Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111270 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aghazi Agustanzil
"Latar belakang. Laparaskopi adalah tindakan invasif minimal yang walaupun diketahui tidak menyebabkan nyeri, namun masih dapat menyebabkan derajat nyeri sedang – berat pada periode awal pasca operasi. Magnesium sulfat (MgSO4) memiliki efek analgetik yang dapat mengurangi kebutuhan opioid dan mengurangi derajat nyeri pasca operasi. Namun penggunaan MgSO4 untuk manajemen nyeri belum umum digunakan karena kurangnya data mengenai dosis yang aman untuk menghasilkan efek analgesia yang adekuat, serta keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian MgSO4 dalam menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif serta derajat nyeri 24 jam pascaoperasi. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 pasien berusia 18-65 tahun yang menjalani operasi laparaskopi dalam anestesia umum. Pada kelompok perlakuan diberikan 50 mg/kgBB MgSO4 intravena 15 menit praoperasi dan dilanjutkan dosis rumatan 10 mg/kgBB/jam selama periode operasi. Kelompok kontrol dilakukan pemberian placebo menggunakan NaCl 0.9%. Hasil. Pada kelompok perlakuan maupun kontrol, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam konsumsi opioid intraoperatif, dan pada derajat nyeri pascaoperasi. Keterbatasan pada penelitian ini antara lain adanya perbedaan durasi operasi yang cukup beragam dan perbedaan jenis operasi yang dapat merupakan faktor signifikan pada derajat nyeri pada populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Simpulan. Pemberian MgSO4 pada operasi laparaskopi tidak menurunkan jumlah konsumsi opioid intraoperatif maupun derajat nyeri pascaoperasi. Walaupun manfaat MgSO4 sangat bervariasi tergantung jenis operasi.

Background. Laparascopy is a minimally invasive procedure that is known to produce minimal to no pain, however previous findings have shown that a moderate to severe pain is found during the early hours postoperatively. Magnesium sulphate (MgSO4) has an analgetic effect that may reduce opioid consumption and postoperative pain. However, usage of MgSO4 for pain management has not yet been applied to everyday practice due to the lack of data regarding the dosage to produce adequate analgetic effect, and its safety. This research is to understand the effect of MgSO4 to reduce intraoperative opioid consumption and 24 hours postoperative pain. Methods. This is a double blinded randomized clinical trial involving 50 patients aged 18-65 undergoing laparscopic surgery under general anesthesia. Treatment group is given a 50 mg/kgBB intravenous MgSO4 15 minutes preoperatively, followed by a maintenance dose of 10mg/kgBB/hour through the surgery. Control group is given a placebo using an NaCl 0.9%. Results. Findings have shown that there was no significant difference of intraoperative opioid consumption nor postoperartive pain within the treatment group and control group. Limitations of the study includes the variety of surgery duration and different types of surgery that is a significant factor in pain intensity. Conclusion. Application of MgSO4 did not cause reduction of intraoperative opioid consumption nor the postoperative pain. However, MgSO4 may be beneficial depending on the type of surgery in which it is applied to. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noorcahya Amalia
"Pendahuluan : Pembedahan laparoskopik abdomen memerlukan anestesia yang dalam dan relaksasi otot yang maksimal untuk memperbaiki lapang pandang pembedahan dan menurunkan angka komplikasi pascabedah. Pemberian dosis tinggi rokuronium dan sevofluran terkadang tidak terhindarkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian magnesium sulfat sebagai adjuvan akan menurunkan konsumsi sevofluran dan rokuronium pada bedah laparoskopik abdomen.
Metode : Penelitian ini merupakan studi acak tersamar ganda yang mengikutsertakan 42 pasien yang menjalani laparoskopik bedah abdomen. Sampel dilakukan pengkelompokan dengan metode acak tersamar ganda, rasio 1:1, kedalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat 10% (A) sebanyak 25 mg/kgbb bolus dalam 30 menit dilanjutkan dengan 10 mg/kgbb/jam selama intrabedah. Kelompok kedua adalah kelompok plasebo (B) yang diberikan volume yang sama NaCl 0,9%. Sevofluran diberikan selama tindakan anestesi untuk mempertahankan nilai BIS 40-60. Rokuronium tambahan diberikan jika nilai TOF Count ≥1. Kedua kelompok kemudian akan dinilai konsumsi sevofluran dan rokuronium selama tindakan sebagai tujuan utama dan dilakukan penilaian rerata tekanan arteri, nadi dan waktu ekstubasi sebagai tujuan tambahan. 
Hasil : Konsumsi sevofluran secara signifikan lebih rendah pada kelompok magnesium (A) dibandingan dengan kelompok plasebo (B) [9.57(±2,79) VS 12.35 (±4,95) ml/jam] dengan p value  = 0.031. Konsumsi rokuronium juga secara signifikan lebih rendah pada kelompok magnesium (A) dibandingkan kelompok plasebo (B). [0.36(±0.09) VS 0,47(±0,16) mg/kgbb/jam] dengan p value 0.01. Terdapat perbedaan signifikan tekanan rerata arteri pasca-insuflasi, tetapi tidak ada perbedaan signifikan nadi maupun waktu ekstubasi. Kesimpulan : Pemberian magnesium sulfat sebagai adjuvan anestesi umum dapat menurunkan konsumsi sevofluran dan rokuronium pada bedah laparoskopik abdomen.

Background: Deep anesthesia and neuromuscular relaxation are needed in laparoscopic abdominal surgery to reduce possibility of postoperative complication and improve surgeon satisfaction. High dose of rocuronium and sevoflurane might be needed. This study aimed to investigate administration magnesium sulfate as adjuvant would reduce rocuronium and sevoflurane consumption in patient who went laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This study was a double blind randomized controlled trial involving 42 patient who underwent abdominal laparoscopic surgery. Subject were blindly randomized into two groups at a 1:1 ratio. First group received magnesium sulfat as A groups (loading dose 25 mg.kg-1 over 30 minutes and followed by 10 mg.kg-1.hr-1) during surgery and second group was B group was administered the same volume of NaCl 0.9%. Sevoflurane was administered to maintain anesthesia depth within BIS range 40-60. Supplementary of rocuronium intraoperative was given if TOF Count reached ≥ 1. All group was assessed for sevoflurane and rocuronium consumption as primary outcome. Both groups mean arterial pressure, heart rate and time of extubation also assessed as secondary outcome.
Result: Consumption of sevoflurane significantly lower in magnesium group [9.57(±2,79) VS 12.35 (±4,95) ml.hr-1] with p value  = 0.031. Consumption of rocuronium is also significantly lower in A groups than in B groups [0.36(±0.09) VS 0,47(±0,16) mg.kg-1.hr-1] with p value = 0.01. There is significant mean arterial pressure differences during post-insuflation. Meanwhile there is no difference on heart rate  and time of extubation between two groups
Conclusion: Administration of magnesium sulfat as adjuvant in general anesthesia reduce sevoflurane and rocuronium consumption during laparoscopic abdominal surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Indah Widhyanti
"Latar Belakang. Kejadian PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) masih menjadi salah satu gejala paling umum pascaanestesia dan pembedahan, di samping nyeri. Terkadang mual dan muntah lebih menyulitkan terutama pada bedah minor atau pasien rawat jalan, karena dapat memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit. Patofisiologi dan farmakologi mual muntah pascaoperasi cukup kompleks.Mual dan muntah telah dikaitkan selama bertahun-tahun dengan penggunaan anestesi umum. Kejadian mual muntah meningkat pada operasi laparoskopi, kejadian meningkat sampai 46% - 75%. Kejadian mual muntah pascalaparoskopi di Instalasi Bedah Pusat (IBP) RSCM bulan November 2019 sebesar 45%. Tujuan dari profilaksis kejadian mual muntah ialah untuk mencegah timbulnya kejadian mual muntah sehingga mengurangi biaya perawatan kesehatan di rumah sakit. Di RSCM sedang digalakkan program KMKB (Kendali Mutu Kendali Biaya), haloperidol memiliki keunggulan dibandingkan dengan deksametason, diantaranya lama kerja yang lebih lama dibanding deksametason sehingga mengurangi kejadian mual muntah pada pasien pada lebih dari 24 jam pascaoperasi dan harga haloperidol yang lebih murah dibandingkan dengan harga deksametason. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui efektifitas haloperidol 1 mg intravena dengan dan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk membandingkan keefektivitasan haloperidol 1 mg intravena dengan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi. 80 subjek dilakukan pendataan angka NRS mual muntah dan kejadian mual muntah pascalaparoskopi.
Hasil. Penelitian ini menunjukkan angka kejadian mual terdapat perbedaan bermakna (P<0,05) pada 2-6 jam, 6-12 jam, dan 12-24 jam pascabedah laparoskopi. Untuk angka kejadian muntah pascabedah laparoskopi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (P>0,05). Angka NRS (Numeric Rating Scale) mual muntah secara statistik tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24.
Simpulan. Pemberian haloperidol 1 mg intravena berbeda secara bermakna dibandingkan pemberian deksametason 5 mg intravena secara stastistik untuk mencegah kejadian mual dan tidak berbeda secara bermakna untuk mencegah kejadian muntah pascabedah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.

Background. The incidence of PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) is still one of the most common symptoms of post-surgery, in addition to pain. Sometimes nausea and vomiting are more difficult, especially in minor surgery or outpatients, because it can extend the length of stay in hospital. The pathophysiology and pharmacology of post-operative nausea and vomiting are complex. The incidence of nausea and vomiting increases in laparoscopic surgery, the incidence increases to 46% - 75%. The aim of prophylaxis on the occurrence of nausea and vomiting is to reduce the incidence of this event, thereby reducing the cost of health care in hospitals. In RSCM the KMKB program is being promoted, haloperidol has advantages compared to dexamethasone, including a longer work time than dexamethasone, thereby reducing the incidence of nausea and vomiting in patients for more than 24 hours postoperatively and haloperidol prices which are cheaper compared to the price of dexamethasone. Therefore, the researchers wanted to know the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone and 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
Methods. This study was a double blind randomized clinical trial to compare the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery. 80 subjects were collected NRS data collection and post-laparoscopic nausea vomiting.
Results. This study showed a significant difference in the incidence of nausea (P <0.05) at 2-6 hours, 6-12 hours, and 12-24 hours after laparoscopic surgery. The incidence of vomiting after laparoscopic surgery between the two groups was not significantly different (P> 0.05). Number of NRS (Numeric Rating Scale) nausea vomiting statistically there were no significant differences in the two groups of hours 2, 6 hours, 12 hours, and 24 hours.
Conclusion. The administration of haloperidol 1 mg intravenously is significantly different than dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and not significantly different to prevent the incidence of postoperative vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jacky Desfriadi
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia dengan sevoflurane dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian magnesium sulfat 10 % 20 mg/kg bolus IV selama 15 menit, dilanjutkan 10 mg/kg/jam secara infus kontinyu selama pembedahan diketahui mencegah EA. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai dalam mencegah EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane. Magnesium sulfat dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA.
Metode: Penelitian uji klinik acak tersamar ganda pada anak usia 1,5-12 tahun yang menjalani anestesia dengan sevoflurane di RSCM pada bulan September-Oktober 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok Magnesium (n=54) mendapat magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai, sedangkan kontrol (n=54) mendapat NaCl 0,9% 0,2 ml/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai. Kejadian EA, waktu pulih, hipotensi pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji multivariat regresi logistik.
Hasil: Kejadian EA pada kelompok magnesium sebesar 25,9% sedangkan kontrol 16,7% (OR = 0,786; IK 95% 0,296-2,091; p=0,63). Waktu pulih memiliki nilai rerata 8,2 + 4,74 menit untuk kelompok magnesium dibandingkan kontrol 10,87 + 6,799 menit (OR = 2,667; IK 95% 0,431-4,903; p=0,02). Pada kedua kelompok, tidak didapatkan kejadian hipotensi.
Simpulan: Pemberian magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai secara statistik tidak efektif mencegah kejadian EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane.

Background: Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after anesthesia with sevoflurane and may cause harm. Magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 15 minutes, followed by 10 mg/kg/h as a continous intravenous infusion during surgery can prevent EA. This study evaluated the effectivity of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane. Magnesium sulphate was considered effective if could reduce the incidence of EA.
Method: This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1,5-12 years old underwent anesthesia with sevoflurane in RSCM on September until Oktober 2018. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Magnesium group (n=54) was given magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended while control group (n=54) was given NaCl 0,9% 0,2 ml/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended. Incidence of EA, recovery time and postoperative hypotension were observed. Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale was used to assess EA. Statistical tests used were logistic regresssion multivariate analysis.
Result: Incidence of EA in magnesium group was 25,9% while in control group was 16,7% (OR = 0,786; 95% CI 0,296-2,091; p=0,63). Mean recovery time in magnesium group was 8,2 ± 4,74 minutes and control group was 10,87 ± 6,799 minutes (OR = 2,667; 95% CI 0,431-4,903; p=0,02). Hypotension was not found in both groups.
Conclusion: Administration of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended was not effective to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Wahyudi Soamole
"Latar Belakang: Tatalaksana nyeri pascabedah pada pasien pascalaparoskopi nefrektomi merupakan salah satu kunci pemulihan dini pasien. Di RSUPN Cipto Mangunkusomo, hampir semua pasien donor ginjal pascabedah laparoskopi nefrektomi mendapatkan analgesia epidural kontinyu. Masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat, serta terdapatnya efek samping retensi urin pascaanalgesia epidural kontinyu, membuka kemungkinan untuk digunakannya teknik analgesia berbasis anestesia regional lain yang lebih baik. Blok tranversus abdominis plane dapat digunakan sebagai analgesia pascabedah abdomen, aman digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi koagulasi dan tidak menyebabkan terjadinya retensi urin dibandingkan dengan teknik blok neuraksial. Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis terkendali tidak tersamar tunggal, dengan populasi semua pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi pada bulan Mei-Oktober 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 25 subyek pada dua kelompok diambil dengan metode consecutive sampling. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui efek analgesia penambahan deksametason 8 mg pada blok TAP tiga titik, rata-rata derajat nyeri gerak dan kebutuhan morfin pascabedah pada kedua kelompok dengan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon.Hasil: Uji Mann-Whitney rata-rata nyeri diam tidak berbeda signifikan p 0,066-0,716 . Uji Mann-Whitney Kebutuhan PCA morfin pada 24 jam pascabedah tidak berbeda signifikan p 0,072-0,200 . Perubahan derajat nyeri pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,002 dan 0,020 . Kebutuhan morfin pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,023 . Saat pertama menggunakan tambahan morfin dan awal mobilisasi pascabedah tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu 58.01 .Simpulan: Penambahan deksametason 8 mg tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik pada blok TAP tiga titik dibanding epidural kontinyu. Jumlah penggunaan morfin, saat pertama membutuhkan tambahan morfin, rata-rata derajat nyeri gerak dan awal mobilisasi pascabedah tidak berbeda signifikan pada blok TAP tiga titik dengan epidural kontinyu. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu.

Abstract Background Postoperative pain management in laparoscopic nephrectomy is one key to early recovery. At RSUPN Cipto Mangunkusomo, almost all postoperative laparoscopic donor nephrectomy patients acquire continuous epidural analgesia. High percentage of patients with severe degree of pain and presence of postoperative urinary retention related to continuous epidural opens the possibility of better use of other regional anesthesia analgesia techniques. Tranversus abdominis plane block can be used as postoperative analgesia in abdominal surgery, safe in patients with impaired coagulation function and does not cause urinary retention compared with neuraxial block technique. Methods Randomized control trial in all kidney donor patients undergoing laparoscopic donor nephrectomy in RSUPN Cipto Mangunkusomo during May October 2017. Consecutive sampling and random allocation was done to put 25 patients in each TAP block and Continuous Epidural group. Statistical analysis was performed to determine the effect of adding 8 mg of dexamethasone in three point TAP block on degree of pain at rest and with movement and postoperative morphine requirements using Mann Whitney, Friedman and post hoc Wilcoxon test. Results Mann Whitney test showed no significant difference in pain at rest p 0,066 0,716 and 24 hours postoperative morphine requirements p 0,072 0,200 between two groups. Friedman and post hoc Wilcoxon test showed a significant difference in degree of pain p 0,002 and 0,020 and morphine requirement p 0,023 in TAP block group. There is no difference in time to first dose of morphine rescue and early postoperative mobilization. There is higher incidence of postoperative urinary retention in continuous epidural group 58.01 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg on three point TAP block did not provide better analgesia than continuous epidural. The amount of morphine requirement, time to first dose of morphine rescue, degree of pain at rest and with movement and early postoperative mobilization did not differ significantly between two groups. The frequency of postoperative urinary retention is higher with continuous epidural."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Azzahra
"Hipospadia adalah kelainan kongenital yang menyebabkan anatomi pembukaan saluran kemih berada pada bagian ventral penis. Salah satu faktor risiko hipospadia adalah faktor gaya hidup yang tidak baik ataupun polusi udara yang dapat ditemukan pada masyarakat perkotaan. Penatalaksaan medis hipospadia adalah dengan operasi uretroplasti yang dapat menimbulkan masalah keperawatan berupa nyeri akut. Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah menguraikan asuhan keperawatan pada anak dengan hipospadia. Salah satu intervensi yang diimplementasikan adalah teknik distraksi dengan menonton video kartun animasi. Hasil evaluasi dari tindakan keperawatan yang berupa manajemen nyeri farmakologis dan non farmakologis selama tiga hari adalah skala nyeri anak turun dari skala nyeri 3/10 menjadi 0/10 atau tidak nyeri, anak tampak tenang dan dapat tertawa saat ada adengan lucu pada video kartun. Penulis menyarankan rumah sakit menyediakan fasilitas untuk melakukan distraksi pada anak berupa radio atau tape recorder untuk memutar musik, televisi untuk memutar video animasi ataupun mainan yang dapat mendistraksi anak. Sehingga distraksi dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik nyeri dan usia anak.

Hypospadias is a congenital aberration that causes the anatomy of the opening of the urinary tract to be in the ventral part of the penis. One of the risk factors for hypospadias is a factor of poor lifestyle or air pollution that can be found in urban communities. Hypospadias can be treated through urethroplasty surgery. Post surgical pain will occur in a child. The steps to be taken to deal with this issue is to manage the pain in the child. The purpose of this paper is to describe nursing care in children with hypospadias. One of the interventions implemented is the distraction technique by playing animated cartoon videos as pain management for the child. The usage of distraction technique and pharmacological techniques for three days period decreased the pain rating scale from the 3 10 to 0 10, and the observation showed that the child also seemed to be calmed and laugh when there is a funny scene on an animated cartoon video. The authors suggest that hospitals provide facilities to perform distractions in children such as radio or tape recorders to play music, televisions to play animated videos or toys that can distract children, so that distractions can be performed according to the characteristics of pain and age of the child.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Lestari Avriyani
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hubungan antara endometriosis dan nyeri pelvik telah banyak diketahui, namun penjelasan tentang mengapa hal ini bisa terjadi masih belum jelas diketahui. Dapat ditemukan keluhan nyeri hebat pada penderita endometriosis ringan, namun sebaliknya, dijumpai pula penderita endometriosis derajat berat tanpa keluhan nyeri berarti.Tujuan : Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara tampilan susukan endometriosis dan karakteristik nyeri pelvik.Metode : Rancangan penelitian ini menggunakan desain studi retrospektif dengan metode analisis korelasi antara dua variabel numerik. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data retrospektif rekam medis dari 131 pasien yang dilakukan laparoskopi atas indikasi endometriosis dari tahun 2012-2016.Hasil: Endometriosis minimal terdapat pada 2 pasien, endometriosis ringan pada 3 pasien, endometriosis sedang di 26 pasien, dan endometriosis berat pada 104 pasien. Berdasarkan tampilan makroskopik, endometriosis ovarium terdapat pada 92,4 , endometriosis peritoneal 82,4 , ESD 40,5 , dan adenomiosis pada 19,1 . Terdapat korelasi positif bermakna antara skor ASRM total, subskor kista endometriosis, endometriosis superfisial, obliterasi kavum douglas, dan adhesi adneksa dengan VAS dismenorea r=0,303; 0,187; 0,203; 0,278; 0,266, p

ABSTRACT
Background Controversies on relationship between endometriosis stage, adhesion, lesion type, and severity of pelvic pain remains for years, eventhough clinical experience have connected those with severity of pelvic pain.Objective To evaluate the association between ASRM score in endometriosis and pelvic pain in a group of women with endometriosis.Methods A total of 131 patients with pelvic pain who conduct laparoscopy for diagnosis and therapy of endometriosis, have pain symptoms 3 months, and absense of pelvic anomalies. Dysmenorrhea, deep dyspareunia, dyschezia, dysuria, and chronic pelvic pain were evaluated using 10 point visual analogue scale. The data was collected by assessing the medical record and retrospective analysis was performed. Disease stage according to American Society of Reproductive Medicine, presence of adhesion, lesion type Deep Infiltrating Endometriosis DIE or without DIE , and severity of pain symptoms were analyzed by Spearman analysis. Different VAS between DIE vs non DIE group was analyzed by Mann Whitney analysis.Results Minimal endometriosis was present in 2 patients, mild in 3, moderate in 26, and severe in 104. Based on the macroscopic appearance, ovarian endometriosis accounts for 92,4 , peritoneal endometriosis 82,4 , DIE was 40,5 , and adenomyosis was 19,1 . Stage IV endometriosis accounts for 79.4 . Based on the macroscopic appearance, ovarian endometriosis accounts for 92.4 , peritoneal endometriosis 82.4 , DIE was 40.5 , and adenomyosis was 19.1 . There was significant correlation between total ASRM, ovarian endometriosis, peritoneal lesion, Douglas pouch obliteration, adnexal adhesion score and VAS dysmenorrhea r 0.303 0,187 0,203 0,278 0,266, p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reihan Hadiansyah
"Pendahuluan. Angka kejadian POST dilaporkan dapat mencapai 60%. LMA masih memiliki kejadian POST hingga 26.3%. Berkumur dengan benzydamine hydrochloride terbukti efektif mengurangi POST, namun distribusinya di Indonesia belum merata. Kumur magnesium sulfat dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi POST, harga dan distribusinya lebih merata. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas kumur magnesium sulfat dengan benzydamine hydrochloride dalam mengurangi POST pascapemasangan LMA. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Sebanyak 164 subjek penelitian diambil secara consecutive sampling. Subjek penelitian mendapatkan botol penelitian yang berisikan obat kumur yang sudah dirandomisasi, dilanjutkan dengan prosedur anestesi. Setelah selesai operasi, pasien akan dinilai : kejadian nyeri tenggorok, derajat nyeri tenggorok, efek samping, odinofagia dan disfagia pada jam ke 2, 6, 24 dan 48 pascaoperasi. Hasil. Berdasarkan hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok; pada kejadian nyeri tenggorok pasca-LMA di jam ke 2, 6 dan 24 dengan nilai P > 0.05 dan perbandingan derajat nyeri pasca-LMA kedua kelompok dengan nilai P > 0.05. Kejadian odinofagia kedua kelompok rendah dan hampir serupa. Tidak didapatkan efek samping dan kejadian disfagia pada penelitian ini. Simpulan. Kumur magnesium sulfat memiliki efektifitas yang tidak lebih buruk dibandingkan dengan kumur benzydamine hydrochloride dalam mengurangi kejadian nyeri tenggorok pascapemasangan LMA

Introduction. The reported incidence of POST can reach 60%. LMA still has a POST incidence of up to 26.3%. Gargling with benzydamine hydrochloride has been proven to be effective in reducing POST, but its distribution in Indonesia is not evenly distributed. Magnesium sulfate gargle can be used as an alternative to reduce POST; its price and distribution are more even. This study aims to compare the effectiveness of magnesium sulfate gargle with benzydamine hydrochloride in reducing POST after LMA insertion. Method. This study was a single-blind, randomized clinical trial. A total of 164 research subjects were selected by consecutive sampling. Research subjects received research bottles containing randomized mouthwash, followed by an anesthesia procedure. After completion of the operation, the patient will be assessed for the incidence of throat pain, the degree of throat pain, side effects, odynophagia, and dysphagia at 2, 6, 24, and 48 hours after surgery. Results. Based on the research results, there were no significant differences between the two groups on the incidence of post-LMA throat pain at 2, 6, and 24 hours with a P value > 0.05 and a comparison of the degree of post-LMA pain between the two groups with a P value > 0.05. The incidence of odynophagia in both groups was low and almost similar. There were no side effects or incidences of dysphagia in this study. Conclusion. Magnesium sulfate gargle has no worse effectiveness than benzydamine hydrochloride gargle in reducing POST after LMA insertion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnil Mubarak
"Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi pada persimpangan ureteropelvic dapat ditangani dengan pembedahan atau laparoskopi. Laparoskopi pieloplasti (LP) menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan pengalaman pertama dari laparoskopi pieloplasti sebagai penanganan pada UPJO. Bahan dan metode: Pengumpulan data retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Adam Malik, Medan dari tahun 2017 hingga 2019. Pasien didiagnosa dengan UPJO melalui renogram atau CT Scan dan gejala yang muncul ditawarkan untuk dilakukan LP sebagai pilihan terapi. Surat persetujuan didapatkan setelah adanya penjelasan terkait resiko, alternative dan ilmu baru dari Teknik laparoskopi. Status selama operasi, yakni lama operasi, kehilangan darah, serta segala luaran yang negative, dilakukan pencatatan. Hasil: didapatkan total 10 pasien yang dilakukan LP dengan usia rerata adalah 6.10 (+ 3.64) tahun; pria dan wanita didapatkan sebanyak delapan (80%) dan dua (20%). Rata-rata waktu operasi adalah 291,00(+22,828) menit, sedangkan jumlah kehilangan darah selama operasi adalah 56.00 (+18,97)ml, dan lama perawatan adalah 5,7(+0,95) hari. Rerata waktu yang dibutuhkan untuk melakuakn aktifitas kembali adalah 7,30(+0,95) hari. Tiak ditemuan komplikasi setelah operasi pada seluruh pasien. Kami melakukan evalausi dengan USG dan menemukan adanya hidronefrosis ringan pada enam pasien (60%) dan sedang pada empat pasien (40%). Kesimpulan: Dari pengalaman pertama melakukan LP, Teknik ini ditemukan berpotensi sebagai terapi pilihan untuk pieloplasti pada kasus UPJO. Kami menemukan hasil yang sebanding dengan penelitian lain dalam hal waktu operasi dan jumlah kehilangan darah selama operasi yang lebih baik. LP dapat digunakan sebagai opsi lini pertama pada penanganan UPJO.

Introduction and objectives: Ureteropelvic junction obstruction (UPJO) can be treated with surgery or laparoscopy. Laparoscopic pyeloplasty (LP) has been shown to provide better results than surgery. This study aims to report our first experience of laparoscopy pyeloplasty as the management of UPJO. Materials and methods: Retrospective data collection were done in Adam Malik General Hospital, Medan from 2017 to 2019. Patients with UPJO diagnosed by renogram or CT scan and symptoms were offered LP as the treatment option. Informed consent was obtained after explanation about risks, alternatives, and novelty of the laparoscopic technique. Intraoperative status, including duration of operation, blood loss, and all negative outcome, was documented.

Results: A total of 10 patients underwent LP with the average of age was 6.10 (± 3.64) years old; male and female patients were eight (80%) and two (20%). The mean of operation time was 291.00 (±22.828) minutes, while intraoperative blood loss was 56.00 (±18.97) mL, and the length of stay was 5.70 (±0.95) days. The average time to perform daily activities was 7.30 (±0.95) days. No postoperative complication was found in all of our patients. We performed an USG evaluation and revealed mild hydronephrosis in six patients (60%) and moderate hydronephrosis in four patients (40%). Conclusion: From our first experience in performing LP, this technique was found to be a potential treatment option in pyeloplasty for UPJO. We found the comparable result to other studies in term of operative times and a better intraoperative blood loss. LP could be used as the first line option for management of UPJO."

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Arum Sari
"Latar Belakang: Laparoskopi nefrektomi merupakan teknik pembedahan pilihan untuk pasien donor ginjal di RSCM karena memiliki beberapa keunggulan dibandingkan laparotomi. Pembedahan akan mengaktivasi respon stress yang mempengaruhi perubahan hemodinamik intraoperatif. Kombinasi anestesi regional epidural dengan anestesi umum dapat mengurangi respon stress intraoperatif. Teknik yang digunakan adalah epidural. Blok Quadratus Lumborum (QL) merupakan blok interfasia efektif sebagai analgesia pasca bedah abdomen. Penelitian ini bertujuan untuk menilai respon stress hemodinamik intraoperatif antara blok QL dan epidural pada pasien laparoskopi nefrektomi. Parameter yang dinilai adalah tekanan arteri rata-rata (MAP), laju nadi, indeks kardiak (CI), dan gula darah. Kebutuhan fentanyl intraoperatif juga turut dinilai.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar terhadap pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi di RSCM selama bulan Juni hingga September 2018. Dilakukan randomisasi sebanyak 36 subjek menjadi 2 kelompok. Setelah induksi, kelompok epidural diberikan epidural kontinyu bupivacain 0.25% sebanyak 6 ml/jam dan pada kelompok QL diberikan 20 ml bupivacain 0.25% secara bilateral. Variabel MAP, laju nadi, CI, gula darah dan kebutuhan fentanyl intraoperatif dicatat. Analisis data dilakukan melalui uji bivariat t-test tidak berpasangan, Mann-Whitney serta uji multivariat general linear model.
Hasil: Perubahan MAP pada kelompok QL lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan epidural. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada variabel laju nadi, CI, gula darah dan kebutuhan fentanyl intraoperatif.
Kesimpulan: Blok QL tidak lebih baik dari epidural dalam menurunkan respon stress intraoperatif pada laparoskopi nefrektomi. Akan tetapi perubahan MAP pada blok QL lebih stabil.

Background: Laparoscopic nephrectomy is a surgical technique preferred for renal donor in RSCM because of its advantages over laparotomy. Surgery activated stress responses thus affected intraoperative hemodynamics. Regional epidural anesthesia often combined with general anesthesia to reduce stress responses. Quadratus Lumborum (QL) block is an interfacial block and effective as abdominal surgery analgesia. This study was aimed to assess intraoperative hemodynamic stress response between QL and epidural block in laparoscopic nephrectomy patients. Mean arterial pressure (MAP), pulse rate, cardiac index (CI), and blood sugar was collected. Intraoperative fentanyl consumption also noted.
Methods: This was a randomized clinical trial of renal donor patients who underwent laparoscopic nephrectomy at RSCM during June to September 2018. A total of 36 subjects were randomized into 2 groups. After induction of general anesthesia, the epidural group received continuous epidural infusion of 0.25% 6 ml / hour of bupivacaine and QL group received 20 ml of 0.25% bupivacaine. MAP variables, pulse rate, CI, blood sugar and intraoperative fentanyl consumption were recorded in both groups. Data was analyzed with bivariate paired t-test, Mann-Whitney and multivariate general linear model test.
Results: MAP changes in QL group is significantly better than epidural group. There was no difference in heart rate, CI, blood glucose and fentanyl consumption intraoperative between two groups.
Conclusion : QL block compared to epidural did not have better result in reducing intraoperative stress response. However, MAP changes in QL group have better stability than epidural group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>