Ditemukan 47298 dokumen yang sesuai dengan query
Tobing, Eldo Herbadella
"Tulisan ini menganalisis mengapa suatu negara mengubah pendekatan kebijakan luar negerinya meskipun sudah menjalin hubungan diplomatik sejak lama. Sejak tahun 1983 Kepulauan Solomon telah menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, namun pada tahun 2019 Kepulauan Solomon memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan dan beralih ke Tiongkok meskipun telah menjalin hubungan diplomatik selama 36 tahun. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori perubahan kebijakan luar negeri (foreign policy change) untuk menjelaskan perubahan kebijakan diplomatik Kepulauan Solomon dari Taiwan ke Tiongkok pada tahun 2019. Sumber-sumber perubahan yang dimaksud dalam teori ini adalah dorongan pemimpin, advokasi birokrasi, restrukturisasi demokrasi, dan guncangan eksternal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kepulauan Solomon memutuskan mengalihkan hubungan diplomatiknya dari Taiwan ke Tiongkok pada tahun 2019 didominasi oleh pengaruh dari sumber dorongan pemimpin, yang dalam hal ini adalah Perdana Menteri Kepulauan Solomon kala itu, yakni Manasseh Sogavare. Meskipun terdapat kritikan dari sumber-sumber perubahan lain, pengalihan hubungan diplomatik tersebut pada akhirnya tetap terlaksana pada masa pemerintahan Sogavare.
This paper aims to analyse why a country changes its foreign policy approach despite having established diplomatic relations for a long time. Since 1983, the Solomon Islands had maintained diplomatic relations with Taiwan. However in 2019, the Solomon Islands decided to sever its diplomatic ties with Taiwan and shift to China, even after 36 years of diplomatic relations. This research uses qualitative methodology with deductive approach. The analysis in this study employs the theory of foreign policy change to explain the diplomatic shift of the Solomon Islands from Taiwan to China in 2019. The sources of change identified in this theory are leader-driven, bureaucratic advocacy, democratic restructuring, and external shocks. The results of this study show that the Solomon Islands' decision to switch its diplomatic relations from Taiwan to China in 2019 was predominantly influenced by the leader-driven factor, specifically by the Prime Minister of the Solomon Islands, Manasseh Sogavare. Despite criticisms from other sources of change, the diplomatic shift was successfully implemented during Sogavare's administration."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Andhika Rizky Ramadhan
"Skripsi ini berisi analisis terkait eksistensi yang dimiliki China di kawasan Pasifik Selatan dengan menggunakan teori pilihan rasional institusional dan penerapan kerangka kerja institutional rational choice sebagai faktor yang mengubah hubungan diplomatik antara Taiwan dengan Kepulauan Solomon di Tahun 2019. Dalam skripsi ini, permasalahan utama yang timbul dan menjadi pertanyaan penelitian dari skripsi ini adalah “bagaimana dampak eksistensi China memberikan pengaruh dalam berubahnya hubungan diplomatik Taiwan dengan Kepulauan Solomon di Tahun 2019?”. Dalam skripsi ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan penelitian deskriptif rinci. Hasil dari penelitian skripsi ini, ditemukan bahwa dengan kerangka kerja yang dipakai, dampak eksistensi China di kawasan Pasifik Selatan mempengaruhi hubungan diplomatik Kepulauan Solomon dan Taiwan dalam 3 kategori, yaitu: 1. Insentif Ekonomi; 2. Strategi Geopolitik; 3. Kondisi Politik Domestik. Saran dari penulis adalah bagi peneliti atau penulis selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian secara lebih mendalam terkait unit terkecil penelitian ini.
This paper contains an analysis related to China's existence in the South Pacific region using institutional rational choice theory and the application of the institutional rational choice framework as a factor that changed diplomatic relations between Taiwan and the Solomon Islands in 2019. In this thesis, the main problem that arises and becomes the research question of this thesis is “how does the impact of China's existence influence the change in Taiwan's diplomatic relations with the Solomon Islands in 2019?”. In this thesis, the method used is a qualitative method with detailed descriptive research. The results of this thesis research, found that with the framework used, the impact of China's existence in the South Pacific region affects the diplomatic relations of Solomon Islands and Taiwan in 3 categories, namely: 1. Economic Incentives; 2. Geopolitical Strategy; 3. Domestic Political Conditions. The author's suggestion is for future researchers or writers to be able to conduct more in-depth research related to the smallest unit of this research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Faqih
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa negara kecil mengubah pendekatan kebijakan luar negeri, meskipun keputusan ini tidak sejalan dengan kepentingan negara yang lebih besar dan kuat di dekatnya. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori perubahan kebijakan luar negeri untuk menjelaskan keputusan Kepulauan Solomon yang melakukan perubahan pendekatan kebijakan luar negeri dari dependensi dengan Australia ke diversifikasi yang ditandai dengan peningkatan hubungan dengan Tiongkok. Tesis ini menggunakan metode analisis tematik untuk mengidentifikasi persepsi pengambil kebijakan terhadap ancaman eksternal, kondisi domestik, dan sejarah dan budaya nasional. Temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa perubahan kebijakan luar negeri diinisiasi oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare. Keputusan ini secara signifikan didorong oleh persepsi terhadap dominasi Australia di Kepulauan Solomon, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Diversifikasi kemitraan dengan negara yang kuat dilakukan untuk menyeimbangkan dominasi Australia di Kepulauan Solomon. Selain itu, kebijakan ini dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan terhadap Kepulauan Solomon dalam bentuk peningkatan jumlah bantuan pembangunan dan skema kerja sama keamanan akibat kondisi ekonomi dan keamanan domestik yang rentan.
This research aims to explain why small countries change their foreign policy, even though these decisions are not in line with the interests of larger and more powerful countries nearby. The analysis in this research uses foreign policy change theory to explain Solomon Islands' decision to change its foreign policy from dependency with Australia to diversification that is characterized by increased relations with China. This thesis uses thematic analysis methods to identify policy makers' perceptions of external threats, domestic conditions, and national history and culture. The findings of this study indicate that foreign policy changes were initiated by the Prime Minister of the Solomon Islands, Manasseh Sogavare. This decision was significantly driven by perceptions of Australia’s dominance in the Solomon Islands, which was seen as a threat to the country's sovereignty. Diversifying partnerships with powerful countries was carried out to balance Australia's dominance in the Solomon Islands. In addition, this policy was carried out to maximize benefits for the Solomon Islands in the form of increasing the amount of development assistance and security cooperation schemes due to fragile domestic economic and security conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rembulan Cahyaning Astari Wijanarko
"Pengakuan diplomatik merupakan salah satu unsur dalam kriteria negara berdaulat yang tercantum dalam Konvensi Montevideo 1933. Meskipun begitu, saat ini terdapat negara-negara yang hanya diakui oleh segelintir negara berdaulat, yang sering kali disebut sebagai negara de facto. Republik Tiongkok (Taiwan) merupakan salah satu negara de facto yang menjalin hubungan diplomatik dengan hanya 12 negara, di samping fakta bahwa negara tersebut merupakan pemain unggul dalam ekonomi global karena kehadirannya yang kuat di beberapa sektor utama industri. Kajian literatur ini bertujuan untuk memaparkan secara komprehensif terkait upaya Taiwan dalam mendapatkan dan mempertahankan mitra diplomatiknya, dalam rangka menjaga kedaulatannya sebagai negara bangsa. Penulis menggunakan metode taksonomi untuk mengorganisasikan literatur yang didapat setelah melakukan inklusi dan eksklusi terhadap literatur yang tersedia di platform akademik Scopus. Penulis mengelompokkan tema-tema utama dari 42 literatur ini menjadi: 1) sejarah singkat Taiwan; 2) konseptualisasi kedaulatan di Taiwan; 3) strategi mendapatkan pengakuan diplomatik; dan 4) tantangan mendapatkan pengakuan diplomatik. Berdasarkan kajian yang dilakukan, terdapat dua temuan utama. Pertama, upaya diplomatik Taiwan berpusat pada kawasan Dunia Ketiga karena “diplomasi dolar” bekerja paling baik terhadap negara-negara tersebut. Selain itu, tantangan struktural yang dihadapi Taiwan saat ini telah mencegahnya dari upaya deklarasi kemerdekaan. Meskipun literatur terkait topik ini telah berkembang, terutama setelah Taiwan mencapai tahap lepas landas (take-off) dalam ekonominya, penulis menemukan beberapa celah yang dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut, seperti kajian mengenai tantangan domestik terhadap upaya diplomatik Taiwan, serta hubungan bilateral Taiwan dengan negara-negara demokrasi utama.
Diplomatic recognition is a fundamental criterion for statehood as delineated in the 1933 Montevideo Convention. However, certain entities, known as de facto states, receive recognition from only a limited number of sovereign nations. The Republic of China (Taiwan) exemplifies such a de facto state, maintaining diplomatic relations with only 12 countries despite its prominent role in the global economy, particularly in key industrial sectors. This literature review aims to provide a comprehensive analysis of Taiwan's strategies to secure and preserve diplomatic alliances to sustain its sovereignty. Utilizing a taxonomy method, the author organizes 42 selected works obtained from the Scopus academic database into four main themes: 1) an overview of Taiwan's history; 2) the conceptualization of sovereignty in the context of Taiwan; 3) strategies for obtaining diplomatic recognition; and 4) the challenges associated with achieving diplomatic recognition. The study yields two primary findings: first, Taiwan's diplomatic initiatives are concentrated in the Third World, where “dollar diplomacy” proves most effective; second, structural impediments currently preclude Taiwan from officially declaring independence. Although the body of literature on this topic has grown, particularly following Taiwan's economic take-off, the author identifies several gaps for further research, including an analysis of domestic challenges to Taiwan's diplomatic efforts and its bilateral relations with major democracies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Bernadetha Indreswari Wisnuputri
"Tugas karya akhir ini membahas peran Australia dalam mengentaskan konflik etnis di Kepulauan Solomon. Peran Australia ini akan dilihat melalui tiga paradigma besar dalam Ilmu Hubungan Internasional, yaitu Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai andil Australia dalam pengembalian perdamaian dan stabilitas di Kep. Solomon melalui misi bantuan Regional Assistance Mission to the Solomon Islands (RAMSI). Dinamika hubungan antara Australia dan Kep. Solomon dalam misi RAMSI ini akan dijelaskan melalui teori Hegemonic Stability pada paradigma Realisme, konsep Interdependensi pada paradigma Liberalisme, dan konsep sosialisasi norma, nilai, ide dan keyakinan pada paradigma Konstruktivisme. Hasil yang didapatkan adalah dari penjelasan dalam masing-masing paradigma bahwa Australia adalah negara besar yang bertanggungjawab dengan menanggung cost tertentu bagi penanggulangan konflik etnis di Kep. Solomon.
This final assignment discusses about Australia’s big role in tackling ethnic conflict in the Solomon Islands. This role will be explained through three major paradigms within the International Relations Studies, which are Realism, Liberalism and Constructivism. The analysis within this final assignment will provide a comprehensive understanding about how Australia’s role really matters in terms of peacekeeping and regaining stability in Solomon Islands through Regional Assistance Mission to the Solomon Islands (RAMSI). The relationship dynamics between Australia and Solomon Islands will be explained through Hegemonic Stability Theory in Realism perspective, the concept of Interdependence in Liberalism perspective, and the concept of Socialization of Norms, Values, Ideas and Beliefs within the Constructivism perspective. The outcome of this research is a clear analysis in each paradigm on how Australia, a big power player in the Pacific, is responsible and willing to sacrifice some important costs in tackling ethnic conflict in the Solomon Islands."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Goldstein, Steven M.
"Relations between Taiwan and the People's Republic of China have oscillated between outright hostility and wary detente ever since the Archipelago seceded from the Communist mainland over six decades ago. While the mainland has long coveted the island, Taiwan has resisted - aided by the United States which continues to play a decisive role in cross-strait relations today. In this comprehensive analysis, noted China specialist Steven Goldstein shows that although relations between Taiwan and its larger neighbor have softened, underlying tensions remain unresolved. These embers of conflict could burst into flames at any point, engulfing the whole region and potentially dragging the United States into a dangerous confrontation with the PRC Guiding readers expertly through the historical background to the complexities of this fragile peace, Goldstein discusses the shifting economic, political and security terrain, and examines the pivotal role played by the United States in providing weapons and diplomatic support to Taiwan whilst managing a complex relationship with an increasingly powerful China. Drawing on a wealth of newly declassified material, this compelling and insightful book is an invaluable guide to one of the world's riskiest, long-running conflicts.
"
Cambridge, UK Malden, MA : Polity Press, 2015
327.5 GOL c
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Thurnwald, Richard, 1869-1954
New Haven: Human Relations Area Files Press, 1970
301 THU p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Aldershot: Edward Elgar Publishing, 1995
338.951 CHI
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sheng, Lijun
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001
327.16 SHE c
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Anugrah Noinoto Gori
"Republik Rakyat Tiongkok (中华人民共和国) menganggap Taiwan sebagai bagian dari negaranya dan berupaya untuk mewujudkan unifikasi. Sementara itu, isu unifikasi dengan Tiongkok Daratan masih diperdebatkan di Taiwan. Hubungan keduanya ditandai dengan ketegangan politik, ekonomi, dan militer selama beberapa dekade hingga tahun 1980-an mengikuti reformasi ekonomi Tiongkok yang memungkinkan terjalinnya hubungan dagang. Hubungan ini tidak selalu stabil, dipengaruhi oleh ketegangan politik di antara keduanya. Oleh karena itu, dinamika dagang menjadi tidak terelakkan. Pada tahun 2016, Democratic Progressive Party yang memiliki ideologi pro-kemerdekaan atau anti-unifikasi memenangkan kepemimpinan legislatif dan eksekutif di Taiwan. Tiongkok bereaksi dengan membatasi peredaran barang berlabel “Made in Taiwan” pada tahun 2018. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan ilmu sejarah. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor penyebab pembatasan peredaran barang berlabel “Made in Taiwan” pada tahun 2018 dan pengaruhnya terhadap hubungan dagang Tiongkok-Taiwan.
The People's Republic of China (中华人民共和国) regards Taiwan as part of its territory and strives to achieve reunification. Meanwhile, the issue of reunification with Mainland China remains a subject of ongoing debate in Taiwan. This relationship between the two entities has been marked by political, economic, and military tensions for several decades, until the 1980s following China's economic reforms that made trade ties possible. This relationship is not always stable, owing to political tensions between the two. Therefore, trade dynamics are inevitable. In 2016, the Democratic Progressive Party, which has a pro-independence or anti-unification ideology, won the legislative and executive leadership in Taiwan. China reacted by limiting the circulation of goods labeled "Made in Taiwan" in 2018. In this study, the author used a qualitative research method with a historical approach. The results of the study show the causative factors of restrictions on the circulation of goods labeled "Made in Taiwan" in 2018 and the impact on China-Taiwan trade relations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library