawatirkan. Peningkatan stress oksidatif di wilayah urban dan hubungannya dengan banyak penyakit kronis menyebabkan dugaan peningkatan penyakit kronik di wilayah dengan sosio-ekonomik yang rendah seperti di kampung urban. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencari tahu adanya hubungan asosiatif antara hasil plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dengan penurunan fungsi ginjal.
Metode
Metode penelitian merupakan penelitian potong lintang (cross-sectional) dengan data sekunder yang berasal dari partisipan berumur 30-60 tahun di 4 wilayah kampung kota Jakarta-Tangerang. Partisipan dinilai menggunakan Plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dan penanda fungsi ginjal yaitu eGFR, urea, dan creatinin.
Hasil
Dari 153 partisipan, tidak ditemukan tingkat oksidatif tinggi dan semua berada pada batas normal (0.1−2.5 µmol/L). Hasil kondisi ginjal partisipan menggunakan eGFR terdiri dari 58.8% kondisi ginjal normal dan 41.2% mengalami penurunan funsi ginjal. Hanya 1.3% mengalami kenaikan nilai creatinine (>1.3 mg/dL) dan lebih dari 51% partisipan mengalami kenaikan nilai ureum (>20 mg/dL).
Kesimpulan
Hubungan Asosiatif antara tinggi plasma MDA dan penanda penurunan fungsi ginjal tidak ditemukan pada partisipan dewasa yang tinggal di daerah kampung urban
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Roselita Karo Sekali
"Stress oksidatif berpengaruh kepada banyak hal, termasuk infertilitas pria. Semakin tinggi konsentrasi malondialdehida, indikator dari lipid peroxide, pada seminal plasma berpengaruh pada tingkat motilitas sperma. Namun, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa malondialdehida tidak memiliki hubungan dengan astenozoospermia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan konsentrasi malondialdehida dalam seminal plasma pada normozoospermia dan astenozoospermia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar malondialdehida pada seminal plasma dan motilitas sperma pada pria infertile. Penelitian ini adalah studi analitik observasional yang menggunakan metode kasus-kontrol. Sampel yang digunakan berasal dari 15 pria dengan astenozoospermia dan 20 pria dengan normozoospermia. Metode thiobarbituric acid digunakan untuk mengukur konsentrasi malondialdehida. Tes non-parametrik Mann-Whitney digunakan untuk mencari hubungan antara kadar malondialdehida dan astenozoospermia. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi malondialdehida pada seminal plasma dan astenozoospermia p value = 0.194. Rerata kadar malondialdehida pada seminal plasma pria normozoospermia adalah 1.1 0.5 nmol/mL, sedangkan rerata kadar malondialdehida pada seminal plasma pria astenozoospermia adalah 1.68 1.2 nmol/mL. Rerata konsentrasi malondialdehida pada kelompok astenozoospermia lebih tinggi dari konsentrasi malondialdehida pada kelompok normozoospermia. Namun, tidak ditemukan hubungan antara konsentrasi malondialdehida dengan motilitas sperma. Masih dibutuhkan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengkonfirmasi hasil ini.

Oxidative stress plays an important role in male infertility. Higher malondialdehyde concentration, an indicator of lipid peroxide, contributes to lower sperm motility. However, there are some studies show there is no significant correlation between malondialdehyde and asthenozoospermia. This study aimed to compare the seminal fluid malondialdehyde concentration in normozoospermia and asthenozoospermia. This study asessed the correlation between malondialdehyde concentration and sperm motility in infertile males. It was an observational and analytical study conducted using case control design that studied using human seminal plasma, 15 asthenozoospermia and 20 normozoospermia. Thiobarbituric acid assay was done to assess malondialdehyde level. Independent Samples Mann Whitney non parametric test was used to display the significance level. There was no significant relationship between the concentration of malondialdehyde in seminal fluid analysis and asthenozoospermia p value 0.194. The mean standard concentration of MDA in seminal fluid of normozoospermic males was 1.1 0.5 nmol mL. Meanwhile, the mean standard concentration of MDA in seminal fluid of asthenozoospermic males was 1.68 1.2 nmol mL. The average of malondialdehyde concentration in asthenozoospermia is higher than the average of malondialdehyde concentration in normozoospermia. This research concluded that seminal fluid malondialdehyde concentration has no correlation with asthenozoospermia. Higher sample size is required to confirm this finding. Keywords Malondialdehyde concentration, lipid peroxide, asthenozoospermia, normozoospermia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abraham Yakub
"Penelitian ini membahas tingkat karbonil sebagai penanda dari stress oksidatif di ginjal akibat terpapar oleh hipoksia hipobarik akut interminten. Hipoksia hipobarik rentan terjadi kepada penerbang (pilot) yang sering terpapar oleh kondisi ini. Sebagai salah satu organ penting, ginjal rentan terpapar oleh stress oksidatif akibat hipoksia hipobarik. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental. Sampel jaringan yang dipakai adalah jaringan ginjal tikus jantan galur wistar. Sampel ini lalu dikelompokkan ke dalam empat perlakuan dengan perbedaan frekuensi paparan hipoksia hipobarik dari hypoxia chamber dan satu kelompok kontrol. Metode Cayman?s Protein Carbonyl Assay yang telah dimodifikasi oleh departemen biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia digunakan dalam percobaan ini. Hasil penelitian menunjukkan adanya tingkat perbedaan karbonil yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0.05). Bedasarkan hasil pada penilitian ini, dapat disimpulkan terdapat peningkatan stres oksidatif secara signifikan pada keadaan hipoksia hipobarik akut intermiten di jaringan ginjal tikus.

This study discussed about carbonyl concentration level as marker of stress oxidative in kidney due to acute intermittent hypobaric hypoxia exposure. Hypobaric hypoxia is prone to occur in aviators (pilots) who usually expose to this condition. As one of important organs, kidney is prone to be exposed by stress oxidative due to hypobaric hypoxia. This study uses experimental design. The sample used in this study was kidney tissue from male rats wistar. This sample then grouped into four different exposed groups which is differed in frequency of hypobaric hypoxia given in hypoxic chamber and a control group. The method used to measure carbonyl concentration was the method from Cayman's Protein Carbonyl Assay Procedure which then modified by biochemistry department Universitas Indonesia. The result from this experiment revealed that there was a significant difference of carbonyl concentration between exposed and control group (p<0.05). This study concluded that there was a significant increase of stress oxidative in acute intermittent hypobaric hypoxia condition in kidney tissue.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agriana Puspitasari
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Endometriosis diperkirakan ditemukan pada 2-22% wanita usia reproduksi yang asimptomatik, sedangkan pada wanita yang mengalami dismenore, prevalensinya meningkat menjadi 40-60%. Terapi yang ada saat ini adalah terapi medikamentosa, terapi pembedahan, atau gabungan dari keduanya. Namun belum ada yang dapat berhasil menghilangkan penyakit ini. Hal ini dibuktikan dengan angka kekambuhan endometriosis yang cukup tinggi, yaitu 33,3-40,3%. Pada penderita endometriosis, terjadi proses inflamasi akibat adanya stress oksidatif yang berasal dari perdarahan siklik. Pada perdarahan siklik ini didapatkan heme dan besi yang merupakan suatu oksidan. Beratnya stress oksidatif yang terjadi dapat dilihat dari kadar malondialdehida dalam darah karena radikal bebas yang merupakan bagian dari ROS akan mengubah asam lemak jenuh menjadi aldehid dan malondialdehida (MDA). Telah diketahui bahwa kadar MDA pada jaringan endometriosis lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan endometrium eutopik. Kurkumin diketahui mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, dan imunomodulator. Efek antioksidan dari kurkumin bekerja dengan cara mengurangi jumlah radikal bebas yang beredar.
Tujuan: Menilai pengaruh pemberian kurkumin terhadap stress oksidatif pada penderita endometriosis.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan kontrol pasien yang mendapat kapsul plasebo selama periode Desember 2014 ? Mei 2015. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling.
Hasil: Sejumlah 12 subjek dari kelompok kurkumin diberikan perlakuan dengan 1x100 mg kurkumin selama 2 bulan, sedangkan 12 subjek pada kelompok kontrol diberikan kapsul plasebo selama 2 bulan, setelah sebelumnya diambil MDA pre perlakuan. Satu pasien dari kelompok kurkumin dan 2 dari kelompok kontrol drop-out karena tidak kembali pada akhir bulan kedua untuk pengambilan MDA pasca perlakuan. Rerata awal kadar MDA subjek kelompok plasebo adalah 0,39 ± 0,39 nmol/ml dengan rerata kadar MDA di akhir intervensi 0,32 ± 0,14 nmol/ml. Penurunan tersebut tidak bermakna berdasarkan uji statistik dengan nilai p=0,80. Rerata awal (baseline) kadar MDA subjek dengan suplementasi kurkumin adalah 0,33 ± 0,21 nmol/ml dengan rerata kadar MDA pasca intervensi berkurang menjadi 0,31 ± 0,13 nmol/ml. Secara statistik penurunan kadar MDA pasca suplementasi kurkumin tidak bermakna (p=0,84). Tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar MDA awal antar kedua kelompok (p=0,56). Demikian juga pada kadar MDA akhir intervensi dan perubahan (delta) kadar MDA antar kedua kelompok setelah intervensi, tidak dijumpai berbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,85 dan p=0,81, berturut-turut
Kesimpulan: Tidak terdapat penurunan kadar MDA yang bermakna pada subjek dengan suplementasi kurkumin maupun plasebo.

ABSTRACT
Background: Endometriosis is estimated to be found in 2-22% asymptomatic reproductive women, while women with dysmenorrhea, the prevalence increased to 40-60%. Current management is medical therapy, surgical therapy, or a combination of both. But no one has been able to successfully eliminate this disease. This is proven by endometriosis recurrence rate is high enough, ranging from 33.3 to 40.3%. In endometriosis, inflammatory process occurs as a result of oxidative stress originating from cyclic bleeding. At this cyclic bleeding obtained heme and iron which is an oxidant. Free radicals that are part of the ROS (reactive oxygen species) will change the saturated fatty acids to aldehydes and malondialdehydes (MDA), so oxidative stress that occurs can be seen from plasma malondialdehyde levels. In recent study, MDA levels in endometriosis tissue was significantly higher than the eutopic endometrium. Curcumin is known to have anti-inflammatory, antioxidant and immunomodulatory effects. Antioxidant effects of curcumin works by reducing the amount of circulating free radicals.
Objective: Assess the effect of curcumin on oxidative stress in endometriosis patients
Methods: This study is a randomized double-blind clinical trial with control groups receiving placebo capsules for the period December 2014 - May 2015. Sampling was conducted by consecutive sampling.
Results: Twelve subjects of the treatment group was given curcumin 1x100 mg, while 12 subjects in the control group was given placebo capsules for 2 months. Peripheral blood was taken for MDA levels pre treatment. One patient from curcumin group and 2 from the control group dropped out because they do not come at the end of treatment for MDA measurement. The mean initial MDA level of placebo group was 0.39 ± 0.39 nmol / ml with a mean MDA levels at the end of the intervention 0.32 ± 0.14 nmol / ml. The decrease was not statistically significants with p = 0.80. The mean initial MDA levels of curcumin group was 0.33 ± 0.21 nmol / ml with a mean at the end of intervention was 0.31 ± 0.13 nmol / ml. The decrease was not statistically significants with p = 0.84. There were no significant differences between the initial MDA levels both groups (p = 0.56). Likewise, at MDA levels post intervention and delta between the MDA pre and post intervention on both groups, found no statistically significant with p = 0.85 and p = 0.81, respectively.
Conclusions: There was no significant decrease in MDA levels in subjects with curcumin supplementation or placebo., Background: Endometriosis is estimated to be found in 2-22% asymptomatic reproductive
women, while women with dysmenorrhea, the prevalence increased to 40-60%. Current
management is medical therapy, surgical therapy, or a combination of both. But no one has
been able to successfully eliminate this disease. This is proven by endometriosis recurrence
rate is high enough, ranging from 33.3 to 40.3%. In endometriosis, inflammatory process
occurs as a result of oxidative stress originating from cyclic bleeding. At this cyclic bleeding
obtained heme and iron which is an oxidant. Free radicals that are part of the ROS (reactive
oxygen species) will change the saturated fatty acids to aldehydes and malondialdehydes
(MDA), so oxidative stress that occurs can be seen from plasma malondialdehyde levels. In
recent study, MDA levels in endometriosis tissue was significantly higher than the eutopic
endometrium. Curcumin is known to have anti-inflammatory, antioxidant and
immunomodulatory effects. Antioxidant effects of curcumin works by reducing the amount
of circulating free radicals.
Objective: Assess the effect of curcumin on oxidative stress in endometriosis patients
Methods: This study is a randomized double-blind clinical trial with control groups receiving
placebo capsules for the period December 2014 - May 2015. Sampling was conducted by
consecutive sampling.
Results: Twelve subjects of the treatment group was given curcumin 1x100 mg, while 12
subjects in the control group was given placebo capsules for 2 months. Peripheral blood was
taken for MDA levels pre treatment. One patient from curcumin group and 2 from the control
group dropped out because they do not come at the end of treatment for MDA measurement.
The mean initial MDA level of placebo group was 0.39 ± 0.39 nmol / ml with a mean MDA
levels at the end of the intervention 0.32 ± 0.14 nmol / ml. The decrease was not statistically
significants with p = 0.80. The mean initial MDA levels of curcumin group was 0.33 ± 0.21
nmol / ml with a mean at the end of intervention was 0.31 ± 0.13 nmol / ml. The decrease
was not statistically significants with p = 0.84. There were no significant differences between
the initial MDA levels both groups (p = 0.56). Likewise, at MDA levels post intervention and
delta between the MDA pre and post intervention on both groups, found no statistically
significant with p = 0.85 and p = 0.81, respectively.
Conclusions: There was no significant decrease in MDA levels in subjects with curcumin supplementation or placebo.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaki Bariz Amaanullah
"Latar Belakang: Stres oksidatif adalah keadaan ketidakseimbangan radikal bebas di dalam tubuh dan merupakan penyebab dari berbagai penyakit pada manusia. Salah satu metode yang diduga dapat menurunkan stres oksidatif adalah restriksi kalori atau puasa. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai efek puasa terhadap stres oksidatif namun masih terdapat kontroversi mengenai efek puasa terutama puasa berselang dan puasa berkepanjangan terhadap kadar stres oksidatif.
Tujuan: Mengetahui efek dari puasa berselang dan puasa berkepanjangan terhadap kadar malondialdehid (MDA) pada hati dan plasma kelinci New Zealand White.
Metode: Penelitian ini menggunakan 16 ekor kelinci New Zealand White yang dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan yaitu puasa berselang (Intermittent Fasting / IF), puasa berkepanjangan (Prolonged Fasting / PF), dan kelompok kontrol, kemudian diambil sampel plasma dan hatinya. Hati dibuat homogenat. Sampel plasma dan homogenat hati diukur kadar MDA menggunakan spektrofotometri. Hasil pengukuran dianalisis menggunakan uji one-way ANOVA.
Hasil: Terdapat peningkatan signifikan kadar MDA di plasma pada kelompok IF dan PF. Untuk kadar MDA di hati terdapat penurunan pada kelompok IF dan peningkatan pada kelompok PF namun tidak signifikan.
Kesimpulan: Puasa berselang dapat menurunkan kadar MDA pada hati namun dapat meningkatkan kadar MDA pada plasma. Puasa berkepanjangan dapat meningkatkan kadar MDA pada hati dan plasma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Ariyani
"Paparan zat toksik di Iingkungan dapat berkontribusi pada
terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Paparan zat toksik ini dapat berasal
dari uap bensin, asap rokok, sinar UV dan radiasi. Dalam Iingkungan Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum, banyak terdapat paparan uap bensin yang
banyak mengandung zat-zat karsinogenik yang dapat menghasilkan spesies
oksigen reaktif setelah mengalami metabolisme dalam tubuh. Spesies
oksigen reaktif ini dapat menyebabkan kerusakan DNA, yang mengacu pada
terealisasinya risiko kanker. Salah satu biomarker kerusakan DNA yang
umum dipelajari adalan 8-nidroksi-7,8-clinidro-2’-deoksiguanosin (8-OHc|G).
8-OHCIG ini dapat terekskresikan melalui urin dan dapat digunakan sebagai
biomarker kerusakan DNA. Pada penelitian ini dilakukan studi deteksi 8-nidroksi-7,8-diniclro-21
deoksiguanosin sebagai biomarker oksidatif stress akibat spesies oksigen
reaktif. Dalam Studi ini dilakukan pencarian kondisi optimum pengukuran 8-
nidroksi-7,8-clinidro-2’-deoksiguanosin, serta validasi dan verifikasi metode
dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi peralatan yang
digunakan Kondisi optimum yang diperoleh adalah dengan komposisi eluen
metanol: buffer fosfat pH 6,7 = 10:90. Sampel urin diambil dari petugas
SPBU dan kontrol yang tidak bekerja di SPBU dan tidak terpapar banan-
banan toksik dari Iingkungan kerja Sampel urin ditentukan kadar kreatininnya
dengan UV-Vis (λ=486 nm) dan diukur konsentrasi 8-OHCIG dengan instrumentasi HPLC-detektor UV (λ=254 nm). Hasil pengukuran 8-hidroksi-
7,8-clihidro-2’-deoksiguanosin dibagi dengan hasil pengukuran kreatinin untuk
mengetahui kadar 8-OH-CIG dalam kreatinin Limit deteksi (LOD) pengukuran
8-OHCIG dengan instrumentasi HPLC adalah 5.74 pg/L. Bates kuantitasinya
(LOQ) adalah 19.12 pg/L. Konsentrasi 8-OHCIG yang terukur pada sampel SPBU adalah 701,78-21.571,17 sedangkan pada sampel urin kontrol adalah 62,73-7_322,57 pg/g
kreatinin Jadi dapat disimpulkan bahvva kadar 8-OHCIG pada sampel petugas
SPBU Iebih tinggi daripada kontrol"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S30466
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farrel Dyco Fitrahardy
"Latar belakang: Infark Miokard (MI) merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya MI ialah adanya produksi reactive oxygen species (ROS) berlebihan atau keadaan stres oksidatif. Berbagai tata laksana diupayakan untuk dapat mengatasi penyakit ini salah satunya adalah pengobatan herbal. Tanaman Centella asiatica telah dikenal memiliki berbagai efek farmakologikal yang bermanfaat, salah satunya adalah sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak air daun Centella asiatica terhadap parameter stres oksidatif, khususnya aktivitas SOD dan kadar MDA jaringan jantung tikus yang telah mengalami MI. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan jantung tikus tersedia di laboratorium yang merupakan bagian dari penelitian besar berjudul “Efek Kardioproteksi Tanaman Herbal Indonesia (Moringa oleifera, Centella asiatica, Andrographis paniculata) melalui Aktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi pada Model Infark Miokard Tikus yang diinduksi Isoproterenol.”. Pada penelitian ini digunakan tiga kelompok dari enam kelompok yang digunakan di penelitian besar tersebut. Kelompok pertama ialah normal tanpa perlakuan, kelompok kedua (Iso) diberi isoproterenol dengan dosis 85 mg/kgBB. Kelompok ketiga (Iso + ekstrak CA) diberi isoproterenol dosis 85 mg/kgBB dan ekstrak air daun Centella asiatica dosis 200 mg/kgBB. Kadar protein jaringan dihitung menggunakan uji Bradford. Aktivitas SOD jaringan diperiksa menggunakan EZSOD Assay Kit sementara kadar MDA diperiksa menggunakan metode TBARS. Hasil: Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak ditemukan adanya perbedaan kadar MDA yang signifikan antar ketiga kelompok (p=0,105). Pada hasil pemeriksaan SOD, ditemukan penurunan yang tidak signifikan pada kelompok Iso (p=0,106) dibandingkan kelompok normal. Pada kelompok Iso + ekstrak CA ditemukan penurunan aktivitias SOD yang tidak signifikan (p=0,490) dibandingkan kelompok Iso. Kesimpulan: Pada penelitian ini, belum dapat dibuktikan bahwa ekstrak air daun Centella asiatica memiliki efek kardioprotektif terhadap aktivitas SOD dan kadar MDA jaringan jantung tikus.

Introduction: Myocardial infarction (MI) is one of the common causes of morbidity and mortality in the world. One of the underlying mechanisms of MI is due to excessive production of oxygen reactive species (ROS) in cells and tissues. This phenomenon is also known as oxidative stress condition. Many therapies are being developed to overcome MI such as medicinal herbs. Centella asiatica has been known for its useful therapeutic potential. For instance, it has some antioxidant compounds which can help reduce free radicals by scavenging them. Thus, this study aimed to analyze the effects of Centella asiatica water extract against SOD activity and MDA levels in isoproterenol-induced myocardial infarction in rats. Method: In this study, we used available rat heart tissues in the laboratory which were part of the previous study. Subjects were devided into three treatment groups as follows: normal, Iso, and Iso + extract CA. Isoproterenol were administered at 85 mg/kg BW and Centella asiatica water extract were administered in the third group at 200 mg/kg BW on the previous study. Bradford tests were performed to measure the concentration of total protein in samples. Activity of SOD were assessed by EZ-SOD Assay Kit. While levels of MDA were assessed by the TBARS assay method. Result: According to the findings of the study, there were non-significant differences in MDA levels among subjects in three groups (p=0,105). There was a non-significant decrease in activity of SOD (p=0,106) in the Iso group compared to the normal group. Also, there was a non-significant decrease in activity of SOD (p=0,490) in the Iso + extract CA group compared to the Iso group. These results are not in accordance with previous studies.Conclusion: In this study, it has not been proven that Centella asiatica water extract has cardioprotective effects against activitiy of SOD and MDA levels in isoproterenol-induced myocardial infarction in rats. This is probably due to some different treatments from previous studies. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leroy David Vincent
"Luka pada kulit dapat disebabkan oleh trauma, hasil tindik pada badan, dan bahkan prosedur operasi. Luka akan diperbaiki melalui beberapa tahapan dan proses untuk mengembalikan struktur kulit kembali normal. Namun, proses tersebut tidak selalu berjalan dengan normal dan dapat berkembang menjadi jaringan parut atau jaringan keloid sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas fibroblas. Peningkatan aktivitas fibroblas ini akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan energi dan oksigen sehingga keadaan hipoksia dapat terjadi dan menyebabkan pembentukan ROS yang dapat berujung pada keadaan stres oksidatif. Antioksidan bekerja untuk mengatasi masalah ini dan salah satu antioksidan adalah katalase. Riset ini bertujuan untuk melihat efek kondisi tersebut terhadap aktivitas katalase di jaringan keloid dan dibandingkan dengan jaringan normal sebagai kontrol yaitu prepusium. Sampel eksperimen adalah jaringan keloid yang didapatkan melalui insisi pada operasi dan jaringan prepusium melalui sirkumsisi masing-masing sejumlah 9 sample. Aktivitas spesifik katalase diukur melalui penurunan kadar H2O2 yang diuraikan oleh katalase dan dibaca serapannya dengan spectrophotometer pada panjang gelombang 280nm. Setelah mendapatkan data, data tersebut dianalisis secara statistik dengan software SPSS. Uji normalitas menunjukan distribusi data yang tidak normal sehingga dilanjutkan dengan uji non parametric yaitu tes MannWhitney. Hasil analisis dengan tes Mann-Whitney menunjukan hasil yang tidak signifikan (p value = 0.021) walaupun terdapat penurunan aktivitas spesifik katalase pada jaringan keloid jika dibandingkan dengan prepusium yaitu 0.528 dan 0.386 (U/mg protein) pada prepusium dan keloid. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan reaksi catalase dalam kondisi akut dan kronik dimana stres oksidatif yang sudah terjadi di jaringan keloid dapat menyebabkan katalase tidak mampu mengkompensasi ROS pada jaringan dan keadaan stres oksidatif tersebut. Selain itu. terdapat juga kemungkinan peran dan intervensi dari antioksidan enzimatik yang lain. Kesimpulan penelitian terdapat penurunan aktivitas katalase namun secara statistik penurunan tersebut tidaklah signifikan.

Skin sores can be caused by trauma, body piercing results, and even surgical procedures. The wound will be repaired through several stages and processes to restore the structure of the skin back to normal. However, the process does not always run normally and can develop into scar tissue or keloid tissue as a result of increased fibroblast activity. This increase in fibroblast activity will cause an increase in energy and oxygen requirements so that hypoxia can occur and cause the formation of ROS which can lead to a state of oxidative stress. Antioxidants work to overcome this problem and one of the antioxidants is catalase. This research aims to see the effect of these conditions on the activity of catalase in keloid tissue and compared with normal tissue as a control, namely the prepusium. Experimental samples are keloid tissue obtained through incisions in surgery and prepusium tissue through circumcision of 9 samples each. The specific activity of catalase is measured by decreasing the H2O2 levels described by catalase and its absorption is read with a spectrophotometer at 280nm wavelength. After getting the data, the data is analyzed statistically with SPSS software. The normality test shows that the data distribution is not normal so it continues with the non parametric test, the Mann Whitney test. The results of the analysis with the Mann-Whitney test showed insignificant results (p value = 0.021) although there was a decrease in the specific activity of catalase in keloid tissue when compared with the prepusium which was 0.528 and 0.386 (U / mg protein) in the prepusium and keloid. This can be due differences in catalase reactions in acute and chronic conditions where oxidative stress that has already occurred in the keloid tissue can cause the catalase to be unable to compensate for ROS in the tissue and the oxidative stress state. Other than that. there are also possible roles and interventions of other enzymatic antioxidants. The conclusion of the research is that there is a decrease in catalase activity but statistically the reduction is not significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gittanaya Anindyanari
"Latar belakang: Ketidak seimbangan dalam kadar antioksidan dan level radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Puasa sudah terbukti dapat meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan produksi radikal bebas, yang akan menghasilkan penurunan stres oksidatif. Selain itu, durasi waktu puasa juga mempengaruhi dampak puasa dalam menurunkan stres oksidatif. Banyak penelitian yang sudah membahas efek puasa tersebut, namun, belum diteliti pada jaringan jantung. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti perbedaan efek durasi puasa terhadap kadar katalase pada jaringan jantung kelinci New Zealand White. Metode: Sampel dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan perlakuan yang dilakukan selama satu minggu. Kelompok pertama, kelompok kelinci dengan pemberian pakan yang normal. Kelompok kedua, kelompok puasa intermiten dengan 16 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Kelompok terakhir, kelompok puasa berkepanjangan dengan 40 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Selanjutnya, absorbansi aktivitas katalase dan kadar protein diukur dengan spectrofotometer. Pembagian aktivitas katalase dengan kadar protein dilakukan untuk mendapatkan aktivitas spesifik katalase. Hasil: Rata-rata dari aktivitas spesifik katalase pada kelompok kontrol adalah 1,104 ± 0,244 UI/mg protein, rata-rata pada kelompok puasa intermiten adalah 0,892 ± 0,093 UI/mg protein, dan rata-rata pada kelompok puasa berkepanjangan adalah 1,126 ± 0,098 UI/mg protein dengan perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05). Kesimpulan: Perlakuan puasa intermiten dan puasa berkepanjangan selama satu minggu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas spesifik enzim katalase pada jantung kelinci New Zealand White.

Introduction: An imbalance in the antioxidant and free radical levels will develop oxidative stress. Fasting has increased antioxidant levels and decreased free radical production, ultimately reducing oxidative stress. Furthermore, the duration of fasting is also known to have a role in decreasing oxidative stress. Previous studies have been done on the effect of fasting on oxidative stress, however, none has been done on the heart. Hence, this study is aimed to discover the difference of fasting duration on its effect towards catalase level in New Zealand White rabbits. Method: Samples are divided into three groups based on their treatment for a week. First, the control group with a regular feeding schedule. Second, intermittent fasting group with 16 hours of the fasting period and 8 hours of the feeding period. Lastly, prolonged fasting with 40 hours of fasting and 8 hours of feeding periods. Then, a spectrophotometer is used to calculate the catalase activity and protein level. A division of catalase activity by protein level is done to obtain specific catalase enzyme activity. Result: The mean of specific catalase activity in the heart of the control group sample are 1.104 ± 0.244 UI/mg protein, the mean in the intermittent fasting group are 0.892 ± 0.093 UI/mg protein, and the mean in the prolonged fasting group is 1.126 ± 0.098 UI/mg protein with an insignificant difference (p > 0.05). Conclusion: Neither intermittent nor prolonged fasting conducted in a period of one week will have significant effect on the specific catalase activity level in the heart of New Zealand White rabbit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imma Fatayati
"Latar belakang: Akumulasi volume latihan fisik yang berlebihan (overtraining/OT), dalam jangka panjang dapat menimbulkan penurunan performa yang disebut overtraining syndrome (OTS). Patofisiologi OTS banyak dihubungkan dengan stress oksidatif, kondisi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan endogen, yang dapat berujung pada gangguan kardiovaskular. Beberapa penelitan menunjukkan bahwa stres oksidatif dapat dihambat melalui suplementasi antioksidan. Hibiscus Sabdariffa Linn. (H. sabdariffa) adalah tanaman yang mengandung antioksidan tinggi.
Tujuan: Melihat efek OT terhadap tingkat stress oksidatif jantung tikus dan efek pemberian H. sabdariffa terhadap stress oksidatif jantung tikus OT.
Metode: Studi eksperimental menggunakan 25 tikus Wistar dewasa, 8-10 minggu, 300-350 gr, diacak menjadi lima kelompok: Kontrol (C), Kontrol+Hibiscus (C-Hib), Latihan Aerobik (A), Overtraining (OT) dan Overtraining+Hibiscus (OT-Hib). Dosis H. sabdariffa yang diberikan: 500 mg/kgBB/hari. Latihan fisik (A dan OT) dilakukan 5x/minggu selama 11 minggu. Dihitung kadar MDA, SOD dan GSH pada jantung tikus menggunakan spektrofotometri dan Nox2 pada jantung tikus menggunakan ELISA pada akhir Minggu 11.
Hasil: Pada kelompok OT-Hib kadar MDA secara bermakna mengalami penurunan, kadar GSH secara bermakna mengalami peningkatan, didukung dengan kadar SOD yang cenderung meningkat, namun tidak signifikan, dan Nox2 mengalami peningkatan yang tidak signifikan.
Kesimpulan: Overtraining menyebabkan kondisi stres oksidatif pada jaringan jantung tikus dan pemberian suplementasi H. sabdariffa memiliki potensi menangani stres oksidatif pada jantung tikus overtraining

Background: Accumulation of overtraining/OT volume, in the long run can lead to decreased performance called overtraining syndrome (OTS). Pathophysiology of OTS is associated with oxidative stress, a condition of imbalance between free radicals and endogenous antioxidants, which can lead to cardiovascular disorders. Some research shows that oxidative stress can be inhibited through antioxidant supplementation. Hibiscus Sabdariffa Linn. (H. sabdariffa) is a plant that contains high antioxidants.
Objective: This study was to look at the effect of OT on rat heart oxidative stress levels and the effect of giving H. sabdariffa to oxidative stress in OT rats.
Methods: The study was an experimental study using 25 adult Wistar rats, 8-10 weeks, 300-350 gr, randomized into five groups: Control (C), Control + Hibiscus (C-Hib), Aerobic Exercise (A), Overtraining (OT ) and Overtraining + Hibiscus (OT-Hib). Dosage of H. sabdariffa given: 500 mg/kg/day. Physical exercise (A and OT) is given 5x/week for 11 weeks. Calculated levels of MDA, SOD and GSH using spectrophotometry and Nox2 using ELISA at the end of Week 11.
Results: In the OT-Hib group, MDA levels significantly decreased, GSH levels significantly increased, supported by SOD levels which tended to increase, but were not significant, and Nox2 experienced an insignificant increase.
Conclusion: Overtraining can causes oxidative stress conditions in rat heart tissue, and supplementation of Hibiscus sabdariffa Linn. can handle oxidative stress in overtraining rat's heart.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>