Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91438 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ameera Chairunnisa Effendi
"Konsumsi tembakau tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang signifikan secara global, yang berakar kuat pada konteks sosial ekonomi dan budaya. Skripsi ini mengkaji pengaruh status sosial ekonomi, khususnya tingkat pendapatan dan pendidikan, terhadap perilaku merokok di Indonesia. Dengan menggunakan data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang 4 dan 5, penelitian ini menyelidiki bagaimana variasi pendapatan keluarga dan pencapaian pendidikan berkorelasi dengan kemungkinan individu menjadi perokok tetap, memulai merokok, berhenti merokok, atau tidak pernah merokok. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi berkorelasi dengan prevalensi merokok yang lebih rendah dan tingkat penghentian merokok yang lebih tinggi. Individu dalam kelompok pendapatan tertinggi (di atas Rupiah 10 juta) lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi perokok tetap dan lebih mungkin untuk tidak pernah merokok. Demikian pula, pencapaian pendidikan yang lebih tinggi secara signifikan berkorelasi dengan perilaku yang lebih sehat, menekankan peran pendidikan dalam meningkatkan literasi kesehatan dan mendorong pilihan gaya hidup yang lebih baik. Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam membentuk perilaku merokok. Studi ini menganjurkan intervensi pemerintah yang terfokus untuk mempromosikan kampanye anti-merokok dan meningkatkan aksesibilitas penghentian merokok guna mengurangi tingkat merokok di Indonesia. Penelitian ini memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang determinan ekonomi dan sosial dari perilaku merokok dan menawarkan wawasan berharga untuk mengembangkan strategi pengendalian tembakau yang efektif di Indonesia dan konteks serupa.

Tobacco consumption remains a significant public health challenge globally, deeply rooted in socioeconomic and cultural contexts. This thesis examines the influence of socioeconomic status, specifically income and education levels, on smoking behaviours in Indonesia. Using data from the Indonesian Family Life Survey (IFLS) across waves 4 and 5, the study investigates how variations in family income and educational attainment correlate with smoking initiation, persistence, cessation, and abstinence. The findings reveal that higher income and education levels are strongly associated with lower smoking prevalence and higher rates of smoking cessation. Individuals in the highest income bracket (above IDR 10 million) are less likely to be constant smokers and more likely to never smoke. Similarly, higher educational attainment significantly correlates with healthier smoking behaviours, underscoring the role of education in enhancing health literacy and promoting better lifestyle choices. These results emphasise the critical role of socioeconomic factors in shaping smoking behaviours. The study advocates for targeted government interventions that promote anti-smoking campaigns and improve cessation accessibility to reduce smoking rates in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Raihana Radian
"Indonesia merupakan negara terbesar keempat dalam konsumsi rokok. Perilaku merokok memberikan pengaruh buruk terhadap ekonomi negara dan kesehatan masyarakat. Perilaku merokok juga berpengaruh terhadap perilaku menyimpang lain seperti adiksi narkoba dan berpengaruh buruk terhadap kondisi gigi dan mulut. Sebagai tenaga kesehatan profesional, dokter gigi memiliki potensi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi berhentinya kebiasaan merokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah pasien Rumah Sakit Khusus Gigi Mulut (RSKGM) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI) yang memiliki kebiasaan merokok, lama merokok responden, usia mulai merokok, jenis rokok yang dikonsumsi, pengalaman pasien terkait peran dokter gigi dalam mengendalikan atau menghentikan konsumsi rokok, sertapengetahuan pasien mengenai keterkaitan antara kebiasaan merokok dengan adiksi narkoba. Penelitian ini merupakan analisis deskriptif dari pasien RSKGM FKG UI. Penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling. Dari 136 responden, didapatkan 20 (14,7%) perokok dan 18 (13,2%) mantan perokok dari berbagai kelompok gender, usia, status pendidikan, dan ekonomi. Tiga puluh delapan perokok dan mantan perokok ini mayoritas menggunakan rokok putih, mulai di usia 16-20 tahun, telah merokok selama kurang dari 11 tahun, mengonsumsi 11-20 batang rokok per hari selama 1-5 menit per batang, dan tidak mengonsumsi bentuk tembakau selain rokok. Mayoritas responden perokok dan mantan perokok juga pernah mengunjungi dokter gigi selama merokok dan diberikan saran dan informasi bahaya merokok. Namun, 60,5% tidak diberikan konseling berhenti merokok dan 34,5% tidak mengetahui adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan adiksi narkoba.

Indonesia is the fourth biggest country in terms of cigarette consumption. Smoking habit can bring harm to the nation’s economy and public health. Smoking habit can also lead to deviant behaviour such as drug addiction and damage teeth and oral health. As a professional health worker, detists have potency to be one of the causing factor of a patient’s smoking cessation. This research is conducted to learn about the amout of smoking patients of Universitas Indonesia Faculty of Dentistry Dental Hospital (RSKGM FKG UI), years spent of smoking, initial age of smoking, type of consumed cigarettes, patients’ experience regarding dentists’ role in controlling cigarette consumption, and patients’ knowledge about the relationship between smoking habit and drug addiction. This research is an analytical description from patients’ of RSKGM FKG UI, using consecutive sampling methode. From 136 respondents, there are 20 (14,7%) smokers and 18 (13,2%) ex-smokers fron various gender, age group, education status, and economy status. These smokers and ex-smokers mostly use white cigarette, started smoking between age 16-20 years, have smoked for less than 11 years, consumed 11-20 cigarettes each day for 1-5 minutes each cigarette, and did not use any other form of tobacco beside cigarette. The majority of smokers and ex-smokers also had visited dentist during their smoking period and were given advice and information regarding the dangers of smoking habit. Yet 60,5% of smokers and ex-smokers stated that they were not given smoking cessation counselling and 34,5% didn’t acknowledge the relationship berween smoking habit and drug addiction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Afifah Asmin Sandagang
"Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS), prevalensi perokok elektronik di Indonesia meningkat hingga 10 kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun. Hasil Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan bahwa remaja adalah kelompok umur tertinggi pada angka perokok elektronik dengan SMA menjadi  penyumbang kedua teratas dalam penggunaan rokok elektronik. Provinsi Jawa Barat menunjukkan proporsi konsumen rokok elektronik terbesar kedua di Indonesia. Tingginya penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja SMA dan juga menjadi masalah bagi Provinsi Jawa Barat, serta Kota Depok dengan pelaporan tingginya remaja yang merokok. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap remaja SMA “X” Kota Depok dengan Praktik Merokok Elektronik. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan studi cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling yang diikuti sebanyak 154 responden. Analisis data yang digunakan adalah uji chi square untuk mengetahui hubungan antara variabel kategorik. Hasil penelitian didapatkan bahwa gambaran pengetahuan responden mengenai rokok elektronik termasuk kategori kurang sebesar 82.5% , sikap positif terhadap rokok elektronik sebesar 62.3%  dan sebesar 39% responden menggunakan rokok elektronik. Selain itu, tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan (p-value 1.000) dengan praktik merokok elektronik. Namun, ada hubungan yang signifikan antara sikap (p-value 0.0001) dengan praktik merokok elektronik. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara pihak sekolah, Bidang Pembinaan SMA Dinas Pendidikan, dan puskesmas untuk memperkuat kegiatan penyuluhan terkait bahaya rokok elektronik secara intensif sehingga timbul kesadaran terutama kepada remaja agar memandang bahwa rokok elektronik sama berbahayanya dengan rokok konvensional. Disarankan juga bagi SMA “X” Kota Depok mengadakan program peer educator dalam upaya pencegahan penggunaan rokok elektronik.

According to Global Adult Tobacco Survey (GATS), the prevalence of electronic smoking (e-smoking) in Indonesia had escalated tenfold in the past 10 years. The 2018 Riskesdas results also show that adolescents are among the highest age group in the number of e-cigarette smokers, with high school seniors being the second highest contributor of e-cigarette smoking. Research shows that West Java Province itself had contributed as the second-largest proportion of electronic cigarette consumers in Indonesia. The high use of e-cigarettes among high school adolescents is also a problem for West Java Province and Depok City, with reports of high levels of adolescent smoking. The main reason of this study consists of determining the relationship between the knowledge and attitudes of adolescents at SMA "X" in Depok City in the practice of e-smoking. This research uses quantitative methods with a cross-sectional study. Sampling was carried out using a stratified random sampling technique involving 154 respondents. The data analysis used a chi-square test to determine the relationship between categorical variables. Research results showed that the majority of respondents' knowledge regarding e-cigarettes lies in the poor category at 82.5%, proving that many still possess minimum knowledge on this part. Other results include positive attitudes towards e-cigarettes with a number of 62.3%, where around 39% of them smoked e-cigarettes. Apart from that, there was no significant relationship between knowledge (p-value 1.000) and the practice of e-smoking. However, there is a significant relationship between attitude (p-value 0.0001) and the practice of e-smoking. Therefore, cooperation is needed between schools, the Education Department's High School Development Division, and community health centers to intensively strengthen outreach activities related to the dangers of electronic cigarettes in order to raise  awareness; especially among adolescents. Electronic cigarettes brings perils just as much as conventional cigarettes do, and it is highly recommended that SMA "X" Depok City hold a peer educator program to prevent the use of e-cigarettes.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Notario Besri
"Studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara depresi dan kebiasaan merokok. Prevalensi perokok Indonesia cukup besar, 34,2% untuk perokok usia lebih dari 15 tahun dan 32,8% dari total perokok berusia 20 ? 24 tahun. Penelitian bertujuan untuk mencari hubungan antara tingkat depresi dan kebiasaan merokok pada kelompok umur mahasiswa yang rentan mengalami depresi. Desain penelitian cross-sectional dengan sampel 97 mahasiswa Universitas Indonesia dengan cara convenient sampling. Tingkat depresi ditentukan dengan kuisioner Beck Depression Inventory. Tingkat kebiasaan merokok ditentukan dari rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi per hari.
Hasil didapatkan 38,1% dari total responden responden perokok ringan, 40,2% perokok sedang, dan 21,6% perokok berat. Prevalensi depresi 21,6%, di antaranya 17,5% dari total responden mengalami depresi ringan, 3,1% mengalami depresi sedang hingga berat, dan 1% mengalami depresi berat.
Pada uji chi-square, didapatkan nilai p = 0,608 (CI 95%), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara depresi dan tingkat kebiasaan merokok pada mahasiswa. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian serupa yang menunjukkan adanya hubungan antara depresi dan kebiasaan merokok. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan random sampling, penggunaan metode lain untuk menentukan tingkat depresi dan kebiasaan merokok, dan penggalian faktor lain yang dapat memicu terjadinya depresi.

Study shown that there is a relationship of depression and smoking habit. Indonesia has high prevalence of smokers, 34.2% among > 15 years old smokers and 32.8% of them are 20 ? 24 years old. This research aim to find relationship between level of depression and smoking habit among college students. It is cross-sectional study and the samples are 97 college students of University of Indonesia by convenient sampling. Level of depression is measured by Beck Depression Inventory questionnaire and smoking habit is measured by average of cigarrettes consumed daily.
The results are 38.1% of total respondents are light smokers, 40.2% are moderate smokers, and 21.6% are heavy smokers. Prevalence of depression is 21.6%, of whom 17.5% of total respondents have a mild-moderate depression, 3.1% have a moderate-severe depression, and 1% has severe depression.
By Chi-square analysis, p value is 0.608 (CI 95%) and it is concluded that there is no relationship between depression and smoking habit among college students. Similar researches show that there is a relationship of depression and smoking habit. Further research needs to be conducted by random sampling, using other methods to determine level of depression and smoking habit, and seeking other factors causing depression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwin Haryati
"Percobaan merokok pemula yang dilakukan remaja terjadi pergeseran lebih muda usianya < 15 tahun. Perokok pemula pernah mencoba merokok di sekolah menengah pertama, sebagian lainnya pernah mencoba merokok di sekolah dasar. Remaja merokok karena bujukan teman dan ketertarikan untuk mencoba merokok. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui efektivitas Model KERIKO dalam meningkatkan kontrol diri, status kesehatan sehingga perilaku merokok remaja dapat dikendalikan. Perilaku merokok dapat diatasi dengan Model intervensi Keperawatan Kendali Perilaku Merokok (KERIKO). Penelitian ini menggunakan desain riset operasional melalui 3 tahap penelitian yaitu: Tahap I: identifikasi pengalaman merokok remaja, persepsi dan upaya yang dilakukan remaja dalam mengendalikan rokok; Tahap II: pengembangan Model KERIKO; Tahap III uji coba Model KERIKO di sekolah menengah pertama di Kota Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Model Intervensi Keperawatan KERIKO efektif dalam meningkatkan kontrol diri, status kesehatan sehingga perilaku merokok remaja dapat dikendalikan pada 3 dan 6 bulan sesudah intervensi. Simpulan: Model KERIKO efektif meningkatkan kontrol diri, status kesehatan dan pengendalian perilaku merokok. Model ini dapat dijadikan salah satu model intervensi untuk pengendalian perilaku merokok sesuai program pemerintah tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Adolescent smoking trials revealed a shift in smokers younger than 15 years old. Beginner smokers began smoking in junior high school, while others began smoking in elementary school. Teenagers smoke as a result of peer pressure and a desire to begin smoking. The goal of this study was to determine the effectiveness of the KERIKO Model in developing self-control and health status in order to manage teenage smoking behavior. The Smoking Behavior Control Nursing Intervention Model (KERIKO) can help people quit smoking. This study employed an operational research design across three research phases: Phase I: identification of adolescent smoking experiences, perceptions, and efforts made by adolescents to control smoking; In phase II of the KERIKO Model's development and phase III trials of the KERIKO Model in Banda Aceh City junior high school at 3 and 6 months of intervention, the results demonstrated that the KERIKO Nursing Intervention Model was helpful in boosting self-control and health status, allowing adolescent smoking behavior to be controlled. Conclusion: The KERIKO model improves sel-control, health status, and smoking bahavior control. According to the government's Smoking Free Areas initiative, this model can be utilized as an intervention model to control smoking behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmady Agus
"Latar belakang. Bahaya merokok sudah diketahui secara luas, namun seorang perokok yang ingin berhenti merokok mengalami kesulitan karena terdapat pengaruh yang kuat aspek bio-fisio-psiko-sosio-demografi. Untuk itu, perpaduan metode berhenti merokok melalui pendekatan farmakologi dan non-farmakologi perlu dilakukan. Terapi kombinasi melalui farmakologi (vareniklin tartrat/VT) dan non-farmakologi (hipnosis kedokteran) diharapkan efektif membantu individu dengan ketergantungan nikotin untuk berhenti merokok.
Metode. Desain penelitian ini adalah uji klinis eksperimental acak tersamar tunggal yang dilakukan pada 100 perokok sedang-berat yang dialokasi menjadi dua kelompok melalui randomisasi. Setelah randomisasi, 50 responden akan mengikuti intervensi VT+hipnosis kedokteran dan 50 responden akan mengikuti intervensi VT+edukasi yang dilakukan paralel, mengikuti modul hipnosis kedokteran dan edukasi selama 12 minggu, dilanjutkan pengamatan 12 minggu pasca terapi. Keberhasilan responden dinyatakan berdasarkan nilai EECOL dengan batas pisah ≤ 10 ppm pada salah satu minggu selama penelitian. Responden dikatakan relaps jika nilai EECOL kembali ditemukan >10 ppm setelah dinyatakan berhasil. Analisis faktor bio-fisio-psiko-sosio-demografi dilakukan untuk melihat peran faktor tersebut terhadap keberhasilan terapi kombinasi VT+hipnosis kedokteran.
Hasil. Keberhasilan berhenti merokok jangka pendek kelompok VT+hipnosis kedokteran dan VT+edukasi adalah sebesar 78% dan 66% dengan NNT sebesar 8 (IK95%=3-18). Keberhasilan jangka panjang kedua kelompok sebesar 86% dan 68% (p=0,032). Angka relaps pada kelompok VT+hipnosis kedokteran ditemukan lebih rendah dibandingkan kelompok VT+edukasi (44,2% vs. 58,3%) dengan NNT sebesar 7 (IK95%=3-19). Tidak ditemukan adanya pengaruh aspek bio-fisio-psiko-sosio-demografi di dalam penelitian (p>0,05).
Simpulan. Terapi kombinasi VT+hipnosis kedokteran memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dan angka relaps yang lebih rendah dibandingkan dengan VT+edukasi walaupun tidak ditemukan adanya pengaruh aspek bio-fisio-psiko-sosio-demografi di dalam penelitian.

Background. Smoking has been widely known for it’s dangers towards health. Despite of the danger, smokers find hard to stop smoking and therapy is needed to help them stop smoking. Combination therapy which covers pharmacology and non-pharmacology aspect is needed to help smokers to stop smoking. Varenicline tartrate (VT) and medical hypnosis as a combined therapy is used to cover the pharmacology and non-pharmacology aspect of individual with nicotine dependence to stop smoking.
Methods. The research was conducted as a random single-blind experimental study on 100 moderate to severe smokers, divided randomly into two groups of 50 respondents each. Each group correspondingly enrolled VT+medical hypnosis therapy and VT+education therapy based on medical hypnosis and education module for 12 weeks with follow up for another 12 weeks. The program was defined successful by EECOL value ≤ 10 ppm in any week during the research and relapse was defined by EECOL value greater than 10 ppm after a success was declared. Analysis on bio-physio-psycho-socio-demography aspect was done to assess influence of these factors on the success rate of VT+medical hypnosis group.
Results. The short term success rate of VT+medical hypnosis and VT+education combination therapy was 78% and 66% respectively with NNT of 8 (CI95%=3-18). Long term success rate of both group was 86% and 68% respectively (p=0,032). Relapse rate is lower in the VT+medical hypnosis group than VT+education group (42,2% vs. 58,3%) with NNT of 7 (CI95%=3-19). There is no evident on relation of bio-physio-psycho-socio-demography and the success rate in the experiment (p>0,05).
Conclusion. Intervention with VT+medical hypnosis for smoking cessation has higher success rate and lower relapse rate than control. There was no evident on relation of bio-physio-psycho-socio-demography and the success rate in the experiment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halim
"ABSTRAK
Dalam beberapa dekade terakhir, prevalensi merokok di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berbahaya mengingat dampak buruk atas konsumsi rokok terhadap sektor kesehatan, sosial, dan ekonomi. Salah satu langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan fenomena tersebut adalah meningkatkan harga rokok. Lalu, apakah langkah peningkatan harga rokok berhasil untuk mengendalikan angka prevalensi merokok? Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan antara harga rokok dan pertumbuhan pendapatan terhadap perubahan perilaku merokok. Penulis menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan 2014 untuk membentuk empat kategori perubahan perilaku merokok, yaitu perokok baru, perokok tetap, mantan perokok dan bukan perokok. Estimasi ekonometrika yang dibangun menggunakan model multinomial logit memukan fakta bahwa keterjangkauan harga rokok memiliki korelasi positif terhadap probabilitas individu untuk menjadi perokok tetap dan korelasi negatif terhadap probabilitas individu untuk menjadi bukan perokok. Sementara itu, pertumbuhan pendapatan memiliki korelasi positif terhadap probabilitas individu untuk menjadi perokok baru dan korelasi negatif terhadap probabilitas individu untuk menjadi mantan perokok. Fakta ini memberi sinyal bahwa diperlukan peningkatan harga rokok yang disesuaikan oleh pertumbuhan pendapatan untuk mengendalikan angka prevalensi merokok.

ABSTRACT
In recent decades, the prevalence of smoking in Indonesia has tended to increase. This is dangerous considering the adverse effects of cigarette consumption on the health, social, and economic sectors. One of the steps taken by the Government of Indonesia to control this phenomenon is to increase the price of cigarettes. Then, did the steps to increase the price of cigarettes succeed to control the prevalence of smoking? This study aims to look at the relationship between cigarette prices and income growth on changes in smoking behaviour. The author uses data from the IFLS in 2007 and 2014 to form four categories of changes in smoking behaviour, namely new smokers, permanent smokers, former smokers, and not smokers. Econometric estimates constructed using the multinomial logit model confirm the fact that the affordability of cigarette prices has a positive correlation with the probability of individuals becoming permanent smokers and a negative correlation with the probability of individuals to become not smokers. Meanwhile, income growth has a positive correlation with the probability of individuals becoming new smokers and a negative correlation with the probability of individuals becoming ex-smokers. This fact signals that an increase in the price of cigarettes is adjusted by income growth to control the prevalence of smoking."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risnawati Valentina
"Pemanfaatan rawat jalan yang semakin meningkat salah satunya disebabkan oleh meningkatnya kasus Penyakit Tidak Menular (PTM). Salah satu faktor risikonya adalah status merokok. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rawat jalan dengan teori Andersen. Desain pada penelitian ini adalah crosssectional dengan jenis data kuantitatif. Faktor predisposing (predisposisi) yang dikaitkan dengan status merokok dan riwayat PTM, umur lansia, pria, tidak bekerja, pendidikan rendah, menikah adalah kelompok berisiko dalam memanfaatan pelayanan rawat jalan yang tinggi. Faktor enabling (pemungkin) yang jika dikaitkan dengan status merokok dan riwayat PTM, status ekonomi rendah, memiliki jaminan kesehatan swasta dan pemerintah, dan tinggal di pedesaan adalah kelompok berisiko dalam memanfaatkan pelayanan rawat jalan yang tinggi. Faktor need (kebutuhan) yang jika dikaitkan dengan status merokok dan riwayat PTM, mantan perokok dan memiliki keadaan morbiditas adalah kelompok berisiko dalam memanfaatkan pelayanan rawat jalan yang tinggi Adanya keterkaitan antara status merokok, riwayat PTM, dan jaminan kesehatan dirasa perlu untuk membangun kebijakan berdasarkan ke tiga hal tersebut dan membangun kerjasama lintas sektoral.

Outpatient utilization is increasing, one of which is caused by an increase in cases of Non- Communicable Diseases (PTM). One risk factor is smoking status. The purpose of this study was to analyze the factors that influence the use of outpatient care with Andersen's theory. The design in this study is cross sectional with quantitative data types. Predisposing factors that are associated with smoking status and history of PTM, elderly, male, non-working, low education, marriage are at risk groups in utilizing high outpatient utilization. Enabling factors that are associated with smoking status and history of PTM, low economic status, having private and public health insurance, and living in rural areas are at risk in utilizing high outpatient services. Need factor that when associated with smoking status and history of PTM, ex-smokers and having a state of morbidity is a risk group in utilizing high outpatient services. The relation between smoking status, history of PTM, and health insurance is deemed necessary to develop policies based on these three things and build cross-sectoral cooperation.
"
Depok: Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurhidayati
"Indonesia menjadi salah satu negara yang mengkonsumsi rokok tertinggi di dunia. Rokok bukan hanya populer dikalangan remaja maupun dewasa, namun dikalangan lanjut usia juga masih ditemukan. Sebanyak 27,6% penduduk usia lanjut menjadi perokok setiap hari. Intensitas merokok di kalangan lanjut usia pun mengalami kenaikan menjadi 23,5%. Dampak yang ditimbulkan oleh rokok untuk kalangan lanjut usia sangat berisiko pada kesehatan karena menimbulkan komplikasi jangka panjang. Berhenti merokok merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan mengingat Indonesia akan berada dalam fase penuaan penduduk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan lansia di Indonesia untuk berhenti merokok. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan data IFLS 5 tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang paling mempengaruhi lansia untuk berhenti merokok adalah riwayat penyakit dengan OR 4.160 (95% CI: 3.519 – 4.917). Artinya lansia yang mempunyai riwayat penyakit memiliki peluang 4.160 kali untuk berhenti merokok dibandingkan lansia yang tidak mempunyai riwayat penyakit. Hal ini sejalan dengan penyakit yang mendominasi pada lansia salah satunya adalah penyakit degenerative akibat asap rokok dan penelitian di Turki meneyebutkan salah satu alasan seseorang berhenti merokok adalah karena riwayat penyakit yang dimiliki. Faktor lain yang mempengaruhi adalah usia, pendidikan, pendapatan, kepemilikan asuransi kesehatan, jumlah konsumsi rokok per hari, usia pertama kali merokok, merokok setelah bangun tidur, merokok saat sakit serta dapat menahan merokok di tempat umum. Dari hasil penelitian disarankan bagi pemerintah dapat menambah fasilitas posyandu lansia di setiap puskesmas untuk menjaring data riwayat penyakit yang di derita lansia di Indonesia dan melakukan pendampingan untuk berhenti merokok

Indonesia is one of the countries that consume the highest cigarettes in the world. Cigarettes
are not only popular among teenagers and adults, but also among the elderly. As many as 27.6%
of the elderly population become smokers every day. The intensity of smoking among the
elderly also increased to 23.5%. The impact caused by smoking for the elderly is very risky to
health because it causes long-term complications. Quitting smoking is one thing that needs to
be done considering that Indonesia will be in a phase of population aging. The purpose of this
study was to determine the dominant factor in the elderly in Indonesia to stop smoking. This
study is a quantitative study using IFLS 5 2014 data. The results showed that the most
influencing factor for the elderly to quit smoking was a history of disease with an OR of 4.160
(95% CI: 3.519 – 4.917). This means that the elderly who have a history of disease have 4,160
times the opportunity to quit smoking compared to the elderly who do not have a history of the
disease. This is in line with the disease that dominates in the elderly, one of which is
degenerative disease due to cigarette smoke and research in Turkey states that one of the reasons
a person quits smoking is because of the history of the disease they have. Other influencing
factors are age, education, income, ownership of health insurance, number of cigarettes
consumed per day, age at first smoking, smoking after waking up, smoking when sick and being
able to refrain from smoking in public places. From the results of the study, it is suggested that
the government can add posyandu facilities for the elderly in each health center to collect data
on the history of diseases suffered by the elderly in Indonesia and provide assistance to stop
smoking
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Uramanda
"Salah satu cara untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan faal paru adalah dengan cara mengukur arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan peak flow meter. Salah satu faktor resiko yang menyebabkan penurunan nilai APE adalah merokok. Merokok dapat menyebabkan terjadinya bronkokontriksi pada saluran pernapasan. Selain merokok, faktor lain yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya penurunan kapasitas fungsi paru adalah kurangnya aktivitas fisik. Oleh karena itu penelitian untuk melihat efek gabungan merokok dan aktifitas fisik terhadap penurunan nilai APE diperlukan untuk mengkonfirmasi besar asosiasi keduanya dengan mempertimbangkan faktorfaktor contributory (potential confounder) yang juga berhubungan terhadap penurunan nilai APE. Penelitian ini menggunakan disain cross-sectional. Sebanyak 8.823 responden pria 18-74 tahun menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh dari Indonesian family life survey 5(IFLS) dan dianalisis menggunakan uji Cox regresi. Penurunan nilai arus puncak ekspirasi lebih besar pada orang yang tidak merokok dan aktifitas fisik kurang,yaitu sebesar 1,26 kali serta perokok yang memiliki aktivitas fisik kurang sebesar 1,20 kali dibanding orang yang tidak merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup. Sedangkan pada orang yang merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup beresiko 0,84 kali protektif dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup dengan kata lain aktivitas fisik lebih berperan dibanding kebiasaan merokok. Pada orang yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya juga melakukan aktifitas fisik secara rutin agar resiko untuk terjadinya penurunan nilai arus puncak ekspirasi menjadi lebih kecil.

The One way to detect early pulmonary function disorders is by measuring peak expiratory flow (PEF) using a peak flow meter. One of the risk factors that causes decrease in the value of APE is smoking. Smoking can cause bronchoconstriction in the respiratory tract. In addition to smoking, other factors that play a role in reducing the risk of a decrease in lung function capacity are lack of physical activity. Therefore, research to see the combined effects of smoking and physical activity on the decline in APE values is needed to confirm the magnitude of the two associations by considering contributory factors (potential confounders) which also relate to decreasing APE values. This study uses cross-sectional design. A total of 8,823 male respondents 18-74 years were sampled in this study. Data was obtained from Indonesian family life survey 5 (IFLS) and analyzed using the Cox regression test. The decrease in peak expiratory flow values was greater in people who did not smoke and less physical activity, which amounted to 1,26 times and smokers who had less physical activity of 1.20 times compared to people who do not smoke and have enough physical activity. Whereas in people who smoke and have physical activity is 0.84 times protective compared to people who do not smoke and have enough physical activity in other words physical activity has more role than habit smoke. In people who have a smoking habit, they should also carry out regular physical activities so that the risk of decreasing the value of peak expiratory flow becomes smaller."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>